Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN PRAKTIKUM KORALOGI

(LAPANG)

STUDI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PULAU MENJANGAN


BESAR DAN MENJANGAN KECIL, KEPULAUAN KARIMUNJAWA

Dilaksanakan dan disusun untuk dapat mengikuti ujian praktikum


(Responsi) pada mata kuliah Koralogi Tahun Ajaran 2018/2019

oleh :
Nama : Prisilia Rusdiana Putri
Nim : L1C016055
Kelompok : Tujuh (7)
Asisten : Satria Nur Afrizal

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2018
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kepulauan Karimunjawa secara administratif masuk ke dalam wilayah
kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah.
Kepulauan Karimunjawa terletak di sebelah Barat Laut kota Jepara dengan
jarak sekitar 45 mil laut atau 83 km. Kepulauan Karimun Jawa memiliki luas
107.225 Ha, seluas 100.105 ha, dan daratan seluas 7.120 Ha.Terdapat 5 pulau
berpenghuni, diantaranya Pulau Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau
Parang, Pulau Nyamuk dan Pulau Genting. Pulau-pulau yang berada di
Karimunjawa berdasarkan ukuran luas dapat dibagi ke dalam 4 ukuran,
yakni ukuran besar, sedang, kecil, dan sangat kecil. Pulau Menjangan Besar
dan Menjangan Kecil merupakan pulau yang tergolong pulau kecil (Yusuf,
2013).
Terumbu karang merupakan ekosistem yang dibangun oleh biota laut
penghasil kapur, terutama oleh hewan karang, bersama-sama dengan biota
lain yang hidup di dasar laut maupun kolom air. Hewan karang, yang
merupakan penyusun utama terumbu karang, terdiri dari polip dan skeleton.
Polip merupakan bagian yang lunak, sedangkan skeleton merupakan bagian
yang keras. Pada bagian polip terdapat tentakel (tangan-tangan) untuk
menangkap plankton sebagai sumber makanannya. Setiap polip karang
mengsekresikan zat kapur CaCO3 yang membentuk kerangka skeleton
karang (Giyanto et al., 2017).
Biota asosiasi terumbu salah satunya yaitu ikan karang. Ikan karang
merupakan biota yang sangat erat hubungannya dengan terumbu karang,
sehingga keberadaannya sangat tergantung kepada kondisi terumbu karang.
Jika kualitas terumbu karang mengalami penurunan maka kelimpahan ikan
karang pun akan cenderung menurun (Febrizal, 2009). Sebanyak 113 famili
ikan merupakan penghuni karang dan sebagian besar dari ordo Perciformes.
Sepuluh besar famili utama dari ikan karang tersebut adalah Gobiidae,
Labridae, Pomacentridae, Apogonidae, Bleniidae, Serranidae, Murraenidae,
Syngnathidae, Chaetodontidae, dan Lutjanidae (Allen dan Adrim, 2003).
Sebaran terumbu karang tidak merata oleh karena adanya faktor
pembatas atau faktor yang mempengaruhi yaitu suhu perairan, cahaya
matahari, salinitas, sedimentasi dan kualitas perairan. Suhu ideal untuk
pertumbuhan karang berkisar antara 27-29°C. Salinitas ideal bagi
pertumbuhan adalah berkisar antara 30-36 o/oo. Oleh karena itu karang tidak
dijumpai di sungai ataupun muara sungai yang memiliki salinitas yang
rendah (Giyanto et al., 2017). pH air laut tidak mudah mengalami perubahan.
Salah satu tanda bahwa nilai pH terlalu tinggi atau terlalu rendah adalah
banyaknya koral yang mati dan kerang yang membuka cangkangnya
lebarlebar (Mismail 2010)
Tingginya keanekaragaman hayati laut Indonesia berdampak juga pada
tingginya aktivitas antropogenik yang menyebabkan kerusakan lingkungan
pesisir dan laut. Seperti yang terjadi pada ekosistem terumbu karang.
Sebagian besar terumbu karang di Indonesia dalam keadaan rusak.
Kerusakan terumbu karang Indonesia mencapai angka 60% dimana, 30,76
persen terumbu karang di 1.076 lokasi dalam kondisi rusak berat. Sementara
kerusakan kategori sedang 30,90 persen dan sisanya 26,95 persen masih
dalam kondisi baik. Hanya 5,58 persen terumbu karang di Indonesia yang
dinyatakan dalam kondisi sangat baik (Miftaudin et al., 2017).

1.2 Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengenal ekosistem terumbu karang
2. Mahasiswa dapat menerapkan cara pengamatan ekosistem terumbu
karang dengan metode Point Intercept Transect
3. Mahasiswa mampu menilai tingkat keanekaragaman jenis ikan karang
pada lokasi pengambilan data.
4. Mahasiswa mampu memahami karakteristik hidup ikan karang
berdasarkan identifikasi yang dilakukan.
5. Mahasiswa dapat menerapkan identifikasi genus karang menggunakan
coral finder tool secara langsung di ekosistem terumbu karang.
6. Mahasiswa dapat menghitung prevalensi dan mengidentifikasi penyakit
karang di lokasi pengambilan data.
7. Mahasiswa dapat mengetahui hubungan antara persentase tutupan karang
dengan indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Identifikasi Genus Karang dengan Coral Finder


