Anda di halaman 1dari 52

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keanekaragaman Hayati

Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keseluruhan variasi baik

bentuk, penampilan, jumlah, sifat, yang dapat ditemukan pada tingkat gen,

spesies, ataupun ekosistem. Dengan demikian, perbedaan antara berbagai

organisme dan ekosistem disebabkan adanya variasi yang dimiliki oleh masing-

masing organisme dan ekosistem (Priadi, 2010).

Keanekaragaman hayati dibagi menjadi tiga tingkat menurut (Priadi, 2010)

yakni :

1. Keanekaragaman tingkat gen adalah keanekaragaman atau variasi yang

dapat ditemukan diantara organisme dalam satu spesies.

2. Keanekaragaman tingkat spesies atau jenis aadalah keanekaragaman yang

ditemukan di antara organisme yang tergolong dalam spesies yang

berbeda.

3. Keanekaragaman tingkat ekosistem adalah keanekaragaman yang dapat

ditemukan di antara ekosistem.

Keanekaragaman hayati menjadi sumber daya yang sangat penting bagi

kehidupan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Keanekaragaman hayati juga

memiliki beberapa peranan menurut (Priadi, 2010) yakni :

1. Mendukung secara langsung hidup manusia dan menjamin proses ekologis

dalam ekosistem.

2. Memberikan material dasar berupa sumber daya hayati dan genetika yang

berguna bagi industri.


Keanekaragaman hayati di negara Indonesia sangatlah tinggi, sehingga

terdapat beberapa masalah yang sering muncul. Masalah utama ang menimbulkan

ketidakserasian anatara manusia dan lingkungan adalah peningkatan jumlah

populasi manusia sehingga mengakibatkan tekanan terhadap alam, Ancaman

terbesar aktivitas manusia tersebut terhadap biodiversitas adalah kerusakan habitat

asli (Priadi, 2010).

2.2 Keanekaragaman Herpetofauna di Indonesia

Indonesia memiliki keanekaragaman herpetofauna yang tinggi,

International Union for Conservation of Nature (IUCN) (2013) menyatakan

bahwa 1.500 jenis herpetofauna telah tersimpan di Museum Zoologi Bandung.

Herpetofauna yang di musiumkan terdiri dari penemuan di berbagai daerah.

Yogyakarta merupakan daerah yang masih terkenal dengan kekentalan

budayanya, kekayaan wisata, tempat bersejarah hingga kawasan konservasinya.

Kawasan Suaka Margasatwa (SM) Sermo merupakan kawasan lindung yang

terdapat di daerah Istimewa Yogyakarta dan habitat bagi berbagai jenis tumbuhan

dan hewan, salah satunya adalah herpetofauna. Herpetofauna yang dijumpai di

kawasan SM Sermo berjumlah 18 jenis, terdiri dari lima jenis katak dan kodok

(Ordo Anura), sembilan jenis kadal (Subordo Lacertilia), dan 4 jenis ular

(Subordo Serpentes) (Yudha et al, 2015).

Tidak hanya ditemukan di Pulau Jawa , herpetofauna juga ditemukan di

Pulau Bali. Taman Nasional Bali Barat (TNBB) merupakan taman nasional yang

berada di dua kabupaten, yakni kabupaten Jembrana dan Buleleng dan dijadikan

sebagai salah satu area konservasi. Herpetofauna yang ditemukan di taman


nasional ini termasuk dalam kateggori sedang tetapi untuk tingkat kemelimpahan

di kategorikan sering ditemukan (Nugraha, 2017).

Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR) memiliki kekayaan

flora yang tinggi dengan jenis yang bervariasi mulai dari kaki bukit hingga ke

puncak bukitnya. Keistimewaan dari taman nasional ini terdapat keanekaragaman

jenis satwa. Jumlah herpetofauna yang ditemukan di taman nasional ini meliputi

24 jenis amphibi yang terdiri dari Famili Bufonidae dan 11 jenis reptil yang terdiri

dari Famili Scincidae (Sardi et al, 2013).

2.3 Keanekaragaman Herpetofauna di Jawa Timur

Pulau Jawa merupakan salah satu pulau besar di Indonesia yang memiliki

keanekaragaman cukup tinggi. Pulau Jawa terbagi menjadi tiga kawasan yaitu

Jawa bagian barat, tengah serta timur. Ketiga kawasan tersebut memiliki bentang

lahan, iklim, maupun kondisi lingkungan berbeda yang meneyebabkan adanya

keragaman tipe habitat serta ekosistem di dalamnya. Keberadaan jenis

herpetofauna di Pulau Jawa tercatat sebanyak 39 jenis amphibi terutama

didominasi oleh katak (Iskandar dan Colijn, 2000; Riyanto et al, 2009 dalam

Mumpuni, 2014). Sementara itu, reptil yang tercatat meliputi 62 jenis reptil

(Wowor, 2010).

2.4 Herpetofauna

2.4.1 Pengertian Herpetofauna

Herpetoauna merupakan kelompok fauna yang berdarah dingin

(poikiloterm) dari kelas amphibi dan reptil. Di Indonesia herpetofauna memiliki

biodiversitas yang sangat tingggi dan sangat penting untuk dilestarikan.


Keberadaan herpetofauna di dunia diperkirakan terdapat 13.000 jenis

herpetofauna dan 10.000 diantaranya terdapat di Indonesia (Iskandar, 2000).

Herpetofauna merupakan kelompok hewan dari kelas reptil dan amphibi,

mereka dikelompokkan berdasarkan kemampuan tubuhnya yang membutuhkan

panas dari lingkungannya atau berdarah dingin (ectothermic). Amphibi terdiri dari

ordo anura, caudata, dan gymnophiona. Sedangkan reptil terdiri dari Ordo

Crocodylia, Testudinata, dan Squamata (Mahendra, 2019).

2.4.2 Peran Herpetofauna

Kelompok hewan reptil dan amphibi lebih dikenal dengan herpetofauna.

Kelompok hewan ini memiliki manfaat bagi lingkungan dan manusia. Mitologi,

budaya, seni, dan sastra memandang kelompok hewan tersebut sebagai karakter

menarik bahkan sering dijumpai dalam iklan komersial. Amphibi dan reptil juga

sering dimanafaatkan sebagai makanan dan sumber senyawa obat. Selain itu

sebagian besar juga dimanfaatkan sebagai hewan coba dalam penelitian. Hal ini

dikarenakan amphibi dan reptil merupakan organisme yang berguna bagi banyak

studi lapangan perilaku, ekologi dan pengajaran. Amphibi dan reptil merupakan

komponen utama dalam ekosistem dan sering digunakan sebagai indikator status

suatu kerusakan lingkungan (Pought et al. 1998; zug, 1993; Vitt dan Caldwell

2009).

Setiap makhluk hidup merupakan bagian dari lingkungan yang memiliki

peranan untuk menjaga keseimbangan lingkungan secara alami. Herpetofauna

merupakan organisme yang memiliki posisi yang sangat penting bagi ekosistem.

Herpetofauna memiliki kedudukan pada rantai makanan sebagai mangsa dan


pemangsa yang perlu dilestarikan dalam rangka menjaga keseimbangan ekosistem

(Howell, 2000).

2.4.3 Habitat Herpetofauna

Secara umum habitat amphibi dan reptil terbagi menjadi 5 yakni

terrestrial, arboreal, akuatik, semi akuatik, dan fossorial. Reptil dan amphibi

menghuni hampir seluruh permukaan bumi kecuali di antartika (Pought et al.

1998; zug, 1993).

Amphibi memiliki kulit yang permeabilitasnya tinggi (mampu menyerap

air dan menguapkan air), amphibi harus hidup di tempat yang lembab. Amphibi

mudah ditemukan di sekitar perairan baik di kolam alami maupun kolam buatan.

Amphibi menghuni berbagai habitat mulai dari pohon-pohon di hutan hujan

tropis, halaman di sekitar pemukiman penduduk, di sawah-sawah, kolam-kolam di

dalam hutan, hingga celah-celah batu di sungai yang mengalir deras (Kusrini,

2020).

Amphibi dikenal sangat sensitif terhadap stress osmotik dan karena itu

tidak dapat bertahan hidup di air asin, meskipun beberapa spesies mentolerir

mampu hidup di air payau. Oleh karena itu, tidak mudah menemukan amphibi di

pesisir. Secara umum, amphibi dapat dikelompokkan berdasar habitat dan

kebiasaan hidup (Kusrini, 2020).

Umumnya amphibi hidup di sekitar badan air, misalnya Phrynoidis asper.

Ada juga amphibi yang bersifat terestrial, yang biasa ditemukan di permukaan

tanah dan agak jauh dari air kecuali musim kawin, misalnya kodok buduk

(Duttaphrynus melanostictus). Amphibi yang bersifat arboreal (jenis-jenis yang


hidup di pohon), contohnya katak pohon (Polypedates leucomystax). Sedangkan

amphibi fosforial umumna hidup di dalam lubang-lubang tanah dan biasanya

hanya keluar saat hujan seperti sesilia dan katak (Kaloula baleata) (Kusrini,

2020).

