Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertambahan populasi penduduk Indonesia terus mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun, dan menyebabkan tingginya kebutuhan protein hewani,
khususnya daging sapi (Atmakusuma et al., 2014). Peningkatan ini berdampak
pada berkembangnya usaha peternakan sapi potong di kalangan masyarakat lokal.
bahwa keberhasilan peternakan sapi di pengaruhi oleh cara perawatan dan
pengawasannya, sehinga kesehatan sapi harus di optimalkan untuk tetap terjaga.
Usaha peternak sapi tidak lepas dari masalah kesehatan hewan termasuk penyakit
parasit. Nofyan et al. (2010) menyatakan bahwa penyakit parasit dapat
menimbulkan kerugian ekonomi akibat menurunnya produktivitas ternak
(Murtidjo, 2001; Nofyan et al., 2010).
Caplak adalah ektoparasit yang memiliki kemampuan mengisap darah
semua spesies vertebrata darat, termasuk mamalia, burung, reptil dan amfibi
(Anderson dan Magnarelli, 2008). Berdasarkan anatomi, caplak terbagi menjadi 2
kategori yaitu caplak keras (famili Ixodidae) dan caplak lunak (famili Argasidae).
Karakter morfologi yang merupakan kunci determinasi dari kedua famili tersebut
adalah pada conscutum (biasa di sebut juga scutum) yaitu suatu lapisan chitin
yang menebal pada anggota Ixodidae pada stadium dewasa, sedangkan pada
anggota Argasidae tidak di temukan adanya conscutum¿scutum (Barker dan
Murrell, 2014b).
Diperkirakan 80% ternak di seluruh dunia terinfestasi caplak (Stacey et al.,
1978; Patodo et al., 2018). Caplak merupakan salah satu vektor transmisi, karena
mampu mentransmisikan mikroorganisme seperti protozoa, bakteri dan virus ke
dalam tubuh hospes (Guglielmone et al., 2006). Sonenshine dan Roe (2013),
melaporkan bahwa patogen Rickettsia australis, Flavivirus, Bunyavirus dan
Cercopithifilaria sp. ditransmisikan oleh anggota genus Ixodes dari satwa liar dan
ternak. Dampak kesehatan yang ditimbulkan pada hospes antara lain dermatitis,
infeksi dan kelumpuhan syaraf yang dikenal sebagai tick paralysis (Barker dan
Walker, 2014; Greay et al., 2016). Kejadian kelumpuhan saraf pada hospes

1
disebabkan karena anggota Ixodidae mengeluarkan toksin melalui kelenjar liur
(salivary gland) bersamaan dengan masuknya patogen ke tubuh hospes (Acuna et
al., 2005; Ash et al., 2017).
Menurut Pilosof et al. (2015) infestasi caplak pada hospes dipengaruhi oleh
faktor ekologi. Menurut Morand and Krasnov (2002), infestasi caplak
berpengaruh terhadap area distribusi yang tidak merata pada bagian tubuh hospes.
Utami et al., (2021) menyatakan bahwa kemampuan adaptasi caplak untuk
mengatasi perubahan lingkungan dan tekanan seleksi alam dapat menentukan
keberhasilan infestasi dan menemukan hospes yang sesuai. Menurut Hadi dan
Soviyana (2018), bahwa caplak memiliki organ sensorik pada bagian hypostome
yang berfungsi sebagai reseptor kelembaban, kimia, dan mekanis, sehingga
memiliki kemampuan untuk melacak komponen kimia darah hospes secara tepat
untuk dijadikan makanan. Mekanisme ini yang menentukan keberhasilan caplak
untuk menginfestasi hospes yang paling mungkin ditemui.
Secara umum sistem pemeliharaan ternak sapi terbagi atas tiga kategori
yaitu intensif, semi intensif dan ektensif. Umumnya masyarakat lokal di Maluku
menganut sistem peternakan ekstensif yang menekankan padang pengembalaan
sebagai sumber pakan. Sistem ekstensif bersifat rawan karena ternak akan mudah
terinfestasi caplak (Patodo et al., 2018). Penelitian Sulistyaningsih (2016),
melaporkan bahwa sebanyak 89 ekor (48%) dari 187 ekor sapi dengan sistem
pemeliharaan intensif maupun semi intensif di kota Banjarbaru terinfestasi caplak
dengan manifestasi klinis yaitu kurus dan mengalami dermatitis.
Desa Hatu secara administrasi masuk dalam wilayah Kecamatan Leihitu
Barat, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Berdasarkan data rekording,
jumlah populasi ternak sapi di Kecamatan Leihitu Barat pada Tahun (2018)
berjumlah 268 ekor (BPS Maluku Tengah, 2019). Hasil pengamatan di lapangan
menunjukkan bahwa pola peternakan sapi di Desa Hatu merupakan peternakan
rakyat dengan sistem ekstensif sehingga ternak berpotensi terinfestasi caplak.
Selama ini data infestasi anggota Ixodidae dari ternak lokal termasuk sapi di
Maluku jarang dilaporkan, padahal permasalahan akibat infestasi caplak terjadi
hampir sepanjang tahun, sehingga harus diteliti dengan baik. Penelitian ini

2
dilakukan untuk mengevaluasi derajat infestasi caplak pada ternak sapi
berdasarkan karakter morfologi di Desa Hatu.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dirumuskan
permasalahan sebagai berikut: Berapa derajat infestasi caplak (Ixodidae) pada sapi
dengan sistem pemeliharaan ekstensif di Desa Hatu, Kecamatan Leihitu Barat,
Kabupaten Maluku Tengah?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui derajat infestasi caplak (Acari:
Ixodidae) pada sapi dengan sistem pemeliharaan ekstensif di Desa Hatu,
Kecamatan Leihitu Barat, Kabupaten Maluku Tengah.
D. Manfaat Penelitian
Data evaluasi derajat infestasi dari anggota famili Ixodidae pada sapi
potong akan bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan sistem
manejemen kesehatan ternak ruminansia di Desa Hatu pada khususnya dan
Maluku pada umumnya. Selain itu hasil penelitian ini akan berkontribusi sebagai
informasi dasar untuk penelitian dan atau proyek lebih lanjut terkait dengan tick
dan tick borne disease pada ternak ruminansia.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Gambaran Umum dan Morfologi Caplak Keras (Famili Ixodidae)


Ixodidae atau caplak keras merupakan caplak penghisap darah yang
memiliki kapitulum diujung pada semua stadium. Disebut caplak keras karena
memiliki keping dorsal atau sektum. Ixodidae merupakan famili terbesar dari
caplak yang mengdominasi sebanyak 80% dari keseluruhan fauna caplak di dunia.
Berdasarkan Tickbase, Famili ini terdiri dari 19 Genus dengan 683 spesies dari
867 spesies caplak yang sudah diketahui. Beberapa Genus diantaranya
Dermacentor, Ixodes, Rhipicephalus, Haemaphysalis, Hyalomma, Boophilus, dan
Amblyomma (Ismanto dan Ikawati 2009).
Klasifikasi caplak keras (Famili Ixodidae) menurut Barker dan Walker
(2014) sebagai berikut:
Kindom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Arachnida
Subkelas : Acari
Ordo : Parasitiformes
Famili : Ixodidae
Genus : Ixodes, Haemaphysalis, Rhipicephalus, Rhipicentor,
Margaropus, Dermacentor, Hyalomma, dan Amblyomma

Walaupun saat ini genus Boophilus yang terdiri 5 spesies digolongkan ke


dalam Rhipicephalus karena kedekatan secara filogenetik dan evolusi, perubahan
tersebut menjadikan Boophilus menjadi subgenus dari Rhipicephalus (Barker dan
Murrell 2002). Caplak termasuk Ordo Acarina yang tubunnya terdiri dari segmen
abdomen dan segmen sefalotoraks yang telah menjadi satu, sehingga tubuhnya
berbentuk mirip kantung. Tubuhnya mempunyai kulit yang tebal dan tidak tembus
sinar. Mulutnya mudah dilihat dan mempunyai sejumlah gigi untuk melekat atau
mengigit. Larva mempunyai 3 pasang kaki, sedangkan nimfa dan dewasa
memiliki 4 pasang kaki. Gambar 1 merupakan profil morfologi anggota Ixodidae.

