Anda di halaman 1dari 6

INVERTEBRATA SEBAGAI
BIOINDIKATOR
LINTAH (Hirudo medicinalis) sebagai
Bioindikator Pencemaran Lingkungan
Perairan Tawar

LINTAH (Hirudo medicinalis) sebagai Bioindikator Pencemaran Lingkungan Perairan


Tawar Gambar 2.5 Lintah (Hirudo medicinalis)

(Sumber: http://www.britannica.com/EBchecked/topic/196294/European-medicinal-leech)
Kedudukan klasifikasi dari lintah adalah sebagai berikut. 1)Kingdom: Animalia 2)Phylum:
Annelida 3)Class: Clitellata 4)Subclass: Hirudinea 5)Ordo: Arhynchobdellae 6)Family:
Hirudinidae 7)Genus: Hirudo 8)Spesies: Hirudo medicinalis (Sumber:Pechenik, 2005) Lintah
(Hirudo medicinalis) merupakan organisme yang tergolong sebagai makrozoobentos. Organisme
lain yang termasuk makrozoobentos diantaranya adalah: Crustacea, Isopoda, Decapoda,
Oligochaeta, Mollusca, Nematoda dan Annelida (Cummins, 1975 dalam Denny et al., 2009).
Gaufin dalamDenny et al. (2009) mengelompokkan spesies makrozoobentos berdasarkan
kepekaannya terhadap pencemaran bahan organik, yaitu kelompok intoleran, fakultatif dan
toleran. 1)Organisme intoleran yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam
kisaran kondisi lingkungan yang sempit dan jarang dijumpai di perairan yang kaya organik.
Organisme ini tidak dapat beradaptasi bila kondisi perairan mengalami penurunan kualitas.
2)Organisme fakultatif yaitu organisme yang dapat bertahan hidup pada kisaran kondisi
lingkungan yang lebih besar bila dibandingkan dengan organisme intoleran. Walaupun
organisme ini dapat bertahan hidup di perairan yang banyak bahan organik, namun tidak toleran
terhadap tekanan lingkungan. 3)Organisme toleran yaitu organisme yang dapat tumbuh dan
berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang luas, yaitu organisme yang sering dijumpai
di perairan yang berkualitas jelek.

Pada umumnya organisme tersebut tidak peka terhadap berbagai tekanan lingkungan dan
kelimpahannya dapat bertambah di perairan yang tercemar oleh bahan organik. Lintah
merupakan organisme yang masih dapat ditemukan pada lingkungan yang tercemar, sehingga
termasuk ke dalam organisme toleran.

Menurut Lenat (2003) dalam Koperski (2005), umumnya spesies lintah dapat ditemukan pada
habitat eutrofik, poly-saprobic, dan lingkungan yang mengalami tekanan menengah maupun
tekanan yang tinggi. Salah satu cara yang digunakan untuk memantau perubahan yang terjadi di
dalam suatu ekosistem adalah pemanfaatan bioindikator. Swasta (2003) menyatakan bahwa
bioindikator ekologis adalah mahluk yang diamati penampakannya untuk dipakai sebagai
petunjuk tentang keadaan kondisi lingkungan dan sumber daya pada habitatnya. Selain itu,
menurut Kopciuch (2004) bioindikator adalah indikator biologis terhadap suatu kualitas
lingkungan yang dapat memberikan suatu gambaran situasi ekologi. Menurut Odum (1993)
adapun pedoman mengenai mahluk yang dapat digunakan sebagai bioindikator ekologis yaitu:
1)Spesies steno (kisran toleransinya sempit) lebih baik dipakai sebagai indikator dibandingkan
dengan spesies yang euri (kisaran toleransinya luas). 2)Spesies yang dewasa lebih baik dipakai
sebagai indikator dibandingkan dengan yang masih muda. 3)Sebelum mempercayai penampakan
mahluk sebagai indikator ekologis, maka terlebih dahulu harus ada bukti yang cukup bahwa
suatu faktor yang dipermasalahkan memang benar dapat membatasi. 4)Banyak hubungan
diantara jenis, populasi, dan seluruh komunitas seringkali memberikan indikator yang lebih dapat
dipercaya daripada satu jenis yang tunggal karena integrasi keadaan yang lebih baik dicerminkan
oleh keseluruhan daripada oleh sebagian.

