Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia dikenal sebagai salah satu Negara yang memiliki kekayaan jenis
flora dan fauna yang sangat tinggi (megabiodiversity). Hal ini disebabkan karena
Indonesia terletak di kawasan tropik yang mempunyai iklim yang stabil dan secara
geografi adalah Negara kepulauan yang terletak diantara dua benua yaitu Asia dan
Australia. Salah satu keanekaragaman hayati yang dapat diunggulkan Indonesia
adalah serangga karna memiliki variasi jenis yang tinggi. Diketahui terdapat
kurang lebih 250.000 jenis atau sekitar 15% dari jumlah jenis biota utama yang
diketahui di Indonesia (Shahabuddin dkk., 2005).
Serangga merupakan golongan hewan yang dominan di muka bumi dan juga
termodifikasi untuk hidup pada tipe habitat yang berbeda, sehingga serangga
dapat ditemukan di berbagai tempat (Borror dkk., 1992). Serangga sebagai salah
satu komponen keanekaragaman hayati yang memiliki peranan penting dalam
jaring-jaring makanan yaitu sebagai herbivor, karnivor, dan detrivor (Rizali dkk.,
2002). Kondisi ekosistem akan berpengaruh terhadap keberadaan serangga terkait
dengan peranannya. Serangga permukaan tanah merupakan kelompok yang sering
dilupakan, bahkan serangga permukaan tanah disebut sebagai parasit, padahal
kelompok ini mempunyai potensi yang tidak ternilai terutama dalam membantu
perombakan bahan organik tanah. Kegiatannya dalam perombakan bahan organik
merupakan salah satu peran penting dalam proses pembentukan tanah dan
penyeimbang ekosistem (Nakamura dkk., 2010).
Serangga tanah berperan penting bagi ekosistem dalam proses pelapukan
bahan organik dan keberadaan serta aktivitasnya berpengaruh positif terhadap
sifat kimia fisik tanah. Serangga tanah akan merombak bahan organik kemudian
melepaskan kembali ke tanah dalam bentuk bahan organik yang tersedia bagi
tumbuh-tumbuhan hijau (Rahmawaty, 2006). Salah satu contoh serangga tanah
yang membantu proses perombakan tanah adalah Collembola.
Collembola merupakan organsime yang umumnya dikenal hidup di dalam
tanah dan dikelompokan sebagai mesofauna karena mempunyai ukuran tubuh

1
sekitar 0,25 mm dan 8 mm. Serangga Collembola berperan secara tidak langsung
dalam perombakan bahan organik dan sebagai indikator perubahan keadaan tanah
(Suhardjono dkk., 2012). Keberadaan Collembola dalam tanah sangat bergantung
pada ketersediaan energi dan sumber makanan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, seperti bahan organik dan biomassa yang semuaya berkaitan dengan
aliran siklus karbon dalam tanah (Filser, 2002). Komunitas ini sangat dipengaruhi
oleh perubahan lingkungan tanah yang disebabkan oleh alam antara lain suhu,
kelembaban, curah hujan serta faktor lingkungan lainnya (Dindal, 1999).
Dusun Taeno merupakan anak Dusun Negri Rumah Tiga, Kecamatan Teluk
Ambon, Kota Ambon yang terletak di dataran tinggi. Umumnya pekerjaan
masyarakat Dusun Taeno sebagai petani yang menggunakan lahan untuk bercocok
tanam atau bertani demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Penggunaaan lahan
untuk bercocok tanam dikhawatirkan seringkali menggunakan bahan kimia
berbahaya yang dapat merusak tanah dan berdampak bagi serangga khususnya
Collembola. Meskipun demikian masih banyak faktor lain yang dapat
menyebabkan perubahan kondisi tanah dan Collembola yang ada didalamnya.
Mengetahui diversitas Collembola dapat menjadi acuan dalam menjelaskan
kondisi dari suatu microhabitat. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui serangga tanah ordo Collembola pada hutan dan ladang berpindah di
dusun Teaeno, Kecamatan Teluk Ambon, Kota Ambon.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana keanekaragaman
serangga tanah ordo Collembola pada dua tipe habitat yang berbeda pada dusun
Taeno Kecamatan teluk Ambon, kota Ambon?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui jenis serangga tanah ordo Collembola di dusun
Taeno, Kecamatan teluk Ambon, kota Ambon.

2
2. Untuk mengetahui nilai Keanekaragaman, Dominansi dan
Keseragaman dari serangga tanah ordo Collembola di dusun Teaeno,
Kecamatan teluk Ambon, kota Ambon.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai sumber informasi ilmiah bagi mahasiswa mengenai
keanekaragaman serangga tanah ordo Collembola pada hutan dan
ladang berpindah di dusun Taeno, Kecamatan teluk Ambon, kota
Ambon.
2. Sebagai bahan masukan untuk instansi terkait dalam menambah
kepustakaan dan acuan dalam pelestarian lingkungan.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Serangga


Serangga merupakan kelompok organisme dominan. Keberadaan serangga
pada suatu tempat dapat menjadi indikator biodiversitas, kesehatan ekosistem, dan
degradasi lahan. Peranan serangga dalam ekosistem diantaranya adalah sebagai
pollinator, dekomposer, predator dan parasitoid (Kartikasari, 2015). Menurut
(Ruslan, 2009) serangga dapat dibedakan berdasarkan pada habitatnya yaitu
serangga yang hidup pada habitat air, udara dan tanah. Serangga permukaan tanah
merupakan serangga yang hidup baik di dalam tanah maupun pada permukaan
tanah. Keberadaan serangga permukaan tanah sangat tergantung pada ketersediaan
energi dan sumber makanan untuk melangsungkan hidupnya.
Suin (2012) menyebutkan serangga tanah merupakan jenis serangga yang
hidup di tanah, baik itu yang hidup pada permukaan tanah maupun yang hidup di
dalam tanah, diperkirakan lebih dari 1.000.000 spesies yang telah di deskripsikan
dan masih ada sekitar 10 juta spesies yang belum di deskripsikan, sehingga
serangga tanah dikelompokkan sebagai salah satu makhluk hidup yang
mendominasi bumi.

2.2 Klasifikasi Serangga


Dasar yang dipakai adalah tingkat kekompleksan dan mungkin dari tingkat
evolusi sehingga phyla binatang disusun dari phylum yang rendah sampai phylum
tinggi. Serangga atau insekta termasuk ke dalam phylum arthropoda. Arthropoda
terbagi menjadi 3 sub-phylum yaitu Trilobita, Mandibulata dan Chelicerata. Sub-
phylum mandibulata terbagi menjadi beberapa kelas salah satunya adalah kelas
insekta (Subyanto, 1991). Insekta atau serangga disebut juga hexapoda merupakan
kelas yang terbesar di dalam arthropoda, beranggotakan kurang lebih 675.000
spesies yang tersebar di semua penjuru dunia, invertebrata ini hidup di tempat
yang kering dan dapat terbang. Serangga tanah terbagi dalam dua golongan besar
yaitu Apterygota terbagi menjadi 4 ordo dan Pterygota terbagi menjadi 20 ordo

4
diantaranya sebagai serangga tanah, berdasarkan pada struktur sayap, bagian
mulut, metamorfosis dan bentuk tubuh keseluruhan (Bavelloni dkk., 2015).
Klasifikasi Ilmiah :
Kerajaan : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Subkelas : Pterygota dan Apterygota
Ordo : Collembola
Family : Hypogastruridae
Genus : Hypogastrura
Spesies : Hypogastrura sonapani

2.3 Ciri-Ciri Ordo Collembola


Kemampuan hidup di tempat yang kering, tubuh terbungkus oleh kitin,
menyebabkan insekta dapat menyesuaikan diri, memiliki daya adaptasi yang besar
terhadap lingkungan. Pembungkus tubuh insect mengadakan perluasan sehingga
membentuk sayap. Adanya sistem trakhea insekta dapat bernafas di udara.
Kemampuan terbang menolong insekta dalam mencari makan, bertemu dengan
jenis kelamin lain, menghindarkan diri dari tangkapan musuh. Siklus hidup yang
pendek menyebabkan berkembangbiaknya cepat sekali diakarenakan serangga
memiliki keanekaragaman dan kelimpahan yang tinggi dalam kemampuan
reproduksinya (Nakamura dkk., 2010). Pada serangga jenis ini bagian abdomen
mempunyai 6 segmen, bentuk tubuh kecil sekitar 025-6 mm, panjang 3-6 mm,
serangga ini tidak memiliki sayap, tetapi memiliki antena yang beruas 4, dan kaki
dengan tarsus beruas tunggal (Indriyati dan Wibowo, 2011). Pada bagian tengah
abdomennya terdapat alat tambahan untuk meloncat yang disebut furcula. Furcula
tersebut timbul dari sisi ventral ruas abdomen yang keempat, dan bila dalam
keadaan istirahat, terlipat ke depan di bawah abdomen. Serangga jenis ini
mempunyai alat untuk mengunyah dan mata yang majemuk. Anggota dari ordo
Colembolla terbagi atas beberapa famili yaitu: Onychiuridae, Podiridae,
Hypogastruridae, entomobrydae, Isotomidae, Sminthuridae dan Neelidae
(Bavelloni dkk., 2015).