4
Soedarto (2003), menyatakan bahwa bagian dorsal caplak ini mempunyai
skutum atau perisai yang menutupi seluruh bidan dorsal tubuh pada caplak jantan,
sedangkan pada yang betina skutum hanya menutupi sepertiga bagian aterior
tubuh. Oleh karna itu tubuh caplak betina dapat berkembang lebih besar dari pada
yang jantan setelah mengisap darah. Matanya baik pada yang jantan maupun
betina terletak pada sisi lateral skutum (Hadi, 2011).

Gambar 1. Profil Morfologi umum (Famili Ixodidae) (Stafford, 2004)

B. Genus-Genus dalam Famili Ixodidae


Gambaran umum beberapa Genus yang tergolong dalam Famili Ixodidae
sebagai berikut :
1. Genus Ixodes
Caplak ini tidak memiliki hiasan pada skutum, juga tidak memiliki
mata dan festoon. Kapitulum pada caplak betina biasanya lebih panjang
dari yang jantan. Segmen kedua dan ketiga pada palpi menonjol dari dasar,
sehingga membentuk sudut antara palpus dengan bagian mulut. Lekuk
anus melengkung ke anterior menuju anus disebut ‘prostriate’. Pada
Genus lain lekuk anus terletek lebih posterior dan disebut ‘metastriate’.
Pada jantan terdapat tujuh keping ventral yang tersusun dalam tiga baris di
medial yaitu: pregenital, medial dan anal; sepasang adanal dan sepasang
epimeral. Tepi keping epimeral yang terletak sebelah lateral tampak tidak

5
jelas. Guglielmone (2015) menyatakan bahwa spesies dari Genus Ixodes
dtemukan di semua wilayah zoogeografi di dunia, dan jumlah populasi
terbesar dari genus Ixodes ditemukan di Wilayah Afrotropis. Gambar 2
merupakan profil morfologi anggota genus Ixodes.

Gambar 2. Profil Morfologi Genus Ixodes (Balker & Walker, 2014)


2. Genus Haemaphysalis
Caplak ini tidak memiliki hiasan pada skutum dan mata. Pada
jantan juga tidak didapatkan keping ventral. Basis kapituli berbentuk segi
empat dan dasar dari segmen kedua menonjol ke lateral melewati basis
kapituli. Sekmen kedua dan ketiga meruncing ke anterior, sehingga bagian
kapitulum sebelah anterior dari basis kapituli berbentuk seperti segitiga.
Caplak ini memiliki festoon dan sebuah keping andanal posteriol. Genus
Haemaphysalis memiliki 167 spesies, dan spesies penting dari Genus ini
dan dapat menularkan peroplasmosis adalah H. punctate (Guglielmone &
Nava 2014). Gambar 3 merupakan profil morfologi anggota genus
Haemaphysalis.

6
Gambar 3. Profil Morfologi Genus Haemaphysalis (Balker & Walker, 2014)

3. Genus Rhipicephalus
Caplak ini berwarna kemerahan atau cokelat kehitaman. Lekuk
anus terletak lebih posterior, dan pada pasangan coxae pertama terdapat
celah. Caplak jantan memiliki keping andanal dan andanal asesori. Basis
kapituli berbentuk segi enam. Caplak ini memiliki festoon dan mata, tetapi
tidak memiliki hiasan pada skutum. Caplak Rhipicephalus merupakan
jenis caplak keras yang wilayah penyebarannya sangat luas, terdapat di
negara tropis dan subtropis seperti Indonesia, Australia,Amerika, Brasil,
India dan Filipina (Hadi dan Soviana, 2010). Gambar 4 merupakan profil
morfologi anggota genus Rhipicephalus.

Gambar 4. Profil Morfologi Genus Rhipicephalus (Balker & Walker, 2014)

7
4. Genus Rhipicephalus, Subgenus Boophilus
Caplak dari genus Boophilus, baru-baru ini dikelompokkan sebagai
subgenus dari Rhipicephalus. Terdapat Lima spesies dari Subgenus ini
yaitu; R. (Boophilus) annulatus, R. (Boophilus) decoloratus, R.
(Boophilus) geigyi, R. (Boophilus) kohlsi dan R. (Boophilus) microplus.
Spesies R. (Boophilus) kohlsi merupakan anggota Subgenus Boophilus
yang hanya ditemukan secara eksklusif pada domba dan kambing
(Lempereur et al., 2010).
Caplak ini tidak memiliki hiasan pada skutum dan tidak memiliki
festoon. Basis kapituli berbentuk segi enam. Caplak ini memiliki
hipostoma yang pendek, bagian lateral skutum terdapat mata, dan pada
pasangan kaki pertama terdapat celah. Caplak jantan memiliki keping
andanal dan keping asesori. Caplak B. microplus merupakan caplak yang
merugikan karena selain mengisap darah, caplak berperan sebagai vektor
(Sahara et al., 2015). Gambar 5 merupakan profil morfologi anggota genus
Rhipicephalus, Subgenus Boophilus.

Gambar 5. Profil Morfologi Subgenus Boophilus (Balker & Walker, 2014)


5. Genus Margaropus
Caplak ini tidak memiliki hiasan pada skutum dan tidak memiliki
festoon. Caplak ini mirip dengan caplak Boophilus, tetapi palpi tidak
menonjol ke dorsal dan lateral. Bagian coxae semakin posterior semakin
membesar dan pasangan kaki ke empat memiliki coxae yang terbesar.
Genus ini terdiri dari 2 spesies (Koloni, 2009). Genus Margaropus ini
tidak memiliki peranan penting dalam penyebaran piroplasmasmosis.
Gambar 6 merupakan profil morfologi anggota genus Margaropus.

8
Gambar 6. Profil Morfologi Genus Margaropus (Balker & Walker, 2014)
6. Genus Rhipicentor
Mirip dengan genus Rhipicephalus, genus Rhipicentor memiliki
dua taji (spur) yang panjang pada semua coxae. Individu jantan tidak
memiliki ventral plate perut, dan anggota genus ini hanya terdiri dari dua
spesies dan dapat ditemukan pada sapi di Afrika. Gambar 7 merupakan
profil morfologi anggota genus Rhipicentor.

Gambar 7. Profil Morfologi Genus Rhipicentor (Walker et al., 2003)


7. Genus Darmacentor
Caplak ini memiliki hiasan pada skutum, lekuk anus terletak lebih
posterior. Babis kapituli berbentuk segi empat pada lateral skutum terdapat
mata, caplak ini memiliki festoom yang berjumlah sebelas buah. Baik
jantan maupun betina memiliki celah pada pasangan coxae pertama. Pada
jantan, coxae semakin posterior semakin membesar dan coxae terbesar
terdapat pada pasangan kaki ke empat. Caplak ini tidak memiliki keping
ventral, anggota genus ini berjumlah 36 spesies (Guglielmone & Nava

9
(2014). Gambar 8 merupakan profil morfologi anggota genus
Dermacentor.

