Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Indonesia adalah Negara kepulauan yang memiliki wilayah laut yang sangat luas. Sama hal
nya dengan daratan lautan juga menyimpan berbagai macam biota laut yang manfaatnya sangat
besar bagi dunia kefarmasian, salah satu contohnya yaitu Plankton.

Plankton adalah jasad atau organisme yang hidup melayang dalam air, tidak bergerak atau
bergerak sedikit dan selalu mengikuti pergerakan/arus air (hewan, tumbuhan, archaea atau
bakteri). Yang menempati zona pelagic samudra, laut atau air tawar. Plankton ditentukan oleh
niche ekologi mereka dari pada taksonomi filogenetik atau klasifikasi. Mereka menyediakan
sumber makanan penting yang lebih besar, lebih dikenal organism aquatic seperti ikan dan cetacea.
Meskipun berukuran mikro dalam ukuran, plankton termasuk dalam berbagai ukuran seperti ubur-
ubur (Tahrin, 2009).
Fitoplankton adalah alga yang hidup dekat permukaan air di mana ada cahaya yang cukup
untuk dukungan fotosintesis. Di antara kelompok-kelompok lebih penting adalah diatom,
cyanobacteria, dinoflagellates dan coccolithophores. Ukurannya sangat kecil sehingga tidak dapat
dilihat oleh mata telanjang yaitu berukuran 2 – 200µm (1 µm = 0,001mm). Fitoplankton umumnya
berupa individu bersel tunggal, tetapi juga ada yang berbentuk rantai. Fitoplankton yang mampu
berfotosintesis adalah organism auototrof utama yan menjadi produsen makanan primer bagi biota
laut lainnya.
Zooplankton, protozoa atau metazoans kecil (misalnya krustasea dan hewan lainnya) yang
memakan plankton lain dan telonemia. Beberapa telur dan larva hewan lebih besar, seperti ikan,
krustasea, dan Annelida, termasuk di sini. Zooplankton merupakan biota yang sangat penting
peranannya dalam rantai makanan dilautan. Mereka menjadi kunci utama dalam transfer energi
dari produsen utama ke konsumen pada tingkatan pertama dalam tropik ecologi, seperti ikan laut,
mamalia laut, penyu dan hewan terbesar dilaut seperti halnya paus pemakan zooplankton.

1
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana klasifikasi, morfologi, sifat ekologi, fisiologi, reproduksi dan manfaat dari
Chlorella sp, Tertaselmis sp, Dunaliella sp, Skeletonema costatum dan spirulina yang
termasuk kedalam fitoplankton
b. Bagaimana klasifikasi, morfologi, sifat ekologi, fisiologi, reproduksi dan manfaat dari
Chaetoceros sp, Phaedactylum trycornutum, Branchionus pricatilis, Artemia sp dan
Rotifera yang termasuk kedalam zooplankton

C. Tujuan
a. Untuk mengetahui bagaimana klasifikasi, morfologi, sifat ekologi, fisiologi, reproduksi
dan manfaat dari Chlorella sp, Tertaselmis sp, Dunaliella sp, Skeletonema costatum dan
spirulina yang termasuk kedalam fitoplankton
b. Untuk mengetahui bagaimana klasifikasi, morfologi, sifat ekologi, fisiologi, reproduksi
dan manfaat dari Chaetoceros sp, Phaedactylum trycornutum, Branchionus pricatilis,
Artemia sp dan Rotifera yang termasuk kedalam zooplankton

D. Manfaat
a. Sebagai bahan ajar untuk mempelajari mengenai klasifikasi, morfologi, sifat ekologi,
reproduksi dan manfaat dari beberapa fitoplankton dan zooplankron

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Chlorella sp.
a. Klasifikasi dan morfologi

Chlorella merupakan salah satu mikroalga pertama yang diisolasi sebagai kultur murni oleh
Beijerinck pada 1890 (Oh-Hama & Miyachi 1988). Chlorella adalah ganggang hijau bersel
tunggal. Sel-sel Chlorella berbentuk bulat, berukuran 2-12 µm dan tidak mempunyai flagella
sehingga tidak dapat bergerak aktif. Chlorella memiliki klorofil, menyimpan tepung cadangan
makanannya dalam kantung makan atau pirenoid dan memiliki dinding sel yang kuat yang tersusun
atas polisakarida selulosa dengan matrik dari hemiselulosa dan pektin.

Nama alga hijau diberikan karena kandungan zat hijau (chlorophyll) yang dimilikinya sangat
tinggi, bahkan melebihi jumlah yang dimiliki oleh beberapa tumbuhan tingkat tinggi. Klasifikasi
Chlorella sp. menurut Bold dan Wynne (1985) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Chlorophyta
Class : Chlorophyceae
Order : Chlorococcales
Familia : Oocystaceae
Genus : Chlorella
Species : Chlorella sp

Bentuk umum sel-sel Chlorella adalah bulat atau elips (bulat telur), termasuk fitoplankton bersel
tunggal (unicellular) yang soliter, namun juga dapat dijumpai hidup dalam koloni atau

3
bergerombol. Diamater sel umumnya berkisar antara 2-12 mikron, warna hijau karena pigmen
yang mendominasi adalah klorofil. Chlorella sp. merupakan organisme eukariotik (memiliki inti
sel) dengan dinding sel yang tersusun dari komponen selulosa dan pektin sedangkan
protoplasmanya berbentuk cawan (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).

b. Ekologi dan Habitat


Berdasarkan habitat hidupnya Chlorella dapat dibedakan menjadi Chlorella air tawar dan
Chlorella air laut. Chlorella air tawar dapat hidup dengan kadar salinitas hingga 5 ppt. (Isnansetyo
dan Kurniastuty 1995). Umumnya Chlorella bersifat planktonis yang melayang di dalam perairan,
namun beberapa jenis Chlorella juga ditemukan mampu bersimbiosis dengan hewan lain misalnya
Hydra dan beberapa Ciliata air tawar seperti Paramecium bursaria (Dolan 1992).
Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan fitoplankton di kultur
terbuka antara lain: cahaya, suhu, pH air. Cahaya matahari yang diperlukan oleh fitoplankton dapat
digantikan dengan lampu TL atau tungsten. Oh Hama dan Miyachi (1988) menyatakan bahwa
intensitas cahaya saturasi untuk Chlorella berada pada intensitas 4000 lux. Kisaran suhu optimal
bagi perkembangbiakan Chlorella adalah antara 25-30º C (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
Menurut Taw (1990) untuk kultur Chlorella diperlukan suhu antara 25-35º C. Nielsen (1955)
menyatakan bahwa pH yang sesuai untuk perkembangbiakan Chlorella berkisar antara 4,5-9,3 dan
kisaran optimum untuk Chlorella laut berkisar antara 7,8-8,5. Secara umum kisaran pH yang
optimum untuk kultur Chlorella adalah antara 7-9 (Taw 1990).

c. Reproduksi

Gambar 2. Siklus hidup dan bentuk sel Chlorella sp.


