Anda di halaman 1dari 11

I.

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Jenis- jenis pakan alami yang dimakan oleh ikan sangat bervariasi, tergantung pada jenis ikan
dan tingkat umurnya. Burayak ikan yang baru saja belajar mencari makan, pertama-pertama yang
mereka makan adalah plankton. Bahkan ada juga beberapa ikan yang tetap setia sebagai
pemakan plankton sepanjang hidupnya. Dalam usaha budidaya kita biasa menggunakan pakan
alami plankton. Plankton adalah jasad renik yang melayang di dalam kolom air mengikuti
gerakan air. Plankton dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu phytoplankton dan zooplankton.

Secara ekologis, berbagai macam pakan alami dapat dikelompokkan menjadi: plankton,
nekton, bentos, perifiton, epfiton, dan neuston. Semuanya itu di dalam perairan akan membentuk
suatu rantai makanan dan jaringan makanan. Diantara rantai dan jaringan makanan tersebut, yang
memegang peranan sangat penting adalah phytoplankton. Sebab dari phytoplanktonlah asal mula
terjadinya bahan organic, yang kemudian dijadikan sumber bahan makanan oleh jasad-jasad
lainnya. Jadi zooplankton dan biota air lainnya akan berkembang apabila telah tersedia cukup
makanan yang berasal dari phytoplankton tersebut.

Pada umumnya burayak ikan itu mula-mula makan plankton nabati (phytoplankton).
Kemudian semakin bertambah besar ikannya, makanannya pun mulai bertambah pula. Mula-
mula mereka beralih dari phytoplankton ke zooplankton. Salah satu zooplankton yang digunakan
sebagai pakan alami dan perlu dibudidayakan sebagai sumber pakan ikan yang masih burayak
( benih ) diantaranya adalah Daphnia. Daphnia sangat cocok untuk benih ikan yang bukaan
mulutnya belum bisa mengkonsumsi pakan buatan ( pelet ).

Daphnia merupakan sumber pakan bagi ikan kecil, burayak dan juga hewan kecil lainnya.
Kandungan proteinnya bisa mencapai lebih dari 70% kadar bahan kering. Secara umum, dapat
dikatakan terdiri dari 95% air, 4% protein, 0.54 % lemak, 0.67 % karbohidrat dan 0.15 % abu.
Kepopulerannya sebagai pakan ikan selain karena kandungan gizinya serta ukurannya, adalah
juga karena daphnia 2 dapat dibudidayakan secara massal sehingga produksi dapat tersedia
dalam jumlah mencukupi, hampir setiap saat

1
Di alam, Daphnia sp. mengkonsumsi pakan berupa bakteri, fitoplankton, ciliata, dan detritus
(Noerdjito, 2003). Daphnia sp. digunakan sebagai sumber pakan alami bagi larva ikan karena
memiliki beberapa keunggulan yaitu kandungan nutrisi yang tinggi, ukuranya sesuai dengan
bukaan mulut larva ikan, dan dapat dibudidayakan secara massal, sehingga produksinya dapat
tersedia dalam jumlah mencukupi (Rachman, 2012). Dewasa ini, Daphnia sp. sudah mulai
dibudidayakan oleh pembudidaya di beberapa daerah di Indonesia guna memenuhi kebutuhan
pakan alami pada kegiatan pembenihan ikan. Di Aceh, produktifitas Daphnia sp. masih sangat
minim jika dibandingkan dengan pertumbuhan pantipanti pembenihan ikan yang semakin
meningkat setiap tahunnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah
teknologi (teknik kultur) dan sumber nutrien yang tersedia pada media kultur Daphnia sp. belum
memadai untuk menunjang pertumbuhannya, sehingga produktifitasnya masih belum optimal.
Kebutuhan Daphnia sp. sebagian besar masih dipenuhi dari menangkap di alam dan didatangkan
dari pulau jawa dalam bentuk Daphnia sp. beku. Oleh karena itu, produktifitas pakan alami terus
diupayakan agar lebih optimal mengingat keberadaannya di alam tidak selalu tersedia. Salah
satunya adalah dengan penambahan berbagai sumber nutrien ke dalam media kultur guna
memacu tumbuhnya berbagai jenis organisme lain yang dapat dimanfaatkan oleh Daphnia sp.
sebagai pakan. Menurut Pennak (1989), dalam pertumbuhannya Daphnia sp. memerlukan nutrisi
yang berasal dari berbagai sumber, diantarannya dari bahan organik tersuspensi dan bakteri yang
diperoleh dari pupuk yang ditambahkan kedalam media kultur.

