Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pakan merupakan salah satu input penting dalam budidaya ikan. Pakan
menghabiskan lebih dari setengah biaya produksi dalam kegiatan budidaya ikan.
Dalam kegiatan budidaya ikan, pakan dibagi menjadi dua jenis, pakan buatan dan
pakan alami. Ketersediaan pakan alami sangat penting dalam budidaya ikan pada
fase larva terutama setelah absorbsi kuning telur (fase pendahuluan). Fase
pendahuluan tersebut memerlukan pakan alami yang baik (fitoplankton maupun
zooplankton)
Salah satu zooplankton yang sering digunakan sebagai pakan alami adalah
Brachionus plicatilis. Zooplankton ini merupakan pakan yang baik untuk larva ikan
karena mempunyai ukuran sangat kecil, kecepatan berenang lambat, kebiasaan
hidup di kolom air, dapat dikultur pada kepadatan tinggi hingga 2000 individu/ml,
reproduksi tinggi dengan bereproduksi sepanjang hidup, mudah diperkaya dengan
asam lemak, dan digunakan untuk transfer substansi ke larva. Sedangkan umumnya
fitoplankton digunakan sebagai pakan zooplanktonj yang dibudidayakan untuk
pakan larva ikan.
Praktikum budidaya pakan alami bertujuan agar praktikan dapat
membudidayakan pakan alami secara mandiri. Praktikan dapat mengetahui
kebiasaan hidup fitoplankton maupun zooplankton. Praktikan dapat mengetahui
faktor – faktor penghambat budidaya pakan alami. Praktikan dapat mengetahui
faktor – faktor pertumbuhan fitoplankton maupun zooplankton serta praktikan dapat
mengetahui manfaat fitoplankton dan zooplankton dalam kegiatan budidaya
perikanan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana faktor – faktor yang menghambat dalam culture fitoplankton?
2. Bagaimana faktor – faktor yang menghambat dalam culture zooplankton?
3. Bagaimana fungsi pupuk dalam budidaya pakan alami ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui faktor – faktor penghambat dalam culture fitoplankton.
2. Untuk mengetahui faktor – faktor penghambat dalam culture zooplankton.
3. Untuk mengetahui fungsi pupuk dalam budidaya pakan alami.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fitoplanton dan Zooplankton


Plankton adalah biota air berupa hewan atau tumbuhan yang hidupnya
mengapung, mengambang, atau melayang dalam air yang berukuran mikroskopis
yang pergerakan tubuhnya terbatas tergantung pada arus. Plankton terbagi dua yaitu
zooplankton (plankton hewan) dan fitoplankton (plankton tumbuhan). Fitoplankton
bersifat autotrofik yaitu dapat menghasilkan bahan organik makanannya sehingga
berfungsi sebagai produsen primer. Zooplankton bersifat heterotrofik karena tidak
dapat memproduksi bahan makanannya sehingga dia berfungsi sebagai konsumen
(Inayah, 2009).

2.1.1 Spirulina sp.


Spirulina adalah salah satu mikroalga yang relatif cepat bereproduksi dan
mudah dalam sistem pemanenannya. Biomassa sel Spirulina jauh lebih mudah
larut dalam pelarut polar seperti pada air dan buffer fosfat bila dibandingkan dengan
pelarut kurang polar. Spirulina telah teruji aman untuk dikonsumsi. Selama
bertahun-tahun berbagai badan pangan internasional telah melaporkan efek
toksisitas yang negatif dari produk-produk Spirulina (Suhartono, 2010).
Secara taksonomi Spirulina diklasifikasikan (Suhartono, 2010) sebagai
berikut:
Kingdom : Protista
Filum : Cyanobacteria
Divisi : Cyanophyta
Kelas : Cyanophyceae
Ordo : Nostocales
Famili : Oscillatoriaceae
Genus : Spirulina Doc. Google
Spesies : Spirulina sp

Spirulina memiliki bkebiasaan hidup pada perairan yang memiliki salinitas


15-28ppt namun spirulina juga mampu hidup pada perairan tawar seperti sungai dan
danau. Spirulina sp. hidup berdiri se ndiri dan dapat bergerak bebas. Spirulina dapat
hidup pada kisaran pH 8-11 (alkali). Namun begitu, Spirulina juga mampu tumbuh
subur di perairan hangat yang memiliki temperatur 320C-450 (Rudi, 2012).