Reptil merupakan salah satu fauna penyusun ekosistem dan salah satu

keanekaragaman hayati yang menghuni habitat perairan, daratan, hingga arboreal

(Yani et al, 2015). Reptil dapat hidup di area mulai dari pantai, laut, sungai, hutan,

dataran rendah hingga pegunungan (Mistar, 2003). Reptil dapat hidup di

sepanjang sungai atau air yang mengalir, hutan primer dan hutan sekunder, pohon,

pemukiman manusia, dan beberapa jenis dapat hidup pada habitat yang terganggu

(Iskandar, 2006). Reptil memiliki kemampuan lebih luas daripada amphibi untuk

hidup di berbagai habitat. Kulitnya yang bersisik dan tahan air, membuat reptil

dapat hidup di daerah kering seperti di gurun sampai ke laut (Kusrini, 2020).

2.5 Amphibi

2.5.1 Pengertian Amphibi

Amphibi merupakan vertebrata yang dapat hidup di darat dan air. Ketika

larva bernapas dengan insang, sedangkan dewasa dengan paru-paru (Priadi, 2010).

Amphibi merupakan vertebrata yang didalamnya terdapat tiga ordo (bangsa) yaitu

anura, caudata dan gymnophiona (Kusrini, 2020).

Amphibi secara bahasa berasal dari kata “amphi” yang memiliki arti dua

dan “bio” yang memiliki arti hidup. Sedangkan arti amphibi secara istilah

merupakan fauna yang dapat hidup di dua alam (air dan darat). Amphibi

merupakan salah satu kelompok hewan bertulang belakang dimana suhu tubuhnya

bergantung pada suhu lingkungan (Liswanto, 1998).


2.5.2 Ciri-Ciri Amphibi

Amphibi memiliki beberapa ciri-ciri umum menurut (Omegawati et al,

2015) sebagai berikut:

1. Bersifat poikiloterm (berdarah dingin).

2. Permukaan tubuhnya ditutupi oleh kulit tipis berlendir.

3. Alat geraknya berupa dua pasang tungkai.

4. Jantung terbagi menjadi tiga ruang, terdiri atas dua buah serambi ang

berdinding tipis dan sebuah bilik.

5. Bersifat ovipar, yaitu berkembang biak dengan bertelur.

6. Fertilisasinya secara eksternal dan perkembangan embrio terjadi di luar tubuh

induknya.

2.5.3 Klasifikasi Amphibi

Klasifikasi amphibi menurut Goin dan Zug (1978) adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Animalia

Filum : Chordata

Sub filum : Vertebrata

Kelas : Amphibia

Bangsa : Caudata, Gymnophiona dan Anura

2.5.3.1 Ordo Caudata

Caudata atau salamander menurut Kusrini (2020) merupakan ordo amphibi

yang bentuk dewasanya memiliki ekor dan bertungkai empat, namun tidak

tersebar di Indonesia. Caudata memiliki nama lain yakni urodela. Ordo ini

memiliki bentuk tubuh memanjang, memiliki anggota gerak dan ekor serta tidak

memiliki tympanum. Tubuh dapat dibedakan antara kepala, leher, dan badan.
Beberapa spesies memiliki insang dan ada yang bernafas menggunakan paru-paru.

Ordo Urodela ini hidup di darat tetapi tidak dapat jauh dari air (Pought et al,

1998).

2.5.3.2 Ordo Gymnophiona

Ordo Gymnophiona merupakan satwa yang hidup dalam tanah. Mereka

menggunakan kepalanya untuk menggali dalam tanah untuk makan. Sesilia

menyukai habitat tanah yang gembur dan lapisan serasah hutan tropis, seringkali

dekat dengan aliran air. Salah satu famili dari sesilia bahkan hidup di dasar sungai,

contohnya Ichtyophis asplenius (Halliday dan adler, 2000) dalam (Darmawan,

2008).

Ordo ini mempunyai bentuk tubuh seperti cacing dengan kepala dan mata

tampak jelas. Aktif pada malam hari dan membutuhkan perairan yang jernih

sebagai habitatnya. Jenis ini sulit dijumpai karena hidup di sungai-sungai kecil

maupun besar pada stadium larva yaitu ekor masih terdapat bagian tubuh seperti

sirip di bagian ekor, dan kemudian akan mereduksi setelah dewasa dan hidup

dalam liang-liang tanah (Mistar, 2003).

2.5.3.3 Ordo Anura

Menurut Kusrini (2020) anura merupakan ordo yang biasa dikenal dengan

istilah katak atau kodok. Anura terdiri atas katak dan kodok, memiliki kurang

lebih 4.800 jenis, lebih dari 500 jenis diantaranya ada di Indonesia. Jenis ini

mempunyai sebaran yang luas dari Sumatera hingga Papua (Mistar, 2003). Ciri

khas dari ordo anura (katak dan kodok) menurut Inger dan Stuebing (2005) antara

lain, tidak memiliki ekor, pendek, tubuh gempal, kaki belakang panjang dan kaki

depan pendek, mata melotot besar dan memiliki mulut yang lebar.
Amphibi tidak memiliki alat fisik pelindung diri, sebagian besar anura

melompat untuk melarikan diri dari predator. Adapula jenis-jenis yang

mempunyai kaki pendek cara melindungi dirinya dengan menyamarkan warnanya

menyerupai lingkungan sekitarnya. Dan ada pula yang menggunakan kelenjar

racun pada kulitnya (Iskandar, 1998).

1. Famili Bufonidae

Famili bufonidae memiliki beberapa ciri yakni memiliki kulit yang kasar

dan badan gempal. Pada famil ini terdapat tiga kodok buduk yang berpenampilan

mirip. Jenis ini dapat dibedakan pada bentuk kepalanya. Kodok buduk asia

(Duttaphrynus melanostictus) mempunyai garis supraorbital yang bersambung

dengan garis supratimpanik, kodok buduk hutan (Ingerophrynus biporcatus)

mempunyai sepasang pertulangan garis parietal di kepalanya, sedangakan kodok

buduk sungai (Phrynoidis asper) walaupun tidak terlihat alur di kepala namun

tidak sejelas Duttaphrynus melanostictus dengan kelenjar paratoid yang jelas

(Kusrini, 2020).

Duttaphrynus melanostictus, (Kusrini, 2020)

2. Famili Dicroglossidae
Mempunyai tubuh yang berukuran besar dengan lipatan-lipatan

memanjang parallel dengan sumbu tubuh. Tekstur kulit kasar tertutup atau

lipatan-lipatan memanjang ke belakang di bagian dorsal. Kadang-kadang terdapat

garis memanjang dari ujung moncong sampai anus, berwarna kuning atau hijau.

Warna tubuh seperti lumpur dengan bercak-bercak yang tidak simetris berwarna

gelap. Ujung jari meruncing dan selaput jari selalu melampaui bintil subparticular

terakhir Jari kaki ketiga dan kelima, contohnya adalah kodok sawah (Fejervarya

cancrivora) (Kusrini, 2020).

Fejervarya cancrivora, (Kusrini, 2020)

3. Famili Ranidae

Katak ini memiliki tubuh yang kecil, perawakan ramping, kaki panjang

dan ramping, dengan jari kaki setengahnya berselaput. Kulit katak ini halus

namun berbintil, mempunyai lipatan dorsolateral yang halus, dengan warna coklat

muda hingga tua. Warna kulitnya lebih gelap pada sekeliling bagian

selangkangan, sisi-sisinya biasanya lebih gelap sampai hitam yang memanjang

dari antara mata dan hidung sampai ke selangkangan. Sata ini berbunyi seperti

jangkrik, biasana hidup di perbatasan hutan di daerah yang terganggu, sekeliling

air yang mengalir lambat atau menggenang, contohnya adalah kongkang nicobar

(Amnirana nicobariensis) (Kusrini, 2020).


Amnirana nicobariensis, (Kusrini, 2020)

4. Famili Megophryidae

Katak ini memiliki kepala lebih besar dari tubuh, dan bulat dengan mata

cenderung besar dan melotot. Ujunng jari bulat dan cenderung melengkung. Kulit

halus dengan jaringan alur-alur rendah, lipatan supratimpanik sampai ke pangkal

lengan.Punggung kehitaman dengan bercak-bercak bulat telur atau bulat yang

lebih gelap, permukaan perut keputih-putihan dengan bercak hitam. Jantan

berukuran sampai 60 mm dan betinanya sampai 70 mm. Katak ini cenderung

“berjalan” daripada melompat di serasah hutan. Umumnya ada di hutan sekunder

atau primer, jarang di habitat terganggu, contohnya katak serasah hasselt

(Leptobrachium hasseltii) (Kusrini, 2020).

Leptobrachium hasseltii, (Kusrini, 2020)

5. Famili Racophoridae
Katak pohon berukuran sedang (SVL 30-80 mm) dengan warna dorsal

coklat kekuningan. Kadang memiliki satu warna atau dengan bitnik, hitam atau

dengan enam garis yang jelas memanjang dari kepala sampai ujung tubuh. Jari

tangan dan jari kaki melebar dengan ujung rata. Kulit kepala menyatu dengan

tengkorak. Jari tangan hanya sedikit berselaput di dasar, jari kaki hampir

sepenuhnya berselaput. Jenis ini sering ditemukan dekat hunian manusia, diantara

semak atau disekitar rawa dan bekas tebangan hutan sekunder. Pada saat kawin,

telur akan disimpan di sarang busa, contohnya katak panjat bergaris (Polypedates

leucomystax) (Kusrini, 2020).

Polypedates leucomystax) (Kusrini, 2020)

2.5.4 Fisiologi dan Morfologi Amphibi

2.5.4.1 Fisiologi Amphibi

Anatomi fisiologi tubuh amphibi menurut (Sukiya, 2005 dan Kimball,

1983) sebagai berikut:

1. Sistem Rangka dan Otot

Amphibi memiliki tengkorak yang tebal dan luas secara proporsional.