5
2.4 Keanekaragaman Serangga Collembola
Collembola merupakan salah satu organisme yang pada umumnya hidup di
dalam tanah dan dikelompokan sebagai mesofaunayang memiliki ukuran tubuh
antara 0,25 mm dan 8 mm (Suhardjono dkk., 1992). Terdapat sekitar 6.000
spesies dari 500 genus yang telah dideskripsikan (Greenslade dkk., 1991), khusus
dalam kawasan Indonesia yang baru diidentifikasi sekitar 250 spesies dari 124
genus dari 17 famili (Suhardjono dkk., 2012).
Kehadiran Collembola di dalam tanah sangat bergantung pada ada atau
tidaknya energi dan sumber makanan untuk melangsungkan hidupnya, contohnya
seperti bahan organik dan biomassa yang semuanya berhubungan dengan aliran
siklus karbon dalam tanah (Filser, 2002). Faktor-faktor lingkungan juga dapat
mempengaruhi ada atau tidaknya Collembola seperti cuaca, tanah, dan vegetasi
yang hidup di atasnya (Suhardjono dkk., 2012).
Collembola dapat dijumpai pada berbagai macam habitat dari tepi laut atau
pantai sampai pegunungan. Setiap habitat memiliki komposisi keanekaragaman
Collembola yang berbeda. Sebagian besar Collembola hidup pada habitat yang
berkaitan dengan tanah, seperti di dalam tanah, permukaan tanah, serasah yang
membusuk, kotoran binatang, sarang binatang dan lubang. Oleh karena itu
Collembola dianggap sebagai hewan yang memiliki peran penting untuk menjaga
keberadaan tanah agar dapat mendukung ketersediaan bahan organik sebagai
penunjang kesuburan tanah (Bavelloni dkk., 2015).

2.5 Peran Collembola


Collembola berperan dalam meningkatkan kesuburan tanah. Hewan ini
hidup dari sisa-sisa tanaman, spora-spora dan hifa jamur yang sudah
terdekomposisi, atau serpihan kitin serta feses hewan-hewan lainnya (Nakamura
dkk., 2010). Collembola juga hidup dari daun-daun segar meskipun saat itu
diserang mikroorganisme. Aktifitas Collembola membantu jasad renik dalam
merombak bahan-bahan organik, sehingga proses dekomposisi menjadi lebih
cepat dengan cara: 1) Menghancurkan sisa-sisa tumbuhan sehingga berukuran
lebih kecil, 2) Menambahkan protein atau senyawa-senyawa yang merangsang
pertumbuhan mikroba dan 3) Memakan sebagian bakteri yang berakibat

6
merangsang pertumbuhan dan kegiatan metabolik dari populasi mikroba (Amir,
2008).
Collembola umumnya dikenal sebagai organisme yang hidup di tanah dan
memiliki peran penting sebagai perombak bahan organik tanah (lndriyati dan
Wibowo, 2008). Selain mendekomposisi bahan organik, fauna tanah tersebut
berperan dalam mendistribusikan bahan organik di dalam tanah, meningkatkan
kesuburan, dan memperbaiki sifat fisik (lndriyati dan Wibowo, 2008;
Simanungkalit dkk., 2006). Pada penelitian lndriyati dan Wibowo (2008),
kemelimpahan Collembola lebih tinggi dijumpai pada lingkungan sawah organik
daripada lingkungan konvensional. Jenis familia yang dominan yaitu
Entomobryidae. Penelitian tentang kemelimpahan Collembola juga dilakukan oleh
Nurcahya dkk., (2007) yang menyatakan bahwa kemelimpahan Collembola lebih
banyak dijumpai pada revegetasi tambang timah yang lebih lama dibandingkan
dengan vegetasi yang baru. Familia-familia Collembola yang diketemukan pada
seresah pohon akasia pada tambang timah tersebut yaitu Entomobryidae,
Isotomidae, dan Sminthuridae. Penelitian Leory dkk., (2007) yang dimuat pada
European Journal of Soil Biology, menunjukkan bahwa pada proses pembuatan
kompos ditemukan Collembola dari familia Onychiuridae dan Sminthuridae.

2.6 Habitat Collembola


Collembola atau serangga ekor pegas hidup terutama pada bagian
permukaan tanah yang banyak terakumulasi bahan-bahan organik/serasah,
sehingga mempercepat laju pemecahan bahan organik. Sebagian besar Collembola
terdapat dalam tanah, dengan jumlah dan keragaman spesies tertinggi ada di
permukaan tanah, terutama apabila bahan organik melimpah dan kondisi
lingkungan lembab. Spesies yang berukuran besar dan individu dewasa lebih
sering terdapat di dalam serasah, sementara lapisan tanah yang lebih dalam hanya
dihuni spesies kecil dan individu muda (Bavelloni dkk., 2015).
2.6.1 Kelembaban
Kandungan air dalam tanah juga akan mempengaruhi komposisi jenis
dari Collembola dalam tanah. Curah hujan berpengaruh langsung terhadap
kehidupan Collembola karena menimbulkan kelembaban yang bervariasi.

7
Collembola merupakan organisme yang tidak tahan kekeringan.
Kelembaban yang rendah akan merangsang serangga ini untuk bergerak ke
tempat yang memiliki kelembaban optimum, sehingga memungkinkan
terbentuknya kelompok-kelompok. Agregasi ini dapat meningkatkan daya
tahan kelompok dan mempertinggi kesempatan terjadinya fertilisasi, tetapi
juga meningkatkan kompetisi antar individu. Hewan ini tidak mampu
membuat liang pergerakannya (nonburrowed animal).
Menurut Christiansen, (1990) bahwa kelembaban maksimum yang
diperlukan Collembola untuk kelangsungan hidupnya adalah 100%,
sedangkan kelembaban minimum adalah 50%. Disaat kelembaban atauu
kandungan air didalam tanah rendah, maka Collembola akan berpindah ke
lapisan tanah yang paling dalam atau ke tempat yang memiliki kelembaban
yang tinggi.

2.6.2 Suhu
Perbedaan struktur populasi terjadi karena adanya perpindahan
Collembola ke dalam lapisan tanah yang lebih dalam atau lebih luas.
Perpindahan ini disebabkan oleh 1) tingkat kekeringan atau kebasahan tanah
yang berlebihan, 2) suhu lapisan permukaan tanah yang ekstrem rendah atau
tinggi, dan 3) tanggapan Collembola terhadap perubahan kandungan CO2
tanah. Semakin dalam lapisan tanah maka tingkat porositas dan pertukaran
udara tanah semakin berkurang. Dengan demikian jenis-jenis yang hidup di
lapisan tanah yang lebih dalam harus bertoleransi terhadap kadar CO 2 yang
lebih tinggi dan kadar O2 yang lebih rendah dibandingkan jenis-jenis yang
hidup dipermukaan. Suhu optimal yang dibutuhkan oleh Collembola
termasuk rendah dan terletak antara 5–15ºC, tetapi ada juga yang aktif pada
suhu –20ºC atau 280ºC. Ketahanan terhadap tinggi rendahnya suhu
bervariasi, tergantung jenis dan umurnya (Amir, 2008).

