Anda di halaman 1dari 6

Rangkuman CHIRONOMUS

Nama : Raflin Mantulangi

NIM : 1111420015

Jurusan : Budidaya Perairan

Angkatan : 2020

1. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Sub ordo : Nemathocera
Famili : Chironomidae
Genus : Chironomus
Spesies : Chironomus sp.

2. Morfologi

Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di


lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat
ditemukan sebagai benthos adalah Ordo Diptera dari Famili Chironomidae. Kebanyakan
spesies anggota chironomida ini memiliki kebiasaan hidup meliang pada sedimen yang
lunak pada fase larva. Larva akan berkembang menjadi pupa setelah ± 1 bulan untuk
daerah tropis. Pupa selanjutnya akan berkembang menjadi chironomida dewasa. Setelah
melakukan pemijahan, chironomida dewasa akan meletakkan telurnya di permukaan air
dalam bentuk gelatin yang kompleks. Telur-telur ini selanjutnya akan tenggelam dan
menetap pada sedimen maupun tanaman air dan benda-benda lain yang tenggelam.
Chironomida adalah serangga kecil yang mirip nyamuk, memiliki variasi panjang
tubuh mulai dari 2 hingga 18 milimeter bergantung pada masing-masing spesies.
Warnanya pun juga bervariasi sesuai spesies, berkisar dari yang benar-benar terang, hijau
Rangkuman CHIRONOMUS

pucat hingga hampir mendekati hitam pekat. Ratusan spesies chironomida tersebar luas di
dunia, dan spesies-spesies yang berbeda mendominasi populasi-populasi tertentu di
tempat-tempat yang berdekatan dengan danau, kolam, atau aliran sungai. Tidak seperti
larva nyamuk, yang sebagian besar hidupnya berada di permukaan air dengan tujuan
untuk bernafas, larva chironomida hidup di dasar atau pada tanaman dan benda-benda
tenggelam lainnya.
Chironomida, seperti layaknya anggota diptera memiliki empat fase hidup, yaitu
telur, larva, pupa, dan dewasa. Siklus hidup dari telur hingga dewasa berkisar dalam
rentang waktu satu minggu hingga lebih dari satu tahun bergantung pada spesiesnya.
Larva adalah fase hidup yang paling lama, diperkirakan mencapai satu bulan untuk daerah
tropis dan dapat mencapai satu tahun untuk daerah bermusim empat. Larva chironomida
ini memiliki tipe dan cara makan yang bervariasi, ada yang bersifat detritivor yakni
memakan organisme yang sudah mati, grazer yaitu memakan algae dan fitoplankton, dan
ada pula yang bersifat predator atau memangsa avertebrata lain yang lebih kecil.
Komponen biotik dapat memberikan gambaran mengenai kondisi fisika, kimia,
dan biologi dari suatu perairan.Salah satu biota yang dapat digunakan sebagai parameter
biologi dalam menentukan kondisi suatu perairan adalah hewan makrobentos. Sebagai
organisme yang hidup di perairan, hewan makrobentos sangat peka terhadap perubahan
kualitas air tempat hidupnya sehingga akan berpengaruh terhadap komposisi dan
kelimpahannya. Hal ini tergantung pada toleransinya terhadap perubahan lingkungan,
sehingga organisme ini sering dipakai sebagai indikator tingkat pencemaran suatu
perairan (Odum 1994).
Beck dan Driver dalam Kasry et al.(1989) menyatakan bahwa indikator penting
yang sangat menentukan kualitas perairan adalah famili Tubificidae dan family
Chironomidae. Hynes dalam Kasryet al. (1989) mengatakan bahwa Tubifex merupakan
spesies indikator pencemaran yang tercemar berat. Pada perairan yang tercemar terlihat
adanya pembatasan jumlah spesies dalam komunitas makrozoobentos, kelompok
fakultatif dan intoleran mulai hilang diganti dengan kelompok yang toleran dalam jumlah
yang banyak serta banyaknya bahan organik dalam perairan.
Bentos merupakan sumber makanan alami yang baik bagi ikan.Selain penting
sebagai makanan alami untuk ikan, bentos juga memegang peranan penting lainnya dalam
Rangkuman CHIRONOMUS

ekosistem perairan.Bentos berperan dalam mineralisasi dan merubah balik bahan organic
dalam perairan, dan bentos menduduki urutan kedua dan ketiga dalam kehidupan
komunitas perairan (Odum, 1994).
Menurut Cellot dalam Dessy (2006) jenis Tubifex sp merupakan indikator perairan
yang tercemar, terutama pencemaran bahan organik. Sedangkan menurut Tang (1996)
pada perairan yang tercemar oleh limbah organik yang ditemukan hanya Tubifex sp, dari
golongan Diptera yang paling tahan terhadap pengaruh limbah organik adalah
Chironomus riparius.

3. Habitat
Budidaya cacing darah di Indonesia belum dilakukan secara optimal. Selama ini
cacing darah diperoleh dari alam sehingga tergantung pada kondisi musim. Pada musim
hujan, cacing darah sulit diperoleh karena banyak yang hanyut terbawa air. Sementara itu
untuk memenuhi kebutuhan makanan bagi benih ikan hias dan ikan konsurnsi diperlukan
cacing darah dalam jumlah relative besar dan kontinyu. Hal ini dapat diatasi dengan
membudidayakan cacing darah tersebut. Yang perlu diperhatikan dalam usaha budidaya
cacing darah adalah penyediaan media budidaya yang sesuai sebagai tempat hidupnya.
Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa Chironomus sp. Tumbuh dan berkembang baik
pada limbah sagu, namun tanpa usaha budidaya kelimpahannya sangat tergantung musim.