Butler et al. (1971) dalam Agus (2001) menyatakan bahwa bioindikator yang dapat digunakan
untuk memantau keadaan polusi di suatu tempat sebaiknya memenuhi kriteria sebagai berikut:
1)Organisme yang dijadikan sebagai bioindikator memiliki kisaran toleransi yang sempit
terhadap perubahan lingkungan. 2)Organisme yang dijadikan sebagai bioindikator memiliki
kebiasaan hidup menetap di suatu tempat atau pemencarannya terbatas. 3)Organisme yang
dijadikan sebagai bioindikator mudah dilakukan pengambilan sampel dan merupakan organisme
yang umum dijumpai di lokasi pengamatan. 4)Akumulasi dari polutan tidak mengakibatkan
kematian pada organisme yang dijadikan sebagai bioindikator. 5)Organisme yang dijadikan
sebagai bioindikator lebih disukai yang berumur panjang, sehingga dapat diperoleh individu
contoh dari berbagai stadium atau dari berbagai tingkatan umur. Selain itu, menurut Pearson
(1994) dalam Shahabuddin (2003) bahwa beberapa kriteria umum yang dapat digunakan untuk
menggunakan suatu jenis organisme sebagai bioindikator adalah 1) Secara taksonomi telah stabil
dan cukup diketahui. 2) Sejarah alamiahnya diketahui 3) Siap dan mudah disurvei dan
dimanipulasi 4) Taksa yang lebih tinggi terdistribusi secara luas pada berbagai tipe habitat 5)
Taksa yang lebih rendah spesialis dan sensitif terhadap perubahan habitat. 6) Pola
keanekaragaman mengambarkan atau terkait dengan taksa lainnya yang berkerabat atau tidak. 7)
Memiliki potensi ekonomi yang penting. Salah satu biota yang dapat digunakan sebagai
parameter biologi (bioindikator) dalam menentukan kondisi suatu perairan adalah hewan
makrozoobentos (lintah).

Sebagai organisme yang hidup di perairan, hewan makrozoobentos sangat peka terhadap
perubahan kualitas air tempat hidupnya sehingga akan berpengaruh terhadap komposisi dan
kelimpahannya. Hal ini tergantung pada toleransinya terhadap perubahan lingkungan, sehingga
organisme ini sering dipakai sebagai bioindikator tingkat pencemaran suatu perairan. Arisandi
(2001) menyatakan bahwa jenis ideal yang dapat digunakan sebagai bioindikator adalah
organisme akuatik yang tidak memiliki tulang belakang (makroinvertebrata). Makroinvertebrata
air terdiri dari Larva Plecoptera (stonefly), Larva Trichoptera (kutu air), Larva Ephemeroptera
(kumbang perahu), Platyhelminthes (cacing pipih), Larva Odonata (capung), Crustaceae (udang-
udangan), Mollusca (siput dan kerang), Larva Hemiptera (kepik), Coleoptera (kumbang air),
Hirudinea (lintah), Oligochaeta (cacing), dan Larva Diptera (nyamuk, lalat).

Diantara hewan bentos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap perubahan
lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang termasuk dalam kelompok invertebrata
makro. Kelompok ini lebih dikenal dengan makrozoobentos (Rosenberg dan Resh, 1993 dalam
Denny et al., 2009). Makrozoobentos terdapat di seluruh badan sungai mulai dari hulu sampai ke
hilir. Dengan keberadaan makrozoobentos yang hidupnya menetap dengan waktu yang relatif
lama, maka makrozoobentos ini dapat digunakan untuk menduga status suatu perairan.
Penggunaan makrozoobentos sebagai penduga kualitas air dapat digunakan untuk kepentingan
pendugaan pencemaran baik yang berasal dari point source pollution maupun diffuse source
pollution (Handayani et al., 2001). Menurut Arisandi (2001) menyatakan bahwa
makroinvertebrata khususnya lintah lebih banyak dipakai dalam pemantauan kualitas air karena
memenuhi beberapa kriteria, antara lain: 1)Sifat hidupnya yang relatif menetap/tidak berpindah-
pindah, meskipun kualitas air tidak mengalami perubahan. 2)Dapat dijumpai pada beberapa zona
habitat akuatik, dengan berbagai kondisi kualitas air. 3)Masa hidupnya cukup lama, sehingga
keberadaannya memungkinkan untuk merekam kualitas lingkungan di sekitarnya 4)Terdiri atas
beberapa jenis yang memberi respon berbeda terhadap kualitas air. 5)Relatif lebih mudah untuk
dikenali dibandingkan dengan jenis mikroorganisme. 6)Mudah dalam
pengumpulan/pengambilannya, karena hanya dibuthkan alat yang sederhana yang dapat dibuat
sendiri.

