Anda di halaman 1dari 9

KUMPULAN RINGKASAN MATERI KULIAH BIOINDIKATOR

(PERTEMUAN 8 - 15)

Dosen Pengampu :

Anang Kadarsah, S.Si., M. Si.

Oleh :

Noor Ilmah (1911013220012)

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI BIOLOGI
BANJARBARU
2022
1.1. Konsep Biondikator dan Biomonitoring

Bioindikator adalah kelompok atau komunitas organisme yang saling berhubungan,


yang keberadaannya atau perilakunya sangat erat berhubungan dengan kondisi lingkungan
tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai satu petunjuk kualitas lingkungan atau uji
kuantitatif. Suatu organisme yang dapat memberikan respon, indikasi, peringatan dini,
representasi, refleksi, dan informasi kondisi atau perubahan suatu ekosistem disebut
bioindikator (Husamah & Abdulkadir, 2019). Syarat suatu organisme dijadikan sebagai
bioindikator yaitu memiliki takson dengan taksonomi jelas, status biologis jelas dan peka
terhadap perubahan, organisme memiliki kelimpahan yang tinggi dan mudah untuk diamati,
tersebar, memiliki hubungan yang kuat dengan komunitas luas dan tidak memiliki hubungan
kuat dengan komponen tekanan. Adapun kriteria pemilihan bioindikator adalah sebagai
berikut:
- Indikator harus memiliki hubungan kasual dengan titik akhir yang signifikan secara
ekologis.
- Indikator harus memiliki daya tanggap dosis spesifik terhadap stresor tertentu yaitu
harus sensitif dan spesifik.
- Indikator harus memiliki distribusi temporal dan spasial yang luas.
- Indikator harus tersedia sepanjang tahun dan harus memiliki variabilitas kebisingan
yang rendah dalam sistem.
- Indikator harus memiliki hasil yang transparan dan dapat direproduksi.
- Indikator kadang-kadang bahkan harus menggantikan peran tanggapan lain.
- Indikator harus mudah dikumpulkan dan hemat biaya (Jain et al., 2010).

Biomonitoring adalah kajian pemantauan status lingkungan berbasis makhluk hidup.


Biomonitoring terhadap organisme yang terpapar racun bersifat dinamis, baik konteks tempat
(ruang) maupun waktu. Hubungan organisme dengan lingkungannya yang terangkai menjadi
sistem biologi tersebut mampu mengintegrasikan variable-variabel lingkungan dengan
kehidupan (respon) organisme dalam waktu terrtentu dan relatif lebih mudah diukur,
sehingga memudahkan pendugaan dampak pencemaran terhadap organisme. Biomonitoring
dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis yaitu Bioassessments study dan Toxicity bioassays
(Husamah & Abdulkadir, 2019).
1.2. Spesies sebagai Bioindikator

Spesies sebagai indikator biologi (bioindikator) yang dipilih harus memenuhi kriteria
seperti spesies yang terpengaruh oleh perubahan lingkungan dalam badan air, spesies yang
sensitive terhadap penyebab perubahan dalam badan air, Spesies yang mudah menderita /
terpengaruh kalau terjadi kerusakan lingkungan, spesies yang tetap punya karakter yang
khusus dari sejumlah besar spesies lain dalam komunitasnya, kelimpahan harus
memungkinkan untuk dikumpulkan walaupun dengan ukuran sampel yang besar dan spesies
yang keberadaan tingkah lakunya mudah untuk diukur (Yamin, 2016). Spesies indikator
dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok, antara lain:
1. Sentinel, yaitu makhluk hidup sensitif sangat tinggi terhadap polutan (diintroduksi
sebagai peringatan dini polusi).
2. Detektor, yaitu makhluk hidup, penghuni asli habitat, mengindikasikan perubahan
terukur (tingkahlaku, mortalitas, dan morfologi) di lingkungan yang berubah.
3. Eksploitor, yaitu makhluk hidup yang keberadaannya menunjukkan gangguan
lingkungan, bahkan jumlahnya berlimpah (akibat tidak adanya kompetisi dengan
makhluk hidup lain).
4. Akumulator, yaitu makhluk hidup yang mengambil dan mengakumulasi bahan kimia
dalam jumlah yang dapat diukur.
5. Organisme bioassay, yaitu makhluk hidup terpilih, yang digunakan untuk mendeteksi
adanya polutan di laboratorium, baik besaran konsentrasi maupun tingkat toksisitasnya
(Husamah & Abdulkadir, 2019).