Terumbu karang merupakan ekosistem yang dibangun oleh biota laut
penghasil kapur, terutama oleh hewan karang, bersama-sama dengan biota
lain yang hidup di dasar laut maupun kolom air. Hewan karang, yang
merupakan penyusun utama terumbu karang, terdiri dari polip dan skeleton.
Polip merupakan bagian yang lunak, sedangkan skeleton merupakan bagian
yang keras. Pada bagian polip terdapat tentakel (tangan-tangan) untuk
menangkap plankton sebagai sumber makanannya. Setiap polip karang
mengsekresikan zat kapur CaCO3 yang membentuk kerangka skeleton
karang (Giyanto et al., 2017).
Menurut bentuk pertumbuhannya (coral lifeform) karang dibedakan
menjadi Acropora dan non Acropora. Perbedaan morfologi berupa tipe
bercabang (branching), tipe padat (massive), tipe merayap (encrusting), tipe
daun (foliose), tipe meja (tabulate), serta tipe jamur (mushroom). Pada suatu
habitat, bentuk pertumbuhan karang yang hidup dapat didominasi oleh
suatu bentuk pertumbuhan tertentu. Bentuk pertumbuhan karang yang
dominan pada suatu habitat bergantung pada kondisi lingkungan atau
habitat tempat karang itu hidup.
(Saptarini et al., 2016).
Coral Finder Toolkit 2.0 adalah sebuah metode identifikasi karang
keras tingkat genera yang diterbitkan oleh Russel Kelley yang diadopsi dari
Buku Coral Of The World. Metode tersebut menghubungkan antara buku Coral
Of The World dengan sistem determinan, dengan karang yang hidup dilaut.
Metode tersebut sangat praktis karena buku identifikasi yang digunakan
didesain tahan terhadap air. Hadirnya metode Coral Finder ini dilakukan
oleh orang ahli maupun orang pemula (Wahyulfatwatul et al., 2017).
Diidentifikasi bentuk pertumbuhan karang dengan dilihat pada kolom
key group dalam halaman pertama Coral Finder Tool. Selanjutnya, ditentukan
bentuk dan mengukur besar koralit pada karang tersebut. Setelah ditentukan
besar koralit atau bentuk khusus maka langsung diarahkan pada halaman
utama (look alike). Dibandingkan karang yang diamati dengan gambar karang
pada kolom colony, corallites, dan close up. Dikonfirmasikan ciri-ciri karang
tersebut dengan karakteristik kunci deskripsi dan dilihat gambar karang
pada kolom skala. Dicatat nama genus karang yang telah diamati sesuai
dengan keterangan genus yang terdapat pada Coral Finder Tool (Timotius,
2013).
2.2. Pengamatan Ekosistem Terumbu Karang
Tutupan karang yaitu penempatan permukaan terumbu yang ditutupi
oleh karang batu yang hidup yang terbentuk dari spongia, alga atau
organisme lainnya. Batu karang yang membentuk terumbu karang
merupakan contributor utama pembentuk terumbu karang. Dapat di
gunakan sebagai habitat untuk banyak organisme dilaut. Tutupan karang
merupakan indikator pertumbuhan karang yang optimal (Giyanto, et al.
2017).
Metode PIT (Point Intercept Transect) merupakan salah satu metode yang
dikembangkan untuk memantau kondisi karang hidup dan biota pendukung
lainnya. Metode ini dapat digunakan di daerah yang ingin mengetahui
kondisi terumbu karang untuk tujuan pengelolaan dan penelitian. Metode
ini dapat memperkirakan kondisi terumbu karang di daerah berdasarkan
persen tutupan karang batu hidup. Secara teknis, metode Point Intercept
Transect (PIT) adalah cara menghitung persen tutupan (% cover) substrat
dasar secara acak, dengan menggunakan tali bertanda di setiap jarak 0,5
meter atau juga dengan pita berskala atau roll meter (Anna & Djuwariah,
2009).
Menurut Manuputty (1998), ekosistem terumbu karang dibagi menjadi
beberapa kondisi atau tingkat kerusakan berdasarkan kategori diantaranya 0-
24,9 % tutupan karang hidup dikategorikan buruk/sangat rusak, 25-49,9 %
tutupan karang hidup dikategorikan sedang, 50-74,9% tutupan karang hidup
dikategorikan baik, dan 75-100 % tutupan karang hidup dikategorikan
sangat baik.
2.3. Identifikasi Penyakit Karang
Penyakit karang merupakan suatu infeksi mikroba yang bersifat
pathogen terjadi pada karang. Gangguan terhadap kesehatan karang yang
menyebabkan gangguan secara fisiologis bagi biota karang. Munculnya
penyakit karang dicirikan dengan adanya perubahan warna, kerusakan dari
skeleton biota karang, sampai dengan kehilangan jaringannya. Munculnya
penyakit tersebut merupakan interaksi antara inang karang, patogen, dan
lingkungan (Hazrul et al.,2016).
Penelitian penyakit karang sudah dimulai sejak tahun 2004 di
Indonesia. Sementara penelitian secara konprehensif telah dilakukan di
Kepulauan Seribu dengan mengamati distribusi, kelimpahan, prevalensi
serta komunitas bakteri penyakit karang BBD dan WS (White Syndrome) di
Kepulauan Seribu (Hazrul et al., 2016). BBD merupakan penyakit karang
bersifat virulen yang ditemui menyerang pada banyak jenis karang
scleractinia. BBD hampir dapat dijumpai di seluruh ekosistem karang dunia
seperti Indo-pasifik, laut karibia, samudera hindia dan atlantik (Michael et al.,
2015).
Bahwa penurunan kualitas lingkungan perairan sangat berperan
terhadap munculnya mikroorganisme patogen terhadap karang. Sebagai
contoh kenaikan dari nitrogen terlarut yang diikuti dengan penurunan
kecerahan perairan menyebabkan munculnya aspergillosis penyebab penyakit
black band disease. Selain itu sedimentasi, polusi yang ditimbulkan oleh limbah
domestik, sampah, sampai dengan air balas berpotensi munculnya patogen
penyebab penyakit karang. Di perairan Indonesia masih jarang dilakukan
penelitian namun beberapa penelitian yang pernah dilakukan diantaranya di
Perairan Wakatobi Sulawesi Tenggara, Pulau Seribu DKI Jakarta, dan Pulau
Panjang Jawa Tengah (Hazrul et al.,2016).
Menurut Dedi (2015), untuk mengetahui prevalensi penyakit karang
dilakukan perhitungan dengan membandingkan jumlah koloni karang yang
terserang penyakit tertentu dibagi dengan jumlah total koloni karang
terserang penyakit yang ditemukan pada lokasi pengamatan dikali 100%.
Sedangkan untuk mengetahui kelimpahan penyakit karang yang ditemukan
dilakukan perhitungan dengan melakukan perbandingan antara jumlah
individu yang terserang penyakit dibagi dengan luas area pengamatan
menggunakan rumus kelimpahan menurut Odum sebagai berikut:

Keterangan:
Xi = Kelimpahan jenis penyakit karang ke - i
xi = Jumlah Individu yang terserang penyakit
n = Luas Area pengamatan
2.4. Identifikasi Ikan Karang dan Biota Asosiasi Karang
Metode PIT (Point Intercept Transect) merupakan salah satu metode yang
dikembangkan untuk memantau kondisi karang hidup dan biota pendukung
lainnya di suatu lokasi terumbu karang dengan cara yang mudah dan dalam
waktu yang cepat.Metode ini dapat digunakan di daerah yang ingin
mengetahui kondisi terumbu karang untuk tujuan pengelolaan. Metode ini
dapat memperkirakan kondisi terumbu karang di daerah berdasarkan persen
tutupan karang batu hidup dengan mudah dan cepat. Metode PIT,
merupakan salah satu metode yang dikembangkan untuk memantau kondisi
karang hidup dan biota pendukung lainnya di suatu lokasi terumbu karang
dengan cara yang mudah dan dalam waktu yang cepat (Hill & Wilkinson,
2004).
Ikan karang merupakan salah satu kelompok hewan yang berasosiasi
dengan terumbu karang. Keberadaannya mencolok dan ditemukan pada
berbagai mikrohabitat di terumbu karang. Ikan karang, hidup menetap serta
mencari makan di areal terumbu karang (sedentary). Sehingga apabila
terumbu karang rusak atau hancur maka ikan karang juga akan kehilangan
habitatnya. Sebagai ikan yang hidupnya terkait dengan terumbu karang
maka kerusakan terumbu karang dengan sendirinya berpengaruh terhadap
keragaman dan kelimpahan ikan karang (Ilham, 2007).
Ikan karang merupakan salah satu kelompok hewan yang berasosiasi
dengan terumbu karang, hidup menetap serta mencari makan di areal
terumbu karang (Ilyas et al., 2017). Ikan karang adalah kelompok taksa ikan
yang kehidupannya berasosiasi dengan lingkungan ekosistem terumbu
karang. Sebanyak 113 famili ikan merupakan penghuni karang dan sebagian
besar dari ordo Perciformes. Sepuluh besar famili utama dari ikan karang
tersebut adalah Gobiidae, Labridae, Pomacentridae, Apogonidae, Bleniidae,
Serranidae, Murraenidae, Syngnathidae, Chaetodontidae, dan Lutjanidae
(Adrim et al., 2012).
Keberadaan habitat ikan karang merupakan salah satu faktor kunci
tingginya keragaman spesies ikan di terumbu karang. Keragaman ikan
karang juga berhubungan erat dengan kondisi dan kompleksitas permukaan
(rugositas) terumbu karang. Terdapat hubungan yang erat antara rugositas
dengan kelimpahan ikan karang. Selain itu ikan-ikan karang memiliki relung
(niche) ekologi yang sempit sehingga lebih banyak spesies yang dapat
menghuni terumbu karang (Ilham, 2007).
Berdasarkan fungsi pemanfaatan dan aspek ekologi, ikan karang dapat
dikelompokkan menjadi tiga yakni ikan target, ikan indikator, dan kelompok
lain-lain (major groups). Ikan target adalah kelompok jenis-jenis ikan yang
dapat dikonsumsi dan biasanya diburu nelayan. Ikan indikator adalah jenis-
jenis ikan yang memiliki kehidupan asosiasi yang kuat sekali dengan habitat
karang, contohnya ikan famili Chaetodontidae. Major group adalah kelompok
dari jenis-jenis tidak termasuk kelompok pertama dan kedua, dan pada
umumnya belum banyak diketahui peranannya di alam. Namun beberapa
jenis di antaranya memiliki keindahan warna tubuh sehingga berpotensi
sebagai ikan hias (Adrim et al., 2012).
III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi
3.1.1. Alat
Alat-alat yang dipergunakan dalam praktikum lapang koralogi adalah
alat tulis bawah air, alat dasar selam, coral finder tool, roll meter 100m,
underwater camera, software SPSS, dan software ArcGIS 10.3.
3.1.2. Bahan
Bahan-bahan yang dipergunakan dalam praktikum lapang koralogi
adalah air laut, dan ekosistem terumbu karang.
3.2. Metode
3.2.1. Pengamatan Ekosistem Terumbu Karang
Dipilih lokasi komunitas terumbu karang dengan jenis karang
penyusun yang bervariasi. Dibentangkan roll meter sejauh 50 meter.
Dilakukan dengan panjangn interval 25m, dengan dicatat setiap 0,5 m.
Ditunggu 20 menit untuk memberi kesempatan komunitas ikan terumbu
kembali menempati habitatnya. Disepanjang transek, dicatat lifeform karang,
jenis substrat, ikan terumbu, dan biota avertebarata asosiasi. Dimasukkan
data pengamatan ke dalam tabel yang tersedia. Dihitung persentase
penutupan karang hidup. Dan dicatat parameter kualitas air
3.2.2. Pengamatan dan Identifikasi Penyakit Karang
Dilakukan dengan metode pengamatan langsung. Jika ditemukan
adanya penyakit karang (tissue loss, perubahan warna jaringan, pertumbuhan
abnormal), pada lokasi tersebut dibuat patok/transek permanen marker
(penanda). Dibuat Point Intercept Transect dengan panjang interval 25 m
dengan dilakukan penelitian pada 0-5m, 10-15m, dan 20-25m. Dilakukan
dengan pengamatan dan pengukuran koloni karang dalam PIT. Dilakukan
pengamatan dan perhitungan koloni karang dalam Belt Transect (Jumlah total
koloni, jumlah koloni yang terserang penyakit). Didokumentasi in situ
dengan pemotretan. Dilakukan analisis data dan gambar.
3.2.3. Pengamatan dan Identifikasi Ikan Karang
Dibentangkan roll meter sejauh 50 meter. Diperhatikan morfologi dan
ciri khusus dari setiap family seperti bentuk tubuh, tipe sirip ekor, tipe sirip
perut, tipe sirip dada, tipe sirip punggung, tipe sirip anal, serta ciri lainnya
yang lebih spesifik. Diperhatikan ciri lebih lanjut dari ikan karang seperti
gaya renang, habitat, dan tingkah lakunya. Diidentifikasi untuk menentukan
genus dari ikan karang. Diidentifikasi lanjutan dengan melhat colour pattern
dari spesies ikan terumbu. Didokumentasikan dengan underwater camera.
Dicatat data yang ada dikolom yang telah disediakan. Dilakukan analisis
perhitungan keanekaragaman jenis ikan terumbu karang.
3.2.4. Identifikasi Genus Karang (Coral Finder Tool)
Diidentifikasi bentuk pertumbuhan karang dengan dilihat pada kolom
key group dalam halaman pertama Coral Finder Tool. Selanjutnya, ditentukan
bentuk dan mengukur besar koralit pada karang tersebut. Setelah ditentukan
besar koralit atau bentuk khusus maka langsung diarahkan pada halaman
utama (look alike). Dibandingkan karang yang diamati dengan gambar karang
pada kolom colony, corallites, dan close up. Dikonfirmasikan ciri-ciri karang
tersebut dengan karakteristik kunci deskripsi dan dilihat gambar karang
pada kolom skala. Dicatat nama genus karang yang telah diamati sesuai
dengan keterangan genus yang terdapat pada Coral Finder Tool.
3.3. Waktu dan Tempat
Praktikum lapang koralogi 2018 dilaksanakan pada tanggal 24
November 2018 pada pukul 14.00-17.30 WIB di Pulau Menjangan Besar dan
Pulau Menjangan Kecil, Karimunjawa, Jawa Tengah.
Gambar 1. Peta lokasi praktikum koralogi 2018

3.4. Analisis Data


3.4.1. Persentase tutupan karang

Kategori kondisi penutupan karang :


75 – 100 % : Sangat Baik. 50 – 74,9 % : Baik;
25 – 49,9 % : Sedang;
0 – 24,9 % : Rusak/Buruk.
3.4.2. Indeks keanekaragaman

Keterangan:
H' : indeks keanekaragaman Shannon Wiener
s : jumlah spesies ikan karang
pi : perbandingan jumlah ikan karang spesies ke-i (n,) terhadap jumlah total ikan
karang (N) : n/N
3.4.3. Indeks keseragaman

Keterangan:
E’ : Indeks Keseragaman
H’ : indeks keanekaragaman Shannon Wiener
Hmaks : ln S
S : jumlah spesies dalam sampel
3.4.4. Indeks dominansi

Keterangan:
C : indeks dominansi Shannon-Wiener
s : jumlah spesies ikan karang
pi : perbandingan jumlah ikan karang spesies ke-i (n,) terhadap jumlah total ikan
karang (N) : n/N

3.4.5. Analisis korelasi


Korelasi merupakan istilah yang digunakan untuk mengukur kekuatan
hubungan antar variabel. Analisis korelasi adalah cara untuk mengetahui ada
atau tidak adanya hubungan antar variabel. Kekuatan hubungan antar
variabel dapat dilihat dari hasil nilai koefisien korelasi. Koefisien korelasi
(KK) merupakan indeks atau bilangan yang digunakan untuk mengukur
keeratan (kuat, lemah, atau tidak ada) hubungan antar variable (Ponto et al.,
2015).
Korelasi yang dipergunakan yaitu korelasi sederhana (bivariate).
Korelasi ini bertujuan untuk melihat hubungan tutupan karang di Pulau
Menjangan Besar dan Pulau Menjangan Kecil dengan indeks
keanekaragaman (H), kesegaraman (E), dan dominansi (C) ikan karang yang
berada di Pulau Menjangan Besar dan Pulau Menjangan Kecil.
Menurut Ponto et al (2015), korelasi sederhana (Bivariate Correlation)
digunakan untuk mengetahui hubungan di antara dua variabel, dan jika ada
hubungan, bagaimana arah hubungan tersebut. Keeratan hubungan antara
satu variable dengan variable yang lain biasa disebut dengan Koefisien
Korelasi yang ditandai dengan “r“. Adapun rumus “r” adalah :

Dimana;
r = nilai koefisien korelasi
x = nilai variabel pertama
y = nilai variabel kedua
N = jumlah data
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Persentase Penutupan Karang


Persentase tutupan karang di Pulau Menjangan Besar dan Pulau Menjangan
Kecil terdapat pada grafik dibawah ini

Tutupan Karang
100
90
80
70
60
50 P. Menjangan Besar
40 P. Menjangan Kecil
30
20
10
0
KEL.1 KEL.2 KEL.3 KEL.4 KEL.5 KEL.6 KEL.7 KEL.8