Selain itu, menurut Scrimgeour (1998) dalam Koperski (2005) ada beberapa alasan Hirudinea
sangat bermanfaat dalam bioindikator pencemaran air tawar, yaitu: 1)Keanekaragaman
taksonominya lebih sedikit (hanya sekitar 30 jenis spesies lintah) dibandingkan dengan grup
invertebrata lainnya yang hidup pada air bersih. 2)Hampir semua jenisnya mudah untuk
diklasifikasikan dan hanya beberapa yang merupakan spesies langka. 3)Semua jenis lintah
merombak oksigen dalam respirasinya dan memiliki kemampuan untuk melakukan penetrasi ke
permukaan tubuh dengan mudah. 4)Kebanyakan spesies lintah hidup pada air yang cukup
hangat. Lintah merupakan spesies yang univoltine dan menghabiskan seluruh siklus hidup di
habitatnya. Macova (2009) menyatakan bahwa makroinvertebrata memiliki umur yang cukup
panjang dan memiliki kontak yang tetap terhadap sedimen sungai sehingga makroinvertebrata
sensitif terhadap kontaminasi dan toksisitas yang terjadi pada sedimen sungai. Sebagai
bioindikator, biota makroinvertebrata dapat memenuhi tujuan pemantauan kualitas air yang
hakiki, yaitu: dapat memberikan petunjuk telah terjadi penurunan kualitas air, dapat mengukur
efektivitas tindakan penanggulangan pencemaran, dapat menunjukkan kecenderungan untuk
memprediksi perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada waktu yang akan datang.
Sehingga pemantauan kualitas air sungai dapat dilakukan dengan melakukan pemantauan pada
satwa-satwa yang ada di sungai.

Spellerberg (1995) dalam Agus (2001) memilahkan spesies indikator polutan menjadi lima
kelompok, yaitu: 1)Sentinel Suatu spesies organisme yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap
polutan, yang mana spesies organisme ini umumnya diintroduksikan ke suatu habitat untuk
mengetahui dan memberi peringatan dini terjadinya polusi. (2) Detektor Suatu spesies
organisme, penghuni asli di suatu habitat, yang mampu menunjukkan adanya perubahan yang
dapat diukur (misalnya perilaku, kematian, morfologi) pada lingkungan yang berubah.
(3) Eksploitor Suatu spesies organisme yang kehadirannya menunjukkan adanya suatu
goncangan atau polusi di suatu tempat, bahkan jumlah individunya berlimpah di tempat
terjadinya polusi (karena kurangnya kompetisi dengan spesies lain yang tidak mampu hidup di
tempat terjadinya polusi). (4) Akumulator Suatu spesies organisme yang mengambil dan
mengakumulasikan senyawa-senyawa kimia dalam jumlah yang dapat diukur (5) Organisme
bioassay Suatu spesies organisme terpilih, yang digunakan untuk media pendeteksi adanya
polutan di laboratorium, baik besarnya konsentrasi suatu polutan maupun tingkat toksisitas suatu
polutan. Dalam hal pembagian tersebut, lintah termasuk ke dalam organisme eksploitor. Hal ini
dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1Klasifikasi Kelas Air dan Bioindikatornya (Sumber: Ministry of Environment


Republic of Korea, 2010)