2.1.2 Chlorella
Chlorella merupakan adalah ganggang hijau bersel tunggal. Sel-sel
Chlorella berbentuk bulat, berukuran 2-12 µm dan tidak mempunyai flagella
sehingga tidak dapat bergerak aktif. Chlorella memiliki klorofil, menyimpan
tepung cadangan makanannya dalam kantung makan atau pirenoid dan memiliki
dinding sel yang kuat yang tersusun atas polisakarida selulosa dengan matrik dari
hemiselulosa dan pektin. Chlorella hidup di air tawar, hanya sebagian kecil yang
hidup di air payau dan laut (Rudi.2012).
Klasifikasi Chlorella (Wynne 1985) adalah sebagai berikut :
Filum : Chlorophyta
Kelas : Chlorophyceae
Ordo : Chlorococcales
Famili : Oocystaceae
Genus : Chlorella
Doc.google
Chlorella vulgaris memiliki kebiasaan hidup di air tawar dan tumbuh
optimum pada suhu 37 oC. Chlorella mengandung nutrisi yang sangat memadai
dalam bentuk protein, asam amino, asam lemak tak jenuh, vitamin C, K, B1, B6
dan B12, β-karoten dan CGF (Chlorella Growth Factor) (Suprayogo, 2009).

2.1.3 Chaetoceros
Chaetoceros sp. merupakan diatom planktonik yang hidup melayang pada
perairan pelagis, yaitu wilayah perairan yang terkena sinar matahari. Diatom ini
memiliki dinding sel yang terbuat dari silika. Selain itu, Chaetoceros sp. memiliki
alat berupa setae yang membantunya menempel pada benda dalam suatu perairan,
sehingga dapat bertahan dari arus perairan (Inayah, 2009).
Doc. Google
Klasifikasi Chaetoceros gracilis (Suharsono, 2010) adalah sebagai berikut :
Phylum : Chrysophyta
Kelas : Bacillariophyceae
Ordo : Centricae
Subordo : Biddulphioideae
Famili : Chaetoceraceae
Genus : Chaetoceros.
Spesies : Chaetoceros sp,

Chaetoceros sp. toleran terhadap suhu air yang tinggi. Pada suhu 40 °C,
organisme ini masih dapat bertahan hidup akan tetapi tidak berkembang.
Chaetoceros sp. akan tumbuh optimal pada kisaran suhu 25 °C sampai 30 °C,
dengan toleransi terhadap kisaran salinitas adalah 6 -50 permil. Salinitas optimum
untuk pertumbuhannya adalah 17-25 permil (Inayah, 2009)

2.1.4 Daphnia sp.


Daphnia sp mempunyai lebih dari 20 spesies dari genusnya dan hidup pada
berbagai jenis perairan tawar, terutama di daerah sub tropis. Daphnia sp. Sebagai
hewan air, juga dikenal sebagai kutu air.

Doc. Google
Daphnia sp. mempunyai warna yang berbeda-beda tergantung habitatnya.
Spesies daerah limnetik biasanya tidak mempunyai warna atau berwarna muda,
sedangkan di daerah litoral memiliki warna yang bervariasi mulai dari coklat
kekuningan, coklat kemerahan, kelabu, sampai berwarna hitam. Umumnya cara
berenang Daphnia sp. tersendat-sendat, tetapi ada beberapa spesies yang tidak dapat
berenang/bergerak dengan merayap karena beradaptasi hidup di lumut dan sampah
daun dari hutan tropik. Daphnia sp. dapat hidup dengan baik pada suhu berkisar
antara 22°C - 32°C, pH berkisar antara 6 - 8, oksigen terlarut (DO) > 3,5 ppm, dan
dapat bertahan hidup pada kandungan amoniak antara 0,35 ppm – 0,61 ppm
(Kusumaryanto, 2011).
Menurut Julianty (2003) Daphnia sp. dapat diklasifikasikan dalam :
Philum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Divisi : Oligobranchiopoda
Ordo : Cladocera
Famili : Daphnidae
Genus : Daphnia
Spesies : Daphnia sp.

2.1.5 Artemia
Artemia merupakan zooplankton dari anggota krustacea. Umbas (2013)
menyatakan bahwa Artemia digunakan sebagai pakan alami lebih dari 85% species
hewan budidaya, Artemia mempunyai nilai gizi tinggi, dapat menetas dengan cepat,
ukurannya relatif kecil dan pergerakan lambat serta dapat hidup pada kepadatan
tinggi.