Di air, kotoran ayam merupakan bahan organik dan juga merupakan media tempat tumbuh
fitoplankton dan bakteri, yang ketiganya dapat dimanfaatkan sebagai pakan Daphnia sp. (Jusadi
et. al., 2005). Pemberian dedak pada media kultur juga mampu meningkatkan populasi Daphnia
sp., dimana hasil penelitian Sitohang (2012) menunjukkan bahwa pemberian dedak hasil
fermentasi ragi sebesar 125 mg/L mampu menghasilkan pertumbuhan populasi Daphnia sp.
tertinggi (puncak populasi) pada masa kultur 12 hari sebanyak 177 ind/L. Ketersediaan bahan
organik pada media kultur berfungsi sebagai sumber nutrisi bagi pertumbuhan Daphnia sp.
Proses penguraian (dekomposisi) nutrien yang ditambahkan dalam media kultur akan
menumbuhkan bakteri yang pada akhirnya juga akan dimanfaatkan oleh Daphnia sp. sebagai
pakan.

2
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan Daphnia sp ?


2. Komposisi media manakah yang dapat mempercepat proses pertumbuhan Daphnia sp)?
3. Apa saja kelebihan dan kekurangan dari komposisi media yang digunakan?

1.3 Tujuan Makalah

Dari beberapa rumusan masalah yang telah diambil dari latar belakang yang akan dibahas,
ada pun tujuan dari penulisan ini sebagai berikut :

1. Mengetahui definisi dari Daphnia sp tersebut.


2. Mengetahui media apa saja yang dapat digunakan dalam kultur Daphnia sp tersebut.

1.4 Manfaat Makalah

Adapun manfaat dari penulisan makalah ini yaitu agar menjadi bekal ilmu serta refrensi
bagi pembaca. Selain itu penulisan ini diharapkan nnatinya bermanfaat untuk pembaca dan
menjadi salah satu rujukan sebagai pemberi pengetahuan dalam kultur Daphnia sp.

3
II. TINJAUAN PUSAKA

2.1 Klasifikasi dan Morfologi

Daphnia sp. merupakan organisme air tawar yang termasuk ke dalam filum Arthropoda
dan tersebar di daerah tropis. Daphnia sp. adalah komponen utama zooplankton air tawar dengan
panjang tubuh antara 0,2 - 3,2 mm (Pennak, 1953). Daphnia sp. mempunyai bentuk tubuh pipih
bilateral.Tubuh ditutupi oleh cangkang dari kutikula yang mengandung khitin transparan yang
disebut karapaks (Djarijah, 1995). Pembagian segmen tubuh Daphnia sp. hampir tidak terlihat.
Daphnia sp. memiliki tubuh transparan sehingga organ tubuh bagian dalam terlihat jelas.

Pada bagian kepala terdapat mata majemuk, ocellus, dan dua pasang antena yaitu antena
pertama dan antena kedua yang bercabang dengan panjang mencapai setengah atau lebih dari
panjang tubuh yang berfungsi untuk berenang, maxilla, dan mandibula (Ebert, 2005). Post
abdomen merupakan bagian paling posterior dari tubuh dan pada ujungnya terdapat sepasang
cakar seperti kuku (claw). Bagian tengah tubuh terdapatlima pasang kaki renang yang tertutup
oleh bulu (setae) (Mokoginta, 2003). Ruang antara cangkang dan tubuh bagian dorsal merupakan
tempat pengeraman telur (Waterman, 1960)

Berikut merupakan klasifikasi Daphnia sp. menurut (Pennak, 1953) :