Gambar 2.1 menunjukkan kelas air dan bioindikatornya yang menjadi standar dalam
mengevaluasi kualitas perairan air tawar, antara lain: 1)Air kelas satu: bersih dan tidak berbau
sehingga dapat digunakan sebagai air minum setelah melakukan suatu proses pemurnian
sederhana. Pada air kelas satu, bioindikator yang dapat digunakan adalah ikan lenox, udang,
stone fly, planaria, dan freshwater crayfish. Jika menemukan bioindikator tersebut pada suatu
perairan tawar dalam jumlah yang berlimpah, maka air pada perairan tawar tersebut termasuk air
kelas satu. Jika tidak menemukan bioindikator tersebut, maka air pada perairan tawar tersebut
termasuk air kelas lain (selain air kelas satu). 2)Air kelas dua: dapat dimanfaatkan untuk minum
setelah melalui proses tertentu, mandi, dan berenang.

Pada air kelas satu, bioindikator yang dapat digunakan adalah keong hitam, caddis fly larva,
kalajengking air, larva capung, anggang-anggang, dan kutu busuk air. Jika menemukan
bioindikator tersebut pada suatu perairan tawar dalam jumlah yang berlimpah, maka air pada
perairan tawar tersebut termasuk air kelas dua. Jika tidak menemukan bioindikator tersebut,
maka air pada perairan tawar tersebut termasuk air kelas lain (selain air kelas dua). 3)Air kelas
tiga: air berlumpur dengan warna coklat kekuning-kuningan. Pada air kelas satu, bioindikator
yang dapat digunakan adalah freshwater snail, lintah, keong, shellfish, anggang-anggang, dan
kutu busuk air. Jika menemukan bioindikator tersebut pada suatu perairan tawar dalam jumlah
yang berlimpah, maka air pada perairan tawar tersebut termasuk air kelas tiga. Jika tidak
menemukan bioindikator tersebut, maka air pada perairan tawar tersebut termasuk air kelas lain
(selain air kelas tiga). 4)Air kelas empat: air yang tercemar serius dan jika berenang dapat
menyebabkan gangguan/penyakit kulit. Pada air kelas satu, bioindikator yang dapat digunakan
adalah Tubifex, larva kupu-kupu, midge, dan lintah. Jika menemukan bioindikator tersebut pada
suatu perairan tawar dalam jumlah yang berlimpah, maka air pada perairan tawar tersebut
termasuk air kelas empat. Jika tidak menemukan bioindikator tersebut, maka air pada perairan
tawar tersebut termasuk air kelas lain (selain air kelas empat). 5)Air kelas lima: Air yang sangat
tercemar sehingga tidak ada organisme yang dapat hidup.

Pada Gambar 2.1 dapat dilihat bahwa leech (lintah) merupakan bioindikator pada air kelas
empat. Dimana hanya beberapa spesies yang dapat hidup pada kualitas air tersebut antara lain
tubifex, larva kupu-kupu, sejenis serangga kecil, dan lintah. Jika lintah (Hirudo
medicinalis)mendominansi suatu perairan tawar, maka perairan tersebut telah tercemar. Dan jika
lintah (Hirudo medicinalis) tidak mendominasi suatu perairan tawar, maka perairan tawar
tersebut belum tercemar. Sebagai organisme dasar perairan, lintah (Hirudo medicinalis)
mempunyai habitat yang relatif tetap. Dengan sifatnya yang demikian, perubahan-perubahan
kualitas air dan substrat tempat hidupnya sangat mempengaruhi komposisi maupun
kelimpahannya. Hal ini baik digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan, karena lintah
selalu mengadakan kontak langsung dengan limbah yang masuk ke habitatnya. Kelompok
hewan tersebut dapat lebih mencerminkan adanya perubahan faktor-faktor lingkungan dari waktu
ke waktu karena Lintah (Hirudo medicinalis) terus menerus terdedah oleh air yang kualitasnya
berubah-ubah (Oey, 1978 dalam Denny et al., 2009).