Doc. Google
Secara umum, Artemia mempunyai dua tipe reproduksi yaitu ovipar dan
ovovivipar. Artemia dewasa hanya akan memproduksi kista ketika keadaan
lingkungan memburuk, misalkan kadar garam lebih dari 150 ppt dan kandungan
oksigen rendah dan kista akan menetas menjadi larva jika lingkungan membaik atau
kembali seperti semula (Mudjiman 2009).
Klasifikasi artemia menurut Mujiono (2009) :

Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Subphylum : Crustacea
Class : Branchiopoda
Order : Anostraca
Family : Artemiidae
Genus : Artemia
Species : Artemia sp.

2.1.6 Rotifera
B. plicatilis memiliki bentuk tubuh yang bilateral simetris, tubuhnya ini
menyerupai piala yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu kepala, badan dan
kaki/eko. Ciri khusus ini menjadi dasar pemberian nama adanya korona yang terdiri
dari rambut-rambut halus (silia) bentuk disekitar mulut seperti spiral yang berfungsi
memasukkan makanan ke mulutnya. Getaran yang berputar (rotasi) akibat getaran
silia ini yang menyebabkan zooplankton ini disebut Rotaria atau Rotifera
(Main, 2011).
Klasifikasi Brachionus plicatilis menurut Edmonson (2008) adalah :

Kingdom : Animalia
Filum : Rotifera
Class : Monogononta
Ordo : Ploima
Famili : Brachioninae
Genus : Brachionus
Doc google
Pakan alami B. plicatilis antara lain yaitu Chlorella sp., Dunaliella sp.,
Tetraselmis sp. Monochrisis sp., Nannochloropsis sp., dan tepung spirulina.
Disamping itu dapat juga menggunakan beberapa pakan buatan dan jenis ragi
tertentu untuk pakan zooplankton tersebut. Partikel makanan yang dapat masuk ke
mulut B. plicatilis ini berukuran tidak melebihi 2 µm seperti alga, ragi, bakteri atau
mikrokapsul yang bergerak lambat. B. plicatilis mempunyai sifat memakan
makanannya secara terus menerus dengan berenang. Produksinya akan berhasil jika
pakan yang tersedia cukup banyak, selain itu juga memperhatikan jenis pakan,
ukuran, jumlah, dan kualitas makanannya (Inayah,2009).

2.2. Komposisi Pupuk Walne


Pupuk walne merupakan pupuk yang pada umumnya digunakan pada skala
laboratorium terbuat dari bahan kimia Pro Analis (PA) dengan dosis pemakaian 1
ml pupuk untuk 1 liter volume kultur. Pupuk conwey/walne umumnya digunakan
untuk phytoplankton hijau (green algae) dan guillard (Natrium pospat, trace
metal.vitamin dan silikat) untuk phytoplankton cokelat (brown algae) yang terdiri
atas unsur makro dan mikro. Untuk lebih jelasnya dapat di perhatikan pada tabel di
bawah ini:
Nama Bahan Pupuk Walne Jumlah (dalam 1 liter
aquadest)
NaNO3 100 g
Na2EDTA 45
H3BO3 33,6 g
NaH2PO4.2H2O 20 g
FeCl3.6H2O 1,3 g
MnC12.4H2O 0,36 g
Stok larutan vitamin 100 ml
Stok larutan logam mikro 1 ml
(Heru, 2009).

2.3 Dekapsulasi dan Non dekapsulasi


Sutaman (2009) mengatakan bahwa penetasan cyste artemia dapat
dilakukan dengan 2 cara, yaitu penetasan langsung (non dekapsulasi) dan penetasan
dengan cara dekapsulasi. Cara dekapsulasi dilakukan dengan mengupas bagian luar
kista menggunakan larutan hipoklorit tanpa mempengaruhi kelangsungan hidup
embrio. Sedangkan cara non dekapsulasi merupakan cara penetasan cysta artemia
dengan cara alami yaitu membiarkan cysta menetas dengan sendirinya.
Cara dekapsulasi merupakan cara yang tidak umum digunakan pada panti-
panti benih, namun untuk meningkatkan daya tetas dan meneghilangkan penyakit
yang dibawa oleh cytae artemia cara dekapsulasi lebih baik digunakan
(Pramudjo dan Sofiati, 2004).