2.6.3 Curah Hujan


Curah hujan dapat berpengaruh tidak langsung terhadap ketahanan
hidup Collembola dikarenakan mereka peka terhadap perunahan
kelembaban tanah baik yang terjadi di permukaan tanah maupun didalam

8
tanah itu sendiri. Tingkat curah hujan dan dan kelebaban sangat
mempengaruhi komposisi kelimpahan Collembola di dalam tanah
(Ananthakrisnan, 1978), (Warino, 2017).
Menurut Suhadjono dkk., (2012) mengatakan curah hujan dapat
berpengaruh tidak langsung terhadap sintasan Collembola. tingkat kematian
akan lebih tinggi pada msim kering karena Collembola tidak akan tahan
pada kekeringan. Hal ini dikarenakan Collembola peka terhadap perubahan
kelembaban tanah, baik yang terjadi diatas permukaan tanah maupun
didalam tanah.

2.7 Hutan
Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan dengan lebat oleh
pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di
wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon
dioksida, habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah dan
merupakan salah satu aspek biosfer bumi yang paling penting. Hutan adalah
bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Kita dapat menemukan hutan
baik di daerah tropis maupun daerah beriklim dingin, di dataran rendah maupun di
pegunungan, di pulau kecil maupun di benua besar (Indriyati dan Wibowo,
2011).
Hutan merupakan sumber daya alam yang sangat potensial dalam
mendukung diversitas flora dan fauna. Hutan termasuk sumberdaya alam yang
harus dijaga kelestarianya karena memiliki peran penting untuk kehidupan
manusia dan makhluk hidup di dalamnya, hutan tidak hanya bermanfaat secara
ekonomi, tetapi juga bermanfaat secara ekologi (Undang-undang nomor 41 1999).
Keadaan flora hutan yang beragam dapat memberi pengaruh yang beragam
terhadap ekosistem hutan itu sendiri (Fahmi dkk., 2015).
Seperti telah kita ketahui bersama, bahwa hutan merupakan paru-paru bumi
tempat berbagai satwa hidup, pohon-pohon, hasil tambang dan berbagai
sumberdaya lainnya yang bisa kita dapatkan dari hutan yang tak ternilai harganya
bagi manusia. Hutan juga merupakan sumberdaya alam yang memberikan
manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang dirasakan

9
secara langsung, maupun intangible yang dirasakan secara tidak langsung.
Manfaat langsung seperti penyediaan kayu, satwa, dan hasil tambang. Sedangkan
manfaat tidak langsung seperti manfaat rekreasi, perlindungan dan pengaturan tata
air, pencegahan erosi. Keberadaan hutan, dalam hal ini daya dukung hutan
terhadap segala aspek kehidupan manusia, satwa dan tumbuhan sangat ditentukan
pada tinggi rendahnya kesadaran manusia akan arti penting hutan di dalam
pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Hutan menjadi media hubungan timbal balik
antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan faktor-faktor alam yang terdiri
dari proses ekologi dan merupakan suatu kesatuan siklus yang dapat mendukung
kehidupan (Reksohadiprojo, 2000).

2.8 Ladang Berpindah


Perladangan berpindah merupakan sistem bercocok tanam tradisional yang
biasa dilakukan masyarakat adat. Perladangan berpindah ini sudah ada sejak
10.000 tahun SM. Teknik ladang berpindah dilakukan dengan proses pembukaan
lahan dengan luas tertentu, menebang dan membakar hutan, kemudian ditanami
dengan berbagai tanaman pangan seperti padi, jagung, ataupun singkong. Teknik
ladang berpindah sangat bergangtung pada iklim, karena sangat mempengaruhi
waktu bakar dan tanam ladang. Ketika musim kemarau, masyarakat menebang
pohon kemudian membakar lahan, namun saat akan tiba musim hujan, masyarakat
akang menanam bibit tanaman di ladang. Lahan yang digunakan untuk ladang
berpindah terus digunakan dalam waktu yang sangat lama. lahan yang digunakan
menjadi ladang, dalam waktu 2 hingga 3 tahun akan ditunggalkan, karena lahan
sudah tidak produktif. Ketika lahan pertama yang telah ditinggalkan kembali
subur, lahan dibuka kembali mejadi ladang, dan lahan kedua akan ditinggalkan.
Proses tersebut terjadi terus-menerus, segingga secara tidak langsung, lahan yang
dipakai untuk berladang telang dipetakan. Pemetaan area perladangan bagi
masyarakat tradisional mampu mengurangi resiko pembukaan lahan baru dari
hutan yang masih primer (Rifqi, 2017).
Teknik ladang berpindah telah dilakukan oleh nenek moyang di berbagai
wilayah pedalaman dengan taraf hidup primitif hingga sedang menuju taraf
modern. Perladangan berpindah telah dimulai sejak menusia purba mengenal

10
teknik bercocok tanam, sekitar 10.000 tahun SM. Teknik ladang berpindah
dilakukan oleh masyarakat adat tradisional, dan masih dilakukan di beberapa
daerah pedalaman Indonesia hingga saat ini. Teknik perladangan berpindah
dilakukan dengan membuka lahan hutan yang subur kemudian membakarnya
hingga menjadi abu pada beberpa luas tertentu. Abu sisa pembakaran akan
membantu secara signifikan dalam proses penyuburan tanah dan dapat menaikan
pH tanah, sehingga teknik ini sangat cocok dilakukan di daerah yang memiliki
kandungan tanah asam (Indriyati dan Wibowo, 2011).
.

11
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif

3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini akan dilakukan setelah selama 1 bulan yang dilakukan pada
daerah hutan dan ladang berpindah di dusun Taeno, kecamatan teluk Ambon, kota
Ambon.

Gambar 3.1. Peta lokasi penelitian dusun Taeno. (A) Hutan, (B) Ladang
berpindah (Sumber: Google Maps, 2022)

3.3 Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mikroskop Olympus
SZ51 , Perangkap Pitfall Trap (Tali, Meteran rol, Gelas aqua, Botol sampel,
Piring plastik, sedotan dan Pasak), Kamera Nikon D3100, GPS Garmin 76CSx,
Kertas label, Kantong Plastik, Sekop dan gunting. Adapun bahan yang digunakan
adalah Collembola, Detergen, Air, Gliserol dan Alkohol 70%.

12
3.4 Cara Kerja
3.4.1 Penentuan Daerah Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada dua lokasi yaitu pada hutan yang
tertutup (ternaung) dan ladang berpindah yang terbuka (tidak ternaung) di
dusun Taeno, Kecamatan teluk Ambon, kota Ambon. Pemilihan kedua
lokasi ini sebagai representasi dari ekosistem yang alami dan yang sudah
ada aktivitas manusia.

3.4.2 Penempatan Plot Pengamatan


Penempatan plot yang dilakukan pada lokasi penelitian antara lain
Hutan dan Ladang Berpindah. Pada lokasi ladang berpindah yang berukuran
30×20, dibuat 2 transek dengan ukuran 13 m yang terdiri atas 5 plot pada
masing-masing transek sehingga total ada 10 plot, dengan jarak antara plot
adalah 2 m dan jarak antar transek adalah 10 m. untuk setiap plot dibuat
dengan ukuran 1×1 m dipasang 1 perangkap sumuran (Pitfall Trap).

20 m

2m

20 m 10 m
13 m

5m
3,5 m
Gambar 3.2. Peta Penempatan Plot Pengamatan pada Dua Lokasi

3.4.3 Pemasangan Perangkap


Perangkap yang digunakan adalah perangkap sumuran (Pitfall Trap)
yang biasanya digunakan untuk serangga yang aktif di permukaan tanah.

13
Metode Pitfall Trap dilakukan dengan cara pembuatan lubang dengan
menggali tanah seukuran gelas aqua. Kemudian gelas aqua diletakan
kedalam lubang sejajar dengan permukaan. Selanjutnya gelas diisi dengan
air deterjen (1/3 dari tingginya gelas) agar serangga yang masuk tidak bisa
keluar dan dibiarkan selama 24 jam. Penutup alat dipasang sekitar 2-3 cm
diatas permukaan perangkap sumuran. (Erawati dan Kahono. 2010).
Dalam proses penelitian akan dilakukan pengukuran komponen
abiotik diantaranya: suhu, kelembaban, pH, dan intensitas cahaya saat
dilakukan pengamatan tersebut.

Naungan

Permukaan tanah Gelas

Larutan Atraktan 1/3

Gambar 3.3. Ilustrasi pemasangan perangkap sumuran (Pitfall Trap)

3.4.4 Identifikasi Sampel


Identifikasi sampel dilaksanakan pada Laboratorium Zoologi, Jurusan
Biologi, Universitas Pattimura dengan menggunakan mikroskop streo
Olympus SZ51 dan buku kunci determinasi serangga (Sulthoni dkk, 1991).