Permukaan dorsal tubuh Bangsa Anura tidak semuanya tertutup tulang.

Sedangkan sistem otot amphibi merupakan peralihan dari anggota kelompok reptil

dan ikan, bagian aksial memperlihatkan adanya sekat, bagian epaksial memiliki
fungsi untuk menggerakkan kepala, dan bagian hipaksial terbagi dalam beberapa

lapisan.

2. Sistem Indera

Amphibi memiliki indra perasa yang tersusun atas lidah permukaan mulut

bagian dalam, aperture nasal berfungsi untuk penciuman sebagai alat bantu

merasakan makanan dan berperan dalam aktivitas reproduksi. Amphibi

membasahi kornea dengan cairan dari kelenjar herderian berfungsi mengatasi

kekeringan akibat evaporasi. Kodok (Bufo) dan katak (Rana) mempunyai telinga

tengah dan gendang telinga sebagai pendengaran. Linea lateralis ditemukan pada

larva amphibi dan katak dewasa yang hidup di air.

3. Sistem Pernafasan dan Peredaran Darah

Amphibi tergolong kelompok hewan yang bernafas dengan insang pada

masa larva dan paru-paru saat dewasa dan dibantu oleh kulit. Oleh karena itu,

kulit harus tetap lembap dan basah. Sedangkan peredaran amphibi merupakan

sistem peredaran ganda dengan fisiologi jantung tiga bilik.

Jantung katak terbagi menjadi tiga bagian yakni, dua atrium dan satu

ventrikel. Atrium kanan menerima darah miskin oksigen dari pembuluh vena.

Darah dari ke dua atrium tersebut mengalir ke ventrikel tunggal. Kontraksi pada

ventrikel mendorong darah mengalir ke pembuluh yang berabang-cabang ( cabang

kiri dan kanan). Masing masing cabang membentuk tiga arteri pokok, arteri

anterior mengalirkan darah ke jaringan interna dan alat dalam badan, sedang arteri

posterior mengalirkan darah ke kulit dan paru-paru.

Amphibi memiliki ventrikel yang tidak sempurna, terbagi menjadi

ruangan-ruangan yang sempit dan cenderung berkurangnya pencampuran kedua


darah. Bila ventrikel berkontraksi, darah miskin oksigen sebagian besar

menghindari pencampuran darah. Kemudian masuk ke dalam dua arteri yang

mengalir menuju kulit dan paru-paru. Kegiatan ini akan terjadi pengambilan

persediaan darah kaya oksigen yang masih segar. Daya kaya oksigen bertempat di

atrium kiri dan mengalir ke arteri-arteri yang menuju otak.

4. Sistem Pencernaan, ekskresi, dan saraf

Katak mempunyai sedikit kelenjar oral, dan katak mempunyai lidah yang

berguna sebagai penangkap mangsa. Lidah amphibi umumnya dapat dijulurkan

(protusible tongue) dan digulung ketika tidak digunakan. Esofagus amphibi

mempunyai ukuran yang pendek, dan mempunyai usus yang menggulung menuju

kloaka. Katak mempunyai tipe ginjal mesonefros dengan korpuskel dan kandung

kemih yang berkembang baik. Ketika suhu lingkungan ekstrim amphibi yang

hidup di darat biasanya melakukan proses penyerapan urine kembali yang telah

berkumpul agar kelembapan kulit tetap terjaga. Katak juga mempunyai tiga

kelenjar yaitu, kelenjar paratiroid, adrenal, dan tiroid. Amphibi mempunyai saraf

yang terletak di bagian dorsal otak tengah.

2.5.4.2 Morfologi Amphibi

Amphibi dilihat secara fisik mempunyai dua pasang tungkai sebagai alat

gerak, kulit dengan permukaan yang lembap, licin, kasar hingga bergranula.

Amphibi mempunyai ciri khas yaitu tidak mempunyai kuku dan sisik. Semua

Bangsa Anura kehilangan ekornya saat masa dewasa, kepala bersambung dengan

tubuhnya tanpa ada leher yang dapat mengerut seperti penyu, dan mempunyai

tungkai yang cukup berkembang dengan kaki belakang lebih panjang (Iskandar,

1998).
Amphibi memiliki kulit yang dapat melindungi tubuh bagian dalam dari

parasit. Amphibi memiliki kulit ang tidak tebal, berpembuluh, dan lembap.

Amphibi mempunyai bentuk morfologi dan corak warna yang berbeda pada saat

muda dan sudah dewasa (Iskandar, 1998).

Ordo Anura juga mempunyai kulit tubuh yang bervariasi dari yang halus

seperti pada jenis katak hingga kasar dan terdapat tonjolan-tonjolan seperti jenis

kodok. Beberapa jenis katak mempunyai ukuran yang terdapat lipat dorsolateral,

lipatan dorsolateral yang berawal dari belakang mata yang memanjang di atas

pangkal paha, serta lipatan supratimpanik yang berawal dari belakang mata yang

menjang di atas gendang telinga dan berakhir di dekat pangkal lengan (Khatimah,

2018).

2.5.5 Perilaku Amphibi

2.5.5.1 Tingkah Seksual

Nyanyian atau vokalisasi merupakan upaya yang digunakan oleh pejantan

untuk memikat betina, dari tengah perairan atau tepi perairan. Contohnya Kaloula

baleata jenis ini sering kali membentuk kelompok bernyanyi. Kumpulan pejantan

berkumpul dan saling bersahutan. Pejantan yang memiliki suara merdu adalah

ciri-ciri yang disukai oleh betina. Jika terjadi kecocokan anatara pejantan dan

betina, maka dilanjutkan dengan tahap percumbuan kemudian tahap perkawinan

(Marunung, 1995).

Amphibi melakukan perkawinan atau fertilisasi berlangsung secara

eksternal. Pekawinan pada katak disebut dengan amplexus. Amplexus yang biasa

terjadi pada Ordo Anura menurut (Duellman dan Trueb, 1986) yakni:
1. Inguinal : Kaki depan katak jantan memeluk pinggang katak betina dan

kloaka tidak berdekatan.

2. Axillar : Kaki depan katak jantan memeluk samping kaki depan katak

betina dan kloaka berdekatan.

3. Chepalic : Kaki depan jantan memeluk kerongkongan katak betina.

4. Glued : Katak jantan berdiri di belakang katak betina dan mendekatkan

ke dua kloaka masing-masing.

5. Straddle : Katak jantan menunggangi katak betina tanpa memeluk katak

betina.

6. Independent : Kedua katak saling membelakangi dan menempelkan kloaka

bersamaan.

2.5.5.2 Tingkah Maternal

Amphibi menyembunyikan telur-telurnya pada sarang busa, air dan

berbagai tempat lembap lainnya. Perilaku menyimpan telur tersebut berbeda-beda

pada setiap jenisnya. Contohnya kodok gunung meletakkan telurnya di berbagai

lumut basah sekitar pepohonan, sedangkan kodok hutan meletakkan telurnya di

atas punggung pejantan yang lembap hingga tumbuh menjadi kodok kecil

(Marunung, 1995).

2.5.5.3 Tingkah Agonistik

Amphibi biasanya bersembunyi dalam celah terlindung, dedaunan, batang

pohon, di balik batu, dan jerami saat siang hari. Amphibi tidak hanya

bersembunyi, ia juga dapat melompat untuk melindungi diri, contohnya pada

Famili Ranidae. Ada juga yang menyamarkan diri, contohnya pada Famili

Megophrydae, dan mengeluarkan kelenjar racun dari kulitnya, contohnya pada


Famili Bufonidae. Beberapa amphibi juga melindungi diri dengan menggigit,

contohnya Asterophys turpicola, Hemiphractus, Ceratophrys, dan

Ceratobatrachus (Iskandar, 1998).

2.6 Famili-Famili Ordo Anura di Jawa Timur

2.6.1 Famili Ranidae (Huia masonii)

Katak yang memiliki nama lokal Kongkang Jeram merupakan katak

endemic di Pulau Jawa. Huia masonii memiliki bentuk tubuh ramping dan

berukuran sedang, moncong yang runcing, tympanum kecil, kaki yang ramping,

dan jari kaki dengan piringan yang sangat lebar, serta terdapat lekuk sirkum

marginal. Permukaan kulit pada katak jenis ini bertekstur halus dengan lipatan

dorsolateral dan berwarna coklat. Ukuran betina dewasa lebih besar mencapai

sekitar 65 mm daripada ukuran jantan dewasa yang memiliki ukuran sekitar 30

mm (Amin, 2020).

Katak ini banyak ditemukan di pegunungan ataupun di dataran rendah

tropis yang lembab. Habitat alaminya yakni sungai berarus deras yang memiliki

air jrnih dan berbatu. Persebarannya di Jawa Timur meliputi Lokasi Wisata

Bedengan, Ledok Amprong Poncokusumo, di area Coban Jahe Kabupaten

Malang, Air Terjun Watu Ondo, Gunung Welirang, Kawasan Air Terjun Tancak

Kembar Kabupaten Bondowoso (Amin, 2020).

Moncong
runcing
Tympanium kecil
Piringan
Jari kaki
Huia masonii, (Amin, 2020).