Gambar 8. Profil Morfologi Genus Darmacentor (Balker & Walker, 2014)


8. Genus Amblyoma
Caplak ini memiliki punggung dorsal dengan capituli berbentuk oval.
Skutum bentuk dalam dan datar, mata berbentuk elips. Hipostom berbentuk
memanjang dengan banyak gigi tajam. Organ genital pada betina terletak pada
coxae II dan III, adanya makula besar dan berisi pada ventral tubuh, anal
berbentuk melengkung dan terletak di posterior anus (Norval et al., 2009).
Gambar 9 merupakan profil morfologi anggota genus Amblyoma.

Gambar 9. Profil Morfologi Genus Amblyoma (Balker & Walker, 2014)


9. Genus Hyalomma
Merupakan caplak yang memiliki perangkat mulut yang panjang, lengkuk
anusnya terletak lebih posterior. Basis kapituli berbentuk hampir segi tiga.
Memiliki mata dan festoon, hiasan skutum dapat ditemukan pada beberapa spesies
dan dapat pula tidak pada spesies yang lain. Pada caplak jantang, kadang terdapat
keping adanal asesori, pasangan coxae pertama memiliki celah. Caplak ini mirip

10
dengan genus Amblyomma, tetapi segmen kedua palpi tidak sama panjang dengan
segmen ketiganya (Apanaskevich, 2008). Gambar 10 merupakan profil morfologi
anggota genus Hyalomma.

Gambar 10. Profil Morfologi Genus Hyalomma (Balker & Walker, 2014)
C. Daur Hidup Famili Ixodidae
Siklus hidup yang dijalani caplak berupa telur - larva - nimfa - caplak
dewasa (Gambar 11). Caplak dewasa setelah kawin dan menghisap darah sampai
kenyang, lalu jatuh ke tanah dan kemudian caplak bertelur. Larva yang baru
menetas, akan mencari hospes dengan bantuan benda-benda sekitarnya serta
bantuan alat olfaktoriusnya. Setelah menemukan hospes yang sesuai, caplak akan
mengisap darah hingga kenyang, kemudian akan jatuh ke tanah atau tetap tinggal
pada tubuh hospes dan masuk ke fase molting (berganti kulit) menjadi nimfa.
Pada fase Nimfa, caplak akan menghisap darah kembali, dan setelah kenyang
akan jatuh ke tanah dan berganti kulit menjadi caplak dewasa (Utami et al. 2021).
Hadi (2011) melaporkan bahwa caplak betina setelah kenyang menghisap darah
dapat membesar sampai 20-18.000 butir tiap caplak. Caplak memerlukan kira-kira
1 tahun untuk menyelesaikan siklus hidup di daerah tropis dan lebih dari satu
tahun di daerah lebih dingin (Dwibadra, 2008).

11
Gambar 11. Siklus Hidup Famili Ixodidae (Barker dan Walker, 2014)

Berdasarkan jumlah hospes yang diperlukan oleh caplak untuk dapat


melengkapi satu siklus hidupnya, maka caplak digolongkan menjadi tiga
kelompok, yaitu (1) caplak berumah satu; (2) caplak berumah dua; dan (3) caplak
berumah tiga (Barker dan Walker, 2014). Pada caplak berumah satu, semua
stadiumnya (larva, nimfa, dan dewasa) tinggal dalam satu hospes yang sama,
begitu pula proses pergantian kulit (molting) dan perkawinan (Hadi dan Soviana,
2000). Bowman et al. (2003), melaporkan bahwa diperkirakan lima spesies dari
Genus Boophilus, tiga spesies dari Genus Margaroporus, serta dua spesies dari 30
spesies dalam Genus Dermacentor memiliki satu induk semang dalam satu siklus
hidupnya.
Pada caplak berumah dua, larva dan nimfa terjadi dalam satu hospes,
sedangkan pda fase dewasa berpindah ke hospes yang lain, jadi dalam melengkapi
siklus hidupnya memerlukan dua hospes (Hadi dan Soviana 2000). Caplak
berumah dua ditemukan pada beberapa spesies dari Genus Hyalomma,
Haemaphysalis, dan Rhipicephalus (Burger et al. 2014b). Di tambahkan oleh
Barker dan Walker (2014) bahwa biasanya caplak berumah dua ditemukan di
daerah Sabana atau Stepa dengan curah hujan yang rendah dan musim kemarau
yang panjang. Hal ini menyebabkan caplak beradaptasi dan memiliki dua induk
semang. Larva molting menjadi nimfa pada induk semang pertama (tidak di
tanah); nimfa yang penuh darah jatuh ke tanah kemudian molting menjadi caplak
dewasa, dan mencari induk semang kedua (biasanya ukurannya lebih besar dari

12
induk semang yang pertama). Setelah kenyang darah dan kawin, caplak betina
akan jatuh ke tanah dan meletakan telur- telurnya (Hadi dan Soviana, 2000). Pada
caplak berumah tiga, setiap stadium, yaitu larva, nimfa, dan dewasa memerlukan
hospes yang berbeda (Hadi dan Soviana 2000). Dilaporkan sekitar 600 dari 683
spesies Ixodidae merupakan caplak berinduk semang tiga karena setiap fase aktif
menginfestasi hospes yang berbeda.
D. Peranan Caplak Sebagai Vektor Parasit
Penghisap darah yang terus-menerus dan iritasi yang ditimbulkannya
mempengaruhi kapasitas pertumbuhan, terlebih untuk ternak penggemukan
sehingga menyebabkan penurunan produksi daging jauh sebelum pemasaran.
Infestasi caplak dapat mengakibatkan kerusakan kulit atau dermatosis sehingga
menurunkan kualitas kulit. Infestasi caplak juga suatu jaringan nekrotik pada
kulit, perubahan patologik kulit oleh ektoparasit caplak pada umumnya
disebabkan oleh aktifitas mekanis dan atau efek toksis yang dihasilkan oleh
parasit tersebut.secara mekanis gigitan parasit akan diikuti oleh rasa nyeri,
menimbulkan iritasi dan rasa gatal, dan untuk mengurangi rasa tersebut, ternak
yang terinfestasi caplak mencoba mengigit, menggaruk, atau menggosok-gosok
bagian yang sakit ke objek-objek keras yang akan selanjutnya menimbulkan
kerusakan kulit atau rambut. Terjadinya luka abrasif (gesekan) menyebabkan
infeksi sekunder oleh kuman, hingga terjadi radang infeksi (Subroto, 2013).
Caplak berperan dalam penularan dan pemindahan berbagai penyakit yang
disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa, dan rickettia. Beberapa diantaranya
bersifat zoonosis. Caplak mberhospes satu menularkan agen penyakit secara
trasovarial, selain itu, caplak dapat bertindak sebagai vektor berbagai agen
penyakit seperti Babesia bigemina, Babensia argetina, Anaplasma marginale,
Coxiella burnetti, dan Borrelia theileri (Soulsby,1982). Theileriosis merupakan
penyakit yang disebabkan oleh protosoa Theileria sp. Parasit ini merusak sel
darah merah sehingga menyebabkan jaundidae, anemia, dan beberapa kasus
hemoglobinuria. Gejala klinis Theileriosis dikenal sebagai East Coast Fefer yang
secara umum ditandai dengan limfadenopati, demam, anoreksia, dan penurunan
produksi susu (Aiello, 2000).