3.5 Analisis Data


3.5.1 Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner
Perhitungan keanekaragaman dan jumlah populasai ordo Collembola
dapat dilakukan dengan berbagai rumus, tapi pada penelitian ini
menggunakan rumus indeks keragaman Shannon-Wienner sebagai berikut:

14
Keterangan:
Pi = Perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan
jenis (ni/N)
ni = Jumlah individu jenis ke-i
N = Jumlah total individu semua jenis
H′ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner
Ln = Logaritme nature

Jika nilai H' <1 maka keragaman spesies rendah, jika nilai H' berkisar
antara 1–3 maka keragaman spesies sedang dan jika nilai H' >3 maka
keragaman spesies tinggi.

3.5.2 Indeks Dominansi (Simpson)


Untuk melihat adanya dominansi oleh jenis serangga pada populasi
serangga dapat digunakan indeks Dominansi Sympson yang dihitung
menggunakan rumus:

D=

Keterangan:
D = Indeks dominansi Simpson
Pi = Proporsi individu pada spesies ke-i

Jika nilai indeks dominansi (Sinpson) mendekati 1, maka spesies


tertentu yang mendominasi komunitas tersebut. Jika nilai indeks dominansi
mendekati 0, maka tidak ada spesies yang mendominasi komunitas tersebut.

3.5.3 Indeks Keseragaman Evennes


Rumus:

E=

Keterangan:
15
E = Indeks keseragaman
H′ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner
S = Jumlah spesies

E<0,5 = Keseragaman populasi kecil, komunitas tertekan

0,50> E<0,75 = Keseragaman populasi rendah, komunitas labil

0,75> E>1 = Keseragaman populasi tinggi, komunitas stabil

16
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


4.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada dua tipe habitat yaitu hutan (ternaung) dan
ladang berpindah (tidak ternaung). Pada habitat hutan, adanya hambatan
sinar matahari dikarenakan terdapat vegetasi pohon dan perdu yang
berhimpitan dan juga semak yang menghalangi sehingga cahaya tidak
langsung mengenai permukaan tanah. Sedangkan pada habitat ladang
berpindah merupakan area tidak ternaung karena hanya beberapa perdu
sehingga sinar matahari secara langsung mengenai permukaan tanah karena
tidak ada pohon atau perdu yang menghalangi (Gambar 2.1).

Hutan Ladang berpindah

Gambar 4.1. Lokasi penelitian: a) Hutan, b) Ladang berpindah


(Sumber: Dokumen Pribadi, 2022)

4.1.2 Komposisi Jenis Serangga


Serangga ordo Collembola yang ditemukan di Dusun Taeno
Kecamatan Teluk Ambon terdiri dari 2 famii, 3 genus dan 3 spesies. 2 famili
yang ditemukan yaitu famili Entomobbrydae dengan genus yang ditemukan
17
adalah Entomobbrya dengan spesies yang ditemukan adalah Entomobbrya
nivalis, famili Paronellidae dengan 2 genus yang ditemukan yaitu
Bromacanthus dengan spesiesnya Bromacanthus sp. dan genus Callyntura
dengan spesiesnya Callyntura sp. (Tabel 4.1).

Tabel 4.1. Collembola yang Ditemukan pada Dusun Taeno


Jumlah
Famili Genus Spesies Total
H LB
Entamobrydae Entomobrya Entomobrya nivalis 211 160 271
Paronellidae Bromacanthus Bromacanthus sp. 29 13 42
Callyntura Callyntura sp. 11 26 37
Jumlah Individu 251 199 350
Ket: Hutan ditandai dengan “H”, dan Ladang berpindah ditandai dengan “LB”

Berdasarkan Tabel 4.1 menunjukan jumlah individu terbanyak yaitu


pada daerah hutan sebanyak 251 individu, sedangkan yang paling sedikit
adalah pada area ladang berpindah sebanyak 199 individu. Jenis serangga
Collembola yang ditemukan pada area hutan yaitu Entomobbrya nivalis
dengan jumlah terbanyak yaitu 211 individu, Bromacanthus sp. 29 individu
dan Callyntura sp. dengan jumlah paling sedkit yaitu 11 individu.
Sedangkan pada area ladang berpindah jumlah individu terbanyak adalah
Entomobbrya nivalis dengan jumlah 160 individu, Callyntura sp. 26
individu dan yang paling sedikit yaitu Bromacanthus sp. dengan jumlah 13
individu.

Entomobbrya nivalis Bromacanthus sp. Callyntura sp.

Gambar 4.2. Collembola yang berhasil ditemukan pada kedua lokasi

18
4.1.3 Indeks Ekologi
Indeks ekologi di Dusun Taeno pada daerah hutan memiliki nilai
Indeks keanekaragaman 0.532 dan pada area ladang berpindah dengan nilai
indeks keanekaragaman 0.619. Nilai indeks dominansi pada area hutan
adalah 0.7219 dan di area ladang berpindah dengan nilai indeks dominansi
0.667. Sedangkan nilai indeks keseragaman pada area hutan adalah 0.484
dan pada area ladang berpindah dengan nilai indeks keseragaman adalah
0.563 (Gambar 2.3).

Gambar 4.3. Diagram Indeks Keanekaragaman, Indeks Dominasi dan


Keseragaman Collembola pada area hutan dan ladang berpindah.

4.1.4 Jenis Tumbuhan Yang Ditemukan Pada Lokasi Penelitian


Pada Dusun Taeno ditemukan beberapa tumbuhan berbeda dimana
pada area hutan lebih di dominasi oleh pepohonan besar seperti pohon
durian, sukun, perdu (tumbuhan berkayu dan bercabang dengan ketinggian
dibawah 6 meter) seperti bambu dan semak-semak. Adapula tumbuhan yang
tumbuh disekitar area ladang berpindah yaitu sayur-sayuran (terong, kacang
panjang, buncis dan timun), singkong, nenas, keladi dan tanaman pisang
(Tabel 4.2). Pada area hutan memilki konopi yang lebih rapat dibandingkan
dengan area ladang berpindah yang terbuka sehingga penetrasi cahaya
langsung menembus ke permukaan tanah.

19
Tabel 4.2. Jenis Tumbuhan yang Ditemukan pada Lokasi Penelitian

No Nama Lokal Lokasi Penelitian


Hutan Ladang Berpindah

1 Tanaman Paku-Pakuan  
Terong dan Timun 
2 -

4 Kacang panjang - 
6 Tanaman Pisang - 
7 Singkong dan Keladi - 
9 Nenas - 
10 Pohon Bambu dan Pohon sukun  -
11 Pohon Durian  -
12 Pohon Papaya - 
13 Pohon Beringin  -

Ket:
 = Ada
– = Tidak ada

4.1.5 Hasil Pengukuran Parameter Lingkungan


Parameter lingkungan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu suhu
udara, pH tanah, kelembaban tanah dan intensitas cahaya yang secara umum
dapat mempengaruhi keanekaragaman serangga tanah khususnya
Collembola. Pengukuran parameter lingkungan pada kedua lokasi dilakukan
sebanyak dua kali pengulangan yaitu pada awal penanaman perangkap
Pitffal Trap dan sebelum pengambilan sampel. Parameter awal pada lokasi
hutan diketahui suhu udara 30,6°C, pH tanah 6,4, kelembaban tanah 18%,
dan intensitas cahaya 563-1389 Lux. Sedangan parameter akhir diketahui
suhu udara 28,9°C, pH tanah 6,2, kelembaban tanah 100% dan intensitas
20
cahaya 429–429-1500 Lux. Pada area ladang berpindah dengan parameter
awal 35,0°C, pH tanah 6,4, kelembaban tanah 18% dan intensitas cahaya
2145-35360 Lux. Sedangkan parameter akhir diktahui suhu udara 32,0°C,
pH tanah 5,4, kelembaban tanah 100% dan intensitas cahaya 80980-112900
Lux (Tabel 4.3).