2.6.2 Famili Bufonidae (Duttaphrynus melanostictus)


Nama lokal jenis ini adalah Katak Buduk atau Katak Puru. Dinamakan

Duttaphrynus melanostictus karena katak ini memiliki benjolan-benjolan

berwarna hitam yang terdapat di area atas tubuhnya dengan moncong yang

meruncing. Tubuh katak jenis ini berukuran sedang dengan alur-alur supraorbital

dan supratimpanik menyambung, serta kelenjar tiroid yyang jelas. Selaput renang

di jarinya tidak penuh, hanya separuh, karena habitat katak ini lebih suka area

terrestrial. Tekstur kulit jenis ini relatif berkerut, dengan bintil bintil yang terlihat

jelas. Kulitnya berwarna coklat kusam, kehitaman ketika sudah dewasa dan

berwarna kemerahan ketika masih muda. Katak jantan dewasa dapat tumbuh

mencapai 55-80 mm dan betina dewasa tumbuh hingga 65-85mm (Amin, 2020).

Jenis ini umum ditemukan di dataran rendah yang terganggu dan jarang

ditemukan berada di dalam hutan. Menyukai tempat di dekat hunian manusia.

Termasuk perkampungan dan perkotaan, lahan terbuka, kebun, parit, dan di area

rerumputan. Persebaran katak buduk ini meliputi wilayah Pasuruan, Kediri,

Madura, Batu, Malang, dan Jember (Amin, 2020).

Benjolan Moncong
hitam runcing
Kelenjar
tiroid
Duttaphrynus melanostictus, (Amin, 2020).

2.6.3 Famili Megophrydae (Leptobrachium hasseltii)

Spesies ini memiliki tubuh yang gembung, kepala lebih besar dari tubuh,

bagian dorsal lebih gelap dengan bercak hitam, pasif dan memiliki mata yang

besar, mempunyai lipatan supratimpanik, memiliki selaput diantara jarinya, dan


memiliki ujung jari yang bulat. Spesies ini memiliki nama lokal katak serasah, dan

spesies ini di temukan di Kawasan Wisata Ledok Amprong (Khatimah, 2018).

Mata
Lipatan besar
supratimpanik

Leptobrachium hasseltii, (Amin, 2020).

2.6.4 Famili Rhacophoridae (Polypedates leucomystax)

Spesies ini biasa di sebut dengan katak pohon. Katak ini memiliki ciri

morfologi diantaranya berwarna coklat kekuningan, tubuh halus, memiliki garis

gelap yang memanjang dari kepala sampai buntut ujung jari melebar membentuk

disc, dan tungkai belakang memiliki selaput hampir seluruhnya. Sebaran katak ini

ditemukan di Kawasan Wisata Ledok Amprong (Khatimah, 2018).

Garis
gelap Ujung
jari

Polypedates leucomystax, (Amin, 2020)

2.6.5 Famili Dicroglossidae (Fejervarya limnocharis)

Spesies ini di temukan di area persawahan, sehingga di sebut dengan katak

tegalan. Spesies ini memiliki ciri morfologi sebagai berikut, tubuh kecil, terdapat

bercak-bercak yang tersebar, bintil-bintil lebih panjang dari bintil spesies lainnya,

warna tubuh seperti lumpur kehijauan dan terdapat garis pada tengah dorsal, dan

ditemukan di Kawasan Wisata Ledok Amprong (Khatimah, 2018).


Garis tengah
dorsal
Bintil
panjang

Fejervarya limnocharis, (Amin, 2020).

2.7 Reptil

2.7.1 Pengertian Reptil

Reptil merupakan satwa bertulang belakang ang bersisik. Reptil dibagi ke

dalam empat bangsa yaitu Testudinata (kura-kura), Squamata (kadal, ular, dan

amphisbaenia), Rhynchocephalia (tuatara), dan Crocodylia (buaya) (Yanuarefa et

al, 2012).

Reptil adalah kelompok hean bertulang belakang, dengan ciri utama: kulit

terluar mengalami penandukan menjadi sisik atau penulangan menjadi tempurung,

serta telur reptile dengan cangkang luar yang keras. Sisik dan cangkang telur pada

reptile merupakan mekanisme adaptasi di darat terutama untuk melindungi diri

dari dehidrasi. Reptil juga termasuk hewan eksotermis, yaitu hewan yang

memerlukan bantuan panas atau kalor dari lingkungan untuk membantu proses

metabolisme tubuhnya (Hadi et al, 2016).

2.7.2 Ciri-Ciri Reptil

Reptil memiliki beberapa ciri-ciri umum menurut (Omegawati et al, 2015)

sebagai berikut:

1. Permukaan tubuhnya ditutupi oleh kulit kering bersisik.

2. Bersifat poikiloterm (berdarah dingin).


3. Alat geraknya berupa kaki seperti cecak dan buaya, ada juga yang bergerak

menggunakan perutnya seperti ular.

4. Berkembang biak dengan bertelur (ovipar), namun ada juga yang bersifat

ovovivipar berkembang biak dengan cara bertelur dan melahirkan, seperti

pada beberapa jenis kadal dan ular.

5. Jantung terbagi menjadi empat ruangan yang terdiri atas atrium kanan, atrium

kiri, ventrikel kanan, dan ventrikel kiri.

6. Fertilisasinya secara internal dan perkembangan embrio terjadi di luar tubuh

induknya.

2.7.3 Klasifikasi

Klasifikasi reptil menurut Van Hoeve (2003) adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Reptilia

Bangsa : Squamata, Testudinata, Crocodillia, dan Rhyncocepalia

2.7.3.1 Ordo Rhynchocephalia

Rhynchocephalia termasuk dalam kelas Reptilia ini mempunyai tengkorak

diapsid yang kecil. Bangsa Rhynchocephalia saat ini yang masih bertahan hidup

ada dua spesies yakni Sphenodon punctatus dan Sphenodon guntheri, jenis ini

berada di Selandia Baru dan biasa dijuluki dengan “tiga mata”. Satu mata terletak

di atas kepala tepatnya di bawah lipatan kulit atau biasa disebut dengan mata

parietal. Mata parietal berfungsi untuk mengukur dan mengatur intensitas cahaya
yang masuk saat berjemur. Bangsa ini mempunyai panjang tubuh sekitar 50 cm

untuk betina dan 60 cm untuk jantan (Cogger, 2013; Cogger dan Zeifel, 2003).

Sphenodon punctatus, (http:www.reptile-database.org)

2.7.3.2 Ordo Crocodilia

Ordo Crocodilia merupakan kelompok hewan nocturnal, memiliki ukuran

tubuh yang sangat besar dibandingkan reptile lainnya. Permukaan tubuh dilapisi

oleh sisik yang berbahan tanduk. Sisik dorsal di bagian lateralnya berbentuk bulat,

sedangkan bagian ventralnya berbentuk segi empat. Ordo Crocodilia memiliki

kepala seperti piramida kuat dan keras dilengkapi dilengkapi gigi yang runcing

dengan tipe tecodont (Iskandar, 2000).

Bangsa ini mempunyai mata yang berada di atas moncong, mempunyai

katup yang berada di belakang rongga mulut berfungsi untuk menghambat

masuknya air ketika akan makan di dalam air (Raven, 2002). Ordo Crocodilia ini

mempunyai jantung yang terdiri atas empat ruangan dibandingkan dengan reptil

lainnya yang mempunyai tiga ruangan (Iskandar, 2000).

1. Famili Aligatoridae

Familia Aligatoridae ini memiliki empat genera famili yakni Alligator,

Paleosuchus, Melanosuchus, dan Caiman. Wilayah persebarannya meliputi bagian


utara Amerika Selatan, bagian barat Amerika Tengah dan Mexico, bagian

tenggara Amerika Serikat dan sebagian kecil dari Cina ( Grzimek, 2003).

Famili Aligatoridae mempunyai karakteristik seperti, kepala berbentuk

lebih pendek, moncongnya berbentuk U dan tumpul, dan ukuran rahang atas jauh

lebih besar dari rahang bawah. Famili ini menempati habitat di hulu sungai, dan

cenderung menghindar ketika bertemu manusia (Elsey, 2010).

Alligator sinensis Fauvel, (http:www.reptile-database.org)

2. Famili Crocodylidae

Famili Crocodylidae dikenal dengan sebutan buaya, di Indonesia

ditemukan empat jenis buaya, seperti Tomistoma schlegelii, Crocodylus

novaeguineae, Crocodilus porosus, dan Crocodilus Siamensis. Keempat jenis

tersebut dilindungi oleh undang-undang berdasarkan pada Surat Keputusan

Menteri Pertanian (Kurniati, 2008).

Famili ini mempunyai ciri-ciri seperti, memiliki bentuk kepala yang lebih

panjang, moncongnya seperti huruf v dan tumpul, kedua rahang atas dan bawah

memiliki ukuran yang sama, mampu memproduksi kelenjar garam yang berguna

untuk mengeluarkan kelebihan garam yang terkandung di tubuhnya. Famili ini


biasa berada di air asin atau payau, jika bertemu manusia Famili Crocodylidae

cenderung menyerang (Hoser, 2012).

Crocodilus porosus, (https://id.m.wikipedia.org)

3. Famili Gavilidae

Famili Gavilidae memiliki dua genera yakni Tomistoma (Tomistoma

Schlegelii) yang persebarannya meliputi Thailand, Malaysia, Sumatra, Borneo dan

Jawa. Sedangkan Gavialis (Gavialis gangeticus) yang persebarannya meliputi

India Utara, Pakistan, Nepal, Bangladesh, Burtan, dan Birma (Pought et al, 1998).