(Sumber: http://www.rbgsyd.nsw.gov.au, 18 Mey 2018)

4
Reproduksi Chlorella adalah aseksual dengan pembentukan autospora yang merupakan bentuk
miniatur dari sel induk. Tiap satu sel induk (parrent cell) akan membelah menjadi 4, 8, atau 16
autospora yang kelak akan menjadi sel-sel anak (daughter cell) dan melepaskan diri dari induknya
(Bold dan Wynne 1985).
Proses reproduksi Chlorella dapat dibagi menjadi 4 tahap (Kumar dan Singh 1979) yaitu:
 Tahap pertumbuhan, pada tahap ini sel Chlorella tumbuh membesar
 Tahap pemasakan awal saat terjadi peningkatan aktivitas sintesa yang merupakan
persiapan awal pembentukan autospora
 Tahap pemasakan akhir, pada tahap ini autospora terbentuk
 Tahap pelepasan autospora, dinding sel induk akan pecah dan diikuti oleh pelepasan
autospora yang akan tumbuh menjadi sel induk muda.

d. Manfaat
manfaat Chlorella sp antara lain:
 Chlorella sp. bermanfaat dalam bidang kesehatan dengan meningkatkan daya tahan tubuh,
menurunkan tekanan darah tinggi, memperbaikki pencernaan dan mencegah sakit maag
dan mencegah tumor
 Dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan kosmetik karena Chlorella sp. mengandung
minyak squalen yang penting untuk bahan kosmetik
 Memiliki peran untuk menjaga keseimbangan antara karbondioksida dan oksigen terlarut
didalam air melalui proses fotosintesis
 Sebagai makanan utama zooplankton yang ada di perairan, sehingga memiliki peran
penting dalam rantai makanan
 Digunakan untuk menghilangkan nutrient dan logam berat dalam air limbah
 Dimanfaatkan lebagai pakan lrva ikan

B. Tetraselmis sp
a. Klasifikasi dan Morfologi
Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah
flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti sel jelas dan kecil serta dinding sel
mengandung bahan selulosa dan pektosa. Tetraselmis sp memiliki klorofil sehingga berwarna

5
hijau cerah. Pigmen klorofilnya terdiri dari dua macam yaitu karoten dan xantofil (Isnansetyo dan
Kurniastuty, 1995).
Menurut Bougis (1979) klasifikasi Tetraselmis sp. adalah sebagai berikut:
Divisi : Chlorophyta
Kelas : Chlorophyceae
Ordo : Volvocales
Famili : Chlamydomonadaceae
Genus : Tetraselmis
Spesies : Tetraselmis sp.

Gambar 3. Tetraselmis sp.


(Sumber: Biondi, 2011)

Tetraselmis sp. adalah fitoplankton dengan bentuk oval elips yang bersifat motil. Tetraselmis sp.
memiliki dua pasang flagela yang berukuran 0,75–1,2 kali panjang tubuhnya. Tetraselmis sp. juga
dikenal dengan sebutan flagellata berklorofil karena berwarna hijau, ukurannya berkisar antara 7-
12 µm dan merupakan sel tunggal dengan dinding sel yang tersusun atas selulosa dan pektin
(Butcher, 1959).

b. Habitat dan Ekologi


Tetraselmis sp. hidup di air tawar dan air laut pada zona eufotik yaitu zona dimana intensitas
cahaya masih didapat untuk melakukan proses fotosintesis. Tetraselmis sp. merupakan mikroalga
yang hidupnya sangat peka terhadap perubahan lingkungan. Apabila lingkungan tempat hidupnya
mengalami perubahan yang sangat kecil sekalipun, maka akan mempengaruhi kehidupan serta
aktivitasnya. Tetraselmis sp. dapat hidup pada kondisi salinitas dengan rentang cukup lebar yaitu

6
15-36 ppt (kondisi optimal 25-35 ppt) dan masih dapat mentoleransi suhu antara 15-35°C (kondisi
optimal 23°-25°C) (Fabregas et.al, 1984 dalam Rostini, 2007).
pH optimum untuk kultur Tetraselmis sp. berkisar 7-8 (Redjeki dan Ismail, 1993). Menurut
Barsanti dan Gualtieri (2006) pH yang sesuai untuk kultur fitoplankton adalah antara 7-8 dengan
rentang optimum 8,2-8,7. Rentang pH untuk kultur kebanyakan spesies alga adalah antara 7-9 dan
rentang optimumnya antara 8,2- 8,7 (Lavens and Sorgeloos, 1996).
Intensitas cahaya maksimum bagi pertumbuhan Tetraselmis sp. yaitu 3.000-10.000 lux. Cahaya
dalam kultur fitoplankton diperoleh dari penyinaran lampu neon. Penyinaran cahaya harus sesuai
untuk kultur, apabila cahaya terlalu terangakan menghambat proses fotosintesis, durasi
pencahayaan buatan minimum harus 18 jam (Lavens and Sorgeloos, 1996). Sari dan Manan (2012)
menjelaskan bahwa untuk kultur skala laboratorium cahaya didapat dari cahaya lampu TL dengan
kapasitas sebesar 1.450 lux.

c. Reproduksi
Tetraselmis sp. berkembang biak secara vegetatif aseksual dan seksual (Gambar 4). Reproduksi
aseksual dengan cara membelah protoplasma menjadi 2, 4 dan 8 sel dalam bentuk zoospore yang
kemudian dilengkapi dengan 4 buah flagella pada masing-masing sel (Inansetyo dan Kurniastuti
(1995). Sedangkan reproduksi secara seksual yaitu setiap sel memiliki gamet yang identik
(isogami) melalui konjugasi (bertemunya gamet jantan dan gamet betina) menghasilkan zigot yang
sempurna (Erlina dan Hastuti, 1986).

7
d. Pertumbuhan
Pertumbuhan didefinisikan sebagai pertambahan jumlah sel dalam populasi. Pertumbuhan
mikroalga dapat digambarkan dalam suatu kurva yang terdiri dari beberapa fase yaitu fase lag, fase
eksponensial, fase pengurangan pertumbuhan, fase stasioner dan fase kematian.
1. Fase Lag
Fase lag ditandai dengan kecilnya peningkatan kepadatan sel. Pertumbuhan pada fase lag
merupakan fase adaptasi fisiologis dari metabolisme sel untuk tumbuh, seperti peningkatan
enzim serta metabolisme yang dilibatkan pada pembelahan sel dan fiksasi karbon. Pada saat
beradaptasi, sel mengalami defisiensi enzim atau koenzim, sehingga harus disintesis terlebih
dahulu untuk keberlangsungan aktivitas biokimia sel selanjutnya (Madigan et.al, 2000).
Fase lag sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Semakin ekstrim kondisi suatu
lingkungan maka, waktu fase lag akan semakin lama. Akibat semakin lamanya waktu pada
fase lag dapat menyebabkan waktu kultur juga akan semakin lama. Apabila waktu pada fase
lag dikurangi, maka dapat menyebabkan semakin pendek waktu kultur.
Pada fase lag, pertumbuhan Tetraselmis sp. dikaitkan dengan adaptasi fisiologis metabolisme
sel pertumbuhan fitoplankton, seperti peningkatan kadar enzim dan metabolit yang terlibat
dalam pembelahan sel dan fiksasi karbon (Lavens and Sorgeloos, 1996).
2. Fase Eksponensial
Merupakan fase dimana fitoplankton memiliki laju pertumbuhan yang tetap. Laju pertumbuhan
spesifik biasanya tergantung pada jenis mikroalga, intensitas cahaya dan temperatur. Waktu
penggandaan tercepat biasanya terjadi pada fase eksponensial yaitu fase dimana sel-sel
membelah dengan cepat dan konstan mengikuti kurva logaritmik (Becker, 1994).
3. Fase pengurangan pertumbuhan
Ditandai dengan terjadinya penurunan pertumbuhan dibandingkan dengan fase eksponensial.
Pembelahan sel menurun ketika nutrien, cahaya, pH, karbon dioksida atau komponen fisika
maupun kima lainnya menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan mikroalga (Isnansetyo,
1995).
4. Fase stasioner
Pada fase ini laju repoduksi seimbang dengan laju kematian sehingga laju pertumbuhan
fitoplankton akan relatif konstan. Pada saat kultur mencapai fase stasioner komposisi
mikroalga akan berubah secara signifikan, yang disebabkan karena kandungan nitrat pada