Tabel 4.3. Hasil Parameter Lingkungan pada Kedua Area

H LB
Parameter
Hasil Pengukuran Hasil Pengukuran
Awal Akhir Awal Akhir
Suhu Udara (°C) 30,6°C 28,9°C 35,0°C 32,0°C

pH Tanah 6,4 6,2 6,4 5,4

Kelembaban Tanah (%) 18% 100% 18% 100%


Intensitas Cahaya (Lux) 563-1389 429-1500 2145-35360 80980-112900

4.2 Pembahasan
Ekosistem hutan adalah salah satu wilayah yang produktivitasnya tinggi
karena adanya dekomposisi serasah, sehingga memberikan kontribusi besar bagi
detritus organik yang sangat penting sebagai sumber energi terhadap berbagai
macam fauna yang hidup di kawasan sekitarnya, salah satu diantaranya yakni
Collembola (Iksan dkk., 2012). Hasil penelitian yang dilakukan pada kedua lokasi
menunjukan tingkat populasi ordo Collembola pada area hutan lebih banyak yaitu
211 individu dibandingkan area ladang berpindah yaitu 199 individu. Pada habitat
hutan, adanya hambatan sinar matahari dikarenakan terdapat vegetasi pohon
dengan kanopi yang berhimpitan dan juga semak yang menghalangi sehingga
cahaya tidak langsung mengenai permukaan tanah. Sedangkan pada habitat ladang
berpindah merupakan area tidak ternaung karena hanya beberapa perdu sehingga
sehingga sinar matahari secara langsung mengenai permukaan tanah karena tidak
ada pohon atau perdu yang menghalangi.

4.2.1 Indeks Keanekaragaman (H′)

21
Nilai Shannon’s diversity index atau indeks keanekaragaman
digunakan untuk membandingkan komposisi jenis dari ekosistem atau
komunitas yang berbeda (Indahwati dkk, 2012). Dari hasil gambar 4.3
menunjukan nilai H′ pada kedua area penelitian rendah. Area hutan
(ternaung) menunjukan angka 0,532 sedangkan ladang berpindah (tidak
ternaung) 0,619. Kedua area memiliki kesamaan berdasarkan rumus indeks
keanekaragaman Shannon-Wienner adalah jika nilai H′<1 maka
keanekaragaman spesies rendah, jika nilai H′ 1-3 maka keanekaragaman
spesies sedang, sedangkan jika nilai H′>3 maka keanekaragaman tinggi
sehingga dapat dikatakan indeks keanekaragaman rendah pada kedua lokasi.
Berdasarkan hasil analisa nilai keanekaragaman Collembola di hutan,
sedikit lebih rendah dari pada ladang. Hal ini dapat diakibatkan karena
adanya jumlah individu dari spesies tertentu yang lebih banyak dari spesies
yang lain. Menurut Selvany dkk (2018) kehilangan bahan organik dalam
tanah, dapat mengakibatkan sumber makanan sedikit dan kondisi
mikrohabitat menjadi tidak sesuai bagi fauna tanah termasuk Collembola.
Karena ada monopoli dari spesies tertentu yang dominan di habitat hutan
mengakibatkan spesies yang lain makin sulit berkompetisi untuk
mendapatkan makanan sehingga nilai keanekaragaman sedikit lebih rendah
dari ladang berpindah.

4.2.2. Indeks Dominansi (D)


Dominansi genus Collembola pada kedua area menggunakan indeks
simpson. Indeks dominansi berkisar antara 0–1, dimana semakin kecil nilai
indeks dominasi maka menujukan bahwa tidak ada spesies yang
mendominasi, dan sebaliknya jika semakin besar nilai dominansi maka
menunjukan ada spesies tertentu (Odun, 1993). Hasil perhitungan dapat
dilihat pada gambar 4.3 yang menunjukan hasil dominasi pada area hutan
adalah 0,721 dan pada area ladang berpindah menunjukan nilai 0,667
sehingga dapat dikatakan bahwa ada spesies yang mendominasi daerah
tertentu. Hasil penelitian terhadap serangga tanah dengan nilai dominansi
mendekati 1 menunjukan ada dominansi dari spesies tertentu (Masihin,
2021). Hal ini dikarenakan adanya jumlah dari spesies tertentu yaitu
22
Entomobrya nivalis yang lebih banyak ditemukan pada lokasi penelitian.
Sejalan dengan pernyataan Prihantoro (2013) yang menyebutkan dominansi
merupakan nilai yang menggambarkan penguasaan jenis tertentu terhadap
jenis-jenis lain dalam komunitas tersebut (Raghuraman dan Singh, 2015).
Pada kedua lokasi penelitian menunjukan nilai yang mendekati 1 baik
pada hutan maupun ladang berpindah. Walaupun memiliki sedikit
perbedaan tetapi hasil menunjukan bahwa terjadi penguasaan dari spesies
Collembola tertentu pada kedua habitat. Spesies yang ditemukan dominan
yaitu Entomobrya nivalis. Spesies ini memiliki Panjang sekitar 2 mm, tetapi
terkadang lebih panjang. Kelompok ini ditandai dengan segmen perut
keempat yang membesar. Menurut penelitian Rahmadi dkk., (2004) semakin
rendah keragaman famili maka jumlah individu akan semakin tinggi dan
tingginya dominansi salah satu famili menyebabkan famili lainnya menjadi
rendah karena terjadinya kompetisi yang tinggi.
Famili Entomobrydae merupakan famili yang terbesar dari odro
Collembola. Berwarna kecoklat-coklatan atau keputih-putihan dan beberapa
jenis ada yang berwarna belang. Memiliki antena panjang, memiliki
abdomen 6 ruas dan ruas abdomen keempat sangat besar. Protoraks
menyusut, biasanya tidak terlihat dari atas dan tidak meiliki rambut-rambut
duri atau seta dibagian dorsal. Flukula berkembang dengan baik (Ansari
dkk., 2016). Contohnya Entomobrya nivais. Menurut Greenslade, (1991)
Entomobryidae merupakan salah satu famili yang mampu beradaptasi pada
berbagai habitat dan dapat ditemukan baik di lahan hutan maupun lahan
budidaya tanaman

4.2.3. Indeks Keseragaman


Indeks keseragaman merupakan suatu indeks yang bisa digunakan
untuk membandingkan area penelitian yang satu dengan yang lain. Lokasi
penelitian terbagi menjadi dua yaitu ladang berpindah dan hutan.
Perladangan berpindah merupakan sebuah aktivitas tahunan dan setiap
kepala keluarga perladangan dapat membuka lahan hutan seluas 0.1-1.0
hektar (Matinahoru, 2018). Berdasarkan penyebaran serangga ordo
Collembola pada area hutan dan ladang berpindah, dapat diketahui nilai
23
indeks keseragaman adalah 0,484 pada area hutan dan ladang berpindah
dengan nilai indeks keseragaman adalah 0,563 (Gambar 4.3). Menurut
(Maguran dan Winfield, 1982) Kisaran indeks keseragaman (Evennes) yaitu
0–1 yaitu semakin mendekati 1 menunjukan keadaan semua spesies cukup
melimpah, keseragaman maksimum menunjukan jumlah speseis dalam
sama rata, sedangkan keseragaman minimum ketika terdapat jenis dengan
jumlah ekstrim. Namun, berdasarkan rumus yang digunnakan pada
penelitian ini adalah E<0,5 maka keseregaman populasi kecil, komunitas
tetekan, 0,50>E<0,75 maka keseragaman populasi rendah, komunitas labil
dan jika 0,75>E>1 maka keseragaman populasi tinggi, komunitas stabil.
Yang berarti bahwa hasil analisa indeks keseragaman pada area hutan
berada pada kategori keseragaman populasinya tinggi dengan komunitas
tertekan, sedangkan pada area ladang berpindah masuk dalam criteria
dengan keseragaman populasi rendah komunitas labil yang menunjukan
kedua lokasi berada pada range yang sedang. Walaupun nilai keseragaman
pada kedua lokasi sedang, namun yang lebih mendekati angka satu adalah
pada ladang berpindah. Hal ini dikarenakan perbedaan jumlah individu yang
mendominasi pada salah satu area yaitu hutan dominansi dari Entomobrydae
cukup tinggi terlihat dari jumlah individu yang berbeda cukup ekstim
dengan spesies yang lain. Menurut Abdillah dkk., (2019) menyatakan nilai
keseragaman sedang mengindikasikan bahwa pada ekosistem masih mampu
menyediakan makanan bagi serangga tanah yang cukup merata. Ini
dimungkinkan karena di pemukiman masih terdapat vegetasi tetap berumur
panjang dan menghasilkan banyak serasah. Vegetasi di pemukiman, yaitu
sengon, pisang, kelapa, nangka, dan tanaman holtikultura. Keberadaan
vegetasi ini mendukung distribusi Collembola sehingga jenis yang
ditemukan lebih beragam. Sementara itu, vegetasi pada pertanian adalah
tanaman holtikultura, seperti bawang merah, ubi jalar, sawi, terong, tomat,
dan jagung. Tanaman ini relatif tidak menghasilkan serasah karena langsung
dipanen dan dibersihkan petani. Penggunaan pestisida sintesis dan
pengolahan tanah juga menghambat distribusi Collembola, sehingga jenis
yang ditemukan sedikit (Husamah dkk., 2016). Sesuai dengan pendapat dari