Bioindikator dapat digunakan untuk mengidentifikasi lingkungan terhadap


pencemaran udara, air, dan tanah. Beberapa contoh spesies sebagai bioindikator udara
(burung, lumut kerak dan lainnya), air (Ikan, makrobentoz, terumbu karang, plankton dan
lainnya) dan tanah (cacing, nematode, dan mikrofauna). Semua spesies yang ada (atau
sekumpulan spesies) dapat mentolerir berbagai kondisi lingkungan fisik, kimia, dan biologis
yang terbatas. Spesies bioindikator memiliki sensitivitas untuk menunjukkan perubahan
lingkungan, namun daya tahan untuk menahan beberapa variabilitas dan mencerminkan
respon biotik secara umum. Spesies biondikator memiliki siklus hidup yang panjang
memungkinkan diuraikannya perubahan yang bersifat sementara akibat gangguan yang
terjadi.
1.3. Populasi sebagai Bioindikator

Populasi merupakan kumpulan individu yang dari satu spesies yang mendiami suatu
tempat, memiliki ciri atau sifat khusus populasi dan bukan ciri individu. Adapun ciri populasi
tersebut antara lain yaitu laju pertumbuhan struktur umur, rasio jenis kelamin, dan laju
mortalitas. Populasi selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu karena faktor
kelahiran, kematian, imigrasi dan emigrasi. Apabila sumberdaya yang diperlukan oleh
organisme cukup melimpah dan kondisi lingkungan sesuai, maka populasi dapat meningkat
secara cepat. Iklim, makanan, habitat, ketersediaan air, dan faktor lainnya yang mendukung
pertumbuhan populasi selalu terbatas karena resistensi lingkungan. Lingkungan hanya dapat
mendukung sejumlah individu pada suatu populasi secara terbatas. Jumlah individu yang
dapat hidup pada suatu habitat atau lingkungan dikenal dengan istilah daya dukung (carrying
capacity) (Maknun, 2017).

Populasi biasanya memiliki beberapa parameter atau atribut populasi yang meliputi
ukuran populasi, kepadatan populasi, pola sebaran, dan pertumbuhan populasi. Pada
penggunaan populasi sebagai bioindikator parameter yang banyak digunakan adalah
kepadataan populasi dan pola sebaran. Kepadatan populasi merupakan rata-rata jumlah
undividu suatu populasi pada suatu tempat. Adapun pola sebaran biasanya menggambarkan
karakteristik spesies atau karakteristik lingkungan. Pola sebaran terbagi menjadi 3 pola yaitu
merata, tidak merata, dan mengelompok. Apabila populasi spesies yang hidup pada suatu
lingkungan yang tidak terganggu, maka akan berada pada suatu level atau titik keseimbangan
dalam ukuran populasi (Sumarto & Roni, 2016). Kepadatan populasi dapat dinyatakan dalam
2 cara yaitu: 1) kepadatan secara menyeluruh - membandingkan pada waktu tertentu, 2)
kepadatan ekologis - membandingkan keberadaan spesies tertentu.

Gambar 1. Pola sebaran individu suatu populasi dalam satu habitat


1.4. Komunitas sebagai Bioindikator

Komunitas menurut ekologi merupakan suatu kumpulan populasi yang hidup pada
suatu waktu dan daerah tertentu yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain.
Apabila suatu komunitas jenis yang dominan dihilangkan maka akan menimbulkan pengaruh
yang besar pada komunitas biotik maupun abiotik. Sebaliknya apabila suatu komunitas yang
tidak dominan dihilangkan, maka pengaruhnya tidak akan sebesar spesies yang dominan.
Adapun beberapa indeks parameter yang penting dalam komunitas yaitu indeks kelimpahan,
indeks keanekaragaman, dan indeks kesamaan. Indeks keanekaragaman merupakan cara
terbaik untuk mengetahui dan menilai adanya suatu pencemaran terhadap lingkungan,
sehingga komunitas dapat digunakan sebagai bioindikator (Maknun, 2017). Keanekaragaman
rendah apabila nilai indeks keanekaragaman < 1.0, keanekaragaman sedang apabila nilai
indeks keanekaragaman > 1.0 dan < 3.322, dan keanekaragaman tinggi apabila nilai indeks
keanekaragaman > 3.322.

Gambar 2. Contoh perubahan indeks keanekaragaman Shannon dari Bentos pada aliran
sungai waktu terjadi pencemaran (pencemaran domestik dan pabrik).