8
media kultur terbatas sehingga mengakibatkan kandungan karbohidrat meningkat hingga dua
kali lipat dari kandungan protein (Brown et al. 1997).
5. Fase kematian
Pada fase kematian, kualitas air memburuk dan kandungan nutrisi semakin menurun hingga
mikroalga tidak mampu melangsungkan pertumbuhan. Jumlah sel menurun akibat laju
reproduksi lebih lambat dari laju kematian. Kematian sel dapat disebabkan oleh mulai
berkurangnya nutrisi yang tersedia sehingga tidak mampu mendukung pertumbuhan sel,
penurunan kualitas air, dan akumulasi metabolit (NO2-dan NH4+) (Lavens and Sorgeloos,
1996).

e. Manfaat
 Peranannya dalam bidang budidaya perikanan adalah sebagai pakan alami bagi larva
ikan, udang dan pakan untuk kerang-kerang
 Sebagai pakan dalam kultur rotifera

C. Dunalella salina
a. Klasifikasi dan Morfologi
Dunalella salina merupaka alga hijau uniseluler dari kelas Chlorophyta (Oren, 2003). Sel
Dunalella salina memiliki panjang 5-29 µm dan lebar 4-20 µm. Sel Dunalella salina memiliki
bentuk yang bervariasi yaitu elips, bulat telur dan silinder tergantung kondisi lingkungan tertentu.
Dunalella salina mempunyai dua flagella sama panjang yang terletak pada bagian anterior.
Dunalella salina mempunyai struktur sel yang terdiri dari kloroplas, pyrenoid, vakuola, nukleus,
nukleolus, badan golgi serta memiliki bintik mata pada anterior. Dunalella salina memiliki sel
yang lebih besar dibandingkan dengan genus Dunalella lain, sehingga mampu memproduksi β-

9
karoten lebih banyak (Oren, 2003). Dunalella salina bersifat halofilik, mempunyai sebuah central
pyrenoid dan memiliki kloroplas berbentuk melengkung, mengandung banyak β-karoten pada
bagian tepi sel sehingga sel berwarna kemerahan (Borowitzka and Siva, 1988)
Klasifikasi Dunalella salina menurut Oren, 2003 adalah sebagai berikut:
Kingndom : Plantae
Divisio : Chlorophyta
Class : Chlorophyceae
Ordo : Volvocales
Family : Dunaliellaceae
Genus : Dunaliella
Spesies : Dunaliella salin

Gambar 6. Struktur sel Dunaliella salin Gambar 7. Dunaliella salin

b. Habitat dan Ekologi


Dunaliella salina merupakan fitoplankton halofilik yang memiliki habitat perairan laut dan mampu
bertahan hidup dalam lingkungan yang memiliki kadar garam tinggi (Polle and Qin, 2009). Chen
(1994) menyatakan bahwa salinitas optimal bagi pertumbuhan Dunaliella salina adalah 20-35 ppt.
bahwa Dunaliella salina dapat tumbuh pada suhu 25-40ºC. Borowitzka 1989, menyatakan bahwa
pertumbuhan normal Dunaliella salina adalah pada intensitas cahaya 1200-2200 lux. Menurut
Boyd (2011), pH 6-9 merupakan kisaran pH terbaik untuk pertumbuhan fitoplankton.

10
c. Reproduksi
Dunaliella salina dapat bereproduksi dengan dua cara yaitu seksual dan aseksual (Zainuri et al,
2008). Reproduksi seksual dapat terjadi sebagai respon dari perubahan lingkungan ekstrim seperti
nutrisi yang rendah melalui proses gametogenesis dengan memproduksi isogamet yang terlihat
seperti zoospora (Polle and Qin, 2009). Reproduksi seksual Dunaliella salina terjadi dengan cara
melakukan isogami, selama perkembangan zigot akan terjadi pembelahan secara meiosis. Zigot
berwarna merah atau hijau memiliki endomembran yang sangat halus. Zigot akan membelah
secara meiosis setelah tahap istirahat dan akan membentuk lebih dari 16 sel yang dibebaskan
melalui celah pada dinding sel induk (Polle and Qin, 2009). Zigot kemudian membelah hingga 32
sel anak haploid melalui celah pada dinding sel induk (Oren, 2003).
Sel D. salina mengalami pembelahan sel secra longitudinal pada reproduksi aseksual. Reproduksi
aseksual terjadi hingga dua jam. Proses reproduksi aseksual diawali dengan pembelahan inti sel
yang masing-masing memiliki pyrenoid dan sepasang flagela. Sel yang memiliki pyrenoid dan
flagela kemudian mengalami pembelahan. Sel hasil pembelahan tersebut masih melekat pada
bagian anterior dan posterior yang dihubungkan oleh membran plasma. Membran plasma akan
lepas dan kedua sel anak baru akan terpisah menjadi dua sel anakan (Polle and Qin, 2009).

Gambar 8. Reproduksi seksual sel D. salina dan Reproduksi aseksual sel D. salina
(Oren, 2003)

d. Manfaat
Dimanfaatkan sebagai pakan ikan yang menyehatkan karena kandungan proteinnya yang tinggi,
dan juga berpotensi sebagai anti bakteri,sebagai antioksidan.
 Sebagai Terapi kanker

11
 Stres oksidatif
 Kedua contoh diatas merupakan penggunaan dari extract dunaliella salina dalam
perawatan, kontrol dan pengendalian kehetan dalam bidang farmasi dan kedokteran.

D. Skletonema costatum
a. Klasifikasi dan Morfologi
Skeletonema costatum memiliki sel yang dipenuhi oleh sitoplasma, membentuk untaian rantai
yang terdiri dari epiteka pada bagian atas dan hipoteka pada bagian bawah (Isnansetyo dan
Kurniastuty, 1995). Skeletonema costatum yang berada di pantai memiliki panjang rata-rata 9,7
µm dengan diameter rata-rata 5,8 µm. Dinding sel Skeletonema costatum mempunyai frustula yang
menghasilkan skeletal external berbentuk silindris (cembung) dan mempunyai duri-duri yang
berfungsi sebagai penghubung antar frustula sehingga membentuk filamen.

Klasifikasi Skeletonema costatum menurut Bougis (1979) in Tjahjo et al. (2002) dan Edhy et al.
(2003) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Chrysophyta
Kelas : Bacillariophyceae
Ordo : Centrales
Sub Ordo : Coscinodiscineae
Famili : Skeletonemoidae
Genus : Skeletonema
Spesies : Skeletonema costatum

Fitoplankton ini merupakan algae bersel tunggal, dengan ukuran sel berkisar antara 4-15 µm,
Dapat membentuk untaian rantai yang terdiri dari beberapa sel. Sel diatomnya mempunyai
kemampuan menghasilkan skeleton ekstemal silika (frustule). Sel berbentuk kotak yang terdiri
atas epitecha pada bagian atas dan hipotecha pada bagian bawah. Pada bagian hipotecha
mempunyai lubang-lubang yang berpola khas dan indah yang terbuat dari silikon oksida. Setiap
sel dipenuhi oleh sitoplasma. Bentuk katupnya sangat bervariasi, ada yang sirkulasi, eliptical,

12
polygonal, kubus, segitiga atau tidak beraturan. Pigmen penyusun sel yang menyebabkan warna
sel kuning keemasan adalah fuxoanthin. Volume sel rata-rata 154 mikrometer kubik. Bahan utama
penyusun dinding sel adalah silicat dan dindingnya lebih tipis dibandingkan dengan jenis diatom
lainnya.