24
Rahmadi dkk., (2004) bahwa faktor biotik seperti tumbuhan berpengaruh
terhadap keberadaan Collembola.
Antara genus yang ditemukan, jumlah family Entomobrydae yang
paling banyak dikarenakan Collembola dari famili Entomobrydae umumnya
ditemukan pada lapisan teratas serasah daun. Jenis Collembola yang hidup
pada serasah atau dekat dengan permukaan tanah umumnya memiliki tubuh
dengan warna yang lebih mencolok, indera yang berkembang dengan baik,
serta memiliki antena dan furcula (Wallwork, 1976) dalam (Widyawati,
2008). Menurut (Bellini dan Zeppelini, 2008) yang menyatakan bahwa
Entomobryidae merupakan suku dominan dan terbesar dari Collembola
dengan lebih dari 1625 jenis telah teridentifikasi. Entomobryidae mampu
berdaptasi dan bertahan hidup, ditemukan pada lapisan serasah atau dekat
permukaan (Elisa dkk., 2013). Jenis makanan Entomobryidae bervariasi
(Indriyati dan Wibowo, 2008).
Bromacanthus sp merupakan Collembola yang termasuk kedalam
famili Paronellidae tergolong kedalam ordo Entomobryomorpha. Memliki
warna kecokelatan dan bercak-bercak biru. Memiliki tubuh bersisik dan
oselus berjumlah 8+8. Memiliki antenna yang tidak terlalu panjang. Tabung
ventral bersisik. Mukro pendek lebar dengan 2 gigi dan sering menyatu
dengan dens.
Genus Callyntura merupakan salah satu genus dari famili
Paronellidae. Termasuk Collembola berukuran besar dengan panjang tubuh
sekitar 3,5 mm. warna tubuh kuning kecokelatan. Tubuh dilengkapi dengan
banyak mikroseta dan sisik yang kasar. Memiliki mata 8+8. Oselus tersusun
dalam dua deret. Antrena belang-belang hitam. Antena IV tidak amulet,
antean I-III tanpa seta jambul lebat. Tabung ventral tanpa sisik. Furkula
panjang dan mukro terpisah dari dens.

4.2.4. Hubungan Parameter Lingkungan Terhadap Collembola


Kondisi lingkugan juga sangat mempengaruhi collembola seperti
suhu, kelembaban tanah, pH dan intensitas cahaya. Data suhu dan
kelembaban yang didapat menggunakan alat ukur soil tester yaitu 28°C–
35°C menunjukan suhu normal untuk Collembola bertahan hidup. Suhu
25
lokasi areal penelitian paling tinggi adalah 30.37°C dan yang paling rendah
adalah 27.95°C dalam kondisi tersebut Collembola dan serangga masih
dapat hidup dan berkembang (Putri dkk., 2019). Berdasarkkan hasil pada
tabel 4.3 menunjukan kelembaban pada kedua lokasi berbeda pada kondisi
awal dan setelah pengambilan sampel dikarenakan cuaca atau curah hujan
tidak tetap sehingga mempengaruhi kelembaban tanah pada kedua lokasi.
Kelembaban bisa menjadi sangat basah yaitu 100% dan kering 18% di akhir
pengambilan sampel dikarenakan pada saat penelitian, ada hujan yang deras
kemudian selang beberapa jam hujan reda disusul cahaya matahari yang
panas.
Menurut Erwinda dkk., (2016) menyebutkkan curah hujan yang
ekstrim dapat mempengaruhi habitat Collembola. Beberapa jenis
Collembola peka terhadap kelembaban tanah (basah maupun kering)
sehingga mempengaruhi proses migrasi, komposisi, dan populasi masing-
masing jenis (Detsis, 2000; Imler 2004). Selain curah hujan, perubahan pH
juga relatif mempengaruhi jenis Collembola tertentu. Berdasarkan penelitian
ini terdapat rentang pH yang sesuai dengan kondisi hidup beberapa jenis
Collembola, yaitu pada nilai pH tanah 4,6–4,8. Greenslade dan Vaughan
(2003) menyatakan bahwa pH tanah merupakan salah satu faktor abiotik
yang mempengaruhi kepadatan dan keanekaragaman Collembola. Coleman
dkk., (2004) mengemukakan bahwa Collembola merupakan mesofauna
yang memiliki populasi tinggi pada pH tanah yang agak masam. Adanya
hubungan jenis Collembola tertentu dengan curah hujan dan nilai pH tanah
menunjukkan bahwa kehidupan beberapa jenis tersebut dipengaruhi oleh
perubahan lingkungan.
Intensitas cahaya juga sangat mempengaruhi penelitian ini. Intensitas
cahaya merupakan salah satu faktor yang menunjukan perubahan nilai yang
paling signifikan pada Collembola. Hasil pengukuran menggunakan
Luxmeter mendapatkan hasil pada area hutan yaitu pada awal penaman
perangkap sumuran 563-1389 Lux dan setelah pengambilan sampel adalah
429-1500 Lux. Sedangkan hasil pengukuran yang didapat pada area ladang
berpindah adalah 2145-35360 Lux diawal penanaman perangakap Pitfall

26
Trap dan 80980-112900 Lux setelah pengambilan sampel. Hal ini
dikarenakan pada area hutan ditutupi oleh kanopi yang rapat dan pepohonan
sehingga menghambat cahaya matahari langsung ke permukaan tanah.
Sedangkan pada ladang berpindah tidak ditutupi oleh kanopi sehingga
cahaya matahari secara langsung tembus ke permukaan tanah. Namun ada
perbedaan angka Lux meter pada ladang berpindah yang terlihat sangat
tinggi atau terang yang diakibatkan oleh cuaca pada saat pengkuran setelah
hujan kemudian disusul oleh panas yang terik.

4.4.5 Hubungan Tumbuhan Terhadap Collembola


Perbedaan jumlah individu pada kedua area diduga karena adanya
faktor ketersediaan makanan atau serasah yang dihasilkan. Seperti yang
yang terlihat pada Tabel 4.2 bahwa pada area hutan terdapat lebih banyak
pepohonan besar sehingga naungannya lebih rapat. Sedangkan pada area
ladang berpindah, hanya terdapat sayur-sayuran kecil sehingga serasah yang
dihasilan juga sedikit. Adapun faktor lain yang mempengaruhi adalah dari
sisi kemiringan pada area ladang berpindah yang menyebabkan jumlah
makanan dalam hal ini serasah yang dihasilkan berbeda pada saat musim
hujan. Selain itu, faktor manusia juga sangat mempengaruhi kehadiran
Collembola. Pada area ladang berpindah sering dilakukan pembersihan
lahan yang menyebabkan jumlah serasah berkurang dan pada area hutan
kemungkinan tidak dilakukan pembersihan namun pasti ada aktivitas lain
yang dilakukan selain pembersihan hutan.
Letak kedua lokasi bersebelahan dengan jalanan umum sehingga
memungkinkan rutinitas manusia sangat aktif dan memperhambat
keberlangsungan hidup serangga Collembola. Hal ini didukung oleh
kestabilan ekosistem dapat terganggu melalui aktivitas pembukaan dan alih
fungsi lahan, yang pada akhirnya berdampak pada perubahan struktur
organisme tanah termasuk Collembola. Sebagai komponen ekosistem,
Collembola mempunyai peran yang beranekaragam antara lain pengendali
penyakit tanaman akibat jamur, perombak bahan organik, penyeimbang
ekosistem, indikator hayati tingkat kesuburan atau keadaan tanah dan
pengurai bahan beracun (Suhardjono dkk., 2012). Menurut (Suhardjono,
27
2006) kehadiran colembolla sangat ditentukan oleh adanya vegetasi hutan
yang memiliki banyak serasah di daerah gunung. Kelimpahan dan
distribusinya dipengaruhi oleh faktor lingkungan setempat, ketersediaan
makanan, pemangsa dan kompetisi, serta tekanan dan perubahan lingkungan
juga dapat mempengaruhi jumlah jenisnya. Collembola menunjukkan
kelimpahan dan keanekaragaman yang bervariasi berdasarkan tipe
ekosistem (Rahmadi dkk., 2003, Rahmadi dkk., 2004; Fatimah dkk., 2012).