Phylum : Arthropoda

Subphylum : Crustacea

Classis : Branchiopoda

Subclassis : Diplostraca

Ordo : Cladocera

Subordo : Eucladocera

Familia : Daphnidae

Subfamilia : Daphnoidea

4
Genus : Daphnia sp.

Gambar 2.1

2.2 Habitat Daphnia sp.

Habitat Daphnia sp. adalah air tawar yang tergenang (Nasution dan Supranoto, 2004).
Daphnia sp. menjadi zooplankton dominan di perairan, Daphnia sp. juga dapat hidup pada bagian
atas kolom air di dekat permukaan air yang kaya fitoplankton (Clare, 2002). Daphnia sp.
merupakan plankton yang mempunyai ukuran tubuh kecil dan lemah untuk melawan arus yang
kuat. Daphnia sp. hanya mampu bergerak migrasi secara vertikal (Waterman, 1960). Pennak
(1989) menyatakan bahwa Daphnia sp. dapat tumbuh pada lingkungan dengan kisaran pH antara
6,5 – 8,5, dimana kisaran pH optimum antara 7,2 – 8,5,salinitas umumnya sekitar 1,5 ppt,
sedangkan suhu optimum untuk Daphnia sp. adalah 18 – 24oC. Konsentrasi oksigen terlarut
optimum yaitu di atas 3,5 mg/l.Pada kandungan amoniak antara 0,35 – 0,61 ppm, Daphnia sp.
masih dapat hidup dan berkembangbiak dengan baik (Mokoginta, 2003).

2.3 Reproduksi Daphnia sp.

Daur hidup Daphnia sp. terdiri dari tahap telur, juvenil, individu muda dan dewasa
(Pennak, 1989). Daphnia sp. berkembang biak secara seksual dan aseksual. Perkembangbiakan
secara aseksual dilakukan dengan cara parthenogenesis yaitu perkembangbiakan tanpa adanya
fertilisasi. Selama parthenogenesis, anakan yang dihasilkan adalah betina. Parthenogenesis
terjadi 7 bila Daphnia sp. hidup pada kondisi yang menguntungkan (ketersediaan pakan cukup,

5
suhu optimal) (Ebert, 2005). Pada kondisi lingkungan yang kurang baik seperti adanya kualitas
dan kuantitas pakan menurun, toksisitas, dan oksigen serta populasi yang terlalu padat, Daphnia
sp. akan menghasilkan keturunan individu jantan (Hickman, 1967 dalam Casmuji, 2002).
Adanya Daphnia sp. jantan ini akan mengawali terjadinya reproduksi secara seksual, individu
jantan yang dihasilkan ini nantinya akan membuahi individu betina. Individu ini akan
menghasilkan resting egg yang diselubungi oleh cangkang telur yang disebut ephippia dan akan
menetas apabila menemukan lingkungan yang sesuai untuk mendukung kehidupan Daphnia sp..

Secara alami reproduksi Daphnia sp. dipengaruhi oleh beberapa variasi perubahan
lingkungan, diantaranya oksigen terlarut dan densisitas populasi. Adanya perubahan kualitas
lingkungan akan memicu produksi Methyl farnesoate, dimana peningkatan konsentrasi Methyl
farnesoate pada tubuh Daphnia sp. akan mempengaruhi pembentukan anakan jantan. Bahan
kimia (logam berat) mempengaruhi reproduksi seksual Daphnia sp. dengan dua cara, pertama
mempengaruhi sistem saraf yang menyebabkan kerusakan sistem endokrin, sehingga
mempengaruhi substansi seperti androgen yang berimplikasi terhadap pergantian seksual pada
embrio yang berkembang (Dodson et. al, 2000). Mekanisme yang lain yaitu, logam berat
merusak reseptor endokrin menyebabkan substansi endokrin tidak dapat mengenali reseptor
(substansi tidak berfungsi) sehingga tidak dapat membentuk kelamin betina.

2.4 Kebiasaan makan Daphnia sp.

Daphnia sp. termasuk hewanfilter feeder yang biasanya memakan berbagai macam
bakteri, ragi, alga bersel tunggal, detritus, dan bahan organik terlarut. Alga hijau merupakan
makanan terbaik untuk Daphnia sp.. Daphnia sp. biasanya memakan partikel yang berukuran 1
µm – 50 µm. Daphnia sp. muda dengan ukuran 1 mm mampu menyaring partikel kecil ukuran
20-30 mikrometer, sedangkan Daphnia sp. dewasa dengan ukuran 2-3 mm dapat menangkap
partikel sebesar 60-140 mikrometer (Casmuji, 2002). Partikel makanan yang tersaring akan turun
melalui rongga pencernaan dan dikeluarkan melalui anus pada bagian ujung rongga pencernaan
(Waterman, 1960).