13
Tusukan hipostom menyebabkan iritasi dan kegelisahan sehingga aktivitas
dan waktu istrahat hospes akang berkurang. Tusukan hipostom akan memperbesar
faktor ‘stres’ yaitu banyak energi terbuang, sehingga akan menurunkan efisiensi
pakan dan sekaligus menghambat laju pertumbuhan badan dan daya produksi.
Anemi dapat terjadi terutama pada ana sapi dan betina bunting serta sering terjadi
kematian. Caplak betina B. microplus menghisap darah 0,5-1,0 ml untuk
menyempurnakan perkembangannya. Sapi terinfestasi caplak memiliki tingkat
kesembuhan yang sangat lamat karena masih adanya elemen toksin dalam sekresi
saliva caplak. Akibat infestasi caplak ini terjadi penurunan jumlah sel darah
merah, serum protein, dan haemogobin. Infestasi ektoparasit caplak dapat
ditentukan melalui pengamatan secara langsung (visual) pada permukaan kulit
hospes. Sapi dikatakan terinfestasi dimulai ketika caplak menghisap darah yang
dapat menimbulkan kerusakan pada kulit (dermatosis) yang termasuk kategori
ringan hingga menimbulkan kematian yang termasuk kategori sangat besar (Wall
dan Sheaer, 2001) selama stadium perkembangan setiap caplak menghisap darah
sapi 0,5 ml dan apabila populasi pada caplak mencapai 6.000-10.000 ekor maka
dapat membunuh sapi dewasa.
E. Aspek Biologi caplak dan kaitannya dengan ternak Ruminansia
1. Aktivitas dalam kaitannya dengan aspek ekologi
Setelah mendapatkan induk semang yang sesuai, caplak akang menyebar
pada kulit induk semang dan mencari tempat predileksinya masing-masing, yaitu
daerah inguinal, lipatan paha, leher, dada dan di daerah yang berbulu lebat.
Tempat yang paling di sukai oleh caplak Rhipicephalus appendiculatus adalah
daerah telinga penutup. Di daerah tersebut populasi caplak dapat mencapai sekitar
250 ekor caplak dewasa dengan presentase 87% dari seluruh caplak sejenis yang
menyerang. Larva dan nimfa caplak berumah dua R. evertsi yang menyerang
induk semang yang sama dan menyukai sudut telinga bagian dalam, sedangkan
caplak dewasanya lebih menyukai daerah perianal (Duell et al., 2013). Caplak
dewasa R. kochi juga merupakan parasit pada sapi yang biasanya menyerang
daerah mana saja pada tubuh sapi dan hanya sedikit saja yang menyerang telinga
dan daerah perianal. Infestasi ringan oleh R. appendiculatus hanya terbatas pada

14
daerah telinga saja, tetapi infestasi yang berat akan menyerang seluruh daerah
kepala, leher sampai ke seluruh tubuh (Sahara et al., 2015).
Caplak berumah tiga R. appendiculatus umumnya terdapat di bagian
Selatan dan Timur Afrika. Penyebaran caplak ini dipengaruhi oleh iklim,
lingkungan dan sapi sebagai induk semang. Di bagian barat Afrika caplak ini
jarang ditemukan, karena di daerah ini tidak bayak terdapat semak belukar. Pada
daerah yang berumput tinggi biasanya caplak ini lebih banyak ditemukan dari
pada daerah yang berumput pendek, dan di daerah yang lebih banyak curuh
hujannya. Pada dataran tinggi di Zimbabwe, puncak aktivitas caplak dewasa R.
appendiculatus berlangsung pada musim hujan dan puncak aktivitas larva serta
nimfe berlangsung pada musim kemarau. Aktivitas caplak dewasa diatur oleh
panjangnya siang hari, kelembabab dan suhu. Terdapat suatu irama kebiasaan
caplak R. appendicutus dalam mencari induk semang dengan aktivitas yang
berlangsung secara diurnal. Infestasi Boophilus microplus tinggi pada daerah yang
memiliki curah hujan 750 mm/tahun atau lebih, dan rendah pada daerah kering
atau kelembaban yang rendah dan curah hujan yg kurang dari 750 mm/tahun,
tinggi caplak ini dapat berepoduksi terus-menerus sepanjang tahun
(Sulistyaningsih, 2016).

F. Hubungan Sistem Pemeliharaan Ekstensif pada Sapi


1. Pemeliharaan Secara Ekstensif
Dalam sistem ekstensif, hewan-hewan ternak dipelihara dengan sistem
peternakan luar (outdoor), dimana hewan-hewan ternak tersebut berada dalam
kondisi lingkungan selayaknya kehidupan asli mereka sendiri, tanpa campur
tangan langsung dari peternak. Pada sistem pemeliharaan yang kurang baik
(negatif), umumnya peternak memberikan pakan yang tidak menentu, tidak
mengerti nilai pandang penggembalaan dan peternak biasanya tidak
mengusahakan lahan yang cukup untuk memungkinkan perternak menanam
tanaman khusus sebagai pakan ternak. Padahal sistem pemeliharaan yang baik
(positif), akan memberikan hasil produksi yang jauh lebih baik pula.

15
2. Pemeliharaan Secara Intensif
Pemeliharaan secara intensif yaitu ternak dipelihara secara menerus
didalam kandang sampai saat dipanen sehingga kandang mutlak harus ada.
Seluruh kebutuhan sapi disuplai oleh peternak, termasuk pakan dan minum.
Aktifitas lain seperti mandikan sapi juga dilakukan serta sanitas dalam kandang.
3. Pemeliharaan Secara Semi Intensif
Pemeliharaan sapi secara semi intensif merupakan perpaduan antara kedua
cara pemeliharaan secara ektensif. Jadi, pada pemeliharaan sapi secara semi
intensif ini harus ada kandang dan tempat penggembalaan dimana sapi
digembalakan pada siang hari dan dikandagkan pada malam hari (Anonim, 2010).

16
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian


Pengambilan spesimen dilakukan di Desa Hatu, Kecamatan Leihitu Barat,
Kabupaten Maluku Tengah. Selanjutnya proses identifikasi spesimen dilakukan di
Laboratrium Zoloogi Jurusan Biologi FMIPA Unpatti. Penelitian ini berlangsung
dari bulan Januari sampai Maret 2022.

Gambar 12. Peta Lokasi Penelitian

B. Alat dan Bahan


1. Alat
Alat yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian antara lain sarung
tangan, masker, pinset, kaca pembesar, botol spesimen, label, kaca preparat, cover
glasses, mikroskop stereo, kantong plastik, kapas, kertas pinning, steroform, box,
cawan petri, dan Buku Identifikasi Caplak (Walker et al., 2003; Barker & Walker,
2014).

17
2. Bahan
Bahan yang digunakan adalah sapi potong (Bos taurus), alkohol 70%,
Canada balsam, dan larutan laktofenol.
C. Metode pengambilan data
1. Pengambilan Spesimen Caplak
Pengambilan spesimen sampel caplak pada sapi sebanyak 50 ekor ternak
sapi, yang terdiri dari 25 ekor jantan, dan 25 ekor betina dewasa dan pedet dengan
sistem pemeliharaan secara ektensif. Kemudian pengumpulan spesimen sampel
caplak yang tampak pada tubuh sapi dapat langsung diambil dengan cara manual
menggunakan pinset secara berurutan (Hadi dan Soviana, 2010).
1. Sampel caplak di ambil secara manual menggunakan pinset, kemudian
dimasukkan ke dalam botol sampel yang sudah diisi akohol 70%.
2. Pengambilan caplak dilakukan pada saat pagi dan sore hari secara manual
3. Caplak diambil dari beberapa bagian tubuh yaitu pada bagian kepala,
(leher hingga mata) kaki, (sepasang kaki depan dan belakang) badan atau
abdomen (Gambar 13).