28
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang didapat dari penelaitian maka dapat disimpulkan:
5.1.1. Ditemukan 3 spesies Collembola dari 2 famili dengan indeks
keanekaragaman pada area hutan adalah 0,532 (kategori rendah)
sedangkan pada ladang berpindah adalah 0,619 (kategori rendah).
5.1.2. Indeks dominansi pada area hutan adalah 0,721 dan area ladang
berpindah adalah 0,667 artinya ada spesies lain yang mendominasi
kedua area tersebut.
5.1.3. Indeks keseragaman pada area hutan adalah 0,484 dan area ladang
berpindah 0,563.

5.2 Saran
5.2.1. Hasil penelitian ini disarankan dapat digunakan sebagai referensi, baik
dalam proses belajar maupun penelitian lainnya yang berhubungan
dengan keanekaragaman serangga tanah ordo Collembola.
5.2.2. Disarankan adanya peneltian lanjutan di Dusun Taeno Kecamatan
Teluk Ambon terkait serangga tanah lainnya.

29
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, M. M., Handayani, W., dan Prakarsa, T. B. P. (2019).


Keanekaragaman Famili Arthropoda Tanah di Kawasan Hutan
Pendidikan Wanagama Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa
Yogyakarta. Jurnal Biosilampari: Jurnal Biologi, 1(2): 59-64.

Amir, A. M. (2008). Peranan Serangga Ekor Pegas (Collembola) Dalam


Rangka Meningkatkan Kesuburan Tanah. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perkebunan. Jurnal Warta, 14(1):1-10.

Ananthakrishnan, T. N., and TN, A. (1978). Microarthropods and Soil


Ecosystems.

Ansari, A., Akhyar, A. I., Nurmi, N., dan Arhas, F. R. (2018). Jenis-Jenis
Collembola di Kawasan Rinon Pulo Aceh. Prosiding Seminar
Nasional Biotik, 4(1).

Bavelloni, A., Piazzi, M., Raffini, M., Faenza, I., and Blalock, W. L. (2015).
Prohibitin 2: At a communications crossroads. Journal IUBMB Life,
67(4):239–254.

Bellini, B.C. and Zeppelini, D. (2008). A new Species of Seira (Collembola:


Entomobryidae) from Northeastern Brazil. Journal Revista Brasileira
de Zoologia, 25(4):724-727.

Borror, D. J., Triplehorn, C. A., dan Johnson, N. F. (1992). Pengenalan


Pelajaran Serangga. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.
943.

Christiansen, K. (1990). Insecta: Collembola in Soil Biologi Guide. DLDindal


Press. New York: 965-995.

Coleman, DC., Crossley Jr DA, and Hendrix PF. (2004). Fundamentals of Soil
Ecology. London: Academic Pr.

30
Detsis, V. (2000). Vertical Distribution of Collembola Indecidous Forest Under
Mediterranean Climatic Conditions. Belgian Journal of Zoologi.
130:55–59.

Dindal, D. L. (1999). Soil Biology John Wiley and Sons, Inc, 97-136p.

Elisa, F., Jasmi dan Abizar. (2013). Komposisi Serangga Tanah pada Kebun
Karet di Nagari Padang XI Punggasan Kecamatan Linggo Saribaganti
Kabupaten Pesisir Selatan. Laporan Penelitian. Padang: STKIP PGRI.

Erwinda., Rahayu. W., Gunawan. D., dan Yayuk, R. S. (2016).


Keanekaragaman dan Fluktuasi Kelimpahan Collembola di Sekitar
Tanaman Kelapa Sawit di Perkebunan Cikasungka, Kabupaten Bogor.
Jurnal Entomologi Indonesia. 13(2): 99-106.

Fahmi, A. N., Pantiwati, Y., dan Rofieq, A. (2015). Keanekaragaman Flora


pada Ekosistem Hutan Rakyat di Desa Prancak Kabupaten Sumenep.
In Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Malang. Malang.

Fatimah, F., Cholik, E., dan Suhardjono, Y. R. (2012). Collembola Permukaan


Tanah Kebun Karet Lampung. Zoo Indonesia. 21(2).

Folser, J. (2002). The Role of Collembola in Carbon and Nitrogen Cycling in


Soil: Proceedings of the Xth international Colloquium on Apterygota,
České Budějovice 2000: Apterygota at the Beginning of the Third
Millennium. Pedobiologia. 46(3-4):234-245.

Greenslade, P., dan Vaughan G.,T. (2003). A comparison of Collembola


Species for Toxicity Testing of Australian Soils. Journal
Pedobiologia. 47(2):171–179.

Greenslade PJ. (1991). Collembola Dalam Naumann I.D (Ed). The Insect of
Australia. Melbourne University Press. Carlton : 252-264.

Greenslade, P., and Deharveng, L. 1991. Phradmon a New Genus of


Paleonurini (Collembola: Neanuridae) from Australia With a Key to

31
The Genera from Southern Regions and Notes on Pronura.
Invertebrate Systematics. 5(4):837-854.

Gusliana, H. B., Ikhsan, I., dan Ferawati, F. (2020). The Status of Indigenous
Forest in Riau Province. In Riau Annual Meeting on Law and Social
Sciences (RAMLAS 2019). Atlantis Press : 52-56.

Husamah, Rohman, F., dan Sutomo, H. (2016). Struktur Komunitas


Collembola pada Tiga Tipe Habitat Sepanjang Daerah Aliran Sungai
Brantas Hulu Kota Batu. Bioedukasi Jurnal Pendidikan Biologi.
9(1):45-50.

Iksan, M., Utina., dan Katili, A. S. (2019). Struktur Komunitas Collembola


Tanah di Kawasan Hutan Cagar Alam Tangale Kabupaten Gorontalo.
Jambura Edu Biosfer Jurnal. 1(1):6-14.

Indahwati, R., Hendarto, B. dan Izzati, M. (2012). Keanekaragaman


Arthropoda tanah di lahan apel Desa Tulungrejo Kecamatan Bumiaji
Kota Batu. Makalah Seminar Nasional Pengelolaan SDA dan
Lingkungan. Pp.1-4.

Indriyati, I., dan Wibowo, L. (2011). Keragaman dan Kelimpahan Collembola


serta Arthropoda Tanah di Lahan Sawah Organik dan Konvensional
Pada Masa Bera. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika.
8(2):110-116.

Irawati, Z., Natalia, L., Nurcahya, C. M., dan Anas, F. (2007). The role of
Medium Radiation Dose on Microbiological Safety and Shelf-Life of
Some Traditional Soups. Journal Radiation Physics and Chemistry,
76(11-12): 1847-1854.

Kartikasari, H., Heddy, Y. S., dan Wicaksono, K. P. (2015). Analisis


Biodiversitas Serangga di Hutan Kota Malabar Sebagai Urban
Ecosystem Services Kota Malang pada Musim Pancaroba. Jurnal
Produksi Tanaman. 3(8): 623-631.

32
Latumahina, F. (2020). Penyebaran Semut dalam Kawasan Hutan di Pulau
Saparua, Provinsi Maluku. Jurnal Ilmu Kehutanan. 14(2): 154-166.

Leroy, B. L., Bommele, L., Reheul, D., Moens, M., and De Neve, S. (2007).
The application of vegetable, fruit and garden waste (VFG) compost
in addition to cattle slurry in a silage maize monoculture: Effects on
soil fauna and yield. European Journal of Soil Biology. 43(2): 91-100.

Lolita, R. (2017). Tingkat Keragaman Collembola Sebagai Bioindikator Di


Ekosisten Referensi Dan Zona Rehabilitasi Taman Nasional Meru
Betiri Dan Pemanfaatannya Sebagai Buku Panduan Lapang. Skripsi.
Program Studi Pendidikan Biologi. Jurusan pendidikan Mipa. Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Jember. Jawa Timur.

Maguran, A. E. (1989). Acquired Recognition of Predator Odour in the


European Minnow (Phoxinus Phoxinus). Book Ethology Press. 82(3):
216-223.