Famili Gavilidae memiliki status kepunahan paling tinggi. Secara umum

Famili Gavilidae hanya memiliki satu jenis yang belum punah yaitu buaya gharial

(Gavialis gangenticus) (Wilis, et al, 2007). Buaya gharial mempunyai moncong

yang panjang dan sempit, permukaan dorsal buaya gharial berwarna hijau gelap

dan bagian ventral berwarna kekuningan. Buaya jantan mempunyai tonjolan

hidung yang berongga di ujung moncong, berfungsi sebagai sex indicator secara

visual dan resonator suara serta perilaku seksual lainnya (Saikiq, 1977).
Gavialis gangenticus, (https://id.m.wikipedia.org)

2.7.3.3 Ordo Testudinata

Ordo Testudinata adalah kelompok hewan yang sangat mudah dikenali di

antara hewan-hewan yang lain, yakni adanya cangkang yang menutupi tubuhnya.

Cangkang ini tersusun atas sisik dermal yang telah mengalami osifikasi yang

merupakan gabungan tulang rusuk, vertebrata dan beberapa bagian dari gelang

bahu

(Pought et al, 1998).

Perbedaan yang sangat terlihat dari Ordo Testudinata dibanding Ordo lain

yakni, adanya cangkang sebagai pembalut tubuh mereka. Cangkang ini tersusun

dari karapas dan plastron. Karapas membalut bagian dorsal kura-kura, sedangkan

abdomen tertutupi oleh plastron (Das, 2010).

Ordo Testudinata dikelompokkan lagi dalam dua Subordo yakni, Subordo

Pleurodia dan Cyptodyra. Subordo Pleurodia ditemukan di habitat akuatik,

sedangkan Subordo Cyptodyra ditemukan di habitat air tawar, terrestrial, dan

lautan terbuka. Jika dilihat dari perbedaan menarik leher, Sub-ordo Pleurodia akan

menggerakkan leher dan kepalanya kea rah samping serta dilipat ke ruang antar

plastron dan karapas. Sedangkan Subordo Cyptodyra menarik leher ke dalam

tempurung rongga tubuh (Britannica Illustrated Science Library Staff, 2008).

2.7.3.4 Ordo Squamata

Ordo Squamata dibagi lebih lanjut menjadi tiga Sub-ordo, yaitu

Amphisbaenia, Sauria (Lacertilia), serta Serpentes (Ophidia). Amphisbaenia tidak

tersebar di Indonesia. Keluarga dalam Sub-ordo Lacertilia sangat beragam bentuk,


ukuran dan warna. Beberapa Famili yang dikenal umum adalah Scincidae (kadal).

Agamidae (bunglon), Gekkonidae (cecak dan tokek), serta Varanidae (biawak)

(Kusrini, 2020).

Ciri umum yang dimiliki oleh Ordo ini adalah tidak memiliki gigi vomer,

tubuhnya ditutupi oleh sisik yang terbuat dari bahan tanduk. Sisik ini selalu

mengalami pergantian yang biasa disebut molting. Persebaran Ordo Squamata

sangat luas, hampir ada di seluruh dunia kecuali Antartika, Irlandia, Selandia Baru

dan beberapa pulau di Oceania (Zug, 1993).

1. Sub Ordo Lacertilia atau Sauria

Lacertilia sebagian besar memiliki empat kaki, walaupun terdapat jenis

kadal yang tidak berkaki atau hanya memiliki dua kaki. Beberapa Lacertilia dapat

meluncur atau terbang dari satu pohon ke pohon lainnya, sebagai adaptasi

perlindungan diri untuk menghindari pemangsa, contohnya Draco volans.

a). Suku Gekkonidae

Gekkoniddae berjenis ovipar dan biasa bertelur sekitar 2-3 kopling per

tahun (Suricata, 2014). Gekkonidae memiliki kemampuan bersosialisasi

menggunakan vokalisasi dengan Gekkonidae yang lain. Beberapa ciri khusus

Gekkonidae seperti mempunyai jari yang termodifikasi untuk memudahkan saat

memanjat permukaan vertikal ataupun melewati langit-langit, mempunyai mata

yang dilapisi oleh membran transparan karena kebanyakan Gekkonidae tidak

memiliki kelopak mata sehingga cara membersihkan matanya dengan dijilat,

beberapa spesies mempunyai kemampuan dalam mengubah warna kulit (mimikri)

dan beberapa spesies dapat melakukan parthenogenesis serta beberapa spesies

betina dapat berkembang biak tanpa pembuahan. Gekkonidae dapat ditemui di


tempat yang memiliki iklim lembap dan kebanyakan mempunyai warna gelap

tetapi ada pula yang terang (Zug, 1993).

Hemidactylus frenatus, (Kusrini, 2020)

b). Suku Scincidae

Suku Scincidae memiliki beberapa ciri-ciri yakni badan dan kepala

tertutupi oleh sisik sikloid yang berukuran sama besar, mempunyai lidah tipis dan

mempunyai papilla berbentuk belah ketupat, mempunyai ekor panjang dan mudah

patah, mempunyai pupil mata yang bulat dan kelopak mata yang jelas, serta

mempunai tipe gigi pleurodont (Zug, 1993).

Eutropis multifasciata, (Kusrini, 2020)

c). Suku Varanidae

Suku Varanidae tersusun atas dua marga yakni, Varanus dan

Lanthanotus. Suku ini mempunyai ciri tubuh seperti berkemban biak secara

ovipar, mempunyyai lidah yang panjang, bercabang, dan bertipe gigi pleurodont,

mempunyai badan yang besar dan dilengkapi dengan sisik bulat pada bagian
dorsal sedang bagian ventral dilengkapi dengan sisik melintang, mempunyai

llipatan kulit dibagian leher dan badan, mempunyai pupil mata yang bulat dengan

kelopak mata, mempunyai lubang telinga, serta mempunyai kepala yang dilapisi

oleh sisik berbentuk polygonal (Zug, 1993).

Varanus salvator, (Kusrini, 2020)

d). Suku Agamidae

Suku Agamidae termasuk kadal besar dan kecil yang secara geologis

bertubuh jongkok, kepala berukuran besar dan dilengkapi dengan leher lebar, ekor

berbentuk lonjong dan panjang dan tidak dapat mengalami autotomi, serta

mempunyai kaki yang dapat berkembang dengan cukup baik. Persebaran Suku

Agamidae cukup luas mulai dari daratan Eropa Tenggara, Asia, Australia, Afrika

dan beberapa Pulau Indo-Australia (Suricata, 2014).

Suku Agamidae dapat dijumpai pada pepohonan dan semak. Agamidae

mempunyai badan yang pipih dan dilengkapi oleh sisik yang berbentuk bintil

ataupun genting, mempunyai ujung lidah yang sedikit menekuk, serta mempunyai

tipe gigi acrodont (Zug, 1993).


Bronchocela cristatelia, (Kusrini, 2020)

e). Suku Pygopodidae

Suku Pygopodidae penyebarannya meliputi Australia, New Britain, dan

New Guinea. Famili ini terbagi dalam delapan genera seperti Delma, Pigopus,

Lialis, Aprasia, dan Ophidiocephalus dengan 31 spesies di dalamnya.

Pygopodidae dapat dijumpai di atas pohon (aboreal) dan meliang dibawah tanah

(subterran). Suku Pygopodidae mempunyai sebutan kadal ular karena tidak

memiliki kaki dan merupakan hewan nocturnal (Zug, 1993).

f). Suku Lacertidae

Suku Lacertidae mempunyai tubuh panjang dengan kepala yang

mengerucut, mempunyai ekor yang panjang dengan ketebalan sedang, mempunyai

tungkai yang berkembang dengan baik, mempunyai sisik granuler pada bagian

dorsal leher dan berkembang biak secara ovipar (Zug, 1993).

Takydromus sexlineatus, (Kusrini, 2020)

g). Suku Dibamidae

Suku Dibamidae mempunyai ukuran tubuh memanjang dan kecil (5-10

cm SVL), mempunyai sisik yang halus dan mengkilat ketika terkena cahaya,

mempunyai mata yang kecil berada di bawah sisik kepala, tidak mempunyai

tungkai depan dan gelang bahu, berkembang biak dengan cara ovovivipar, serta
dapat ditemukan pada habitat fosforial, karena Suku Dibamidae membutuhkan

tanah yang lembap (Zug, 1993).

2. Sub-Ordo Amphisbaenia

Sub Ordo Amphisbaenia merupakan Ordo Squamata yang tidak

mempunyai kaki melainkan mempunnyai kemiripan dengan cacing. Mempunyai

arna semu merah muda dan sisiknya tersusun seperti cincin, hidupnya yang

meliang juga membuat sulit untuk menemukan habitatnya (Grimek, 2003).

Amphisbaenia merupakan hewan fossorial, mempunyai tengkorak yang

kompak, mempunyai tubuh panjang, berekor pendek, mempunyai mata yang

tereduksi tetapi masih dapat melihat, dan tidak ditemukan telinga luar, tungkai,

serta gelang bahu (Zug, 1993).

3. Sub-Ordo Ophidia atau Serpentes

Serpentes merupakan reptil yang penampakannya berbeda dengan

berbagai reptil lainnya, kaki, kelopak mata, ataupun telinga eksternal tidak dapat

ditemukan pada reptil ini. Semua permukaan tubuhnya diselimuti oleh sisik

dengan penataan, jumlah, dan bentuk yang berbeda pada setiap jenis.Ular

memiliki panjang dengan ukuran yang berskisar antara 45-200 cm dengan 10-20%

nya adalah panjang ekor (Mattison, 1992).