- Biodiversitas; dapat digolongkan menjadi tiga tingkatan yaitu keanekaragaman


spesies, keanekaragaman genetik dan keanekaragaman ekosistem.
- Kelimpahan; jumlah yang dihadirkan oleh masing-masing spesies dari seluruh
individu dalam komunitas.
- Dominansi; perbandingan jumlah individu dalam suatu jenis dengan jumlah total
individu seluruh jenis. Suatu komunitas secara biologi dapat terkendali oleh adanya
jenis tunggal atau kelompok jenis dominan. Tingginya dominansi menunjukkan
rendahnya keanekaragaman.
1.5. Ekosistem Sebagai Bioindikator

Secara singkat ekosistem berarti sistem yang berlangsung dalam suatu lingkungan. Di
dalam lingkungan terdapat komponen-komponen, baik komponen fisik (benda hidup/biotik
dan benda mati/abiotik) maupun komponen nonfisik berupa hubungan manfaat suatu benda
terhadap benda lainnya (trofik). ekosistem secara luas adalah hubungan mahluk hidup dengan
lingkungannya (biotik dan abiotik), masing-masing bersifat saling mempengaruhi dan
diperlukan keberadaannya untuk memelihara kehidupan yang seimbang, selaras dan
harmonis. Dalam hal ini, fungsifungsi dalam ekosistem ditekankan pada hubungan wajib,
adanya saling ketergantungan dan hubungan timbal balik serta sebab-akibat dari seluruh
komponen yang membentuk ekosistem tersebut (Maknun, 2017).

Ekosistem dapat dijadikan sebagai bioindikator lingkungan, sebagai contoh yaitu pada
penggunaan ekosistem lamun sebagai bioindikator lingkungan. Ekosistem lamun merupakan
salah satu ekosistem bahari yang produktif di perairan dangkal yang berfungsi untuk
menstabilkan sedimen dari arus dan gelombang, memberikan perlindungan terhadap hewan
di padang lamun, membantu organisme epifit yang menempel pada daun, memiliki
produktivitas yang tinggi, memfiksasi karbon di kolom air sebagai masuk ke sistem rantai
makanan dan sebagian tersimpan dalam biomassa dan sedimen. Eksistensi lamun merupakan
adaptasi terhadap salinitas tinggi, kemampuan menancapkan akar di subtrat, dan kemampuan
untuk tumbuh dan bereproduksi pada saat terbenam. Sehingga berdasarkan peranan dan
fungsi tersebut maka ekosistem lamun dapat dijadikan bioindikator lingkungan (Rustam et
al., 2015).
1.6. Lanskap Sebagai Bioindikator

Ekologi Lanskap terdiri dari dua terminologi ilmiah, yaitu ekologi (ecology) dan
lanskap (landscape). Ekologi sebuah cabang ilmu biologi yang mempelajari hubungan antar
organisme dan antara organisme dengan lingkungannya. Sebagian besar orang awam
mengartikan lanskap sebagai taman di depan rumah (garden), bagi ahli pertanian dapat berarti
sawah, ladang atau perkebunan, namun bagi seorang rimbawan, lanskap bisa jadi adalah
hutan dengan segala fungsinya, bagi orang sosial lanskap adalah pertemuan antara
sumberdaya dengan masyarakat dan seorang seniman mengartikannya sebagai sebuah
pemandangan alam. Struktur lanskap berkaitan dengan tipe, distribusi, dimensi, dan bentuk
komponen penyusun lanskap. Fungsi lanskap berkaitan dengan barang dan jasa lingkungan
yang disediakan oleh lanskap yang meliputi fungsi produksi (pangan, sandang, papan,
energi), habitat (tempat hidup biodiversitas), regulator (berbagai siklus di biospfer dan
atmosfer) dan informasi (keindahan/rekreasi/kultural). Struktur lanskap dapat dibedakan
menjadi patch (fragmen), matrix (matriks) dan corridor (koridor) (Prasetyo, 2017).

Fragmen adalah area homogen yang dapat dibedakan dari daerah di sekitarnya,
matriks adalah fragmen yang dominan sedangkan koridor adalah fragmen yang berbentuk
memanjang. Batas antara fragmen yang berbeda atau antara fragmen dan matriks disebut
edge/tepi. Struktur lanskap dapat berubah karena adanya gangguan. Perubahan ini akan
membawa konsekuensi pada perubahan komposisi spesies. Struktur lanskap memiliki
beberapa parameter yaitu tipe elemen penyusun (fragmen), dominansi tiap fragmen, jumlah
tiap elemen, bentuk elemen, dan distribusi elemen penyusun. Lanskap sebagai bioindikator
berkaitan dengan keanekaragaman hayati homogenisasi lanskap, yang artinya apabila
keanekaragaman hayati berkurang maka akan semakin rentan ekosistem. Lanskap yang
memiliki konektivitas yang tinggi dapat menjamin peluang untuk bertahan hidup bagi suatu
populasi (Prasetyo, 2017).
1.7. Bioindikator dan Kesehatan Manusia