Gambar 2. Grafik Persentase penutupan karang


Berdasarkan hasil grafik diatas, pada kelompok 1 tutupan karang di
Pulau Menjangan Besar sebesar 38% dan di Pulau Menjangan Kecil sebesar
56%. Pada kelompok 2 tutupan karang di Pulau Menjangan Besar sebesar
74% dan di Pulau Menjangan Kecil sebesar 90%. Pada kelompok 3 tutupan
karang di Pulau Menjangan Besar sebesar 90% dan di Pulau Menjangan Kecil
sebesar 90%. Pada kelompok 4 tutupan karang di Pulau Menjangan Besar
sebesar 86% dan di Pulau Menjangan Kecil sebesar 72%. Pada kelompok 5
tutupan karang di Pulau Menjangan Besar sebesar 64% dan di Pulau
Menjangan Kecil sebesar 84%. Pada kelompok 6 tutupan karang di Pulau
Menjangan Besar sebesar 64% dan di Pulau Menjangan Kecil sebesar 53%.
Pada kelompok 7 tutupan karang di Pulau Menjangan Besar sebesar 64% dan
di Pulau Menjangan Kecil sebesar 70%. Pada kelompok 8 tutupan karang di
Pulau Menjangan Besar sebesar 78% dan di Pulau Menjangan Kecil sebesar
70%. Secara keseluruhan, kelimpahan tutupan karang di Pulau Menjangan
Kecil lebih banyak dibandingkan di Pulau Menjangan Besar. Perbedaan nilai
tutupan karang karang disetiap kelompok diatas dikarenakan pengambilan
data dilakukan di tempat yang sama namun berbeda line transek yang
dipergunakan. Jadi nilai tutupan karang tiap kelompok mengalami
perbedaan.
Suhu perairan memiliki korelasi yang sangat searah dengan persentase
tutupan karang. Hal ini disebabkan suhu perairan merupakan salah satu
faktor yang sangat mempengaruhi persentase tutupan karang. Suhu
berpengaruh terhadap tingkah laku makan hewan karang, demikian juga
pertumbuhannya. Selain itu, oksigen terlarut merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi persentase tutupan karang, karena membutuhkan
oksigen terlarut untuk metabolismenya. Suhu perairan yang tinggi akan
menyebabkan oksigen terlarut menjadi rendah karena oksigen akan terlepas
atau menguap ke udara jika mengalami pemanasan (Thovyan et al., 2017).
Biota asosiasi yang hidup diterumbu karang salah satunya yaitu bintang
laut. Bintang laut biru jenis Linckia laevigata merupakan jenis bintang laut
yang asosiasinya tidak berbahaya bagi terumbu karang, yang berbeda
dengan Acanthaster planci. Acanthaster planci merupakan predator utama
terumbu karang karena memakanan polip karang. Linckia Laevigata
mendapatkan makanan dari hewan-hewan yang hidup di sekitar terumbu
karang dan endapan bahan organik yang terperangkap di terumbu karang.
Sedangkan terumbu karang mendapatkan keuntungan dari sifat makan
Linckia laevigata (Zamani,2015).
4.2. Biota Asosiasi
A.

a b
Gambar 4. Diadema setosum (a) dokumentasi pribadi (b) referensi
(http://www.marinespecies.org/aphia.php?p=taxdetails&id=213372)
Klasifikasi menurut Leske (1778) adalah sebagai berikut:
Kingdom: Animalia
Filum: Echinodermata
Kelas: Echinoidea
Ordo: Diadematoida
Family: Diadematidae
Genus: Diadema
Spesies: Diadema setosum
Deskripsi menurut Yusron (2010) adalah sebagai berikut:
Diadema setosum memiliki tubuh berwarna hitam, memiliki warna
orange dan kebiruan, bentuk tubuh pipih, memiliki duri yang panjang dan
tajam yang berfungsi sebagai alat gerak dan pelindung dari serangan
predator.
B.
a b
Gambar 5. Asteroidea sp (a) dokumentasi pribadi (b) referensi (Fitriana, 2010)
Klasifikasi menurut Linnaeus (1758) adalah sebagai berikut:
Kingdom: Animalia
Filum: Echinodermata
Kelas: Asteroidea
Ordo: Forcipulatida
Family: Asteriidae
Genus: Asteroidea
Spesies: Asteroidea sp
Deskripsi menurut Fitriana (2010) adalah sebagai berikut:
Bintang laut adalah hewan yang mempunyai daya regenerasi tinggi .
Memiliki lengan umumnya berjumlah lima buah. Mempunyai rongga tubuh
sebenarnya dan sistem pencernaan yang lengkap. Makanan berupa bahan
organik dan plankton masuk melalui mulut menuju esofagus dan lambung
yang bercabang menuju setiap lengan. Sisa pencernaan akan dikeluarkan
melalui anus yang terdapat pada aboral.

4.3. Penyakit Karang


4.3.1. Prevalensi Penyakit Karang
Prevelensi Penyakit Karang
80
70
60
50
40 P. Menjangan Besar

30 P. Menjangan Kecil

20
10
0
KEL.1 KEL.2 KEL.3 KEL.4 KEL.5 KEL.6 KEL.7 KEL.8

Gambar 6. Grafik Prevelensi penyakit karang


Berdasarkan grafik prevelensi diatas, pada kelompok 1 prevelensi
penyakit karang di Pulau Menjangan Besar sebesar 8,77 % dan di Pulau
Menjangan Kecil sebesar 9.09%. Pada kelompok 2 tutupan karang di Pulau
Menjangan Besar sebesar 54,55% dan di Pulau Menjangan Kecil sebesar
34.69%. Pada kelompok 3 tutupan karang di Pulau Menjangan Besar sebesar
14,29% dan di Pulau Menjangan Kecil sebesar 12,9%. Pada kelompok 4
tutupan karang di Pulau Menjangan Besar sebesar 15,38% dan di Pulau
Menjangan Kecil sebesar 12,9%. Pada kelompok 5 tutupan karang di Pulau
Menjangan Besar sebesar 26% dan di Pulau Menjangan Kecil sebesar 52%.
Pada kelompok 6 tutupan karang di Pulau Menjangan Besar sebesar 48% dan
di Pulau Menjangan Kecil sebesar 21,7%. Pada kelompok 7 tutupan karang di
Pulau Menjangan Besar sebesar 47,27% dan di Pulau Menjangan Kecil sebesar
30,36%. Pada kelompok 8 tutupan karang di Pulau Menjangan Besar sebesar
41,53% dan di Pulau Menjangan Kecil sebesar 75%.
Secara keseluruhan, nilai prevelensi penyakit karang di Pulau Menjangan
Kecil lebih kecil dibandingkan di Pulau Menjangan Besar yang menunjukkan
bahwa kondisi terumbu karang di Pulau Menjangan Kecil lebih sehat dan
lebih bagus dibandingkan di Pulau Menjangan Besar. Nilai prvelensi
penyakit karang tiap kelompok mengalami perbedaan dikarenakan tempat
pengambilan data sama pada Pulau Menjangan Kecil dan Menjangan Besar,
namun line transek pengambilan data berbeda setiap kelompok.
Penyakit karang yang tertinggi yang diperoleh di Pulau Menjangan
Besar yaitu WBD (White Band Diseasse), sedangkan dipulau Menjangan Kecil
yaitu UWS. Perubahan faktor lingkungan seperti kenaikan suhu muka air
laut adalah salah satu penyebab yang berkontribusi dalam pemutihan karang
(Coral Bleaching). Hal serupa telah terjadi di banyak wilayah Indonesia pada
tahun 2016 lalu, kenaikan suhu air laut diduga turut menyebabkan
meningkatnya agresivitas dan timbulnya penyakit pada karang WBD (White
Band Disease). Penyakit WBD mematikan jaringan karang dengan membentuk
sabuk putih dengan meninggalkan kerangka karang berwarna putih yang
mati ( Handayani et al., 2017).
4.3.2. Identifikasi Penyakit Karang
A.

a B
Gambar 7. WBD (White Band Disease) (a) dokumentasi pribadi (b) referensi
(http://www.artificialreefs.org/Corals/diseasesfiles/Common%20Identified%20Co
ral%20Diseases.html)
Deskripsi menurut Ritchie dan Smith (1998) adalah sebagai berikut :
Ditandai dengan degradasi jaringan karang karang acroporid yang
lengkap. Dua spesies terpengaruh, Acropora palmata dan Acropora
cervicornis.Penyakit ini menunjukkan demarkasi tajam antara jaringan
karang yang tampak sehat dan kerangka karang yang terbuka. Tanda-tanda
ini identik dengan wabah, kecuali bahwa pita putih adalah acroporid spesifik
(dan wabah belum ditemukan pada acroporids).Kehilangan jaringan
biasanya berasal dari pangkal cabang koloni ke ujung, meskipun dapat
dimulai di tengah-tengah cabang Acropora cervicornis. Ada dua jenis
penyakit berbeda yang berbeda dalam pola kehilangan jaringan. Pita putih
Tipe I menunjukkan degradasi jaringan yang terkait dengan garis yang
bermigrasi melintasi koloni karang. Band Putih Tipe II juga menunjukkan
degradasi jaringan sebagai band bergerak melintasi koloni karang, namun
dalam kasus ini front yang bergerak mungkin, kadang-kadang, memiliki
zona pemutih yang menangkap lisis jaringan.
B.