2.4 Kandungan Pupuk Kandang


Pupuk kandang adalah pupuk yang terbuat dari kotoran hewan (kotoran atau
air kencing), apakah itu sapi, kerbau, kuda, atau ayam. Tentunya pupuk ini banyak
mengandung unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman, seperti fosfor,
kalium, magnesium, zinc dan nitrogen. Bentuk pupuk kandang dibagi menjadi dua,
yaitu pupuk kandang dalam bentuk padat dan dalam bentuk cair. Pupuk
kandang Kandungan hara dalam pukan sangat menentukan kualitas Kandungan
unsur-unsur hara di dalam pupuk kandang tidak tergantung dari jenis ternak, tetapi
juga tergantung dari makanan yang diberikan, umur dan bentuk fisik dari ternak.
Kandungan hara pada beberapa pupuk kandang menurut Maito (2008) :

Sumber N P K Ca Mg S
Pakan
Sapi Perah 0.53 0.35 0,41 0,28 0,11 0,05
Sapi 0,65 0,15 0,30 0,12 0,10 0,09
daging
Kuda 0,70 0,10 0,58 0,79 0,14 0,07
Unggas 1,50 0,77 0,89 0,30 0,88 0,00
Domba 1,28 0,19 0,93 0,59 0,19 0,09

2.5 Siklus Hidup Palnkton


Menurut Nasrina (2004), pertumbuhan plankton pada saat budidaya secara
visual ditandai dengan adanya perubahan warna air dari awalnya bening menjadi
berwarna (hijau muda/coklat muda dan kemudian menjadi hijau/coklat dan
seterusnya), perubahan ini disertai dengan menurunnya transparansi. Kejadian
tersebut merupakan indikasi dari meningkatnya ukuran sel dan bertambah
banyaknya jumlah sel yang secara langsung akan berpengaruh terhadap kepadatan
plankton.
2.5.1 Siklus Hidup Fitoplankton
Menurut Reno (2010), siklus hidup pada fitoplankton yaitu terbagi dari
beberapa fase ; fase Lag (istirahat) Fase dimana populasi tidak mengalami
perubahan, tetapi ukuran sel pada fase ini meningkat. Fotosintesis masih aktif
berlangsung dan organisme mengalami metabolisme tetapi belum terjadi
pembelahan sel sehingga kepadatannya belum meningkat. Dalam perairan
tambak kondisi air masih bening/remang-remang dengan transparansi > 80 cm.
Fase Logaritmik (pertumbuhan eksponensial) Fase yang diawali dengan
pembelahan sel dengan laju pertumbuhan yang terus menerus, pertumbuhan pada
fase ini mencapai maksimal. Dalam perairan tambak ditandai dengan air yang mulai
berwarna sampai warna pekat dengan transparansi 60 – 30 cm bahkan dapat < 30
cm. Fase Stasioner (pertumbuhan stabil) Fase dengan pertumbuhan yang mulai
mengalami penurunan dibandingkan fase logaritmik. Pada fase ini laju
reproduksi/pembelahan sel sama dengan laju kematian dalam arti penambahan dan
pengurangan plankton relatif sama sehingga kepadatan plankton cenderung tetap.
Dalam perairan tambak fase ini memperlihatkan warna yang cenderung stabil dan
sebaiknya dipertahankan supaya tidak terjadi droping plankton. Fase Deklinasi
(Kematian) Fase dimana terjadi penurunan jumlah/kepadatan plankton, pada fase
ini laju kematian lebih cepat dibandingkan laju reproduksi. Laju kematian plankton
dipengaruhi oleh ketersediaan nutrien, cahaya, temperatur dan umur plankton itu
sendiri. Dalam perairan tambak kematian plankton ditandai dengan meningkatnya
transparansi, adanya perubahan warna, terdapat busa atau buih.

2.5.2 Siklus Hidup Zooplankton


Berdasarkan siklus hidupnya zooplankton dapat dibedakan menjadi dua
golongan, yaitu sebagai meroplankton dan holoplankton banyak jenis hewan yang
menghabiskan sebagian hidupnya sebagai plankton, khususnya pada tingkat larva.
Plankton kelompok ini disebut meroplankton atau plankton sementara. Sedangkan
holoplankton atau plankton tetap, yaitu biota yang sepanjang hidupnya sebagai
plankton (Arinardi, 2010).
Menurut Agus (2008), setelah telur menetas, maka masuk pada stadia larva,
dimulai pada zoea 1 (satu) yang terus menerus berganti kulit sebanyak 5 kali, sambil
terbawa arus ke perairan pantai sampai pada zoea 5 (lima). Kemudian kepiting
tersebut berganti kulit lagi menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip
dengan kepiting dewasa, tetapi masih memiliki bagian ekor yang panjang. Pada
tingkat megalopa, kepiting mulai beruaya di dasar perairan lumpur menuju perairan
pantai dan kemudian pada saat dewasa kepiting beruaya ke perairan berhutan bakau
untuk kembali melangsungkan perkawinan.