Ular adalah reptil yang tidak memiliki kaki, kelopak mata, atau telinga

eksternal. Seluruh tubuhnyatertutup oleh sisik. Sebagian besar ular tidak berbisa,

dan melumpuhkan mangsanya dengan cara melilit atau menelan mangsa hidup-

hidup. Beberapa jenis ular memiliki bisa, yang digunakan untuk melumpuhkan

mangsa, serta sebagai bentuk pertahanan diri bila terancam. Pada dasarnya ular
takut pada manusia, dan hanya menggigit bila merasa terancam dan terpojokkan

(Kusrini, 2020).

a). Suku Colubridae

Famili Colubridae tergolor tidak berbisa, tetapi beberapa spesies

memiliki bisa yang tidak mematikan. Biasanya memiliki gigi bertipe

proteroglypha dan jenis bisa haemotoxin. Mempunyyai ciri khusus yakni sisik

ventralnyya berkembang dengan baik dan melebar sesuai dengan lebar perutnya.

Mempunyai kepa beberbentuk oval dengan sisik yang tersusun sistematis, serta

ekornya berbentuk silindris dan meruncing (Pought et al, 1998).

Ahaetulla prasina, (Kusrini, 2020)

b). Suku Elapidae

Famili ini terdiri atas 62 genus dengan 280 spesies, dikelompokkan

menjadi dua Sub Familia yakni Elapinae dan Hydrophiinae, termasuk ular yang

memiliki bisa, mempunyai tipe bisa neurotoxin, mempunai gigi bertipe

proteroglypha. Elapidae termasuk hewan diurnal sehingga mempunyai pupil mata

membulat. Dapat dijumpai di daerah tropis dan subtropis. Mempunyai panjang

kurang lebih 6 meter dan berkembang biak secara ovipar namun ada pula yang

ovovivipar (Pought et al, 1998).


Naja sumatrana, (Kusrini, 2020)

c). Suku Viperidae

Famili ini biasa disebut dengan ular terran dapat ditemukan di gurun,

tetapi ada juga yang hidup di daerah tropis. Wilayah sebarannya berada di seluruh

dunia. Famili ini berkembang biak dengan cara ovipar dan beberapa ada yang

ovovivipar. Mempunyai gigi bertipe solenoglypha dan mempunyai jenis bisa

haemotoxin (Pought et al, 1998).

d). Suku Pytonidae

Pytonidae tergolong ular yang tidak berbisa, pertumbuhannya dapat

mencapai kuran paling besar sekitar 10 meter, mempunyai habitat di hutan hujan

tropis, mempunyai gigi di bagian premaxilla, dan persebaran family ini meliputi

Indoaustralia dan Afrika (Zug, 1993).

Malayopython reticulatus, (Kusrini, 2020)

e). Suku Natricidae

Natricidae dijuluki sebagai ular air, karena habitatnya berada di tempat

basah dan berumput tidak hanya di air, biasanya juga ditemukan di hutan primer.
Wilayah sebaran Natricidae sangat luas meliputi Sumatra, Nias, Bangka dan

Kalimantan. Famili ini merupakan pemangsa amphibi dan kadal, mempunyai

ukuran tubuh sedang, warna disekitar bibir oranye dan merah sedangkan warna

pada tubuhnyya abu kecoklatan, serta memiliki kepala yang berukuran cukup

besar (Djuhanda, 1982).

f). Suku Homalopsidae

Homalopsidae memiliki sebutan ular air, dimana ular air ini menghuni di

air tawar, payau dan banyak yang hidup di daerah berlumpur (aliran Himalaya

menuju ke lautan Asia Tenggara) (Murphy, 2007). Menurut DAS (2012)

Homalopsidae berkembang biak dengan cara vivipara, beberapa dapat dijumpai di

air tawar dan beberapa dapat dijumpai di air laut. Homalopsidae merupakan ular

bertepi belakang dan tersebar luas di bagian selatan dan Asia Tenggara (Qing,

2006).

g). Suku Boidae

Famili ini biasa dikenal dengan ular pembelit. Dapat ditemukan di

wilayah sebaran seperti Suriname, Bolivia, Columbia, Argentina, dan Asia.

Mempunyai organ pernafasan dan pembuluh darah yang masih primitif.

Mempunyai moncong yang dapat digerakkan, tipe giginya aglipha, dan

mempunyai tungkai belakang yang vestigial (Pought et al, 1998).

h). Suku Thyphlopidae

Thyphlopidae dapat dijumpai di wilayah tropis seperti Asia, Afrika, dan

Amerika. Famili ini biasa dikenal dengan ular buta, karena matanya yang
mereduksi. Mempunyai kepala bulat, berekor pendek, ujung sisik mengalami

penandukan, serta mempunyai panjang kurang lebih 30 cm. Habitatnya berada di

bawah tanah, meliang, atau serasah (Zug, 1993).

i). Suku Uropeltidae

Uropeltidae termasuk ular penggali, karena tubuh bagian depan sangat

berotot. Uropeltidae juga mempunyai ujung ekor yang tumpul dan beberapa

spesies ujung ekornya tertutupi oleh sisik besar dengan permukaan yang kasar.

Mempunyai bentuk kepala agak merucut dan pipih, serta ukuran kepala lebih kecil

dibandingkan dengan leher. Famili ini tersusun atas dua Sub-Familia yakni

Cylindrophiidae dan Uropeltinae (Pought et al, 1998).

j). Suku Xenopeltidae

Suku Xenopeltidae termasuk ular peliang, hidupnya secara nocturnal

dapat dijumpai di hutan hujan tropis, memiki ukuran kurang lebih satu meter,

Sisik dorsal biasanya berwarna hitam atau sangat gelap, jika terkena cahaya sisik

akan terlihat mengkilap. Persebarannya dapat ditemukan di Cina Selatan hingga

Asia Tenggara (Pought et al, 1998).

k). Suku Acrochordidae

Familia ini tersusu atas satu genera dengan tiga spesies. Merupakan ular

akuatik, mempunyai sisik yang sangat kecil, berlunas sehingga tekstur kulit sangat

kasar. Ular ini tidak mampu bergerak di daratan. Ekor sedikit memipih,

mempunyai jaringan penutup yang berada di dalam mulut berguna untuk menutup

choane. Tingkat metabolism lebih rendah dibandinkan dengan ular lainnya.

Hidupnya nocturnal dan berkembang biak secara vivipara (Pought et al, 1998).

2.7.4 Fisiologi dan Morfologi Reptil


2.7.4.1 Fisiologi Reptil

Secara umum Fisiologi pada reptile menurut (Sukiya, 2005) sebagai

berikut:

1. Sistem Pernafasan dan Peredaran Darah

Reptil mempunyai sepasag paru-paru yang berkembang, kecuali paru-

paru kiri pada ular mengalami reduksi. Reptil mempunyai atrium dekster dan

sinister yang terpisah secara sempurna, sedangkan ventrikel dekster dan sinister

terpisah oleh sekat yang belum sempurna. Kecuali pada jantung buaya dan

alligator.

2. Sistem Rangka

Reptil mempunyai tengkorang yang bervariasi di bagian temporal.

Rahang bawah dan rahang atas ular dihubungkan oleh ligamentum. Tidak adanya

tulang sternum memungkinkan mereka dapat memakan mangsa yang jauh lebih

besar dari tubuhnya. Kemudian secra umum, kolumna vertbralis terbagi dalam

beberapa bagian yakni, servik, thorax, lumba, sacrum, dan kauda. Alat gerak pada

reptil juga bervariasi. Muali dari tidak memiliki tungkai, termodifikasi menjadi

sirip, atau memiliki tungkai yang sangat kuat.

3. Sistem Saraf dan Indera

Reptil mempunyai 12 saraf, hal ini berhubungan dengan kecepatan gerak

reptil. Kelenjar endokrin pada reptil tidak berbeda nyata dengan vertebrata tingkat

tinggi lainnya. Beberapa reptil seperti kadal dan ular mempunyai organ Jacobson

pada daerah faringeal (tepatnya di langit-langit mulut) yang berguna sebagai alat

penciuman. Kedua hewan ini mempunyai kebiasaan menjulurkan lidah ketika

akan melakukan proses penciuman. Ketika lidah terjulurkan penuh keluar lidah
akan mengumpulkan bau berupa zat kimia yang berada di udara. Lalu lidah akan

di tarik kembali dan membawa zat kimia ke organ Jacobson dengan cara

menempelkannya ke langit-langit mulut.

4. Sistem Pencernaan

Reptil darat umumnya mempunyai kelenjar pencernaan di dalam rongga

mulut yang berfungsi melumassi makanan. Kadal dan ular memiliki lidah dengan

ujung yang tebal dan lengket berfungsi menangkap mangsa. Selain itu lidah kadal

dan ular mampu menerima respon zat kimia dari lingkungan.

2.7.4.2 Morfologi Reptil

Reptil mempunyai tubuh yang dibungkus oleh sisik kering sebagai

pelindung tubuh. Sisik-sisik ini di kelompokkan menjadi dua yakni epidermal dan

dermal. Sisik dermal berupa lempengan tulang yang tertanam pada kulit. Pada

dermal terdapat bagian berupa kromotofora, hal ini menjadikan beberapa reptil

seperti bunglon mampu melakukan mimikri (Sukiya, 2005).