Gambar 10. Bentuk sel Skeletonema costatum


Sumber: planktonnet.awi.de (2018)

b. Habitat dan Ekologi


Skeletonema costatum banyak terdapat di daerah tropis dan subtropis, terdapat mulai dari pantai
sampai lautan sebagai meroplankton dan benthos. Skeletonema costatum merupakan diatom yang
bersifat eurytermal yaitu mampu tumbuh pada kisaran suhu 3–30ºC dan temperatur optimal adalah
25-27ºC. Diatom laut, Skeletonema costatum memiliki kandungan karbohidrat sebesar 4,6%,
kandungan protein sebesar 25% dan kandungan lemak sebesar 10% (Brown, 1997). Skeletonema
costatum hidup di air laut (alam) yang mempunyai intensitas cahaya 500 – 12000 lux. Jika
intensitas cahaya kurang dari 500 lux, Skeletonema tidak tumbuh. Sementara itu derajat keasaman
(pH) media hidupnya berkisar 7,5-8.

c. Rproduksi
Secara normal skeletonema costatum ini bereproduksi secara aseksual, yaitu dengan pembelahan
sel. Pembelahan sel yang terjadi berulang-ulang ini akan mengakibatkan ukuran sel menjadi lebih
kecil secara berangsur-angsur hingga generasi tertentu. Pembelahan sel yang terjadi berulang-
ulang ini akan mengakibatkan ukuran sel menjadi lebih kecil secara berangsur-angsur hingga

13
generasi tertentu. Apabila ukuran sel sudah dibawah 7 mikron, secara reproduksi tidak lagi secara
akseksual akan tetapi berganti menjadi seksual dengan pembentukkan auxospora. Mula-mula
epitheca dan hipotheca ditinggalkan dan menghasilkan auxospora tersebut. Auxospora ini akan
membangun epitecha dan hipotecha baru dan tumbuh menjadi sel yang ukurannya membesar,
kemudian melakukan pembelahan sel hingga membentuk rantai.

Gambar 11. Reproduksi skeletonema costatum


d. Manfaat
Skeletonema costatum merupakan salah satu pakan alami yang banyak digunakan dalam usaha
pembenihan udang, ikan, kerang-kerangan, dan kepiting. Skeletonema costatum memiliki
beberapa kelebihan dibandingkan pakan buatan, karena memiliki enzim autolisis sendiri sehingga
mudah dicerna oleh larva dan tidak mengotori media budidaya. Pada pembenihan udang windu
Skeletonema costatum harus tersedia selama pemeliharaan larva udang windu dari telur menetas
menjadi naupli, zoea, mysis, sampai pasca larva awal. Skeletonema costatum memiliki kandungan
nutrisi yang cukup tinggi, harga murah, dan mudah dikultur massal dan bersifat eurythermal.

14
E. Chaetoceros sp.

a. Klasifikasi dan Morfologi


Chaetoceros sp. adalah salah satu spesies diatom. Diatom (filum Heterokontophyta, kelas
Bacillariophyta) berbentuk uniseluler, walaupun demikian terdapat berbagai spesies agregat yang
berkelompok dan membentuk koloni seperti rantai. Sel diatom tertutup oleh dinding sel yang
terbuat dari silikat, bahan yang keras seperti gelas. Diatom adalah pabrik fotosintesis yang efisien,
menghasilkan banyak makanan yang dibutuhkan makhluk hidup (makanan tersebut adalah diatom
itu sendiri), serta oksigen (O2) sebagai hasil fotosintesisnya.

Menurut Yamaji (1984), Chaetoceros calcitrans adalah alga yang berwarna cokelat keemasan,
klasifikasi dari Chaetoceros sp. adalah sebagai berikut:

Divisi : Chrysophyta

Kelas : Chaetoceraceae

Ordo : Centrales

Famili : Chaetocerotaceae

Genus : Chaetoceros

Spesies : Chaetoceros calcitrans.

Gambar 12. Performa dari Chaetoceros calcitrans perbesaran 400x

(Ismi et al, 1992)

15
b. Habitat dan Ekologi

Daerah penyebarannya meliputi muara sungai, pantai dan laut pada daerah tropis dan subtropis.
Diatom ini dapat hidup pada kisaran suhu yang tinggi, pada suhu air 40ºC fitoplankton ini masih
dapat bertahan hidup namun tidak berkembang. Pertumbuhan optimumnya memerlukan suhu pada
kisaran antara 25 - 30ºC, salinitas optimal untuk pertumbuhan optimal dari Chaetoceros sp. adalah
28 – 30. Seperti halnya fitoplankton pada umumnya, pertumbuhan dari Chaetoceros calcitrans ini
juga dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Intensitas cahaya yang optimum untuk pertumbuhannya
adalah berkisar antara 3000 - 45.000 lux, dan pertumbuhannya akan menurun jika intensitas cahaya
melebihi 45.000 lux . Chaetoceros calcitrans dapat hidup pada pH 7 – 8,5. Jika pH tidak sesuai
dengan habitatnya, pertumbuhan mikroalga tersebut tidak akan berlangsung dengan normal.

c. Reproduksi

Chaetoceros calcitrans bereproduksi secara aseksual yakni dengan pembelahan sel dan seksual
dengan pembentukan auxospora. Silikat memiliki peranan penting dalam proses reproduksi
fitoplankton ini sebagai bahan pembentuk cangkang. Pembelahan sel pada diatom ini sama seperti
pembelahan sel diatom pada umumnya, yaitu satu sel induk yang membelah akan menghasilkan
dua sel anak. Satu sel anak mendapatkan tutup kotak (epiteka) akan berkembang menyerupai
ukuran sel induknya, sedangkan sel anak yang mendapatkan dasar kotak (hipoteka) akan tumbuh
lebih kecil dari sel induk. Pembelahan sel ini akan terus berlanjut sampai ukuran sel semakin kecil
(Djarijah, 1995).

Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), pembelahan sel Chaetoceros calcitrans yang
dilakukan secara terus menerus akan menyebabkan ukuran sel menjadi semakin kecil, dan sampai
batas ukuran tertentu, pembelahan sel ini akan berhenti sebentar dan berganti menjadi reproduksi
secara seksual melalui pembentukan auxospora yaitu isi sel (sel anak) akan keluar dari cangkang
dan akan tumbuh membesar hingga ukurannya sama dengan ukuran sel induk semula dan
kemudian sel ini akan melakukan reproduksi secara aseksual kembali yakni melalui pembelahan
sel.

d. Manfaat

Chaetoceros calcitrans memiliki peran yang besar dalam hal penyediaan pakan untuk larva
khususnya larva udang dalam bidang budidaya dan perikanan. Hal tersebut dikarenakan

16
Chaetoceros calcitrans memiliki kandungan nutrisi yang tinggi yaitu protein 35%, lemak 6,9%,
karbohidrat 6,6% dan kadar abu 28% (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).