Gambar 13. Cara Manual Pengambilan Caplak Dewasa (Stafforord, 2004)


4. Dalam pengambilan spesimen caplak sebaiknya dalam bentuk utuh agar
mudah diidentifikasi.
5. Kemudian spesimen caplak yang sudah diambil dimasukkan ke dalam
botol sampel yang telah diisi alkohol 70% dan diberi label sesuai nomor
ternak dan jenis kelamin bagian tubuh ternak.
6. Selanjutnya caplak yang terkumpulkan diidentifikasi menggunakan
mikroskop stereo. Observasi lebih dekat ke bagian mulut, basis kapitulum,

18
skutum, dan beberapa bagian lainnya untuk mengidentifikasi sampai ke
tingkat Genus. Kunci identifikasi digunakan untuk mengidentifikasi caplak
sampai ke tingkat Genus. Buku menggunakan panduan (pengenalan,
identifikasi dan pengendaliannya) (Walker et al., 2003; Balker & Walker,
2014).
D. Parameter Pengamatan
Parameter pengamatan adalah jumlah caplak yang menginfestasi pada
tubuh sapi.
E. Analisis Data
Data caplak yang didapatkan diidentifikasi dan ditabulasikan dengan
derajat infestasi ektoparasit (Walker et al., 2003; Barker & Walker, 2014) secara
deskriptif dihitung dengan metode sebagai berikut yaitu:
1. Negatif (-) menunjukan tidak ada caplak yang menginfeksi
2. Positif satu (+) adalah satu sampai lima caplak (infestasi ringan)
3. Positif dua (++) enam sampai sepuluh caplak (infestasi sedang)
4. Positif tiga (+++) sebelas sampai dua puluh caplak (infestasi tinggi) dan
5. Positif empat (++++) lebih dari dua puluh caplak (infestasi lebih tinggi)
Dengan rumus adalah:
1. Preferensi infestasi caplak menurut Husna (2014) yaitu: Jumlah sapi yang
terinfestasi x 100%.
2. Preferensi infestasi caplak menurut bagian tubuh sapi dengan cara
menghitung dan membandingkan rata–rata caplak disetiap bagian tubuh sapi.
3. Preferensi infestasi caplak menurut jenis kelamin sapi, dengan cara
menghitung dan membandingkan rata-rata caplak pada sapi jantan dan
betina.
4. Preferensi menurut umur dengan cara menghitung dan membandingkan rata-
rata caplak pada sapi pedet dan dewasa.

19
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Secara geografis, batas-batas Kecamatan Leihitu Barat: Sebelah Utara
berbatasan langsung dengan Kecamatan Leihitu, Sebelah Selatan berbatasan
dengan Kecamatan Teluk Ambon. Luas keseluruhan Kecamatan Leihitu Barat
84,47 km2, dengan Negeri yang terluas adalah Negeri Alang, 20,42 km2, menyusul
Negeri Larike seluas 18,56 km2, dan Negeri Hatu dengan luas 16,71 km²
sedangkan yang terkecil adalah Negeri Wakasihu 1,40 km². Iklim Kecamatan
Leihitu Barat mengalami iklim laut tropis dan iklim musim. Keadaan ini
disebabkan oleh karenan Kecamatan Leihitu Barat berbatasan dengan laut yang
luas sehingga iklim tropis di daerah ini berlangsung seirama dengan iklim musim
yang ada (BPS Maluku Tengah, 2019).
4.2. Data jumlah sapi yang terinfestasi caplak (Buat Grafik dan berikan
kode sebagai Gambar 14)
Jumlah sapi yang terinfestasi caplak dapat dilihat pada (Gambar 14). Tidak
terinfestasi 26% dan yang terinfestasi caplak 74%

T.Terinfes
26%

Terinfes
74%

Gambar sapi yang terinfestasi


cap-lak

20
Hasil analisis derajat infestasi caplak pada sapi di tampilkan pada Gambar
15,16 dan 17. Data pada gambar 15 menunjukkan rata-rata preferensi infestasi
caplak berdasarkan jenis kelamin. Jumlah ternak yang paling banyak terinfestasi
caplak yaitu sapi betina sebanyak 26 ekor (67%), dan sapi jantan sebanyak 11
ekor (33%).
400
346
350
300
250
200 168
150
100 67
50 26 33
11
0
Jumlah Sapi Jumlah Caplak Prevalensi
(Ekor) Yang Ditemukan (%)
(Ekor)

Jantan Betina
Gambar 15. Infestasi Caplak berdasarkan jenis kelamin

Preferensi infestasi caplak berdasarkan umur sapi. Dapat dilihat pada


Gambar 16 dengan rentang umur (≥12 bulan) paling tinggi preferensinya,
dibandingkan dengan pedet (≤12 bulan).

21
400 361
350
300
250
200 153
150
100 70
50 29 30
8
0
Jumlah Sapi jumlah caplak Prevalensi
(Ekor) yang ditemukan (%)
(Ekor)

Pedet (≤ 12 Bulan) Dewasa (≥ 12 Bulan)


Gambar 16. Infestasi Caplak berdasarkan Umur Sapi.

Hasil analisis derajat infestasi caplak pada sapi ditampilkan pada gambar 16.
Menunjukan bahwa bagian tubuh yang memiliki derajat infestasi tertinggi sampai
ke rendah berturut-turut yaitu diselangkangan (46%), telinga (33%), bagian
abdomen (18%) dan yang terendah di ekor sebanyak (3%).
250 236

200
168
150

100 93

46
50 33
18 17
3
0
Telinga Selangkangan Abdomen Ekor

Jumlah Caplak Prevalensi


Yang Ditemukan (%)
(Ekor)

Gambar 17. Rasio Perbandingan Bagian Tubuh Sapi yang Terinfestasi Caplak.

22
Berdasarkan analisis karakter morfologi menunjukkan bahwa caplak yang
menginfestasi sapi berasal dari Genus Rhipicephalus, Subgenus Boophilus. Hal ini
dapat dipastikan dari kunci determinasi pada bagian bentuk mulut yang pendek
(short mountparts), serta bagian palp internal 1 yang yang terlihat jelas dan
berbentuk cekung, dan tanpa tonjolan (Gambar 18). Selain itu ditemukan kunci
determinasi tambahan yaitu tarsal terminal spur yang berukuran pendek, dan
bagian posterior berbentuk huruf U (Gambar 19).

1
2

Gambar

Gambar 17. Morfologi Mouthparts Genus Rhipicephalus, Subgenus Boophilus


(magnification: 173.3x)
Keterangan: 1 : Short mouthparts;
2: Palps internal 1, berbentuk cekung, dan tanpa tonjolan

23
1

2
2

Gambar 18. Morfologi Genus Rhipicephalus, Subgenus (Boophilus), Ventral


(magnification: 25.8x)
Keterangan : 1: Tarsal Terminal Spur (ada dan Pendek);
2: Bagian Posterior bentuk Huruf (U) dan Lebar

4.3. Pembahasan
Total caplak yang didapatkan dalam penelitian ini berjumlah 514 individu,
dan didominasi oleh anggota Genus Rhipicephalus, Subgenus Boophilus. Hasil
penelitian dilapangan menunjukkan bahwa prevalensi infestasi caplak pada sapi di
Desa Hatu sebesar 46% sebanyak 31 individu sapi yang terinfestasi dari 50
individu. Caplak yang terinfeksi mikroorganisme akan menimbulkan infeksi
penyakit dan kematian pada hospes (Kwak & Madden, 2017). Ternak sapi di Desa
Hatu terinfestasi caplak karena berdasarkan hasil pengamatan pada umumnya
topografi wilayah Desa Hatu terdiri dari vegetasi padang rumput yang sangat
cocok bagi perkembangan anggota Ixodidae. Hal ini sesuai dengan temuan
penelitian Utami et al. (2021) yang menyatakan bahwa sebagian besar caplak
menghabiskan seluruh siklus hidup pada hospesnya, bersembunyi di tanah dan
vegetasi atau di sarang hospesnya. Caplak harus dapat menemukan hospes untuk
makan dan melangsungkan hidupnya. Salah satu cara menemukan hospes yaitu
pada saat tahap telur dan tahap moulting, caplak berada di tanah, rumput atau