Maguran, A. E., and Winfield, I. J. (1982). Fish in Larger Shoals Find Food
Faster. Behavioral Ecology and Sociobiology. Book Ethology Press.
10(2): 149-151.

Masihin, A. M. (2021). Jenis-Jenis Serangga Tanah dan Indeks Ekologinya


pada Microhabitat dikawasan Kampus Universitas Pattimura Poka
Ambon. Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Universitas Pattimura. Ambon.

Matinahoru, J. M. (2018). Studi Perladangan Berpindah dari Suku Wemale di


Kecamatan Inamosol Kabupaten Seram Bagian Barat. Jurnal
Agroloria. 2(2): 86-94.

Nakamura, A., Osonoi, T., and Terauchi, Y. (2010). Relationship between


urinary sodium excretion and pioglitazone-induced edema. Journal of
Diabetes Investigation. 1(5): 208–211.

Odum, E.P. (1993). Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan Tjahojono Samingan,


3rd ed. Gajah Mada Press. Yogyakarta.

33
Prihantoro D. E. (2013). Komposisi Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Bawah
Pasca Erupsi Merapi di Petak 58 RPH Kaliurang, Pakem, Sleman,
Yogyakarta. Tugas Akhir. Universitas Gadja Mada.

Putri, K., Santi, R., dan Aini, S. N. (2019). Keanekaragaman Collembola dan
Serangga Permukaan Tanah di Berbagai Umur Perkebunan Kelapa
Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.). Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan.
21(1): 36–41.

Raghuraman, M. S., and Singh, J. (2015). Collembola (Insecta: Collembola)


community from Varanasi and nearby regions of Uttar Pradesh, India.
Journal of Experimental Zoology of India. 18(2): 571-577.

Rahmadi, C., Suhardjono, YR., dan Andayani I. (2004). Collembola Lantai


Hutan di Kawasan Hulu Sungai Tabalong Kalimantan Selatan. Jurnal
Biota. 9(3): 179-185.

Rahmawaty, S., dan Pertanian, M. F. (2004). Fungsi Hutan dan Peranannya


Bagi Masyarakat. Program Ilmu Kehutanan. Buku. Universitas
Sumatera Utara.

Reksohadiprodjo, S., Brodjonegoro. 2000. Ekonomi Lingkungan. BPFE


Yogyakarta. Edisi Kedua. Yogyakarta.

Rifqi, M. (2017). Ladang Berpindah dan Model Pengembangan Pangan


Indonesia Studi Kasus Daerah dengan Teknik Ladang Berpindah dan
Pertanian Modern. Prosiding SENIATI. 22-1.

Rizali, A., dan Damayanti Buchori, H. T. (2002). Keanekaragaman Serangga


pada Lahan Persawahan-Tepian Hutan: Indikator untuk Kesehatan
Lingkungan. Journal Hayati. 9(2): 41-48.

Ruslan, H. (2009). Komposisi dan Keanekaragaman Serangga Permukaan


Panah pada Habitat Hutan Homogen dan Heterogen di Pusat
Pendidikan Konservasi Alam (PPKA) Bodogol, Sukabumi, Jawa
Barat. Jurnal Vis Vitalis. 2(1): 43-44.

34
Santeshwari, M. R., and Singh, J. (2015). Collembola (Insecta: Collembola)
Community from Varanasi and Nearby Regions of Uttar Pradesh,
India. Journal of Experimental Zoology India. 18(2): 571-577.

Santeshwari, Raghuraman, M., and Singh, J. (2013). The Preliminary


Identification Characters of Some Collembola from Varanasi Region
of Uttar Pradesh, India. Journal The Bioscan. Vol. 8 (1): 271-280.

Selvany, R., Widyastuti, R., dan Suhadjono, Y. R. (2018). Kelimpahan dan


Keanekaragaman Collembola Pada Lima Tipe Ekosistem di Kapuas
Hulu Kalimantan Barat. Jurnal Zoo Indonesia. 27(2): 63-71.

Shahabuddin, Purnama H, Woro AN, Syafrida N. (2005). Penelitian


Biodiversitas Serangga di Indonesia: Kumbang Tinja (Coleoptera:
Scarabaeidae) dan Peran Ekosistemnya. Jurnal BIODIVERSITAS 6(2):
141-146.

Simanungkalit, R. D. M., Suriadikarta, D. A., Saraswati, R., Setyorini, D., dan


Hartatik, W. (2006). Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar
Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian Press. Jawa Barat.

Subyanto, S. A., Siwi, S. S., dan Lilies, C. (1991). Kunci Determinasi


Serangga. Kanisius Press. Edisi Kedua. Jakarta.

Suhardjono, R. Y., Deharveng, L., dan Bedos, A. (2012). Collembola (ekor


pegas). Vegamedia Press. Bogor.

Suin. (2012). Ekologi Hewan Tanah. Bumi Askara Press. Bandung.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun (1999) Tentang


Kehutanan.

Wallwork, J. A. (1976). The Diversity and Distribution of Soil Fauna.


Academic Pres. London.

35
Warino, J., Widyastuti, R., Suhardjono. R. Y., dan Nugroho, B. (2016).
Keanekaragaman dan Kelimpahan Collembola pada Perkebunan
Kelapa Sawit di Kecamatan Bajubang Jambi. Journal Entomologi
Indonesia 14(2): 51-57.

Widrializa. (2016). Kemelimpahan dan Keanekaragaman Collembola pada


Empat Penggunaan Lahan di Lanskap Hutan Harapan, Jambi. Tesis.
Fakultas Pertanian. Program Studi Magister Agricultur. Pasca Sarjana
ITB. Bogor.

Widyawati IT. (2008). Komunitas Collembola Permukaan Tanah Pada Lima


Tipe Habitat di Kawasan Telaga Warna Kabupaten Bogor dan
Cianjur. Tesis. Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Yoshii, R., and Suhardjono, Y. R. (1992). Notes on the Collembolan Fauna of


Indonesia and its Vicinities. II: Collembola of Irian Jaya and Maluku
Islands. Journal Acta Zoologica Asiae Orientalis. 2(2): 1-52.

36
Lampiran I
Analisa Data
A. Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner
Rumus:

B. Indeks Dominansi (Simpson)

Rumus: D=

C. Indeks keseragaman Evennes

Rumus: E=

Tabel Perhitungan Indeks Ekologi Pada Area Hutan


Spesies  Pi (ni/N) Ln Pi Pi (ln Pi) E′
Entomobbrya nivalis. 211 0.840637 -0.17359 -0.14593 0.706671
Bromacanthus sp. 29 0.115538 -2.15816 -0.24935 0.013349
0.484559
Callyntura sp. 11 0.043825 -3.12756 -0.13706 0.001921
Total 251 H' = 0.532343 D′ = 0.72194092

Tabel Perhitungan Indeks Ekologi Pada Area Ladang Berpindah


Spesies  Pi (ni/N) Ln Pi Pi (ln Pi) E′
Entomobbrya nivalis. 160 0.80402 -0.21813 -0.17538 0.646448
Bromacanthus sp. 13 0.065327 -2.72836 -0.17823 0.004268
0.563914
Callyntura sp. 26 0.130653 -2.03521 -0.26591 0.01707
Total 199 H' = 0.619523 D′ = 0.66778617

37
Lampiran II
Dokumentasi Penelitian
No Keterangan Gambar

1 Persiapan alat dan bahan untuk penelitian

Pemasangan transek pada kedua lokasi


2 penelitian menggunakan meter dan tali

3 Penempatan perangkap sumuran (Pitfall


Trap)

38
4 Perangkap sumuran setelah dipasang
kemudian diberi naungan menggunakan
piring plastik

5 Pengukuran intesnsitas cahaya


menggunakan Lux meter

6 Pengukuran pH dan kelembaban tanah


menggunakan Soil Tester

7 Pengambilan sampel penelitian kemudian


dibawa ke Laboratorium untuk dilakukan
pengamatan

39
8 Sampel diamati menggunakan mikroskop
dan selanjutnya dapat di identifikasi

40
Lampiran III
Spesies Lain Yang Ditemukan pada Lokasi Penelitian
No Gambar Hutan Ladang berpindah

1
 –

Tachyporus sp

2  

Aphaenogaster sp

3  

Velarifictorus micado

4  

Diplopoda sp

41
5
 

Parcellio scaber

6  

Pardosa sp.

7  

Cicindela aurulenta

8  –

Emoia arnoensis

 
9

Plutella sp

42

Anda mungkin juga menyukai