Selain dalam bidang budidaya dan perikanan Chaetoceros sp. juga memiliki peranan terhadap
manusia. Mikroalga Chaetoceros sp. memiliki potensi tinggi sebagai penghasil senyawa-senyawa
kimia bernilai ekonomi tinggi seperti asam lemak omega. Menurut Metting dan Pyne (1986).
mikroalga Chaetoceros calcitrans mempunyai komponen aktif antibakteri golongan asam lemak.

Mikroalga Chaetoceros mempunyai aktivitas antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan


bakteri patogen gram positif dan negatif. Mikroalga Chaetoceros calcitrans menghasilkan
komponen aktif yang mempunyai aktivitas terhadap bakteri E.coli & S.aureus, serta kapang
Candida albians.

F. Phaedactylum tryconutum
a. Klasifikasi dan Morfologi
Phaeodactylum tricornutum merupakan salah satu spesies mikroalga yang termasuk dalam
golongan Diatom yang termasuk dalam divisi Heterokonta. Mikroalga jenis diatom memiliki peran
penting sebagai phytoplankton di laut, penting pada siklus biogeokimia mineral seperti silika, dan
untuk fiksasi karbon secara global (Werner, 1977). Klasifikasi Phaeodactylum tricornutum adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Chromista
Divisio : Eukaryota
Phylum : Bacillariophyta/Diatomea
Class : Bacillariophyceae
Order : Naviculales
Familia : Phaeodactylaceae
Genus : Phaeodactylum
Species : Phaedactylum trycornutum
Karakteristik organisme ini yaitu termasuk tipe uniseluler, normalnya dengan satu kromatofor di
bagian tengah sel. Terdapat tiga morfotipe sel: Oval (berukuran 8x3 µm, satu katup silika per sel,
dapat bergerak lambat atau tidak bergerak pada gumpalan ber-mucigel), bentuk fusi (dengan

17
ukuran 25-35 µm dengan lebih dari dua atau kurang bentukan tumpul, lengan-lengannya agak
menekuk, tidak terdapat dinding silika, nonmotil) dan triradiate.

Tirradiate Oval Fusiform


Gambar 13. Bentuk-bentuk Phaeodactylum tricornutum

b. Reproduksi
Sistem reproduksi yang dilakukan oleh Phaeodactylum tricornutum cenderung berupa reproduksi
aseksual. Reproduksi aseksual dilakukan dengan adanya mitosis yang diikuti dengan pembelahan
sitoplasmik di mana setiap sel anakan menerima salah satu dari sepasang cangkang/katup yang
dimiliki sel induk. Kemudian sel anakan mensekresikan pasangan katup lainnya yang berukuran
lebih kecil. Sedangkan sel anakan yang menerima satu katup yang lebih besar akan tumbuh
menyamai ukuran sel induk. Hal tersebut akan menghasilkan dua anakan dengan ukuran salah
satunya sama dengan sel induk, sedangkan lainnya lebih kecil.
Diatom yang berukuran lebih kecil dapat mengubah cara reproduksinya menjadi seksual dengan
melakukan proses meiosis dan menghasilkan gamet berflagel, yang tidak memiliki katup dan
berfusi secara berpasangan untuk membentuk zigot. Zigot tumbuh menjadi ukuran normal sebelum
mensekresi katup yang lengkap dengan bagian atas dan bawah (Russell et.al, 2011). Selain itu,
diatom tersebut juga membentuk auksospora yang berperan dalam pembesaran ukuran diatom
sehingga memiliki ukuran normal menjadi sel vegetatif dan diproduksi juga pada saat tahap
dormansii

18
Gambar 14. Siklus hidup Phaedactylum trycornutum

c. Habitat
Penyebaran ganggang Phaedactylum trycornutum berada di Amerika Utara dan Eropa. Meskipun
bukan termasuk organisme dengan persebaran yang luas namun ganggang Phaedactylum
trycornutum dapat di temukan di beberapa daerah di dunia. Terutama pada daerah pantai dengan
rentang perubahan salinitas yang lebar (kisaran salinitas optimum yang luas).

d. Manfaat
 Phaedactylum trycornutum yang sifat uniknya dapat mengalami perubahan dalam
penelitian untuk mengeksplorasi basis molecular untuk control dan perubahan morfologi
sel
 Phaedactylum trycornutum dapat tumbuh tanpa kehadiran silica dalam selnya, dan
biogenesis untuk pembentukan selnya adalah fakultatif sehingga dapat digunakan untuk
penelitian nanofabrikasi berdasar silica diatom.
 Selain itu dapat juga dimanfaatkan sebagai sumber biodiesel dengan kandungan
minyaknya 31% dari berat keringnya
 Beberapa produk kosmetik juga menggunakan Phaedactylum trycornutum sebagai
campurannya karena dapat memperbaiki protein yang rusak akibat sinar UV.
 Mikroalga jenis diatom memiliki peran penting sebagai phytoplankton di laut, penting
pada siklus biogeokimia mineral seperti silika, dan untuk fiksasi karbon secara global

19
G. Spirulina sp.
a. Klasifikasi dan Morfologi
Spirulina sp. merupakan mikroalga yang menyebar secara luas, dapat ditemukan di berbagai tipe
lingkungan, baik di perairan payau, laut dan tawar (Ciferri, 1983). Ciri-ciri morfologinya yaitu
filamen yang tersusun dari trikoma multiseluler berbentuk spiral yang bergabung menjadi satu,
memiliki sel berkolom membentuk filamen terpilin menyerupai spiral, tidak bercabang, autotrof,
dan berwarna biru kehijauan.
Klasifikasi Spirulina sp. menurut Bold dan Wyne (1985) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Protista
Divisi : Cyanophyta
Kelas : Cyanophyceae
Ordo : Nostocales
Famili : Oscilatoriaceae
Genus : Spirulina
Spesies : Spirulina sp.

Bentuk tubuh Spirulina sp. yang menyerupai benang merupakan rangkaian sel yang berbentuk
silindris dengan dinding sel yang tipis, berdiameter 1-12 µm. Filamen Spirulina sp. hidup berdiri
sendiri dan dapat bergerak bebas (Tomaselli, 1997). Spirulina sp. berwarna hijau tua di dalam
koloni besar yang berasal dari klorofil dalam jumlah tinggi. Sel Spirulina sp. berukuran relatif
besar yaitu 110 µm, sehingga dalam proses pemanenan dengan menggunakan kertas saring lebih
mudah (Borowitzka M.A, 1988).

Gambar 15. Spirulina sp.


(Sumber: R. Locci dalam Cifferi, 1983 dan Henrickson, 1989)

20
Struktur sel Spirulina sp. hampir sama dengan tipe sel alga lainnya dari golongan cyanobacteria.
Dinding sel merupakan dinding sel gram-negatif yang terdiri dari 4 lapisan, dengan lapisan
utamanya tersusun dari peptidoglikan yang membentuk lapisan koheren. Peptidoglikan berfungsi
sebagai pembentukan pergerakan pada Spirulina sp. yang membentuk spiral teratur dengan lebar
belokan 26-28 µm, sedangkan sel-sel pada trichoma memiliki lebar 6-8 µm (Eykelenburg, 1977).
Bagian tengah dari nukleoplasma mengandung beberapa karboksisom, ribosom, badan silindris,
dan lemak. Membran tilakoid berasosiasi dengan pikobilisom yang tersebar disekeliling
sitoplasma. Spirulina sp. mempunyai kemampuan untuk berfotosintesis dan mengubah energi
cahaya menjadi energi kimia dalam bentuk karbohidrat (Mohanty et al.1997).