24
vegetasi untuk menunggu hospes yang sesuai (Barker dan Walker, 2014). Salah
satu perilaku caplak anggota Ixodidae menemukan hospes yaitu dengan metode
“questing” artinya menunggu di vegetasi (Utami, 2021). Faktor lain yang
mendominasi infestasi caplak pada ternak sapi yakni pola pemeliharaan ternak
berbasis sistem ekstensif. Caplak yang ditemukan pada sapi di lokasi penelitian
yaitu anggota Genus Rhipicephalus, Subgenus Boophilus karena caplak tersebut
dapat dilihat secara langsung pada ternak sapi yang sudah terinfestasi.
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa preferensi infestasi
berdasarkan jenis kelamin sapi di sajikan pada Gambar 15. Sapi betina lebih
tinggi terinfestasi caplak dari pada sapi jantan, persentase infestasi caplak pada
sapi betina rata-rata sebesar 67%, sedangkan pada sapi jantan rata-rata sebesar
33%. Penelitian ini menunjukan bahwa preferensi infestasi caplak pada sapi betina
lebih tinggi dibandingkan dengan sapi jantan. Persentase infestasi caplak
berdasarkan jenis kelamin menurut Bures dan Barton (2022) disebabkan karena
pada umumnya peternak sapi kurang memperhatikan kesehatan ternak betina dan
hanya dijadikan ternak pekerja karena sifatnya yang lebih tenang dan mudah
dikendalikan dibandingkan sapi jantan.

Sapi betina sering mengalami stres bila dibandingkan dengan sapi jantan.
Proses bunting, melahirkan, dan laktasi umumnya menyebabkan stres pada sapi
betina. Adanya waktor stres ini menimbulkan perubahan hormonal pada sapi.
Pada umumnya para peternak sapi kurang memperhatikan kesehatan ternak betina
dan hanya dijadikan sebagai ternak pekerja, sedangkan ternak jantan pada
umumnya dijadikan ternak pedaging karena sapi jantan akan mempunyai
pertumbuhan yang lebih cepat dari pada sapi betina karena adanya hormon
androgen (Bures dan Barton, 2012)

Fatah et al. (2012) menyatakan dari segi perawatan, umumnya sapi jantan
yang paling sering diperhatikan dibandingkan dengan ternak betina. Faktor
endokrin juga turut berkontribusi terhadap infestasi caplak pada sapi. Tingginya
infestasi caplak pada sapi betina, diduga kuat berkorelasi dengan konsentrasi

25
hormon prolaktin dan progesteron sehingga membuat ternak betina lebih rentan
terhadap infestasi parasit termasuk caplak (Kaur et al., 2015).
Preferensi infestasi caplak menurut umur sapi disajikan dalam Gambar 15.
Sapi dengan rentang umur (≥12 bulan) paling tinggi preferensinya, dibandingkan
dengan pedet (≤12 bulan). Infestasi pada sapi dipengaruhi oleh umur, semakin
dewasa umur sapi maka semakin tinggi pula risiko terinfestasi caplak. Hal ini
disebabkan karena sapi pedet sering dimandikan sehingga meminimalisir potensi
infestasi parasit termasuk caplak. Penelitian Priasdhika (2014), menyatakan
bahwa sapi dewasa lebih banyak terinfestasi caplak. Secara fisiologis, sapi dewasa
akan mengalami penurunan sistem kekebalan dibandingkan pedet. Kekebalan
bawaan pada sapi dewasa bertanggung jawab atas kerentanan ternak tersebut
dibandingkan dengan pedet (Kaur et al., 2015). Tingkat infestasi caplak pada
pedet tercatat sebesar 33%.
Hasil penelitian tentang preferensi atau tingkat kesukaan infestasi caplak
menurut bagian tubuh sapi disajikan pada Gambar 17. Data menujukkan bahwa
semua bagian tubuh sapi terinfestasi caplak. Pada saat pengambilan spesimen
dilapangan ditemukan bahwa jumlah caplak yang berada pada tubuh inang sapi
paling banyak berada dibagian selangkangan dengan jumlah 236 ekor caplak dan
dikategori infestasi lebih tinggi (++++). Infestasi caplak dibagian tubuh tertinggi
terdapat pada selangkangan dengan rata-rata 46% individu caplak/sapi, sedangkan
bagian tubuh terendah berada pada bagian kaki dengan jumlah 17 individu caplak
dan dikategori infestasi sedang (++) rata-rata 3% ekor caplak. Tingginya infestasi
caplak di bagian selangkangan, diduga kuat disebabkan karena bagian ini
merupakan tempat yang lembab serta tempat berlindungnya caplak dari inangnya
(Patodo et al., 2018). Menurut Utami (2021), umumnya caplak pada satwa liar
ditemukan di bagian dorsal. Caplak pada kenyataannya memiliki kecenderungan
tertentu dalam memilih tempat saat menempel diinangnya saat mengisap darah,
setiap spesies caplak memiliki tempat yang disenangi pada tubuh inang. Data pada
Gambar 17, menunjukkan bahwa bagian tubuh yang paling banyak terinfestasi
caplak berturut-turut yakni pada bagian selangkangan, telinga dan diikuti bagian
abdomen dan terendah adalah ekor atau kaki. Kemungkinan, bagian tubuh

26
selangkangan sapi mempunyai luas permukaan terluas jika dibandingkan bagian
kepala dan kaki. Selain itu, umumnya ternak sapi memiliki rambut yang cukup
panjang sehingga disukai oleh caplak dan dimanfaatkan sebagai tempat hidup dan
bersembunyi. Daerah ini sulit dijangkau sapi untuk digaruk apabila gatal. Pada
bagian kaki sapi, umumnya memiliki rambut yang lebih tipis sehingga caplak
tidak leluasa untuk bersembunyi juga sapi dengan mudah menggaruk dan
menggigit bagian tersebut apabila merasa gatal akibat gigitan caplak saat
menghisap darah. Hasan (2015), menyatakan area yang cukup disenangi oleh
caplak yaitu bagian bahwa pembuluh darah besar yang dekat ke permukaan kulit
adalah bagian telinga dan punggung dan abdomen sehingga memungkinkan
parasit dapat menghisap darah dengan mudah dan banyak.
Cara pemeliharaan serta perawatan ternak sangat berpengaruh terhadap
infestasi caplak. Mattalah et al. (2012) menyatakan bahwa banyaknya sapi yang
terinfestasi caplak di karenakan adannya penularan antar sapi di padang
penggembalaan atau kandang yang sama. Berdasarkan hasil di lapangan
ditemukkan bahwa ternak yang dipelihara dengan sistem intensif dan atau semi
intensif lebih tinggi preferensinya bila dibandingkan dengan ternak yang
dikandangkan. Hal ini disebabkan karena ternak diikat di padang pengembalaan
yang beralaskan rumput, sehingga perpindahan caplak sangat mudah. Ternak yang
dikandangkan lebih bagus pemeliharaannya, karena kondisi kesehatan lebih
mudah dipantau. Faktor lain tidak terlepas dari manejemen pemeliharaan yaitu
pakan. Umumnya pakan yang diberikan berupa hijauan yang diambil dari sekitar
lahan pengembalaan dan di letakkan di tanah tanpa menggunakan tempat pakan
atau alas. Sapi yang di lepas di lahan pengembalaan akan langsung memakan
rumput yang ada di sekitarnya, sehingga berpotensi terinfestasi caplak (Kaur et
al., 2015).
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa caplak yang menginfestasi
sapi di Desa Hatu berasal dari Genus Rhipicephalus, Subgenus Boophilus.
Sebagaimana diuraikan dalam Tinjauan Pustaka bahwa caplak dari genus
Boophilus, baru-baru ini dikelompokkan sebagai subgenus dari Rhipicephalus.
Perbedaan morfologi antara beberapa spesies dari Subgenus ini sangat kecil dan