2.6 Manfaat Plankton dalam Proses Budidaya


Plankton adalah pakan alami bagi biota air karena mengandung banyak
karbohidrat dan protein untuk pertumbuhannya. Ukuran plankton yang sesuai
dengan ukuran mulut ikan kebanyakan. Kandungan protein dan karbohidrat yang
terkandung dalam plankton juga tinggi. Juga perkembangan plankton yang
tergolong cepat.
Plankton bisa menjadi peneduh yang melindungi biota air karena dapat
merasa aman dari sifat kanibalisme. Semua biota air memakan fitoplankton sebagai
produsen primer. Jika fitoplankton berjumlah sedikit atau sama sekali tidak ada,
maka konsumen di perairan akan menjadi kanibalisme. Kehidupan plankton yang
mengambang bisa meneduhkan perairan karena sinar matahari sebagian terserap
oleh fitoplankton yang akan digunakannya untuk berfotosintesis. Fitoplankton
dapat menambah kadar oksigen terlarut dalam air (DO) yang diberikan melalui
proses fotosintesis (Inayah, 2009).
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Faktor yang menghambat culture fitoplankton adalah kurang sesuainya
kebutuhan cahaya, terjadinya kontaminan, kualitas air tidak sesuai dengan
habitat aslinya atau kondisi optimum fitoplankton tersebut.
2. Faktor yang menghambat culture zooplankton yaitu keadaan lingkungan yang
tidak sesuai dengan habitat aslinya dan terjadinya kontaminan predator.
3. Fungsi pupuk dalam budidaya pakan alami yaitu sebagai nutrien perairan
budidaya sehingga fitoplankton dapat tumbuh subur dan jika fitoplankton
tumbuh subur maka dapat digunakan sebagai pakan zooplankton.
5.2 Saran
1. Laboraturium : agar kebocoran pada ruang belajar A dan B segera diperbaiki agar
menambah kenyamanan saat belajar.
2. Asisten : agar membuat jadwal pengamatan untuk praktikan supaya lebih teratur.
3. Praktikan : untuk datang tepat waktu.
DAFTAR PUSTAKA

Agus. 2008. Plankton Kelautan. Jakarta: LIPI Press.

Arinardi. 2010. Diktat lengkap praktikum planktonologi. Jakarta : Erlangga

Heru. 2009. Komposisi Pupuk Walne. Jurnal MIPA UNSRAT ONLINE 3,2, , 84-
86.

Inayah. 2009. Identifikasi Fitoplankton Dari Perairan Waduk Nadra Krenceng


Kota Cilegon Banten. Jurnal Perikanan dan Kelautan. Vol.4 No. 4, 283-291

Julianty. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan. Yogyakarta: PT. Kanisius.

Kusumaryanto. 2011. Metode Sampling Bioteknologi. Jakarta: Bumi Aksara.

Mudjiman. 2009. Studi Percobaan Pembiakan Zooplankton Jenis Cladocera


(Macrothrix Sp) Secara Eksitu. Jurnal Ilmu Perikanan Tropis. Vol. 18. No. 2,
1-2

Mujiono. 2008. Keragaman Zooplankton Di Peariran Sungai Pepe Anak Sungai


Bengawan Solo Di Jawa Tengah. Surakarta: UMS Press.

Nasrina. 2004. Siklus Hidup Plankton. Jakarta : Djambatan

Rudi. 2013. Plankton Sebagai Indikator Kualitas Perairan. Bogor: Fakultas


Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.

Reno. 2010. Siklus hidup pada Spirulina Sp. Surabaya : Gramedia.

Suhartono. 2010. Pengantar Limnologi Study tentang Ekosistem Air Daratan.


Medan: USU Press.

Suprayogo. 2009. Pengaruh Aktivitas Pabrik Semen Andalas Terhadap


Kelimpahan, Diversitas Dan Produktivitas Plankton di Perairan Pantai
Lhoknga Kabupaten Aceh Besar. Aceh: Fakultas MIPA UNSYAH.

Sutaman. 2009. Dekapsulasi Artemia. Jakarta : Djambatan

Anda mungkin juga menyukai