Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH ALGOLOGI

INVENTARISASI MAKROALGA YANG BERPOTENSI SEBAGAI ANTIBAKTERI

DISUSUN OLEH

REDDY ARYANTO (133112620150021)

FAKULTAS BIOLOGI
UNIVERSITAS NASIONAL
JAKARTA
2017
PENDAHULUAN

Indonesia dikenal sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, termasuk
keanekaragaman hayati lautnya. Salah satu organisme laut yang banyak dijumpai di hampir
seluruh pantai di Indonesia ialah makroalga. Makro alga merupakan tumbuhan yang hidup di
laut, tergolong dalam Thalophyta, karena tidak mempunyai akar, batang dan daun sejati,
melainkan hanya menyerupai batang yang disebut thallus (Handayani dkk, 2014). Makroalga
sebagian besar hidup di perairan laut. Untuk dapat tumbuh, makroalga tersebut memerlukan
substrat untuk tempat hidup. Makroalga epifit pada benda-benda lain seperti, batu, batu berpasir,
tanah berpasir, kayu, dan epifit pada tumbuhan lain atau makroalga jenis yang lain.
Makroalga memiliki banyak manfaat, baik manfaat secara ekologis maupun ekonomis.
Manfaat ekologis makroalga yaitu menyediakan habitat untuk beberapa jenis biota laut seperti
jenis krustasea, moluska, ikan maupun alga kecil. Nilai ekonomis makroalga dapat dimanfaatkan
sebagai bahan pangan, bahan baku industri, dan bahan untuk laboratorium seperti industri
farmasi sebagai antibakteri, anti tumor, dan anti kanker. Berdasarkan pentingnya peranan
makroalga, maka perlu dilakukan pendataan atau inventarisasi makroalga yang berpotensi
khususnya dalam industri farmasi. Tujuan penulisan ini yaitu untuk menginventarisasi jenis-jenis
makroalga yang berpotensi dalam industri farmasi. Hasil penulisan ini diharapkan dapat
menjelaskan mengenai jenis-jenis makroalga yang berpotensi sebagai antibakteri.
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian antibakteri
Antibakteri merupakan zat yang dapat mengganggu pertumbuhan atau bahkan mematikan
bakteri dengan cara mengganggu metabolisme mikroba yang merugikan. Mekanisme kerja dari
senyawa antibakteri diantaranya yaitu menghambat sintesis dinding sel, menghambat keutuhan
permeabilitas dinding sel bakteri, menghambat kerja enzim, dan menghambat sintesis asam
nukleat dan protein (Dwidjoseputro, 1980). Salah satu zat antibakteri yang banyak dipergunakan
adalah antibiotik. Antibiotik adalah senyawa kimia khas yang dihasilkan atau diturunkan oleh
organisme hidup termasuk struktur analognya yang dibuat secara sintetik, yang dalam kadar
rendah mampu menghambat proses penting dalam kehidupan satu spesies atau lebih
mikroorganisme (Siswando dan Soekardjo, 1995).
Intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai permasalahan
dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi bakteri terhadap aktivitas
kerja antibiotik. Kombinasi pengobatan menggunakan antibiotik dapat menghasilkan efek
berkebalikan terhadap pertahanan bakteri. Antibiotik tersebut dapat bersifat antagonistik.
Meskipun saat ini sudah banyak industri farmasi yang menghasilkan sejumlah obat antibakteri
baru, resistensi terhadap obat-obat tersebut tetap saja meningkat pesat. Oleh sebab itu, saat ini
pengembangan untuk penemuan antibakteri dari tanaman dianggap penting dan memberikan
harapan baru untuk penelitian selanjutnya.
Pemanfaatan bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia akhir-akhir ini meningkat.
Penggunaan obat tradisional dinilai memiliki efek samping yang lebih rendah dibandingkan
dengan obat yang berasal dari bahan kimia, disamping itu harganya lebih terjangkau. Selain itu
keuntungan lain penggunaan obat tradisional adalah bahan bakunya mudah diperoleh dan
harganya yang relatif murah. Hal ini disebabkan obat tradisional sangat murah, mudah didapat
dan memiliki efek samping serta tingkat toksisitasya jauh lebih rendah dibandingkan dengan
obat-obatan kimia. Seperti diketahui, kekayaan jenis tumbuhan di Indonesia sangat berlimpah,
termasuk di dalamnya adalah tumbuhan yang berpotensi sebagai antibakteri seperti beberapa
jenis makro alga.
B. Deskripsi makro alga
Alga merupakan organisme berklorofil, tubuhnya merupakan thalus (uniselular dan
multiselular), alat reproduksi pada umumnya berupa sel tunggal, meskipun ada juga alga yang
alat reproduksinya tersusun dari banyak sel (Sulisetijono, 2009). Menurut Sulisetijono (2009),
ada tiga ciri reproduksi seksual pada alga yang dapat digunakan untuk membedakannya dengan
tumbuhan hijau yang lain. Ketiga ciri yang dimaksud adalah :
1. Pada alga uniselular, sel itu sendiri berfungsi sebagai sel kelamin (gamet).
2. Pada alga multiselular, gametangium (organ penghasil gamet) ada yang berupa sel
tunggal, dan ada pula gamitangium yang tersusun dari banyak sel.

