NIM : 2011013220005
Mata Kuliah : Bioindikator
Kumpulkan ringkasan materi kuliah dalam bentuk dokumen, isi sebanyak 7 halaman, di luar
cover dan daftar pustaka.
1.1. Konsep Biondikator dan Biomonitoring
1.2. Spesies sebagai Bioindikator
1.3. Populasi sebagai Bioindikator
1.4. Komunitas sebagai Bioindikator
1.5. Ekosistem Sebagai Bioindikator
1.6. Lanskap Sebagai Bioindikator
1.7. Bioindikator dan Kesehatan Manusia
1.1. Konsep Biondikator dan Biomonitoring
Suatu organisme yang dapat memberikan respon, indikasi, peringatan dini, representasi,
refleksi, dan informasi kondisi atau perubahan suatu ekosistem disebut bioindikator
(Weissman et al.,2006). Bioindikator merupakan salah satu komponen penting dalam
pengelolaan ekosistem. Dasar pemikiran akan adanya suatu organisme indikatif adalah
adanya hubungan yang erat antara suatu organisme dengan parameter biotik dan abiotik
dalam ekosistem (McGeoch et al., 2002). Suatu organisme akan berkembang secara optimal
pada kondisi lingkungan ideal. Komponen ekosistem yang tidak ideal berdampak pada
perubahan mekanisme kehidupan organisme (Pribadi, 2009).
Populasi
Komunitas
Biomonitoring
Ekosistem
Lanskap
1.2. Spesies sebagai Bioindikator
Populasi adalah sekumpulan atau sekelompok organisme dari satu spesies yang kawin
dan hidup di lingkungan tertentu pada waktu yang sama. Populasi akan menandakan
kelompok individu dari spesies yang sama.
Penurunan keanekaragaman jenis ataupun penurunan populasi menjadi indikator telah
terjadinya gangguan,pencemaran lingkungan, atau ketidakseimbangan lingkungan.
-Populasi sebagai bioindikator
-Karakteristik Populasi
Ukuran
Distribusi umur
Kepadatan
Distribusi Populasi
-Faktor faktor yang mempengaruhi ukuran populasi
Kelahiran
Kematian
Emigrasi
Imigrasi
Struktur umur
-Perumbuhan populasi
Pertumbuhan Logistik
Pertumbuhan Ekspnensial
-Kepadatan Populasi
Jumlah individu didalam populasi disuatu tempat
Penyebab ledakan populasi
Makanan Sehat
Tersedianya fasilitas kesehatan
Sanitasi
Imunisasi
Antibiotik
Berkurangnya kematian bayi
Meningkatnya harapan baru
-Faktor Pembatas
-Sebaran Populasi
1.4. Komunitas sebagai Bioindikator
Di tingkat global, regional, dan lokal, perhatian besar muncul akibat hilangnya keanekaragaman
hayati dan homogenisasi lanskap. Keberadaan keanekaragaman spesies yang lebih luas,
keragaman genetik dan kompleksitas struktural ekosistem memungkinkan adaptasi ekosistem
yang lebih besar dan lebih baik terhadap perubahan. Sebagai kebalikannya, ekosistem dengan
keanekaragaman hayati yang lebih sedikit lebih rapuh dan rentan terhadap gangguan, fakta yang
dapat mengubah integritas dan stabilitasnya dengan lebih mudah (Moreno et al., 2018).
Sebagai upaya menjaga kelestarian ekosistem hutan maka perlu mempertimbangkan tingkat
konservasi spesies bioindikator dan pengembangan pengelolaan hutan berkelanjutan dari sumber
daya alam. Hal yang perlu diperhatikan adalah menurut Dudley et al (2005) bahwa dalam
prakteknya seringkali pemilihan bioindikator sering dipengaruhi oleh minat khusus dari peneliti
yang terlibat, daripada sebagai upaya untuk memilihi bioindikator yang memberikan penilaian
keseluruhan dan valid. Pemahaman yang lebih luas tentang keanekaragaman hayati menyiratkan
pemilihan sekumpulan indikator yang akan memberi gambaran seluas mungkin tentang keadaan
ekologi dan alam liar. Berikut akan disampaikan beberapa bioindikator yang potensial
berdasarkan tinjauan Maleque et al (2009). Tinjauan potensi bioindikator difokuskan ke
beberapa kelompok arthropoda hutan. Kelompok arthropoda yang berbeda bereaksi secara
berbeda terhadap pengelolaan hutan. Semut, kumbang carabid, dan laba-laba sering memberikan
tanggapan skala lokal, gangguan pertumbuhan vegetasi yang disebabkan oleh penipisan dan
dapat digunakan untuk menyimpulkan kesesuaian ekologi perawatan pengelolaan hutan.
Kumbang kotoran dan ngengat merespon perubahan habitat yang disebabkan oleh fragmentasi
hutan dan dapat menunjukkan kesesuaian teknik pengelolaan hutan tingkat lansekap. Kumbang
kupu-kupu dan cerambycid merespon sangat positif terhadap keberadaan tanaman herba dan
pohon understory dan dapat digunakan untuk menyimpulkan integritas perawatan penipisan
dalam pengelolaan hutan. Lalat Syrphid, yang merupakan selebaran kuat yang terkait dengan
kompleksitas vegetasi, dapat digunakan sebagai
1.6. Lanskap Sebagai Bioindikator
Lanskap merupakan media dasar suatu perencanaan pengembangan wisata alam yaitu
kegiatan wisata dengan melakukan perjalan di alam dan tidak melakukan perusakan dengan
tujuan spesifik mempelajari, menikmati dan menikmati pemandangan (tumbuhan, hewan
dan budaya) (Dewi, 2011). Oleh karena itu dalam melakukan perencanaan kawasan bentang
alam perlu diinventarisasi berbagai data dan informasi sifat dan gejala unsurnya, termasuk
tata alam di sekitar kawasan tersebut. Pendekatan perencanaan lanskap menjadi kawasan
wisata alam sangat potensial dalam meningkatkan kualitas dan menjaga kelestarian
lingkungan kawasan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ross dan Wall (1999) bahwa
wisata alam diharapkan dapat membantu untuk mencapai keseimbangan antara konservasi
dan pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan upaya reklamasi dan revegetasi pada lahan
bekas tambang yang telah dilakukan diperlukan perencanaan lanskap yang dapat
mengoptimalkan pemanfaatan lahan untuk mendukung keberlanjutan ekosistem, pelestarian
dan perlindungan lingkungan yang dapat memberikan kontribusi ekonomi untuk
kesejahteraan masyarakat sekitar daerah tambang. Maka dari itu perlu ada studi kelayakan
dalam perencanaan lanskap kawasan bekas tambang batubara menjadi kawasan wisata alam.
1.7. Bioindikator dan Kesehatan Manusia
McGeoch, M.A. van Rensburg, B.J. & Botes, A. (2002). The verification and application of
bioindicators: a case study of dung beetles in savanna ecosystem. J Appl Ecol, 39, 661-672.
Pribadi, T. (2009). Keanekaragaman komunitas rayap pada tipe penggunaan lahan yang
berbeda
sebagai bioindikator kualitas lingkungan (Tesis tidak diterbitkan). Bogor: Sekolah
Pascasarjana IPB.
Setyono, P. & Soetarto, E. S. (2008). Biomonitoring degradasi ekosistem akibat limbah CPO di
muara Sungai Mentaya Kalimantan Tengah dengan metode elektromorf isozim esterase.
Biodiversitas, 9(3), 232- 236.