Perbedaan utama amphibi dan reptil terletak pada perkembangan embrio.

Telur reptil dilindungi oleh membran ekstra embryonal yang disebut sebagai

amnion serta cangkang telur, sedangkan telur amphibi hanya dilindungi oleh

lapisan gelatin semi permiabel.

2.7.5 Perilaku Reptil

2.7.5.1 Perilaku Pergerakan

Ular kobra berburu dengan baik pada siang maupun malam hari, akan

tetapi jarang terlihat aktif di malam hari. Kebanyakan herpetologis

menganggapnya sebagai hewan diurnal. Sebagaimana ular kobra yang lain.

Apabila merassa terancam dan tersudut, ular kobra akan menegakkan lehernya
sertra mengembangkan tulang rusuknya, sehingga kurang lebih sepertiga bagian

muka tubuhnya berdiri tegak dan memipih serupa spatula. Melihat postur

tubuhnya ini dan gerakannya yang gesit dan tangkas, orang umumnyya merasa

takut dan menganggapnya sebagai ular yang agresif serta berbahaya (Marida,

2019).

Perilaku gerak buaya dibedakan dalam dua macam yaitu, perilaku

bergerak di perairan dan perilaku bergerak di daratan. Hal ini disebabkan buaya

bersifat semi akuatik. Diantara kedua lingkungan tersebut perilaku buaya di

perairan lebih penting, karena berbagai macam kebiasaan buaya seperti

menangkap mangsa, reproduksi, dan interaksi sosial terjadi di dalam air (Marida,

2019). Menurut Farmer dan Carrier (2000) frekuensi perilaku bergerak di perairan

yang paling sering dilakukan adalah mengambil nafas atau muncul ke permukaan

air.

Turpepel biasanya beristirahat ketika hasrat makan mereka telah

terpenuhi. Saat siang hari biasanya Turpepel beristirahat di bawah dedaunan

pohon yang jatuh atau disekitar tanaman semak dan belukar. Turpepel juga

biasanya beristirahat di dalam karapas mereka sendiri. Hal itu bisa terjadi ketika

Turpepel berada di tempat yang jauh dari wilayahnya. Perilaku Turpepel sebelum

tidur biasanya akan menggali-nggali di baah dedaunan atau semak belukar untuk

mencari posisi nyaman dan aman (Marida, 2019).

Aktivitas bergerak biawak dilakukan pada pagi dan sore hari, hal ini

dilakukan selain untuk mencari makan, biaawak bergerak untuk menghindari

ancaman dari biawak lainnya dan mencari tempat untuk beristirahat. Perilaku

istirahat ditunjukkan dengan merebahkan atau menempelkan seluruh bagian tubuh


biawak ke permukaan tanah. Pola istirahat yang stabil dilakukan oleh semua kelas

adalah melakukan tiddur di siang dan malam hari (Marida, 2019).

2.7.5.2 Perilaku Makan

Ular kobra merupakan ular pemangsa. Mangsa utamanya adalah jenis-

jenis ular yang berukuran relatif besar seperti sanca atau ular tikus. Ular ini juga

memangsa ular yang berbisa dan kadal berukuran besar seperti biawak.

Sedangkan untuk ular kobra yang dikurung juga memakan daging atau tikus mati.

Setelah menelan mangsa yang besar, ular kobra dapat bertahan hidup berbulan-

bulan, ini dikarenakan laju metabolismenya berlangsung lambat (Marida, 2019).

Buaya memiliki otak paling berkembang dibandingkan dengan reptil

lainnya. Mereka dapat mempelajari pola dan kebiasaan mangsa (Morpurgo et al,

1993). Perilaku buaya betina saat makan sering menggunakan strategi menerkam

mangasanya secara tiba-tiba di perairan. Pada buaya jantan strategi memangsanya

dengan menyelam dan menerkam tiba-tiba, lalu mangsa dilempar ke udara dan

perlahan mangsapun di telan (Marida, 2019).

Turpepel merupakan hean berdarah dingin dan jenis hewan omnivora

yaitu hewan pemakan segala baik tumbuhan ataupun daging. Waktu makan bagi

para Turpepel ialah pagi hari ketika matahari terbit pukul 07.00 atau 07.30 WIT.

Turpepel akan mencari sumber air untuk minum dan mengurangi rasa haus atau

dehidrasi mereka selama tidur. Setelah minum barulah Turpepel mencari makan

(Marida, 2019).

Aktivitas biawak dari tiap umur cenderung sama. Di pagi hari dan sore

hari biawak cenderung mencari makan dan berjemur. Aktivitas berjemur di pagi
hari dilakukan pada pukul 07.00 sampai 10.00 WIB dan sore hari pukul 15.00

sampai 17.00 WIB (Marida, 2019).

2.7.5.3 Perilaku Seksual

Ular kobra bertelur sekitar 20-50 butir, yang di letakkan di dalam sebuah

ssarang penetasan yang terbuat dari timbunan serasah dedaunan. Sarang ini terdiri

dari dua ruangan, ruang baah untuk meletakkan telur dan ruang atas dihuni oleh

induk betina yang menjaga telur-telur hingga menetas. Ular ini bertelur sekitar

bulan April hingga Juli. Telur-telur ini menetas setelah 71-80 hari, dan anakan

ular yang telah menetas memiliki panjang tubuh sekitar 50-52 cm (Marida, 2019).

Buaya dapat menjadi sangat agresif dan mudah menyerang mangsa yang

mendekat ketika musim kawin dan bertelur. Induk buaya betina umumnya

menyimpan telur-telurnya dengan dibenamkan di baah gundukan tanah atau pasir

bercampur dengan serasah daun, induk kemudian menunggui telurnya dari jarak

dua meter (Marida, 2019).

Turpepel berkembang biak seperti halnya satwa lainnya yaitu sang jantan

lebih banyak melakukan gerak-gerik dengan tujuan menarik perhatian betina.

Menurut pengamatan Turpepel jantan biasanya hanya berdiam diri di suatu tempat

yang tenang bahkan lebih sering istirahat (siang) atau tidur (malam). Namun

ketika musim kawin tiba Turpepel jantan menjadi lebih agresif. Turpepel jantan

menjadi tidak tenang dan lebih sering berjalan-jalan di sekitar wilayah teritorinya.

Perilaku

berjalan-jalan Turpepel jantan ialah dengan mengikuti Turpepel betina, kemudian

Turpepel jantan mengeluarkan kepala dan lehernya untuk mencium bagian ekor
Turpepel betina, bahkan sampai kepala Turpepel jantan masuk ke bagian bawah

plastron dari Turpepel betina (Marida, 2019).

Habitat merupakan suatu kaasan yang dapat memenuhi semua kebutuhan

dasar dari populasi tertentu. Kebutuhan dasar populasi adalah untuk berlindung,

berkembang biak, menyediakan makanan dan air serta pergerakan. Habitat biawak

air di Pulau Biawak terdiri dari hutan mangrove dan pantai. Perkembang biakan

biawak adalah dengan bertelur. Telur biawak disimpan di pasir atau di lumpur di

tepi sungai, bercampur dengan daun-daun busuk dan ranting (Alikodra, 1990).

2.8 Famili-Famili Reptil di Jawa Timur

2.8.1 Famili Agamidae (Bronchocela jubata)

Spesimen yang ditemukan ini memiliki ciri morfologi sebagai berikut,

tubuh diselimuti oleh sisik, dorsal berwarna hijau, kulit dapat berubah semakin

gelap jika kondisi tertekan, pada bagian ventral terlihat lebih terang. Spesimen ini

mempunyai jambul di bagian kepala, dan mempunyai ekor berwarna gelap. Jenis

ini ditemukan di pepohonan tinggi sekitar perkemahan wilayah Coban Jahe

(Yunita, 2019).

2.8.2 Famili Gekkonidae (Hemidactylus frenatus)

Spesies ini memiliki ciri morfologi meliputi, tubuh yang pipih dan

berkepala, mempunyai supralabial dan infralabial, ekornyya memiliki segmen,

dorsal bersisik halus, tidak memiliki membran pada jari-jari kakinya, terdapat

bercak putih pada tubuh, kulitnya memiliki warna coklat kusam, dan bercak pada
ekor tersusun rapi. Spesies ini ditemukan di zona terrestrial Coban Jahe (Yunita,

2019).

2.8.3 Famili Scincidae (Gehyra mutilata)

Berdasarkan hasil penemuan dan pengamatan pada spesies ini dapat

tunujukkan beberapa ciri morfologi yakni, mempunyai kepala besar, tubuh yang

kokoh, bentuk badaan agak pipih, mempunyai tekstur kulit lembut dan berwarna

pucat, mempunyai supralabial dan infralabial, ekornya bersegmen, tekstur sisik

bagian dorsal lembut, jari kaki tidak memiliki selaput, dan mempunyai tubercles

yang membesar. Spesies ini dapat ditemukan di Coban Jahe zona terrestrial

(Yunita, 2019).

2.8.4 Famili Pareatidae (Pareas carinatus)

Spesimen ini mempunyai tubuh yang kurus dan ramping, tubuh berwarna

coklat agak kusam dan kekuningan serta terdapat belang-belang hitam samar di

sepanjang tubuhnya, di atas tengkuk terdapat pola X yyang tegas berwarna hitam,

ventral berwarna kuning disertai bitnik-bintik halus gelap kemerahan, kepala agak

membesar, mempunyai iris mata berwarna kuning kecoklatan, dan ekornya

meruncing. Spesies ini dapat dijumpai di zona arboral Coban Jahe (Yunita, 2019).