6
III. MEDIA KULTUR

Daphnia sp. merupakan sumber pakan alami yang potensial untuk dikembangkan bagi larva
ikan (Mubarak et al., 2009). Daphnia sp. baik untuk larva ikan, karena ukurannya sesuai dengan
bukaan mulut larva, mudah dicerna, dan mempunyai kadar protein yang tinggi (Mokoginta et al.,
2003). Kandungan dalam Daphnia sp. yaitu kadar air 94,78%; protein 42,65%; lemak 8%; serat
kasar 2,58%; dan abu 4% (Darmanto et al., 2000). Kandungan nutrisi Daphnia sp. bervariasi
tergantung makanan yang dimakan dan tersedia pada media kultur (Pangkey, 2009). Kultur
Daphnia sp. dapat dilakukan dengan mengunakan bahan organik sebagai pupuk. Pemanfaatan
limbah organik seperti kotoran burung puyuh, roti afkir dan ampas tahu sering digunakan dalam
pembuatan pupuk organik.

III.1 Kotoran Burung Puyuh

Kotoran burung puyuh memiliki kandungan unsur hara yang tinggi, mudah terurai, dan
mudah diserap sehingga berfungsi merangsang pertumbuhan plankton dalam kolam (Huri dan
Syafriadiman, 2007; Widijanto et al., 2011). Kotoran burung puyuh memiliki kandungan N
0,061 - 3,19%; kandungan P 0,209 – 1,37%; dan kandungan K2O sebesar 3,133% (Huri dan
Syafriadiman, 2007; Herawati et al., 2017).

3.2 Ampas Tahu

Tahu adalah salah satu sumber protein utama dari tumbuhan dengan kandungan protein yang
lebih tinggi dibanding daging (Bruulsema, 2003; Radiyati dkk. 1992). Dengan demikian, jika
seseorang tidak dapat mengkonsumsi daging atau sumber protein hewani lain, maka kebutuhan
protein tubuhnya dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi tahu. Oleh karena itu, tahu termasuk
golongan makanan yang dianjurkan bagi vegetarian sebagai pengganti daging (Bruulsema 2003).

Ampas tahu merupakan limbah padat yang diperoleh dari proses pembuatan tahu. Limbah ini
biasanya digunakan sebagai pakan ternak ataupun diolah menjadi tempe gembus. Ampas tahu

7
memiliki kandungan nilai gizi yang masih cukup tinggi karena pada proses pembuatan tahu tidak
semua bagian protein bisa diekstrak, terlebih jika menggunakan proses penggilingan sederhana
dan tradisional (Suhartini dan Hidayat, 2004).

Bahan organik lain yang digunakan yaitu ampas tahu memiliki kandungan protein cukup
tinggi yaitu 21,91 – 23,62%; serat 41,98%; lemak 7,78%; abu 3,97% dan BETN 41,98%; N 1,24
– 3,41%; dan P 0,22 – 0,58% sedangkan limbah roti afkir mengandung protein 10,25%; serat
12,04%; lemak 13,42%; abu 0,80%; K 0,07% dan P 0,019% (Fajri et al., 2014; Gaol et al.,
2015). Penambahan tepung roti dilakukan sebagai nutrisi tambahan dalam media. Beberapa
penelitian (Zahidah et al., 2012; Herawati et al., 2015) tentang kultur Daphnia sp. menggunakan
pupuk organik yang telah difermentasi. Fermentasi merupakan proses penguraian atau
perombakan bahan organik yang dilakukan dalam kondisi tertentu oleh mikroorganisme
fermentatif (Santi, 2008).

Menurut Zahidah et al. (2012), proses penguraian (dekomposisi) pupuk organik akan
menumbuhkan mikroorganisme yang akan dimanfaatkan sebagai pakan Daphnia sp. Tujuan dari
fermentasi adalah menghasilkan produk baru dengan menggunakan mikroorganisme untuk
meningkatkan dan memperkaya nutrisi pada bahan (Nwaichi, 2013). Menurut Herawati et al.
(2015) bahwa kandungan nutrisi Daphnia sp. meningkat sebelum dikultur dan setelah dikultur
dengan menggunakan pupuk organik yang difermentasi yaitu protein dari 62,23% menjadi
71,07% dan lemak 6,23% menjadi 6,40%.