Indeks biotik merupakan nilai dalam bentuk skoring yang dibuat atas dasar tingkat toleransi
organisme atau kelompok organisme terhadap cemaran. Indeks tersebut juga memperhitungkan
keragaman organisme dengan mempertimbangkan kelompok-kelompok tertentu dalam kaitannya
dengan tingkat pencemaran (Trihadiningrum dan Tjondronegoro, 1998 dalam Wardhana 1999).
Nilai indeks dari suatu lokasi dapat diketahui dengan menghitung nilai skoring dari semua
kelompok hewan yang ada dalam sampel. Salah satu metode adalah Biological Monitoring
Working Party-Average Score Per Taxon (BMWP-ASPT) yang dikembangkan di Inggris
(Armitage dkk., 1983 dalam Wardhana,1999). Sistem tersebut mengelompokkan atau membagi
biota bentik menjadi 10 tingkatan berdasarkan kemampuannya dalam merespon cemaran di
habitatnya. Pada Tabel 2.1 diperlihatkan satu contoh nilai indeks biotik BMWP-ASPT yang
disederhanakan berdasarkan contoh umum dari kelompok biota bentik perairan sungai di daerah
tropik. (Sumber: Wardhana,1999) Di Indonesia pemakaian indeks biotik untuk menilai kualitas
air masih sangat terbatas. Trihadiningrum (1995) dalam Wardhana (1999) telah berhasil
menyusun klasifikasi makroinvertebrata berdasarkan beban cemaran. Pengelompokkan biota
didasarkan atas kelimpahan jenis tertinggi yang dijumpai padat ingkat kualitas air tertentu. Atas
dasar tersebut kualitas air sungai dapat dibagi menjadi 6 kelas tingkat cemaran (Tabel 2.2).

Berdasarkan Tabel 2.1, nilai indeks biotik dapat diperoleh dengan cara merata-ratakan seluruh
jumlah nilai skoring dari masing-masing kelompok biota yang diperoleh di perairan air tawar.
Nilai indeks akan berkisar antara 0-10 dan sangat bervariasi bergantung pada musim. Semakin
tinggi nilai yang diperoleh akan semakin rendah tingkat cemaran yang ada. Nilai indeks yang
terdapat pada Tabel 2.1. tersebut hanya dapat digunakan untuk perairan sungai dan tidak dapat
dibandingkan dengan tipe perairan lain. Namun demikian nilai tersebut dapat digunakan sebagai
pembanding antar berbagai lokasi dalam satu tipe perairan sungai. Berikut ini merupakan tabel
makroinvertebrata indikator untuk menilai kualitas air. (Sumber: Wardhana,1999) Kualitas air
sungai dapat dinilai berdasarkan Tabel 2.1 dengan ketentuan sebagai berikut (Trihadiningrum
dan Tjondronegoro, 1998 dalam Wardhana 1999): 1)Air sungai akan tergolong tidak tercemar,
jika dan hanya jika terdapat Trichoptera (Sericosmatidae, Lepidosmatidae, Glossosomatidae) dan
Planaria, tanpa kehadiran jenis indikator yang terdapat pada kelas 2 sampai 6. 2)Air sungai
tergolong agak tercemar, tercemar ringan, tercemar, tercemar agak berat dan sangat tercemar,
bila terdapat salah satu atau campuran jenis makroinvertebrata indikator yang terdapat dalam
kelompok kelas masing-masing. 3)Apabila makroinvertebrata terdiri atas campuran antara
indikator dari kelas-kelas yang berlainan, maka berlaku ketentuan berikut: (1) Air sungai
dikategorikan sebagai agak tercemar apabila terdapat campuran organisme indikator dari kelas 1
dan 2, atau dari kelas 1, 2, dan 3. (2) Air sungai dikategorikan tercemar ringan apabila terdapat
campuran organisme indikator dari kelas 2 dan 3, atau dari kelas 2, 3, dan 4. (3) Air sungai
dikategorikan sebagai tercemar apabila terdapat campuran organisme indikator dari kelas 3 dan
4, atau dari kelas 3, 4, dan 5. (4) Air sungai dikategorikan sebagai sangat tercemar apabila
terdapat campuran organisme indikator dari kelas 4 dan 5. Pada Tabel 2.2 terlihat bahwa lintah
(Hirudo medicinalis) sebagai makrozoobentos indikator (bioindikator) pada lingkungan perairan
air tawar yang sudah tercemar.

Anda mungkin juga menyukai