Polusi udara adalah masalah yang signifikan di kota-kota di seluruh dunia. Ini
mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan manusia, kesehatan ekosistem, tanaman, iklim,
visibilitas dan bahan buatan manusia. Efek kesehatan yang terkait dengan polusi udara
termasuk dampaknya pada sistem paru, jantung, pembuluh darah, dan saraf. Pohon
mempengaruhi kualitas udara melalui beberapa cara dan dapat digunakan untuk
meningkatkan kualitas udara. Namun, polusi udara juga mempengaruhi kesehatan pohon dan
keanekaragaman tumbuhan. Bioindikator dapat berguna untuk memantau kualitas udara dan
menunjukkan kesehatan lingkungan. Memahami dampak keanekaragaman hayati vegetasi
terhadap kualitas udara dan kualitas udara terhadap keanekaragaman hayati vegetasi sangat
penting untuk mempertahankan ekosistem yang sehat dan beragam, dan untuk meningkatkan
kualitas udara dan akibatnya kesehatan dan kesejahteraan manusia (World Health
Organization Convention on Biological Diversity (Organization) & United Nations
Environment Programme, 2015).

Bioindikator sendiri adalah kualitas organisme, populasi, komunitas atau ekosistem


yang digunakan untuk menunjukkan kesehatan atau status lingkungan sekitarnya.
Bioindikator, terutama lumut kerak dan lumut, banyak digunakan untuk memantau kualitas
udara. Manfaat dari pengukuran kualitas udara secara langsung meliputi integrasi tingkat
polusi jangka panjang dari waktu ke waktu dan biaya operasional yang lebih rendah
(seringkali dengan urutan besarnya per lokasi penelitian). Metrik keanekaragaman hayati,
seperti jumlah spesies sensitif, kelimpahan relatif kelompok fungsional, atau frekuensi
genotipik, misalnya, berhasil digunakan untuk biomonitoring kualitas udara di banyak
negara. Indeks keanekaragaman hayati biasanya berkorelasi baik dengan instrumen
pengukuran pengendapan polutan, meskipun beberapa indeks sengaja tidak spesifik, artinya
tidak dikalibrasi untuk melacak polutan tertentu. Dalam hal ini, langkah-langkah
keanekaragaman hayati diinterpretasikan sebagai respons terpadu terhadap 'kualitas udara'
secara umum, yang dapat memberikan gambaran yang berguna tentang keterpaparan manusia
karena tubuh manusia mengintegrasikan polusi dari berbagai sumber (World Health
Organization Convention on Biological Diversity (Organization) & United Nations
Environment Programme, 2015).
DAFTAR PUSTAKA

Husamah, & Abdulkadir, R. (2019). Bioindikator (Teori dan Aplikasi dalam Biomonitoring).
Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.

Jain, A., Brahma, N. S., S. P. Singh, H. B. Singh, & Surendra, S. (2010). Exploring
Biodiversity as Bioindicators for Water Pollution. National Conference on Biodiversity,
Development and Poverty Alleviation, 1(1), 1-7.

Maknun, D. (2017). Ekologi: Populasi, Komunitas, Ekosistem Mewujudkan Kampus Hijau


Asri, Islami, dan Ilmiah. Cirebon: Nurjati Press.

Prasetyo, L. B. (2017). Pendekatan Ekologi Lanskap untuk Konservasi Biodiversitas. Bogor:


Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Rustam, A., Terry, L. K., Mariska, A. K., Restu, N. A. A., August, D., Devi, D. S., Nasir, S.,
Yusmiana, P. R., Peter, M., Aida, H., & Andreas, A. H. (2015). Ekosistem Lamun
sebagai Bioindikator Lingkungan di P. Lembeh, Bitung, Sulawesi Utara. Jurnal Biologi
Indonesia, 11(2), 233 - 241.

Sumarto, S., & Roni, K. (2016). Ekologi Hewan. Bandung: CV. Patra Media Grafindo
Bandung.

World Health Organization Convention on Biological Diversity (Organization) & United


Nations Environment Programme. (2015). Connecting global priorities: biodiversity
and human health : a state of knowledge review. UNEP : Convention on Biological
Diversity : World Health Organization. Retrieved December 26 2022 from
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/174012/1/9789241508537_eng.pdf?ua=1

Yamin, M. (2016). Analisis Kualitas Air Kali Ancar dengan Menggunakan Bioindikator
Makroinvertebrata. Jurnal Biologi Tropis, 16(2), 10–22.

Anda mungkin juga menyukai