3.3 Pembuatan Media Budidaya Daphnia sp.

Kombinasi kotoran burung puyuh, roti afkir, dan ampas tahu yaitu dengan perbandingan 1 :
2 : 1 (Herawati et al., 2017). Bahan organik difermentasi menggunakan probiotik. Probiotik EM4
dan molase dengan perbandingan 1:1 dan dilarutkan dalam air 100 mL, selanjutnya didiamkan
selama ± 3 jam (Yuniwati et al., 2012; Zahidah et al., 2012). Limbah bahan organik kotoran
burung puyuh, roti afkir, dan ampas tahu difermentasi dengan waktu yang berbeda yaitu 7 hari,
14 hari, dan 21 hari (Fariani dan Akhadiarto, 2012; Wahyuningsih dan Supriyo, 2013).
Rancangan percobaan yang dilakukan yaitu RAL (Rancangan Acak Lengkap) dengan 4
perlakuan dan 3 kali ulangan. Perlakuan yang dilakukan adalah kultur Daphnia sp. menggunakan

8
pupuk (kotoran burung puyuh, roti afkir, dan ampas tahu) yang difermentasi dengan waktu
berbeda yaitu sebagai berikut: Perlakuan A: tanpa difermentasi Perlakuan B: fermentasi 7 hari
Perlakuan C: fermentasi 14 hari Perlakuan D: fermentasi 21 Kultur Daphnia dilakukan secara
massal dengan volume ±700 L. Pupuk ditimbang terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam
kolam dengan dosis 2 g/L (Damle dan Chari, 2011).

Media pemeliharaan diaerasi dan didiamkan selama 5 – 12 hari untuk menumbuhkan plankton
sebagai pakan Daphnia sp., kemudian ditebar bibit Daphnia sp. (Kang’ombe et al., 2006; Dulic et
al., 2015). Bibit Daphnia sp. sebanyak ±70.000 individu ditebar dengan kepadatan awal 100
ind/L (Rakhman et al., 2012; Herawati et al., 2017).

9
IV. KESIMPULAN

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :

 Darmawan (2014), semakin banyak kelimpahan fitoplankton dan bahan organik yang
terdapat dalam media, maka laju pertumbuhan Daphnia sp. akan berlangsung lebih cepat
pertumbuhan Daphnia sp. dipengaruhi oleh faktor kondisi fisik perairan dan ketersediaan
pakan. Ketika faktor tersebut mendukung, maka laju pertumbuhan Daphnia sp. akan
berlangsung lebih cepat dan menghasilkan puncak populasi yang lebih banyak.
 Pupuk yang diberikan ke media kultur kemudian menyebabkan kandungan pakan dalam
media kultur kurang sehingga mempengaruhi pertumbuhan Daphnia sp. Menurut
Sitohang et al.(2012), bahwa proses fermentasi pupuk organik oleh bakteri
probiotikmeningkatkan kandunga nutrisi pupuk organik sebagai persyaratan nutrisi lebih
baik untuk pertumbuhan biomassa Daphnia sp.
 Habitat Daphnia sp. adalah air tawar yang tergenang (Nasution dan Supranoto, 2004).
Daphnia sp. menjadi zooplankton dominan di perairan, Daphnia sp. juga dapat hidup
pada bagian atas kolom air di dekat permukaan air yang kaya fitoplankton (Clare, 2002).
Daphnia sp. merupakan plankton yang mempunyai ukuran tubuh kecil dan lemah untuk
melawan arus yang kuat. Daphnia sp. hanya mampu bergerak migrasi secara vertikal
(Waterman, 1960).
 Adapun media kultur yang dapat digunakan untuk budidaya Daphnia sp. adalah
kombinasi kotoran burung puyuh, roti afkir, dan ampas tahu.

10
DAFTAR PUSTAKA

Ansaka, D. 2002. Pemafaatan Ampas Sagu Metroxylon sagu Rottb dan Enceng Gondok

Eichornia crassipes dalam Kultur Daphnia sp. [Skripsi]. Program Studi Budidaya Perairan,

Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor,

50 hlm.

Izzah, N. Suminto dan V.E. Herawati.2014. Pengaruh Bahan Organik Bekatul dan Bungkil

Kelapa Melalui Proses Fermentasi Bakteri Probiotik terhadap Pola Pertumbuhan dan Produksi

Biomassa Daphnia sp. Journal of Aquaculture Management and Technology 3(2): 44-52.

Rakhman, E., H. Hamdani, dan G. Setiadharma. 2012. Pengaruh Urine Kelinci Hamil dalam

Media Kultur terhadap Kontribusi Anak Setiap Kelompok Umur Daphnia spp. Jurnal

Perikanan dan Kelautan 3(3): 33-40.

Pamukas, N.A. 2011. Perkembangan Kelimpahan Fitoplankton dengan Pemberian Pupuk

Organik Cair. Berkala Perikanan Terubuk 39(1): 79-90.

11

Anda mungkin juga menyukai