b. Ekologi
Spirulina sp. merupakan mikroalga yang memiliki daya adaptasi tinggi, yang artinya dia mampu
tumbuh dalam berbagai kondisi pertumbuhan. Misalnya dapat ditemukan di perairan dengan pH
basa (Ogawa dan Terui, 1970). Menurut Taw (1990), kisaran suhu optimal untuk Spirulina sp.
skala laboratorium adalah 25-35ºC. Nilai pH pada media tumbuh mikroalga akan menentukan
kemampuan biologi mikroalga dalam memanfaatkan unsur hara, sehingga pH optimum sangat
penting untuk menunjang pertumbuhan Spirulina sp. yang optimal. Nilai pH yang baik untuk
pertumbuhan Spirulina sp. berkisar antara 8,5-9,5 (Suryati, 2002). Intensitas cahaya yang optimal
untuk pertumbuhan Spirulina sp. berkisar antara 1500-3000 lux dan tidak melebihi 4000 lux untuk
menghindari fotoinhibisi (Richmond, 1968).

c. Reproduksi
Siklus hidup Spirulina sp. yaitu proses reproduksinya disempurnakan dengan fragmentasi dari
trikoma yang telah dewasa. Reproduksi Spirulina sp. terjadi secara aseksual (pembelahan sel) yatiu
dengan memutus filamen menjadi satuansatuan sel yang membentuk filamen baru. Ada tiga tahap
dasar pada reproduksi Spirulina sp. yaitu proses fragmentasi trikoma, pembesaran dan pematangan
sel hormogonia, serta perpanjangan trikoma. Selanjutnya trikoma dewasa dapat dibagi menjadi
filamen atau hormogonia, dan sel-sel di hormogonia akan meningkat melalui pembelahan biner,
tumbuh memanjang dan membentuk spiral (Hongmei Gong et al., 2008).

21
Gambar 16. Siklus Hidup Spirulina sp.
(Sumber: Hongmei Gong et al., 2008)
Siklus reproduksi mikroalga tersebut berlangsung melalui pembentukan hormogonium yang
dimulai ketika salah satu atau beberapa sel yang terdapat di tengah-tengah trikoma yang
mengalami kematian dan membentuk badan yang disebut cakram pemisah berbentuk bikonkaf.
Sel-sel mati yang disebut nekrida tersebut akan putus dengan segera, kemudian trikoma
terfragmentasi menjadi koloni sel yang terdiri atas 2-4 sel yang disebut hormogonia dan
memisahkan diri dari filamen induk untuk menjadi trichoma baru. Hormogonia memperbanyak
sel dengan pembelahan pada sel terminal. Tahap akhir proses pendewasaan sel ditandai
terbentuknya granula pada sitoplasma dan perubahan warna sel menjadi hijau kebiruan (Cifferi,
1983).
d. Manfaat
Digunakan sebagai sumber bahan makanan di Meksiko dan Afrika dan merupakan salah satu
sumber makanan alami paling potensial baik untuk hewan dan manusia. Spirulina merupakan salah
satu sumber pangan berpotensi, sebagai contoh 1 are (0,4646 hektar) Spirulina dapat menghasilkan
protein 20 kali lebih baik dari 1 are kedelai atau jagung dan 200 kali lebih baik dari pada daging
sapi (Kozlenko dan Henson 1998).
Spirulina kering dapat digunakan sebagai sumber pasta campuran, saus, sup, minuman instan, dan
makanan suplemen. Spirulina bisa dicampur dalam mie, roti, biskuit. Hal ini digunakan untuk
tujuan menambahkan gizi yang lebih tinggi untuk makanan. (Henrikson, 1989).

22
H. Brachionus plicatilis
a. Klasifikasi dan Morfologi
Brachionus plicatilis termasuk ke dalam filum Rotifera yang merupakan filum invertebrata. Ada
tiga kelas rotifer, yaitu (1) Seisinoidea, (2) Bdelloidea: kelompok yang menyerupai cacing dan
bereproduksi secara aseksual, dan (3) Monogononta: kelas yang di dalamnya terdapat B. plicatilis,
B. calyciflorus, dan B.rubens. Klasifikasi B. plicatilis menurut Fu et al. (1991) dalam Amali (2005)
adalah sebagai berikut:
Kingdom : Rotifera
Kelas : Monogononta
Ordo : Ploima
Famili : Brachionidae
Sub Famili : Brachioninae
Genus : Brachionus
Spesies : B. plicatilis

Gambar 17. Morfologi Brachionus sp jantan dan betina (Koste, 1980 dalam Amali,
2005)
Tubuh B. plicatilis terdiri dari tiga bagian, yaitu kepala (head), badan (trunk), dan kaki atau ekor
(foot). Bagian kepala dilengkapi dengan silia yang kelihatan seperti spiral dan disebut korona yang
berfungsi untuk memasukkan makanan ke dalam mulut (Lavens dan Sorgelos, 1996).

23
b. Habitat dan Ekologi
Brachionus plicatilis ditemukan di seluruh dunia. B. plicatilis termasuk hewan yang hidupnya
kosmopolitan, dapat ditemukan hampir di semua jenis perairan (Suminto, 2005). Betina dengan
telurnya dapat bertahan hidup pada salinitas 98 ppt, sedangkan salinitas optimalnya adalah 10-35
ppt (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Kisaran suhu antara 22º-30ºC merupakan kisaran suhu
optimum untuk pertumbuhan dan reproduksi (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Keasaman air
mempengaruhi kehidupan B. plicatilis. B. plicatilis masih dapat bertahan hidup pada pH 5-10.
Sedangkan pH optimum untuk pertumbuhan dan reproduksi berkisar antara 7,5-8,0 (Isnansetyo
dan Kurniastuty, 1995). Suminto (2005) menyatakan cahaya sebesar 250-310 nm adalah yang
terbaik untuk menetaskan kista B. plicatilis. Fulks dan Main (1991) dalam Redjeki (1999)
menyatakan intensitas cahaya yang diperlukan untuk kultur B. plicatilis dalam ruangan tidak
melebihi 2.000 lux.

c. Reproduksi
B. plicatilis mempunyai kelamin terpisah, dapat bereproduksi secara aseksual dengan
parthenogenesis yaitu menghasilkan telur tanpa terjadi pembuahan dan individu baru yang
dihasilkan bersifat diploid. Selain secara aseksual, B. plicatilis juga bereproduksi secara seksual.
Pada mulanya betina miktik mengkasilkan 1-6 telur kecil (50-70 x 80-100 mikron). Betina miktik
adalah betina yang dapat dibuahi. Telur yang dihasilkan oleh betina miktik akan menetas menjadi
jantan. Jantan tersebut akan membuahi betina miktik dan menghasilkan 1-2 telur istirahat. Telur
tersebut mengalami masa istirahat sebelum menetas menjadi betina amiktik. Betina amiktik adalah
betina yang tidak dapat dibuahi. Dari betina amiktik tersebut maka reproduksi secara aseksual akan
terjadi lagi (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).
B. plicatilis memiliki masa hidup yang tidak terlalu lama. Usia B. plicatilis betina pada suhu 250C
adalah antara 6-8 hari sedangkan yang jantan hanya sekitar 2 hari. Meskipun berumur pendek,
namun B. plicatilis betina memiliki kapasitas reproduksi yang luar biasa. B. plicatilis betina
pertama kali bereproduksi pada usia 18 jam dan selanjutnya terus bereproduksi sepanjang hidup
mereka. Fekunditas total untuk seekor betina secara aseksual dan dalam kondisi pakan yang cukup
serta kualitas air yang bagus adalah 20-25 individu baru (Suminto, 2005).