3. Sporangium (organ penghasil spora) dapat berupa sel tunggal, dan jika tersusun dari
banyak sel, semua penyusun sporangium bersifat fertil.
Makroalga termasuk tumbuhan tingkat rendah. Walaupun tampak adanya daun, batang,
dan akar, bagian-bagian tersebut hanya semu belaka. Makroalga merupakan tumbuhan thalus
yang hidup di air, setidak-tidaknya selalu menempati habitat yang lembab atau basah. Selnya
mempunyai inti dan plastida, dan dalam plastidanya terdapat zat-zat warna derivat klorofil, yaitu
klorofil a dan b atau kedua-duanya. Selain derivat-derivat klorofil terdapat pula zat-zat warna
lain, dan zat warna lain inilah yang justru kadang-kadang lebih menonjol dan menyebabkan alga
tertentu diberi nama menurut warna tadi. Zat-zat warna tersebut berupa fikosianin (warna biru),
fikosantin (warna pirang), dan fikoeritrin (warna merah). Disamping itu juga biasa ditemukan
zat-zat warna santofil, dan karotin (Tjitrosoepomo, 1998).

C. Morfologi makro alga

Alga merupakan kelompok Thallophyta yang berklorofil. Berdasarkan ukuran struktur


tubuhnya, alga dibagi ke dalam dua golongan besar yaitu:
1. Makroalga, yaitu alga yang mempunyai bentuk dan ukuran tubuh makroskopik;
2. Mikroalga, yaitu alga yang mempunyai bentuk dan ukuran tubuh mikroskopik.
Menurut Sulisetijono (2000), kajian fisiologi, biokimia dan dilengkapi dengan
penggunaan mikroskop elektron, maka dasar pengelompokan alga yang utama adalah sebagai
berikut:
1. Pigmentasi
Alga mempunyai berbagai zat warna. Semua golongan alga mengandung klorofil dan
beberapa karotenoid. Dalam pigmen karotenoid termasuk karoten dan xantofil. Disamping
pigmen tersebut yaitu pigmen yang larut dalam larutan organik, ada pula pigmen yang larut
dalam air, yaitu fikobili protein. Misalnya pigmen ini terdapat dalam alga merah.
2. Hasil fotosintesis yang disimpan sebagai cadangan makanan
Cadangan makanan umumnya disimpan di dalam sitoplasma sel, kadang-kadang di dalam
plastida di tempat berlangsungnya fotosintesis. Bentuk yang paling umum adalah zat tepung,
senyawa yang menyerupai zat tepung, lemak, atau minyak..
3. Motilitas
Beberapa jenis alga bersifat motil, sedangkan bagian lainnya tidak bersifat motil, atau
tidak mempunyai sel-sel reproduktif yang motil. Sebagian alga tidak bergerak secara aktif ketika
dewasa, tetapi kadang-kadang dalam stadium reproduktif mempunyai sel-sel motil, misalnya
pada alga coklat (Phaeophyta). Bagian-bagian alga secara umum terdiri dari holdfast yaitu
bagian dasar dari rumput laut yang berfungsi untuk menempel pada substrat dan thallus yaitu
bentuk-bentuk pertumbuhan rumput laut yang menyerupai percabangan.
Gambar 1. Makroalga

Bagian-bagian alga secara umum terdiri dari holdfast yaitu bagian dasar dari alga yang
berfungsi untuk menempel pada substrat dan thallus yaitu bentuk-bentuk pertumbuhan alga yang
menyerupai percabangan. Tidak semua alga bisa diketahui memiliki holdfast atau tidak. Alga
memperoleh atau menyerap makanannya melalui sel-sel yang terdapat pada thallusnya. Nutrisi
terbawa oleh arus air yang menerpa rumput laut akan diserap sehingga alga bisa tumbuh dan
berkembang biak. Perkembang biakan alga melalui dua cara yaitu generatif dan vegetatif
(Juneidi, 2004).