27
beberapa karakteristik juga tampaknya bervariasi. Kunci determinasi utama pada
Subgenus ini yaitu memiliki struktur mulut yang relatif lebih pendek (short
mountpart), dan bentuk palp internal 1 yang berukuran pendek dengan cukungan
yang jelas serta tidak adanya tonjolan pada region tersebut (Lempereur et al.,
2010). Selain itu Walker et al. (2003) dan Barker & Walker (2014), menyatakan
bahwa Subgenus ini memilik tarsal terminal spurs pada individu jantan maupun
betina dan dapat digunakan sebagai kunci determinasi tambahan dari Subgenus
ini.
Pada penelitian ini, tidak dilakukan pengamatan terhadap bentuk hipostom
gigi yang merupakan kunci utama yang membedakan pada tingkat spesies dari
Subgenus ini karena keterbatasan metode pengamatan. Hal ini karena untuk
mengamati anatomi dari hispostom secara detail selayaknya menggunakan
Scanning Electron Microscope (SEM). Beberapa penelitian telah mengidentifikasi
spesies dari Subgenus ini berdasarkan bentuk hipostom, antara lain dari R.
(Boophilus) decoloratus memiliki hipostom gigi 3,5 × 3,5 (Hoogstraal, 1996), R.
(Boophilus) microplus dengan hipostom gigi 4,5 × 4,5 (Estrada-Pena and Venzal,
2006). Memang harus diakui bahwa identifikasi caplak berdasarkan karakter
morfologi jauh dari spesifik karena membutuhkan waktu yang cukup lama, serta
perlu keahlian yang memadai untuk memahami karakter morfologi pada populasi
spesies yang berbeda.
Beberapa penelitian sebelumnya membuktikan bahwa caplak dari
Subgenus Boophilus merupakan caplak yang merugikan pada ternak karena selain
mengisap darah, caplak berperan sebagai vektor transmisi penyakit (Leliana dan
Rizalsyah, 2015; Sahara et al., 2015). Caplak Rhipicephalus, Subgenus Boophilus
terbukti sebagai penyebar babesiosis (Babesia bovis dan B. bigemina) dan
anaplasmosis (Anaplasma marginale) terutama pada ternak sapi (Bock et al.,
2008; Peter et al., 2005).

28
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasi penelitian dan pembahasan diatas dapat disimpulkan
bahwa:
1. Anggota family Ixodidae yang menginfestasi sapi pada penelitian ini berasal
dari Genus Rhipicephalus, Subgenus Boophilus.
2. Jumlah sapi yang terinfestasi caplak sebanyak 37 individu dari 50 individu
sehingga derajat infestasi caplak di Desa Hatu, Kecamatan Leihitu Barat,
Kabupaten Maluku Tengah sebesar 74%.
B. Saran
Dari penelitian ini saran yang dapat disampaikan sebagai berikut:
1. Perlu adanya perhatian dari Dinas Pertanian (bidang Peternakan) di Kabupaten
Maluku Tengah, terkait masalah kesehatan ternak sapi di Kecamatan Leihitu
Barat secara Umum dan Desa Hatu secara khusus, karena apabila diabaikan
maka akan berdampak pada produktivitas ternak sapi.
2. Perlu peneguhan identitas spesies berbasis deteksi molekuler menggunakan
region ITS (subregion ITS-1 dan ITS-2), dan mtDNA regions agar
mempertegas status taksonomi dari Subgenus ini.

29
DAFTAR PUSTAKA
Acuña, D., J. M. Venzal., J. E. Keirans., R.G.Robbins., S. Ippi, and A.A.
Guglielmone, A. A. 2005. New Host and Locality Records for the
Ixodes auritulus Acari: Ixodidae Species Group, with a Review of Host
Relationships and Distribution in the Neotropical Zoogeographic
Region. Experimental & applied acarology, 371: 147-156.
Aiello, S.E., M.A. Moses, and D.G. Allen, 1th Eds. 2016. The Merck veterinary
manual p. 3325. White Station, NJ, USA: Merck & Company,
Incorporated.
Anonim. 2010. Produksi Ternak Potong dan Kerja. Fakultas Peternakan
Universitas Hasanudin, Makasar.
Apanaskevich, D.A. 2016 Deskripsi Pertama Nimfa dan Larva Dermacentor
Acari: Ixodidae, Parasit Tupai di Asia Tenggara. Parasitologi
Sistematis, 93:355-365.
Ash, A., A, Elliot., S. Godfrey., H. Burmej., M.Y. Abdad., A. Northover., A.
Wayne., K. Morris., P. Clode., A. Lymbery, and R.C.A. Thompson.
2017. Morphological and Molecular Description of Ixodes woyliei
(Ixodidae) with Consideration for Co-extinction with its Critically
Endangered Marsupial Host. Parasites and Vectors, 10(1), 1-16.
https://doi.org/10.1186/s13071-017-1997-8.
Atmakusuma, D.H., Harmini, and Winandi. 2014. Swasebada Daging. Kebijakan
Pertanian dan Lingkungan. 1(2): 105-109.
Badan Pusat Statistik BPS Maluku Tengah. 2019. Kecamatan Leihitu Barat
Dalam Angka. Masohi. Maluku.
Barker, S. C, and Walker, A. R. 2014. Zootaxa, Vol. 3816, Issue 1.
Barker, S.C, and Murrell, A. 2004. Systematics and evolution of ticks with a list
of validgenus and species names. Parasitology,129: S15-S36.
Bock, R., L. Jackson., A.J. De Vos, and W. Jorgensen. 2008. Babesiosis of cattle.
In: Ticks: Biology, Disease and Control. Bowman AS, Nuttall PA Eds.
Cambridge. Cambridge University Press, Pp 281-307.
Bures and L. Barton. 2012. Growrt Performance, Carcass Traits and Meat Quality
Bullsand Beifers. Slaughtered at different ages. Czech J. Anim. Sci.
57:34-43.
Burger, T.D., Shao, R. and Barker, S.C. 2014. Phylogenetic analysis of
mitochondrial genome sequences indicates that the cattle tick,
Rhipicephalus (Boophilus) microplus, contains a cryptic species,
Molecular Phylogenetics and Evolution. 76: 241–253.
http://dx.doi.org/10.1016/j.ympev.2014.03.017.
Clayton, D. H., Adams, R. J., and Bush, S. E. 2008. Phthiraptera, the chewing
lice. Parasitic diseases of wild birds. 515, 526.
Cooley, R.A. 1946. The genera Boophilus, Rhipicephalus, and Haemaphysalis
(Ixodidae) of The World. Nat Inst of Hlth Bull Washington DC. 187: 54
pp.