24
Gambar 18. Partenogenesis dan reproduksi Brachionus plicatilis (Hoff and Snell,
1987 dalam Lavens dan Sorgelos, 1996 ).
d. Manfaat
Brachionus plicatilis merupakan salah satu pakan alami yang sering diberikan dalam usaha
pembenihan dan cocok bagi larva ikan, mengandung 40-60% protein dan 13-16& lemak (Lubzens
et al., 1989 dalam Aprilia, 2008). B. plicatilis memiliki ukuran tubuh yang kecil (80-120 μm),
bersifat nonselektif filter feeder, gerakan yang lambat, mudah diklutur, mudah dicerna dan mudah
ditingkatkan kandungan gizinya terutama asam lemaknya (Watanabe, 1988 dalam Aprilia, 2008).

I. Artemia
a. Klasifikasi dan Morfologi
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Subphylum : Crustacea
Class : Branchiopoda
Order : Anostraca
Family : Artemiidae
Genus : Artemia
Species : Artemia sp. (Linnaeus, 1758)

25
Gambar 19. Artemia sp.
(Sumber : www.naturamediterraneo.com)
Telur Artemia atau kista berbentuk bulat berlekuk dalam keadaan kering dan bulat penuh dalam
keadaan basah. Warnanya coklat yang diselubungi oleh cangkang yang tebal dan kuat (Cholik dan
daulay 1985). Cangkang Artemia berguna untuk melindungi embrio terhadap pengaruh
kekeringan, benturan keras, sinar ultraviolet dan mempermudah pengapungan (Mudjiman 1989).
Cangkang kista Artemia dibagi dalam dua bagian yaitu korion (bagian luar) dan kutikula
embrionik (bagian dalam). Diantara kedua lapisan tersebut terdapat lapisan ketiga yang dinamakan
selaput kutikuler luar.
Korion dibagi lagi dalam dua bagian yaitu lapisan yang paling luar yang disebut lapisan peripheral
(terdiri dari selaput luar dan selaput kortikal) dan lapisan alveolar yang berada di bawahnya.
Kutikula embrionik dibagi menjadi dua bagian yaitu lapisan fibriosa dibagian atas dan selaput
kutikuler dalam di bawahnya. Selaput ini merupakan selaput penetasan yang membungkus embrio.
Diameter telur Artemia berkisar 200 – 300 μg, bobot kering berkisar 3.65 μg, yang terdiri dari 2.9
μg embrio dan 0.75 μg cangkang (Mudjiman 1983). Kista Artemia yang ditetaskan pada salinitas
15-35 ppt akan menetas dalam waktu 24 - 36 jam, larva Artemia yang baru menetas disebut nauplii.
Nauplii dalam pertumbuhannya mengalami 15 kali perubahan bentuk, masingmasing perubahan
merupakan satu tingkatan yang disebut instar (Pitoyo 2004).
Fase larva pertama (Instar I) berukuran 400-500 mikron dan berwarna coklat- oranye yang
menandakan bahwa pada fase ini nauplii masih menggunakan yolk salk sebagai cadangan
makanannya (BBAP 1996). Setelah 8 jam instar I akan berganti kulit dan menjadi Instar II, pada
fase ini nauplii sudah membutuhkan asupan nutrisi dari luar karena sistem pencernaannya sudah
bekerja dengan baik. Partikel makanan yang diambil berukuran kecil antara 1-40 μ disaring oleh

26
antena ke-2 dan kemudian dimasukkan kedalam saluran pencernaannya (ingestion). Larva akan
terus berkembang dan berubah bentuk melalui 15 kali ganti kulit (moulting) sampai ke fase
Artemia dewasa (BBAP 1996).

b. Habitat dan Ekologi


Artemia secara umum tumbuh dengan baik pada kisaran suhu antara 25-30ºC, berbeda dengan
kista Artemia kering yang dapat tahan pada suhu -273 hingga 100ºC (Mudjiman 1989). Artemia
dapat ditemui di danau dengan kadar garam tinggi yang biasa disebut dengan brain shrimp. Kultur
biomassa Artemia yang baik pada kadar garam antara 30-50 ppt. Untuk Artemia yang mampu
menghasilkan kista membutuhkan kadar garam diatas 100 ppt (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
Kadar oksigen terlarut yang dibutuhkan agar Artemia dapat tumbuh dengan baik ialah sekitar 3
ppm. Media untuk penetasan kista, diperlukan air yang pH-nya lebih dari 8, jika pH kurang dari 8
maka efisiensi penetasan akan menurun atau waktu penetasan menjadi lebih panjang (Mudjiman
1989).

c. Reproduksi
Chumaidi et al., (1990) dalam Tyas (2004) menyatakan bahwa perkembangbiakan Artemia ada
dua cara, yakni partenogenesis dan biseksual. Pada Artemia yang termasuk jenis parthenogenesis
populasinya terdiri dari betina semua yang dapat membentuk telur dan embrio berkembang dari
telur yang tidak dibuahi, sedangkan pada Artemia jenis biseksual, populasinya terdiri dari jantan
dan betina yang berkembang melalui perkawinan dan embrio berkembang dari telur yang dibuahi.

Gambar 20. siklus hidup Artemia


(Sumber : www.perikanan-1992.blogspot.com)

27
d. Manfaat
Salah satu zooplankton yang banyak digunakan sebagai pakan utama dalam pembenihan ikan,
udang dan kepiting adalah Artemia. Artemia banyak digunakan karena ukurannya yang kecil
sehingga sesuai dengan bukaan mulut larva. Artemia sebagai pakan alami banyak digunakan dalam
pembenihan udang karena nilai gizinya yang tinggi. Nilai nutrisinya didapatkan dari kandungan
protein Artemia dewasa mencapai 60% (Sumeru dan Anna, 1992). Protein sangat diperlukan untuk
proses pertumbuhan ikan dan udang. Menurut Akbar (2000), protein merupakan komponen utama
dalam pembentukan organ-organ tubuh ikan.

J. Rotifera (Brachionus rotundiformis)


a. Klasifikasi dan morfologi
Rotifer adalah hewan mikroskopis dengan struktur tubuh relatif sederhana (Mujiman, 1987).
Rotifera atau disebut “hewan beroda” pertama kali diselidiki oleh Antonio Van Lewenhoek pada
tahun 1675 yang menyelidiki hewan-hewan air mikroskopis (Davis, 1965).
Rotifera pertama kali ditemukanoleh Muller pada tahun 1786 (Grady, et al. 1993) dan
diklasifikasikan sebagai berikut:
Filum : Rotifera
Kelas : Monogononta
Ordo : Ploima
Famili : Branchionidae
Genus : Branchionus
Spesies : Brachionus rotundiformis

Rotifer merupakan organisme zooplankton yang tergolong holoplankton karena seluruh hidupnya
sebagai plankton. Rotifer mempunyai ciri khas pada bentuk tubuhnya yang mempunyai korona
yang dilengkapi dengan silia dan selalu bergerak seperti roda (Brusca, 2008). Korona terletak pada
bagian depan tubuh rotifer dilengkapi dengan gelang-gelang silia yang nampak melingkar seperti
spiral atau roda dan berbulu getar yang berfungsi untuk memasukan makanan pada mulutnya. Silia
yang bergerak akan menimbulkan arus yang membawa serta makanan, dengan cara itulah rotifer
mengambil makanan.