D. Klasifikasi makro alga

Salah satu potensi biota laut perairan Indonesia ialah makroalga atau dikenal dalam
perdagangan sebagai rumput laut (seaweed). Makroalga ini tidak mempunyai akar, batang, dan
daun sejati yang kemudian disebut dengan talus, karenanya secara taksonomi dikelompokkan ke
dalam Divisi Thallophyta. Berdasarkan pigmen dominan penyusunya makroalga di
klasifikasikan menjadi Chlorophyta (alga hijau), Phaeophyta (alga coklat), Rhodophyta (alga
merah) (Waryono, 2001).

1. Chlorophyta (Alga hijau)

Alga hijau merupakan kelompok terbesar dari vegetasi alga. Alga hijau (Chlorophyceae)
termasuk dalam divisi Chlorophyta. Perbedaan dengan divisi lainnya karena memiliki warna
hijau yang jelas seperti pada tumbuhan tingkat tinggi karena mengandung pigmen klorofil a dan
b, serta pigmen tambahan seperti karotin, xantofil, violasantin, dan lutein. Pigmen selalu berada
dalam plastidaini disebut kloroplas. Dinding sel lapisan luar terbentuk dari bahan pektin
sedangkan lapisan dalam dari selulosa. Contoh alga hijau yang dimanfaatkan sebagai antibakteri
ialah Caulerpa racemosa (Marina, 2011)
Caulerpa racemosa tumbuh bergerombol atau berumpun oleh karena itu sering disebut
sebagai anggur laut. Keberadaannya dapat dijumpai di paparan terumbu karang dengan
kedalaman hingga 200 m. Sebagai fitobentik, tumbuhan ini hidup menancap atau menempel di
substrat dasar perairan laut seperti karang mati, fragmen karang, pasir dan lumpur.
Pertumbuhannya bersifat epifitik atau saprofitik dan kadang-kadang berasosiasi dengan
tumbuhan laut (Atmadja, dkk. 1996).

Gambar 2. Caulerpa racemosa

2. Phaeophyta (Alga Cokelat)

Menurut Tjitrosoepomo (1998), Phaeophyceae ialah alga yang berwarna cokelat. Dalam
kromatoforanya terkandung klorofil a, karotin, dan xantofil, terutama fikosantin yang menutupi
warna lainnya dan yang menyebabkan alga terlihat berwarna coklat. Sebagai zat cadangan
makanan terdiri dari laminarin, sejenis karbohidrat yang menyerupai dekstrin dan menyerupai
dengan selulosa dibandingkan dengan zat tepung. Selain laminarin juga ditemukan manit,
minyak, dan zat-zat lain. Dinding sel pada bagian dalam terdiri atas selulosa, sedangkan bagian
luar dari pektin dan terdapat algin, suatu zat yang menyerupai gelatin. Contoh alga cokelat yang
dimanfaatkan sebagai antibakteri ialah Padina australis (Yulneriwarni dkk, 2015).
Padina australis, tumbuh menempel pada batu di daerah rataan terumbu, baik di tempat
terbuka di laut maupun di tempat terlindung. Alat pelekatnya yang melekat pada batu atau pada
pasir, terdiri dari cakram pipih, biasanya terbagi menjadi cuping-cuping pipih dengan lebar 5-8
cm. Tangkai yang pipih dan pendek menghubungkan alat pelekat ini dengan bagian ujung dari
selusin daun berbentuk kipas. Setiap daun mempunyai jari-jari 5 cm atau lebih (Juana, 2009)

Gambar 3. Padina australis

3. Rhodophyta (Alga Merah)

Rhodophyta sebagian besar hidup di laut, terutama dalam lapisan-lapisan air yang dalam,
yang hanya dapat dicapai oleh cahaya gelombang pendek. Hidupnya sebagai bentos, melekat
pada suatu substrat dengan benang-benang pelekat atau cakram pelekat. Hanya beberapa jenis
saja yang hidup di air tawar. Alga merah dapat hidup seperti epifit pada alga yang lainnya, dapat
juga hidup pada hewan laut (epozoik) (Tjitrosoepomo, 1998).
Rhodophyceae berwarna merah sampai ungu. Kromatofora berbentuk cakram atau
lembaran, mengandung klorofil a dan karotenoid, tetapi warna itu tertutup oleh pigmen warna
merah berupa fikoeritrin (Tjitrosoepomo, 1998). Alga merah mempunyai komponen dinding sel
terdiri dari fibriler, yang terdiri dari manan, xylan dan komponen non fibriler. Komponen non
fibriler ini mengandung bahan stabilizer, seperti karaginan dan agar (Sulisetijono, 2000). Contoh
alga merah yang dimanfaatkan sebagai antibakteri diantaranya Kappaphycus alvarezii,
Laurencia nidifica dan Eucheuma denticullatum (Wiyanto, 2010).
Kappaphycus alvarezii memiliki ciri fisik antara lain talus yang kasar, agak pipih dan
bercabang teratur, yaitu bercabang dua atau tiga, ujung-ujung percabangan ada yang runcing dan
tumpul dengan permukaan bergerigi, agak kasar dan berbintil-bintil. Kappaphycus alvarezii
tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-cabang pertama dan
kedua tumbuh membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya
sinar matahari. Cabang-cabang tersebut ada yang memanjang atau melengkung seperti tanduk
(Atmadja, dkk. 1996)