2.9 Karakter Identifikasi Amphibi dan Reptil

2.9.1 Identifikasi Amphibi

Identifikasi amphibi merupakan tahap menemukan nama spesies yang

telah didapatkan dari hasil sampling. Sebelum melakukan identifikasi Menurut

Kusrini (2013) perlu memahami terlebih dahulu beberapa istilah dan bagian-
bagian tubuh amphibi yang digunakan sebagai kunci dalam mengidentifikasi.

Beberapa ciri yang digunakan untuk identifikasi amphibi menurut Kusrini (2013)

sebagai berikut:

Morfologi yang dapat digunakan sebagai kunci identifikasi (Kusrini, 2013)

1. Bentuk tubuh

Bentuk tubuh yang ramping, bulat dan memanjang dapat menjadi

penentu kelompok dari individu tersebut. Seperti contoh pada Suku Bufonidae

dan Suku Ranidae memiliki bentuk tubuh yang berbeda.

2. Permukaan Kulit

Permukaan kulit pada Ordo Anura mempunyai perbedaan yang cukup

terlihat. Seperti pada Suku Bufonidae yang mempunyai tekstur kulit kasar disertai

dengan granula tau tonjolan-tonjolan. Sedangkan pada jenis lainna memiliki

tekstur halus tetapi berbeda-beda.

Suku Bufonidae mmemiliki permukaan kulit kasar (a) Suku Ranidae


memiliki permukaan kulit halus (b)

a. Warna Kulit
Warna kulit pada amphibi umumnya disesuaikan dengan tempat yang

ditinggalinya, sehingga dapat berkamuflase. Warna kulit tidak dapat dijadikan

parameter utama untuk identifikasi jenis, karena katak dapat merubah warna

kulitnya sesuai dengan lingkungan, pada siang dan malam hari, serta saat kondisi

terancam.

Perbedaan warna pada jenis Anura, Philautus aurifasciatus (a), Leptophryne


borbonica (b), Leptophryne cruentata (c) (Kusrini, 2013).

b. Panjang Tubuh

Panjang tubuh biasanya digunakan untuk mengidentifikasi kelamin

(betina dan janta) pada jenis-jenis tertentu. Panjang tubuh setiap jenis katak juga

berbeda- beda.

Perhitungan panjang tubuh (Kusrini, 2013)

c. Selaput Kaki

Selaput kaki pada katak dapat dijadikan acuan identifikasi jenis. Selaput

pada kaki katak dapat menggambarkan ciri habitat yang biasa ditinggali.
Tipe-tipe Selaput pada jari kaki Ordo Anura (Kusrini, 2013).

d. Lipatan Supratimpanik dan Lipatan Dorsolateral

Lipatan dorsolateral dan lipatan supratimpanik lebih banyak digunakan

untuk mengidentifikasi jenis katak dari Suku Ranidae.

Lipatan supratimpanik dan lipatan dorsolateral pada Anura (Berry, 1975).

e. Kelenjar Paratoid

Kelenjar paratoid digunakan sebagai identifikasi pada Suku Bufonidae,

tetapi bentuk dan ukuran kelenjar paratoid pada setiap jenis dapat berbeda-beda.

Tipe-tipe kelenjar paratoid pada Famili Bufonidae (Berry, 1975).

f.Suara

Suara yang dimiliki oleh Anura berbeda-beda pada tiap jenisnya. Saat

proses perkembangbiakan, katak jantan menggunakan suara untuk memikat katak

betina.

2.9.2 Identifikasi Reptil


Secara umum ada beberapa cara untuk mengidentifikasi jenis reptil di

Asia Tenggara meliputi, Ukuran tubuh, bentuk, warna dan pola. Seperti kadal dan

ular yang biasa dijadikan sebagai kunci identifikasi yakni, jumlah sisik dan pola

sisik pada kepala serta tubuh (Das, 2010). Berikut beberapa cara mengidentifikasi

reptile menurut Das (2010) sebagai berikut :

1. Ukuran Tubuh

a). Kura-kura, Terrapin, dan Penyu

Ada beberapa cara untuk menilai ukuran kura-kura, terrapin, dan penyu.

Cara mengukur panjang spesies yakni diukur panjang garis tengah pada karapas

(SCL).

Batas pengukuran panjang tubuh Ordo Testudinata (Das, 2010)

b). Kadal

Pengukuran panjang tubuh pada semua kadal kecuali ular kaca

ditentukan dengan mengukur panjang tubuh dari moncong ke lubang hidung

(SVL), bukan panjang total.


Batas pengukuran panjang tubuh Lacertilia (Das, 2010)

c). Ular dan Ular kaca

Pengukuran pada jenis ular dan ular kaca (kelompok kadal yang tidak

berkaki) dengan cara mengukur dari ujung moncong hingga ujung ekor (TL).

Batas pengukuran panjang tubuh Serpentes (Das, 2010)

2. Jumlah Karapas

Identifikasi pada jenis ini ditinjau dari jumlah karapas.Pada kulit bagian

atas dan bertulang (karapas) dan cangkang bawah (plastron). Karapas dibagi

menjadi tiga bagian yakni marginal, pleural, dan vertebral.

Tipe-tipe karapas pada Oerdo Testudinata (Das, 2010).

3. Jumlah Sisik

3.1 Kepala Kadal dan Ular

Petunjuk yang penting dalam mengidentifikasi jenis Squamata adalah

posisi dan ukuran sisik. Posisi dan nama sisik kurang lebih merupakan ciri khas di

kelompok Squamata.
a). Kepala Kadal

Letak, tipe, dan nama sisik pada kepala kadal (Das, 2010)

b). Kepala Ular

Letak, tipe, dan nama sisik pada kepala ular (Das, 2010)

3.2 Tubuh Ular

Jumlah sisik pada tubuh ular berguna untuk mengidentifikasi jenis.

Perhitungan sisik bagian tubuh dimulai dari tengah tubuh antara kepala dan kloaka,

dimana jumlah sisik di bagian perut yang paling banyak tidak dihitung.
Cara menghitung sisik pada tubuh ular (Das, 2010).

3.3 Ekor Ular

Jumlah sisik subkaudal adalah jumlah sisik atau pasangan sisik

(tergantung jenisnya) yang letaknya berada di bawah ekor. Perhitungan dilakukan

dari sisik pertama atau pasangan sisik di bawah anus ke sisik yang tepat di depan

sisik terminal di ujung ekor.

Letak dan nama sisik pada ekor ular (2010)

2.10 Deskripsi Lokasi Penelitian

Sebuah kegiatan rekreasi dan pariwisata yang memanfaatkan potensi

sumber daya alam disebut dengan wisata alam. Objek wisata alam menggunakan

wilayah yang masih alami sehingga seringkali dilakukan usaha pelestarian alam di

kawasan tersebut. Wisata alam dapat memberikan manfaat baik secara ekonomi

maupun mempertahankan kebudayaan masyarakat setempat (Rahmayani, 2015).

Berdasarkan hasil survey di Kecamatan Jabung telah terdapat banyak

sekali wisata alam yang telah dibuka, terutama wahana wisata perairannya. Salah

satu wisata alam yakni “Coban Tarzan”. Coban Tarzan terletak di Desa Pandansari

Kecamatan Jabung Kabupaten Malang Jawa Timur. Lokasi Coban Tarzan ini

berdekatan atau tidak jauh dengan Coban Jahe. Coban Tarzan ini memiliki
komposisi biotik dan abiotik yang masih terlihat sehat atau tidak ada campur

tangan manusia secara berlebihan.

Coban Tarzan ini dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai

kawasan wisata alam atau ekowisata. Menurut Muttaqin (2013) ekowisata

bertujuan untuk konservasi sumberdaya hayati dan budaya, pemanfaatan

sumberdaya hayati secara berkelanjutan, akomodasi pembagian keuntungan

dengan masyarakat setempat, pemberdayaan masyarakat dan memuat unsur

pendidikan dan penelitian.

2.11 Metode Visual Ecounter Survey

Metode Visual Ecounter Survey (VES) merupakan metode jelajah bebas.

Metode tersebut dilakukan dengan menyusuri wilayah perairan dan mendata jenis

yang di temukan serta keadaan daerah tempat jenis tersebut ditemukan. Metode ini

digunakan untuk mendata jenis dan habitat herpetofauna. Metode VES juga dapat

digunakan sebagai membedakan kekayaan suatu jenis di suatu area, membuat

daftar jenis, dan memperkirakan kepadatan relatif jenis (Susanto, 2006 dan

Donelly, 1897).

Menurut Heyer (1994) waktu yang efektif untuk melakukan pencarian

menggunakan metode VES dimulai saat senja selama dua atau tiga jam. Langkah-

langkah dalam melakukan metode Visual Ecounter Survey (VES) menurut Hayeret

(1994) sebagai berikut :

1. Melakukan penjelajahan lapangan.

2. Membuat jalur pengamatan di setiap lokasi yang telah ditentukan.

3. Menangkap dan mengumpulkan sampel dengan mendatangi jalur pengamatan

sebanyak tiga kali ulangan untuk setiap lokasi.


4. Mencatat waktu, aktivitas, posisi, dan informasi lain saat spesies ditemukan.

5. Mengidentifikasi spesies menggunakan buku panduan lapangan untuk

mendapatkan nama spesies yang ditemukan.

Anda mungkin juga menyukai