30
Duell, J. R., Carmichael, R., Herrin, B. H., Holbrook, T. C., Talley, J., and Little,
S. E. 2013. Prevalence and species of ticks on horses in central
Oklahoma. Journal of medical entomology. 50(6): 1330-1333.
Dwibadra, D. 2008. Tungau, Caplak, Kutu, dan Pinjal. Fauna Indonesia. 29-33.
Estrada-Pe˜na, A. and J.M. Venzal. 2006. High-resolution predictive mapping for
Boophilus annulatus and B. microplus Acari: Ixodidae in Mexico and
Southern Texas. Vet. Parasitol. 142: 350-358.
Gaafar SM. 1985. Parasites, Pests, and Predators. New York: Elsevier.
Greay, T.L., C.L.Oskam., A.W. Gofton., R.L. Rees., U.M. Ryan, and P.J. Irwin.
2016. A survey of ticks Acari: Ixodidae of companion animals in
Australia. Parasites and Vectors. 9(1): 1–10.
https://doi.org/10.1186/s13071-016-1480.
Hadi, U. K. 2011. Bioekologi berbagai jenis serangga pengganggu pada hewan
ternak di Indonesia dan pengendaliannya. Bagian Parasitologi dan
Entomologi Kesehatan. FKH IPB, 10-11.
Hadi, U. K., and Soviana, S. 2018b. Ektoparasit Pengenalan, identifikasi, dan
pengendaliannya. PT Penerbit IPB Press.
Hadi, U. K., and Soviana, S. 2010. Ektoparasit Pengenalan, identifikasi, dan
pengendaliannya. PT Penerbit IPB. Bogor.
Hoogstraal, H. 1996. African Ixodoidea, Ticks of the Sudan, Vol. 1. US
Department of the Navy, Bureau of Medicine and Surgery, Washington,
D.C.
Ismanto, H, and B. Ikwat. 2009. Caplak Keras (Hard tick) sebagai factor penyalit.
BALABA Vol. 5(02):22-23.
Ismaya, W. T., Hasan., Kardi I., Zainuri, A., Rahmawaty, R. I., Permanahadi, S,
and Soemitro, S. 2013. Chemical modification of saccharomycopsis
fibuligera R64 a-amylase to improve its stability against thermal,
chelator, and proteolytic inactivation. Applied biochemistry and
biotechnology. 170(1): 44-57.
Ixodes auritulus, Acari: Ixodidae species group, with a review of host
relationships and distribution in the Neotropical Zoogeographic Region.
Exp. Appl. Acarol, 37: 147-156.
Kaur D., J. Kamal, and M. Suman. 2015. Studies on prevalence of ixodid tick
infesting cattle and their control by plant extracts. IOSR J.Pharm. Biol.
Sci.10(6): Ver III.
Koloni, G.V. 2009. Fauna kutu Ixodidae dunia. Versi cetak dari http: ∕∕www.
Koloni.
Kwak, M.L, and C. Madden. 2017. The first record of infestation by a native tick
Acari: Ixodidae on the Australian emu (Dromaius novaehollandiae) and
a review of tick paralysis in Australian birds. Experimental and Applied
Acarology. 73(1): 103-107. https://doi.org/10.1007/s10493-017-0168-0.
Lampereur, L., D. Gesyen, and M. Madder. 2010. Development and validation of
a PCR-RFLP test to identify African Rhipicephalus (Boophilus) ticks.
Acta Tropica 114: 55-58.
Leliana, T, dan Rizalsyah. 2015. Infestasi caplak Ixodes pada sapi lokal Aceh di
Balai Pembibitan Ternak Unggul Dan Hijauan Pakan Ternak (Bptu-

31
Hpt) Indrapuri Kabupaten Aceh besar. Jurnal JESBIO Vol IV (2), 10-
13.
Leplae, R., Lima-Mendez, G, and Toussaint, A. 2010. ACLAME: a Classification
of Mobile genetic Elements, update 2010. Nucleic acids research, 38
suppl 1, D57-D61.
Levine, and D. Norman. 1990. Parasitologi Veteriner. Diterjemahkan oleh Prof.
Dr. Gatot Ashadi FKH IPB. Gadjah Mada Univercity Press,
Yogyakarta. Hal 11. 1990, 170-171.
Morand, and B.R. Krasnov. 2002. The Geography of January. 343-345.
Murtidjo, B.A. 2001. Beternak Sapi Potong, Kanisius, Yogyakarta.
Mustaka. N.E.K, and Indah, R. 2010. Identitas jenis telur cacing parasit usus pada
ternak sapi (Bos sp.) dan Kerbau (Bubalus sp.) di Rumah Potong
Hewan Palembang. Jurnal Penelitian Sains. Palembang. 10, 06-11.
Patodo, G.B., M.J. Nangoy, G.J.V. Assa, A. Lomboan. 2018. Infestasi caplak
pada sapi di Desa Tolok Kecamatan Tompaso Kabupaten Minahasa.
Zootec, 38(2): 306-313.
Peter, R.J., P. Bossche., B.L. Penzhorn, and B. Sharp. 2005. Ticks, fly, and
mosquito controllesson from the past, solution for the future. Vet.
Parasitol 132, 205-215.
Petney, T. N., Kolonin, G. V., & Robbins, R. G. 2007. Southeast Asian ticks
Acari: Ixodida: a historical perspective. Parasitology research. 101(2).
201-205.
Pilosof, S., S. Morand., B.R. Krasnov, and C.L. Nunn. 2015. Potential parasite
transmission in multi-host networks based on parasite sharing. PLoS
ONE. 10(3), 1-19. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0117909.

Priasdhika, G. 2014. Studi Infestasi Ektoparasit Pada Anjing Di Pondok


Pengayom Satwa Jakarta. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Sahara, A., J. Prastowo, R. Widayanti dan W. Nurcahyo. 2015. Kekerabatan
Genetik Caplak Rhiphicephalus (Boophilus) microplus asal Indonesia
Berdasarkan Sekuen Internal Transcibed Spacer-2. Jurnal Veteriner,
16(3), 310-319.
Saijuntha, W., Petney, T. N., Andrews, R. H., and Robbins, R. G. 2021. Ticks: A
Largely Unexplored Factor in Disease Transmission. In Biodiversity of
Southeast Asian Parasites and Vectors causing Human Disease, pp
165-182. Springer. Cham.
Sari, I. H. N. 2017. Analisis Usaha Penggemukan Sapi Potong CV. Putra Mandiri.
Cepogo. Boyolali.
Soedarto. 2003. Zoonosis Kedokteran. Surabaya (ID): Airlangga University Press.
Sonenshine D.E and Roe, R. M. 2013. Book review: Biology of Ticks. 2nd ed.
European Journal of Entomology. 112(3): 564.
https://doi.org/10.14411/eje.2015.069.
Soulsby, E. J. L. 1982. Helminths. Arthropods and Protozoa of domesticated
animals, 291.
Stafford, K.C. 2004. Tick Manajement Hardboot: A Integrated guide for
homeowner, Post Control Operators, and public health officals for the

32
prevention of tick-Associaated Connecticut: Connecticut agricultural
experiment station.
Sulistyaningsih, S. 2016. Infestasi Caplak Boophilus microplus pada Sapi Potong
di Kota Banjarbaru. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi
Pertanian Banjarbaru. P.1320-1327.
Utami, P. 2021. Karakter Morfologi dan Molekuler Ektoparasit Caplak Ixodes
cordifer pada Kuskus Asal Maluku. Disertasi Fakultas Biologi.
UNSOED. Purwokerto.
Utami, P., Budianto, B.H, and A. Sahara. 2021. Tick Acari: Ixodidae infestation
of cuscuses from Maluku Province, Indonesia. Veterinary World. 14(6):
1465-1471.
Walker, A.R., A. Bouattour., J.L. Camicas., A. Estrada-Peña., I.G. Horak., A.A.
Latif., R.G. Pegram, and P.M. Preston. 2003. Ticks of Domestic
Animals in Africa: a Guide to Identification of Species 1th Ed. Atalanta.
Houten. The Netherlands.
Wall, R, and D. Shearer. 2001. Veterinary ectoparasites: biology. Pathology and
Control, 2.
Walzl, M.G. 2001. July. Ultrasonication, A Tool For Microdissection Of
Astigmatic. In Acarology: Proceedings of the 10th International
Congress p. 226. Csiro Publishing.

33

Anda mungkin juga menyukai