4. Cara Budidaya
Wadah yang digunakan dalam pemeliharaan larva Chirinomus sp. berukuran
60×60×10 cm dengan media berupa lumpur kolam yang diperkaya zat haranya dengan
menambahkan pupuk kotoran ayam kering. Dosis pemupukan yang digunakan merupakan
perlakuan pada penelitian ini yaitu 1 gr/l, 1,5 gr/l, 2,0 gr/l dan 2,5 gr/l. Sebagai media
hidup (substrat), lumpur yang telah dikeringkan dimasukkan kedalam wadah
pemeliharaan setebal 0,5 cm dan ditambahkan pupuk kotoran ayam sesuai dengan
perlakuan. Penambahan air dilakukan pada media secara merata dan dibiarkan selama 3
hari sehingga terjadi proses dekomposisi. Setelah 3 hari, dilakukan penambahan air yang
yang mengandung 0,1 gr/l Urea dan 2,7 gr/l TSP pada setiap perlakuan sampai ketinggian
5 cm. Untuk tempat perkawinan imago, dipasang penutup berupa plastik hitam yang
Rangkuman CHIRONOMUS

menutupi ¼ bagian atas wadah. Pemupukan ulang dilakukan setiap 2 minggu dengan
teknik dan dosis yang sama pada awal pemeliharaan Pengamatan yang dilakukan selama
pemeliharaan berupa kondisi larva (aktifitas, jumlah kantung telur, panjang dan bobot
serta populasi), kualitas air, substrat serta kompetitor dan predatornya. Pengamatan
jumlah kantung telur dilakukan setiap hari dan diakumulasikan sampai akhir penelitian.
Pengambilan contoh substrat dilakukan pada 4 titik masing-masing seluas 500 mm 2 .
Dari setiap contoh yang diambil, dapat diketahui kondisi larva yang meliputi jumlah
kantung telur, panjang, bobot dan populasinya.

5. Kandungan Nutrien
Tubuh cacing darah mengandung 90% air dan sisanya 10% terdiri dari bahan kering.
Kandungan nutrisi yang dimiliki cacing darah berdasarkan bahan kering dapat dilihat
dibawah ini

Menurut (Widanarni, 2006). Kandungan Nutrisi Cacing Darah berdasarkan Bahan Kering

Bahan Penyusun Kandungan Gizi (%)


Protein 60,9 %
Lemak 16,3 %
Serat Kasar 0,9 %
BETN 13,5 %
Abu 8,1 %

6. Aplikasi dalam Kegiatan Budidaya Perikanan


Cacing darah Chironomus sp. telah banyak dikenal sebagai pakan alami, hal ini
didukung juga oleh penelitian-penelitian terhadap kadungan nilai gizi yang terdapat pada
cacing darah itu sendiri. Hasil analisa menunjukkan bahwa cacing darah mengandung
9,3% bahan kering yang terdiri dari 62,5% protein, 10,4% lemak dan 11,6% abu dengan
15,4% bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN). Kandungan protein larva chironomus yang
sangat tinggi mencapai 60% yang dapat dicerna langsung oleh ikan, serta lemak 10%
inilah yang mendukung kecepatan pertumbuhan ikan. Selain itu juga larva chironomus
mengandung pigmen karoten berupa astaxanthin yang mencerahkan warna pada ikan.
Rangkuman CHIRONOMUS

Selain kandungan gizinya yang tinggi, cacing darah juga digunakan sebagai indikator
pencemaran air. Cacing darah rentan terhadap kualitas perairan, dimana cacing darah ini
mempunyai sensitivitas yang tinggi terhadap kualitas air. Cacing darah hidup pada
lingkungan yang memiliki suhu sekitar 24 – 29 oC, kandungan DO 4 – 8 mg/l dan
kandungan pH yan berkisar antara 6 – 8. Selain parameter tersebut, terdapat juga
parameter lain seperti kedalaman dan bahan organik. Jika keadaan perairan tidak
mendukung parameter tersebut, cacing darah tidak dapat berkembang dengan optimal atau
bahkan tidak ditemukan di perairan tersebut.

Daftar Pustaka
Rangkuman CHIRONOMUS

Dessy.2006. Pemanfaatan Makrozoobentos sebagai Bioindikator Kontaminasi Limbah Domestik


pada Sungai Sail Kota Pekanbaru.Tesis Program Pascasarjana Universitas
Riau.Pekanbaru.83 hal (tidak diterbitkan).

Kasry, A., Hamidy, R., Sedana, I. P., Siagian, M dan Alawi, H. 1989.Analisa Dampak
Lingkungan Duri Steamflood Aspect of Aquatic Communities.Puslit Universitas Riau
Fakultas Perikanan.91 hal. (tidak diterbitkan).
Odum, E. P. 1994. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Penerjemah Tjahjono Samingar.
Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta.697 hal. Peraturan Pemerintah RI No. 82
tahun 2001 Tentang Kualitas dan Pengendalian Pencemaran Air.Sekretariat Menteri
Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Jakarta. 54 hal.
Tang. U. M. 1996. Prinsip-prinsip Pengelolaan Limbah. Universitas Riau. Pekanbaru.
Widanarni, D.D. Mailanadan O. Carman. 2006. Pengaruh Media yang Berbeda Terhadap
Kelangsungan Hidupdan Pertumbuhan Larva Chironomus sp. Departemen Budidaya
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Kampus
Darmaga, Bogor

Anda mungkin juga menyukai