A B
Gambar 8. White Pox (a) dokumentasi pribadi (b) referensi (Siringoringo,
2007)
Deskripsi menurut Siringoringo (2007) adalah sebagai berikut :
Penyakit ini ditandai dengan munculnya bercak pada rangka karang
berwarna putih kosong yang berbentuk irregular. Bercak dapat terjadi pada
permukaan atas atau bagian bawah percabangan. Jaringan karang terlihat
mengelupas, namun tidak rata, sedangkan laju penghilangan jaringan karang
terjadi sangat cepat. Jaringan karang pada umumnya mulai ditempeli oleh
alga berfilamen dalam beberapa hari. Peristiwa mengelupasnya jaringan
karang ini masih belum diketahui secara pasti, namun demikian
kemungkinan disebabkan oleh bakteri pathogen.

C.

a b
Gambar 9. UWS (a) dokumentasi pribadi (b) referensi (Putra et al., 2014)
Deskripsi menurut Putra et al., (2014) adalah sebagai berikut :
UWS ditandai dengan munculnya bintik-bintik putih pada permukaan luar
karang. Penyakit ini membuat luka kecil berdiameter <1 cm, berbentu bulat
teratur pada permukaan karang. Lama kelamaan bintik-bintik putih ini dapat
bergabung dan membentuk luka yang lebih besar. Di Indonesia UWS
diketahui menyerang genus karang Montipora, Porites, dan Cycloseris. UWS
di Indonesia diakibatkan oleh serangan mikroba pathogen. Untuk itu perlu
mencari antibakteri yang dapat melawan penyakit karang UWS.
D.
a b
Gambar 10. White Plague (a) dokumentasi pribadi (b) referensi (Siringoringo,
2007)
Deskripsi menurut Siringoringo (2007) adalah sebagai berikut :
Penyakit White plague (WP) terlihat mirip dengan WBD, tetapi White
plague menyerang pada karang yang berbeda. Karang jenis massive dan
encrusting yang diamati terlihat adanya jaringan karang yang hilang,
meninggalkan rangka karang yang berwarna putih kosong. Wabah ini
disebut wabah putih. Tetapi peran dari tekanan perubahan lingkungan dan
infeksi bakteri pathogen terhadap hilangnya jaringan belum dilakukan
penelitian.

E.

a b
Gambar 11. BBD (Black Band Diseasse) (a) dokumentasi pribadi (b) referensi
(Siringoringo, 2007)

Deskripsi menurut Siringoringo (2007) adalah sebagai berikut :


Band adalah suatu tanda berupa garis yang terdapat pada koloni
karang dimana warna tersebut mencirikan jenis penyakit pada suatu jenis
karang. Penyakit ini ditandai dengan suatu lembaran/bercak (mate) hitam
yang luasnya sekitar ¼ - 2 inci pada permukaan jaringan karang. Penyakit ini
bergerak melewati permukaan rangka karang, dengan kecepatan sekitar 3
mm -1 cm perhari dan kemudian meninggalkan rangka karang berwarna
putih kosong. Black Band Disease atau BBD juga dicirikan oleh suatu cincin
gelap, yang memisahkan antara jaringan karang yang masih sehat dengan
rangka karang. Penyakit ini juga disebut Black Band Ring.

4.4. Identifikasi Ikan Karang


4.4.1 Pengamatan Kondisi Ikan Karang
4.4.1.1 Kepadatan Individu atau Kelimpahan Ikan

Ikan Karang
50
45
40
35
Abudefduf vaigiensis
30
Cheilodipterus artus
25
Amphiprion sandaracinos
20
Coradion chrysozonus
15
Hemiglyphidodon plagiometopon
10
5
0
Menjangan Besar Menjangan Kecil
Gambar 12. Kepadatan spesies ikan karang di Pulau Menjangan Besar dan
Pulau Menjangan Kecil
Berdasarkan hasil grafik diatas, jumlah spesies ikan karang yang berada
di pulau Menjangan Besar lebih banyak daripada di pulau Menjangan Kecil.
Namun jumlah ikan di pulau Menjangan Kecil lebih banyak jumlahnya
daripada di pulau Menjangan Besar. Spesies ikan yang dijumpai di pulau
Menjangan Besar yaitu Abudefduf vaigiensis, Cheilodipterus artus, Amphiprion
sandaracinos, Coradion chrysozonus, dan Hemiglyphidodon plagiometopon. Spesies
ikan yang dijumpai di pulau Menjangan Kecil yaitu Abudefduf vaigiensis,
Cheilodipterus artus, Amphiprion sandaracinos.
Hasil yang didapatkan setiap kelompok mengalami perbedaan dikarena
line transek pengamatan tiap kelompok berbeda. Kedalaman merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi. Substrat yang menjadi tempat
menempel terumbu juga mepengaruhi, apabila substrat cocok maka terumbu
karang yang hidup disana akan banyak sesuai dengan kecocokan
substratnya. Hal ini sesuai menurut Harriot dan Fisk (1987), berbagai substrat
kolektor sebagai media penempelan menunjukkan adanya pengaruh
terhadap jenis dan sisi substrat kolektor yang digunakan. Beberapa faktor
penting lainnya yang mempengaruhi tempat hidup, kondisi lingkungan,
perbedaan kedalaman perairan. Perbedaan kedalaman mempengaruhi
jumlah atau lama penyinaran.
Spesies ikan yang paling banyak di pulau Menjangan Besar yaitu
Hemiglyphidodon plagiometopon dan spesies yang paling sedikit yaitu Abudefduf
vaigiensis dan Cheilodipterus artus. Pada sisi barat Pulau Menjangan Besar
memiliki kelimpahan komposisi ikan karang yang paling tinggi yang
ditemukan sebanyak 11 family dan 24 genus ikan karang. Dengan didominasi
oleh genus Abudefduf sebanyak 39,69% dan genus Caesio sebanyak 31,89%.
Selain itu juga ada beberapa ikan ekonomis seperti dari genus Ephinepelus
dan genus Naso dari family Acanthuridae. Sedangkan, pada sisi timur Pulau
Menjangan Besar memiliki kelimpahan komposisi ikan karang yang paling
dominan yaitu ikan mayor Abudefduf dengan persentase 20,77%. (KKP,
2018).
Spesies ikan yang paling banyak di pulau Menjangan Kecil yaitu
Abudefduf vaigiensis dan spesies yang paling sedikit yaitu Amphiprion
sandaracinos Pada sisi selatan Pulau Menjangan Kecil memiliki kelimpahan
komposisi ikan karang yang terdiri dari 9 famili dan 20 genus. Persentase
komposisi jenis ikan karang Pomacentrus sebesar 35,51%, kemudian genus
Abudefduf sebesar 28,86%, dan persentase genus lain merata dibawah 10%.
Pada sisi selatan Pulau Menjangan Kecil juga ditemukan jenis ikan herbivora
yang tergolong dalam family Scarini dan genus Scarus (KKP, 2018).