28
Rotifer merupakan hewan multiseluler yang mikroskopis yang bersifat filer feeder, yaitu dapat
menyaring makanan dan air dengan menggunakan korona yang berada di bagian anterior untuk
dimasukan dalam mulut. Menurut Fulks & main (1991), ukuran tubuh rotifer dewasa mempunyai
panjang 125-300 µm.
Terdapat dua tipe rotifer yang berbeda morfologinya terutama bentuk duri-duri dan lorikanya,
yaitu tipe S (small, 120-140 µm) dan tipe L (large, 230-320 µm), kedua tipe ini memiliki banyak
perbedaan diantaranya respon terhadap lingkungan terutama suhu, taksonomi dan isolasi
reproduktif (Fu et al. 1990; Rumengan et al. 1991).

Gambar 21. Anatomi Rotifer (wallace dan Snell, 1991)

b. Ekologi
Rotifer hidup diperairan, telaga, sungai, danau, rawa dan sebagian besar terdapat diperairan air
payau Redjeki & Murtaningsih, 1995). Suhu mendukung pertumbuhan populasi rotifer
tidak hanya antara spesies namun juga antara strain rotifer (Rumengan dan Hirayama, 1990;
Lubzens et al. 1989). Sementara pengaruh salinitas terhadap reproduksi pada kisaran suhu
tergantung dari genotip (Miracle and Serra, 1989). Dari hasil penelitian, suhu dan salinitas
optimum untuk Brachionus plicatilis sekitar 200C –250C dan 10 ppt–25 ppt (Lubzens et al. 2001).
c. Reproduksi
Rotifer berkembang biak dengan dua cara yaitu secara sexual dan asexual. Perkembangbiakan
secara asexual yang disebut dengan parthogenesis terjadi dalam keadaan normal untuk
menghasilkan spematozoa, rotifer jantan siap berkopulasi setelah satu jam telur menetas. Sifat

29
yang khas pada rotifer adalah adanya dua tipe jenis betina yaitu betina miktik dan amiktik. Benina
amiktik akan menghasilkan telur yang akan berkembang tidak normal, seperti jika terjadi
perubahan salinitas, suhu air dan kualitas pakan maka telur betina amiktik tersebut dapat
mnghasilkan individu dari jenis jantan dan betina, sehingga terjadi variasi genetik (West et
al.1999). betina miktik tidak melakukan vertilisasi maka akan menghasilkan telur yang akan
berkembang menjadi jantan atau hyploid. Bila jantan dan betina miktik tersebut kawin akan
menghasilkan telur dorman dengan cangkang yang keras dan tebal yang dapat tahan terhadap
kondisi perairan yang jelek dan kekeringan, akan menetas bila keadaan perairan telah normal
kembali (Gilbert, 1980).
Kista rotifer dihasilkan selama fase aseksual dalam siklus hidupnya. Kista rotifer melindungi
embrio dengan menekan proses metabolisme sehingga mampu bertahan selama beberapa tahun.
Kista yang dihasilkan hampir sama besar dengan telur yang dihasilkan melalui fase sexual.

d. Manfaat
Rotifer telah lama dan secara luas digunakan sebagai pakan ikan laut dan crustasea yang baru
menetas karena ukurannya sesuai dengan bukaan mulut larva.

30
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
a. Seperti yang telah dijelaskan diatas fitoplankton terdiri dari lima jenis yaitu Chlorella sp,
Tertaselmis sp, Dunaliella sp, Skeletonema costatum dan spirulina. Dari kelima jenis itu
telah dijelaskan klasifikasi, reproduksi, ekologi dan manfaatnya masing-masing
b. Seperti yang telah dijelaskan diatas zooplankton terdiri dari lima jenis yaitu Chaetoceros
sp, Phaedactylum trycornutum, Branchionus pricatilis, Artemia sp dan Rotifera Dari
kelima jenis itu telah dijelaskan klasifikasi, reproduksi, ekologi dan manfaatnya masing-
masing

31
DAFTAR PUSTAKA
Barsanti, L. and P. Gualtieri. 2006. Algae: Anatomy, Biochemistry, and Biotechnology. CRC ]

Press. United States of America. 301 hal.

Becker EW. 1994. Microalgae Biotechnology and Microbology. Melbourne: Cambridge

University Press. 293 hal.

Bold HC, Wynne MJ. 1985. Introduction to the Algae, Structur and Reproduction. New York:

Englewood Cliftts. Pretince Hall Inc. 720 hal

Borowitzka M.A, Siva. 1988. Vitamin and fine chemical from microalgae. Di Dalam: Borowitzka

MA and Borowitzka LJ. Microalgae Biotechnology. Cambridge: Cambridge University

Press. 477 hal.

Brown, M.R, S.W. Jeffrey, J.K. Volkman and G.A. Dunstan. 1997. Nutritional Properties Of

Microalgae for Marineculture. Aquaculture. 151. 315-331 hal.

Bougis, P. 1979. Marine Plankton Ecology. American Elseiver Publishing Company, New York.

Butcher, R. W. 1959.An Introductory Account of the Smaller Algae of British CoastalWaters, Part

1 Introduction and Chlorophyceae, Fishery Investigation Series IV. HMSO. London

Dolan, J. 1992. Mixotrophy in ciliate : A Review of Chlorella Symbiosis and Chloroplast

Retention. Mar. Microb. Food Webs. 1992;6 : 115-132.

Isnansetyo A, Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton Pakan Alami

untuk Pembenihan Organisme Laut. Yogyakarta: Kanisius. 116 hal

Kumar, H. D, dan H.N, Singh. 1979. A Textbook On Algae. Mac. Millan Int. College ed, London.

Lavens, P. and P. Sorgeloos. 1996. Manual on the Production and Use of Live Food for

Aquaculture. FAO Fisheries Technical Paper. Belgium

Madigan, M.T., J.M.Martinko dan J. Parker. 2000. Biology of Microorganisms. 9th edition.

32
Prentice Hall International, Inc. New Jersey.

Oh-Hama TO, Miyachi S. 1988. Chorella. Di Dalam: Borowitzka MA and Borowitzka LJ.

Microalgae Biotechnology. Cambridge: Cambridge University Press. 477 hal.

Oren, A. 2003. Halophilic Mikroorganisme and Their Environment. Kluwer Academic Publisher,

142-143, 145-146, 158-162

Polle, J. E. W. and S. Qin. 2009. History, distribution and habitats of algae of the genus Dunaliella

(chlorophyceae). In: A. Ben-amotz, ed. The alga dunalellia biodiversity, psikology,

Genomics and biotechnology. USA: science publisher. P. 1-3

Redjeki, S. dan A. Ismail. 1993. Mikroalga Sebagai Langkah Awal Budidaya Ikan Laut. Dalam

Prosiding Seminar Nasional Bioteknologi Mikroalga. Pusat Penilitia dan Pengembangan

Bioteknologi LIPI.

Sari, I.P. dan A. Manan. 2012. Pola Pertumbuhan Nannochloropsis oculata pada Kultur Skala

Laboratorium, Intermediet, dan Masal. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Vol. 4 (2):

123-127

Taw, N. 1990. Petunjuk Kultur Murni dan Massal Mikroalga. Proyek Pengembangan Udang.

United Nation Development Progamme Food and Agriculture Organization of the United

Station.

Zainuri et al. 2008. Konsumsi Harian Copepoda Terhadap Pakan Chlorella Sp. Pada Volume

Media Kultivasi Yang Berbeda. Ilmu Kelautan UNDIP. 13 (3) : 121-126.

33

Anda mungkin juga menyukai