Gambar 4. Kappaphycus alvarezii

Laurencia nidifica memiliki ciri talus berbentuk silindris, percabangan


dichotomous, Spesies ini memiliki serabut - serabut kecil berwarna hijau.
Thallusnya bercabang-cabang tidak beraturan membentuk bentukan seperti
rumpun atau akar. Ukuran talus mencapai panjang 5-7 cm, diameter antara
0,5-1 mm. Warna talus hijau di bagian pangkal berkombinasi dengan warna
merah di bagian ujung. Tekstur talus kenyal dengan permukaan yang lunak.
Eucheuma spinosum memiliki ciri fisik bentuk talus bulat tegak, dengan ukuran panjang
5-30cm, transparan, warna coklat kekuningan sampai merah kekuningan. Permukaan talus
tertutup oleh tonjolan yang berbentuk seperti duri-duri runcing yang tidak beraturan, duri
tersebut ada yang memanjang seolah berbentuk seperti cabang. Tanaman tegak karena
percabangannya yang rimbun dapat membentuk rumpun. Percabangan thallus tumbuh pada
bagian yang tua ataupun muda tidak beraturan (Sulisetijono. 2000).
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Antibakteri merupakan zat yang dapat mengganggu pertumbuhan atau bahkan mematikan
bakteri dengan cara mengganggu metabolisme mikroba yang merugikan.
2. Makro alga merupakan tumbuhan yang hidup di laut, tergolong dalam Thalophyta,
karena tidak mempunyai akar, batang dan daun sejati, melainkan hanya menyerupai
batang yang disebut talus.
3. Makro alga yang berpotensi sebagai antibakteri diklasifikasikan menjadi beberapa divisi.
Chloropytha (Caulerpa racemosa), Phaepytha (Padina australis), Rhodophyta
(Kappaphycus alvarezii, Laurencia nidifica dan Eucheuma spinosum).
DAFTAR PUSTAKA

Atmadja P., Kadi A., Sulistijo, Satari R. 1996. Pengenalan Jenis-Jenis Rumput Laut Indonesia.
Bogor : Puslitbang Oseanologi LIPI.

Dwidjoseputro, D. 1980. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta : Gramedia.

Handayani, S, Setia TM, Rahayu SE. 2014. Pengenalan Makro Alga Indonesia. Jakarta : Dian
Rakyat.

Juana, S. 2009. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Jakarta : Djambatan.

Junaedi, W. 2004. Rumput Laut, Jenis dan Morfologinya. Jakarta: Departemen


Pendidikan Nasional

Marina, O. 2011. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Alga Laut Caulerpa racemosa dari Perairan
Pulau Nain. Manado : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Sam Ratulangi.

Siswandono dan Soekardjo. 1995. Kimia Medisinal. Surabaya: Airlangga University Press.

Sulisetijono. 2000. Studi Eksplorasi Potensi dan Taksonomi Makroalga di


Pantai Kondang Merak Kabupaten Malang.
Malang: Lembaga Penelitian Universitas Negeri Malang

Tjitrosoepomo dan Gembong. 1998. Taksonomi tumbuhan. Yogyakarta: UGM


Press

Waryono, T. 2001. Biogeografi Alga Makro Laut di Kawasan Pesisir Indonesia. Jakarta :
Gramedia.

Wiyanto, B. 2010. Uji Aktivitas Ekstrak Rumput Laut Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma
denticullatum terhadap Bakteri Aeromonas hydrophila dan Vibrio harveyii Madura :
Fakultas Sosial Ekonomi Perikanan Universitas Islam Madura

Yulneriwarni , Hilda, S. dan Handayani, S. 2015. Aktivitas Antibakteri Makroalga Padina


australis dan Laurencia nidifica di Kepulauan Seribu terhadap Bakteri Staphylococcus
aureus dan Escherichia coli Jakarta : Fakultas Biologi Universitas Nasional.

Anda mungkin juga menyukai