4.4.1.2 Indeks Keseragaman, Keanekaragaman, dan Dominansi Ikan Karang

indeks H C E
3

2.5

1.5
Pulau Menjangan Besar
1 Pulau Menjangan Kecil
0.5

0
HECHECHECHECHECHECHECHEC
KEL.1 KEL.2 KEL.3 KEL.4 KEL.5 KEL.6 KEL.7 KEL.8

Gambar 13. Indeks Keseragaman, Keanekaragaman, Dominansi Ikan karang


di Pulau Menjangan Besar dan Pulau Menjangan Kecil
Berdasarkan grafik diatas, didapatkan hasil pada pulau Menjangan
Besar didapatkan nilai indeks keanekaragaman(H) pada kelompok 1 sebesar
2.05, pada kelompok 2 sebesar 1.96, pada kelompok 3 sebesar 1.51, pada
kelompok 4 sebesar 1.81, pada kelompok 5 sebesar 1.57, pada kelompok 6
sebesar 2.14, pada kelompok 7 sebesar 1.49, pada kelompok 8 sebesar 2.21,
denan nilai keanekaragaman tertinggi ada pada kelompok 8. Nilai indeks
keseragaman (C) pada pulau Menjangan Besar, pada kelompok 1 sebesar
0.82, pada kelompok 2 sebesar 0.89, pada kelompok 3 sebesar 0.94, pada
kelompok 4 sebesar 0.93, pada kelompok 5 sebesar 0.98, pada kelompok 6
sebesar 0.93, pada kelompok 7 sebesar 0.92, pada kelompok 8 sebesar 0.88,
dengan nilai keseragaman tertinggi pada kelompok 5. Nilai indeks dominansi
(E) pada pulau Menjangan Besar, pada kelompok 1 sebesar 0.15, pada
kelompok 2 sebesar 0.16, pada kelompok 3 sebesar 0.21, pada kelompok 4
sebesar 0.18, pada kelompok 5 sebesar 0.21, pada kelompok 6 sebesar 0.13,
pada kelompok 7 sebesar 0.25, pada kelompok 8 sebesar 0.13 , dengan nilai
dominansi tertinggi pada kelompok 7.
Pada pulau Menjangan Kecil didapatkan nilai indeks keanekaragaman
(H) pada kelompok 1 sebesar 0.99, pada kelompok 2 sebesar 1.96, pada
kelompok 3 sebesar 1.59, pada kelompok 4 sebesar 1.58, pada kelompok 5
sebesar 1.55, pada kelompok 6 sebesar 1.39, pada kelompok 7 sebesar 0.84,
pada kelompok 8 sebesar 1.95, dengan nilai keanekaragaman tertinggi ada
pada kelompok 2. Nilai indeks keseragaman (C) pada pulau Menjangan
Besar, pada kelompok 1 sebesar 1.99, pada kelompok 2 sebesar 0.85, pada
kelompok 3 sebesar 0.99, pada kelompok 4 sebesar 0.98, pada kelompok 5
sebesar 0.80, pada kelompok 6 sebesar 0.86, pada kelompok 7 sebesar 0.76,
pada kelompok 8 sebesar 0.88, dengan nilai keseragaman tertinggi pada
kelompok 1. Nilai indeks dominansi( E) pada pulau Menjangan Besar, pada
kelompok 1 sebesar 2.99, pada kelompok 2 sebesar 0.17, pada kelompok 3
sebesar 0.21, pada kelompok 4 sebesar 0.21, pada kelompok 5 sebesar 0.3,
pada kelompok 6 sebesar 0.3, pada kelompok 7 sebesar 0.51, pada kelompok
8 sebesar 0.16 , dengan nilai dominansi tertinggi pada kelompok 1.
Indeks keanekaragaman (H) pada pulau Menjangan Besar sebesar 1.49 –
2.21 dengan nilai tertinggi 2.21 yang didapatkan dari kelompok 8. Indeks
keanekaragaman (H) pada pulau Menjangan Kecil sebesar 0.84 – 1.96 dengan
nilai tertinggi 1.96 yang didapatkan dari kelompok 2. Hal ini menunjukkan
indeks keanekaragaman di pulau Menjangan Besar lebih besar dibandingkan
dengan pulau Menjangan Kecil.
Indeks keseragaman (C) pada pulau Menjangan Besar sebesar 0.82 –
0.98 dengan nilai tertinggi 0.98 yang didapatkan dari kelompok 5. Indeks
keseragaman (C) pada pulau Menjangan Kecil sebesar 0.76 – 1.99 dengan
nilai tertinggi 1.99 yang didapatkan dari kelompok 1. Hal ini menunjukkan
indeks keseragaman di pulau Menjangan Kecil lebih besar dibandingkan
dengan pulau Menjangan Besar.
Indeks dominansi (E) pada pulau Menjangan Besar sebesar 0.13 – 0.25
dengan nilai tertinggi 0.25 yang didapatkan dari kelompok 7. Indeks
dominansi (E) pada pulau Menjangan Kecil sebesar 0.16 – 2.99 dengan nilai
tertinggi 2.99 yang didapatkan dari kelompok 1. Hal ini menunjukkan indeks
dominansi di pulau Menjangan Kecil lebih besar dibandingkan dengan pulau
Menjangan Besar.
Pada pulau Menjangan Besar didapatkan hasil jika nilai tutupan
karang 38% maka nilai keanekaragamannya 2.05, jika nilai tutupan karang
74% maka nilai keanekaragamannya 1.96, jika nilai tutupan karang 90% maka
nilai keanekaragamannya 1.51, jika nilai tutupan karang 86% maka nilai
keanekaragamannya 1.81, jika nilai tutupan karang 64% maka nilai
keanekaragamannya 1.57, jika nilai tutupan karang 64% maka nilai
keanekaragamannya 2.14, jika nilai tutupan karang 64% maka nilai
keanekaragamannya 1.49 dan jika nilai tutupan karang 78% maka nilai
keanekaragamannya 2.21. Sedangkan pada pulau Menjangan Kecil
didapatkan hasil jika nilai tutupan karang 56% maka nilai
keanekaragamannya 0.99, jika nilai tutupan karang 90% maka nilai
keanekaragamannya 1.96, jika nilai tutupan karang 90% maka nilai
keanekaragamannya 1.59, jika nilai tutupan karang 72% maka nilai
keanekaragamannya 1.58, jika nilai tutupan karang 84% maka nilai
keanekaragamannya 1.55, jika nilai tutupan karang 53% maka nilai
keanekaragamannya 1.39, jika nilai tutupan karang 70% maka nilai
keanekaragamannya 0.84, dan jika nilai tutupan karang 70% maka nilai
keanekaragamannya 1.95. Hasil yang didapat setiap kelompok mengalami
perbedaan nilai. Hal ini menunjukkan nilai tutupan karang memiliki
keterkaitan dengan keanekaragaman terumbu karang yang bedara dipulau
Menjangan Besar dan Menjangan Kecil. Selain itu substart dan kedalaman
juga mempengaruhinya. Hal ini sesuai dengan Harriot dan Fisk (1987),
beberapa faktor penting lainnya yang mempengaruhi tempat hidup, kondisi
lingkungan, perbedaan kedalaman perairan. Perbedaan kedalaman
mempengaruhi jumlah atau lama penyinaran.

4.4.1.3 Kelimpahan dan Persentase Ikan Karang Berdasarkan Golongan


(ekor/m2)
Kelimpahan Ikan Karang di pulau Menjangan Besar

Ikan Mayor Ikan Target Ikan Indikator

19%

10%

71%

Gambar 14. Kelimpahan dan Persentase Ikan Karang Berdasarkan Golongan


di pulau Menjangan Besar

Kelimpahan Ikan Karang di Pulau Menjangan


Kecil
Ikan Indikator
0%

Ikan Target
21%

Ikan Mayor
79%

Gambar 15. Kelimpahan dan Persentase Ikan Karang Berdasarkan Golongan


di pulau Menjangan Kecil
Berdasarkan fungsi dalam sistem ekosistem terumbu karang, ikan
terumbu dibagi atas tiga yaitu ikan mayor, ikan target, dan ikan indicator.
Ikan Target, biasanya kelompok ikan-ikan target menjadikan terumbu karang
sebagai tempat pemijahan dan sarang/daerah asuhan. Ikan yang merupakan
target untuk penangkapan atau lebih dikenal juga dengan ikan ekonomis
penting atau ikan kosumsi seperti; Seranidae (ikan kerapu), Lutjanidae (ikan
kakap), Kyphosidae,Lethrinidae, Acanthuridae, Mulidae, Siganidae, Labridae
, dan Haemulidae. Ikan Indikator, sebagai parameter bagus tidaknya
ekosistem terumbu karang. Sebagai ikan penentu untuk terumbu karang
karena ikan ini erat hubunganya dengan kesuburan terumbu karang yaitu
ikan dari Famili Chaetodontidae (kepe-kepe). Ikan mayor, jenis ikan
berukuran kecil dengan karakteristik pewarnaan yang beragam sehingga
dikenal sebagai ikan hias. Kelompok ikan-ikan mayor umumnya ditemukan
melimpah, baik dalam jumlah individu maupun jenisnya. Kelompok ikan-
ikan mayor sepanjang hidupnya berada di terumbu karang, diwakili oleh
family Pomacentridae, Apogonidae, dan Blenniidae (Nybakken, 2004).
Hasil yang didapatkan dari diagram diatas yaitu di pulau Menjangan
Besar, kelimpahan ikan mayor sangat tinggi yaitu sekitar 71%, kelimpahan
ikan indikator sekitar 19%, dan kelimpahan ikan target sekitar 10%. Berbeda
dengan di pulau Menjangan Kecil 79% didominasi oleh ikan mayor, dan 21%
menunjukkan kelimpahan ikan target.
Pada pulau Menjangan Kecil tidak ditemukan ikan yang tergolong
sebagai ikan indikator. Hal ini disebabkan karena kondisi perairan yang tidak
terdapat ikan indikator dikarenakan kondisi terumbu karang yang tiak sesuai
dengan habitat ikan indikator. Hal ini sesuai dengan perbedaan nilai
kelimpahan ikan ini disebabkan oleh kondisi terumbu karang yang berbeda
sehingga berpengaruh terhadap ketersediaan sumber makanan. Famili
Pomacentridae termasuk dalam kategori ikan mayor yang jumlahnya banyak
ditemukan dalam ekosistem terumbu karang. Karakteristik morfologis dari
substrat yang berpengaruh terhadap ketersediaan makanan, bahkan
beberapa spesies diantaranya cenderung menggunakan karang sebagai
habitat dari pada sebagai sumber makanan (Romimohtarto dan Juwana,
2001). Ikan akan memberikan respons terhadap struktur habitat, yang akan
mempengaruhi distribusi dan kelimpahannya. Kompleksitas struktur,
komposisi serta proporsi penutupan karang hidup memberikan korelasi
positif terhadap komunitas ikan karang (Nontji, 2002).
4.4.2 Biota Ikan Karang
A.

A b
Gambar 16. Abudefduf vaigiensis (a) dokumentasi pribadi (b) referensi
(http://fishesofaustralia.net.au/home/species/310)
Klasifikasi menurut Quoy& Gaimand (1825) adalah sebagai berikut:
Kingdom: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Actinopterygii
Ordo: Perciformes
Family: Pomacentridae
Genus: Abudefduf
Spesies: Abudefduf vaigiensis
Deskripsi menurut Zulfianti (2014).adalah sebagai berikut :
Spesies Abudefduf vaigiensis berwarna abu-abu kehitaman dengan 5 garis
biru (termasuk garis di dasar ekor) biasa didapatkan warna kuning di atas
punggung, biasanya membentuk kelompok makan di pertengahan air atau
biasa menjaga sarang di dalam celah-celah berbatu, biasa didapatkan di
terumbu garis pantai dan lereng luar sampai 12 m.
B.

a b
Gambar 17. Cheilodipterus artus (a) dokumentasi pribadi (b) referensi
(http://fishbase.org/Summary/SpeciesSummary.php?ID=5780&AT=Wolf+c
ardinalfish)
Klasifikasi menurut Smith (1961) adalah sebagai berikut :
Kindom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Famili : Apogonidae
Genus : Cheilodipterus
Spesies : Cheilodipterus artus
Deskripsi menurut Gon, O. (1993) adalah sebagai berikut :
Cheilodipterus artus memiliki duri punggung berjumlah 7 buah. Memiliki duri
sirip dorsal 9 buah. Memiliki duri sirip anal 2 buah. Cheilodipterus artus kecil
memiliki vbercak hitam kecil yang dikelilingi oleh bercak emas besar pada
ekornya. Memiliki warna abu-abu dengan memiliki 8 garis coklat kemerahan.
Pada saat dewasa dapat mebgubah warnanya dengan cepat. Hidup pada
kedalaman 3,2- 4 meter .
C.

a b
Gambar 18. Amphiprion sandaracinos (a) dokumentasi pribadi (b) referensi
(http://fishesofaustralia.net.au/home/species/1278)
Klasifikasi menurut Allen (1972) adalah sebagai berikut :
Kindom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Famili : Pomacentridae
Genus : Amphiprion
Spesies : Amphiprion sandaracinos
Deskripsi menurut Froese, R. (2010) adalah sebagai berikut :
Amphiprion sandaracinos memiliki sirip dorsal berjumlah 10 dimana sirip
lemahnya berjumlah 13-14 sirip dan sirip anal berjumlah 2 buah. Memiliki
warna dan bentuk yang sangat bervariasi. Ciri-ciri pada tubuhnya terletak
pada tiga garis tebal berwarna putih, satu di belakang mata, satu di dekat
anus, dan satu di pangkal ekor yang berwarna putih, kadang kekuningan.
Bersifat omnivora, melakukan perkembangbiakkan secara monogami, dan
berkembang biak dengan bertelur.
D.

a b
Gambar 19. Coradion chrysozonus (a) dokumentasi pribadi (b) referensi
(http://fishesofaustralia.net.au/home/species/424)
Klasifikasi menurut Cuvier (1831) adalah sebagai berikut :
Kindom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Famili : Chaetodontidae
Genus : Coradion
Spesies : Coradion chrysozonus
Deskripsi menurut adalah sebagai berikut :
E.

a b
Gambar 20. Hemiglyphidodon plagiometopon (a) dokumentasi pribadi (b)
referensi (http://fishesofaustralia.net.au/home/species/356)
Klasifikasi menurut Bleeker (1852) adalah sebagai berikut:
Kingdom: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Actinopterygii
Ordo: Perciformes
Family: Pomacentridae
Genus: Hemiglyphidodon
Spesies: Hemiglyphidodon
plagiometopon
Deskripsi menurut Dianne J. Bray (2018) adalah sebagai berikut:
Hemiglyphidodon plagiometopon memiliki Sirip punggung 14-15 buah, Sirip
dubur 2 buah, Sirip dada 16-17. Sejumlah ganggang kecil dan invertebrata
seperti polychaetes, krustasea dan foraminiferans merupakan makanan
Hemiglyphidodon plagiometopon . betina melekatkan telur pada substrat. Jantan
yang siap memijah akan menjaga telur tersebut sampai menetas.
Rekrutmen kelompok ikan karang yang membentuk suatu komunitas
pada suatu lokasi baru masih memiliki keterkaitan dengan komunitas ikan
karang pada daerah sekitar dengan dipengaruhi variasi demografi lokalnya
(Yanuar dan Aunurohim, 2015). Ikan karang merupakan salah satu kelompok
hewan yang berasosiasi dengan terumbu karang. Keberadaannya mencolok
dan ditemukan pada berbagai mikrohabitat di terumbu karang. Ikan karang,
hidup menetap serta mencari makan di areal terumbu karang (sedentary).
Sehingga apabila terumbu karang rusak atau hancur maka ikan karang juga
akan kehilangan habitatnya. Sebagai ikan yang hidupnya terkait dengan
terumbu karang maka kerusakan terumbu karang dengan sendirinya
berpengaruh terhadap keragaman dan kelimpahan ikan karang (Ilham, 2007).
4.5. Identifikasi Genus Karang (Coral Finder Tool) (Data Masing-Masing
Kelompok)
Diidentifikasi bentuk pertumbuhan karang dengan dilihat pada kolom
key group dalam halaman pertama Coral Finder Tool. Selanjutnya, ditentukan
bentuk dan mengukur besar koralit pada karang tersebut. Setelah ditentukan
besar koralit atau bentuk khusus maka langsung diarahkan pada halaman
utama (look alike). Dibandingkan karang yang diamati dengan gambar karang
pada kolom colony, corallites, dan close up. Dikonfirmasikan ciri-ciri karang
tersebut dengan karakteristik kunci deskripsi dan dilihat gambar karang
pada kolom skala. Dicatat nama genus karang yang telah diamati sesuai
dengan keterangan genus yang terdapat pada Coral Finder Tool (Timotius,
2013).
Kelebihan coral finder antara lain cepat dan mudah untuk dimengerti.
Coral Finder sangat cocok untuk pemula yang ingin belajar mengidentifikasi
karang karena sistematis penggunaan Coral Finder ini cukup jelas dan
mudah. Coral Finder mempermudah penggunanya dengan meringkas
genus-genus karang sebanyak kurang lebih 66 Genus di daerah Indo-Pasific
kedalam suatu buku panduan jenis karang yang bisa dibawa ke dalam air.
Selain memiliki kelebihan coral finder juga memiliki kelemahan antara lain
coral finder hanya menjadikan life form sebagai acuan dasar dalam
penentuan genus karang, coral finder tidak bisa menggambarkan coralit
secara 3 dimensi sehingga kadang susah untuk membedakan coralit satu
dengan yang lain (Timotius, 2013).
A.
A b
Gambar 21. Fungia sp (a)dokumentasi pribadi (b) referensi
(http://atj.net.au/marineaquaria/Fungia_sp_.html)
Klasifikasi menurut Lamarck (1801) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Cnidaria
Kelas : Anthozoa
Ordo : Scleractinia
Famili : Fungiidae
Genus : Fungia
Deskripsi menurut Veron (1993) adalah sebagai berikut:
Fungia sp memiliki tentakel meruncing pendek, yang keluar pada malam
hari. Tentakel ini terletak di antara gigi septal seperti pisau yang memancar
keluar dari pusat. Menggunakan jaring mukosa sebagai senjata yang akan
menyebabkan nekrosis. Polip karang Fungia sp dapat bereproduksi secara
seksual dan aseksual.
Deskripsi manurut adalah sebagai berikut :
B.
a b
Gambar 22. Seriatopora sp (a) dokumentasi pribadi (b) referensi
(https://www.orafarm.com/products/hardcoral/seriatopora/)
Klasifikasi menurut Lamarck (1816) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia
Filum : Cnidaria
Kelas : Anthozoa
Ordo : Sclerectinia
Famili : Pociloporidae
Genus : Seriatopora
Deskripsi manurut Hoeksema (2014). adalah sebagai berikut :
Anggota genus ini membentuk semak-semak kecil dengan cabang
anastomising (menghubungkan). Ujung cabang meruncing tajam dan bentuk
pertumbuhan bervariasi, tergantung pada tingkat cahaya dan pergerakan air.
Corallites disusun dalam baris yang rapi dan polip hanya memanjang di
malam hari. Warna karang ini bisa berwarna kuning, oranye, merah muda,
hijau atau coklat.

4.6. Parameter Kualitas Perairan


Suhu merupakan derajat panas suatu objek yang diakibatkan oleh
tumbukan antar molekul. Suhu dapat dipetakan secara horizontal dan
vertikal. Suhu permukaan berkisar antara 25-33 oC, dimana nilai tertinggi
biasanya didapatkan pada perairan tertutup. Hal ini menandakan bahwa
interaksi secara umum dengan atmosfer merupakan hal utama dalam
absorpsi panas. Secara lokal dipengaruhi oleh banyak faktor seperti
masuknya air dari daratan dan juga terjadinya upwelling yang biasanya
untuk perairan Indonesia dibawah 25 oC (Purba, 2013).
Salinitas didefinisikan sebagai berat dalam gram dari semua zat padat
yang terlarut dalam 1 kilo gram air laut jikalau semua brom dan yodium
digantikan dengan khlor dalam jumlah yang setara; semua karbonat diubah
menjadi oksidanya dan semua zat organik dioksidasikan. Nilai salinitas
dinyatakan dalam g/kg yang umumnya dituliskan dalam ‰ atau ppt yaitu
singkatan dari part-per-thousand (Arief, 1984). Untuk daerah pesisir salinitas
berkisar antara 32-34 o/oo, untuk laut terbuka umum nya salinitas berkisar
antara 33-37 o/oo dengan rata-rata 35 o/oo. Salinitas di perairan Indonesia
umumnya berkisar antara 30- 35o/oo (Patty, 2013).
Tabel 1. Parameter kualitas perairan
No. Parameter Satuan Menjangan Besar Menjangan Kecil
1 Suhu oC 33 30
2 Salinitas Ppt 32 30
3 pH - 7 7
4 Kecerahan M 75% 100%
5 Arus m/s2 0,015 0,026

4.7. Hubungan tutupan karang dengan kelimpahan (total individu dalam


satu stasiun, bukan spesies), keanekaragaman, keseragaman dan
dominansi
Korelasi merupakan istilah yang digunakan untuk mengukur kekuatan
hubungan antar variabel. Analisis korelasi adalah cara untuk mengetahui ada
atau tidak adanya hubungan antar variable. Korelasi yang dipergunakan
yaitu korelasi sederhana (bivariate).
Tabel 2. nilai rata-rata dan standar deviasi antara tutupan karang dengan
ikan karang
Mean Standar Deviation Jumlah
Tutupan Karang 71.4375 14.87714 16
Keanekaragaman 1.6619 0.38718 16
Keseragaman 0.9625 0.28182 16
Dominansi 0.3919 0.69909 16

Tabel 3. hasil analisis korelasi antara tutupan karang dengan


keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi ikan karang
Tutupan Keanekarag Keseraga Dominansi
Karang aman man
Tutupa Pearson 1 0.093 -0.216 -0.278
n correlation
Karang Sig (2- - 0.732 0.421 0.298
tailed)

Hubungan tutupan karang dengan keanekaragaman ikan karang yang


berada di pulau Menjangan Besar dan Menjangan Kecil memiliki nilai
korelasi 0.093. Menunjukkan bahwa korelasi hubungan antara tutupan
karang dengan keanekaragaman ikan karang memiliki tingkat hubungan
yang sangat rendah dan tidak signifikan mempengaruhi. Hubungan tutupan
karang dengan keseragaman ikan karang yang berada di pulau Menjangan
Besar dan Menjangan Kecil memiliki nilai korelasi -0.216. Menunjukkan
bahwa korelasi hubungan antara tutupan karang dengan keseragaman ikan
karang yang berada di pulau Menjangan Besar dan pulau Menjangan Kecil
sangat rendah dan tidak signifikan pengaruhnya. Hubungan tutupan karang
dengan dominansi ikan karang yang berada di pulau Menjangan Besar dan
Menjangan Kecil memiliki nilai korelasi -0.278. Menunjukkan bahwa korelasi
hubungan antara tutupan karang dengan dominansi ikan karang yang
berada di pulau Menjangan Besar dan pulau Menjangan Kecil sangat rendah
dan tidak signifikasn pengaruhnya.
Menurut Ridwan (2003), nilai dan tingkat korelasi pearson adalah sebagai
berikut:
Interval koefisien Tingkat Hubungan
0.8 -1 Sangat tinggi atau sangat berhubungan
0.6- 0.799 Kuat
0.4-0.599 Cukup
0.2-0.399 Rendah
0 -1.99 Sangat rendah
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Praktikum dilakukan di pulau Menjangan Besar dan Menjangan Kecil.
2. Point Intercept Transect dilakukan dengan membentangkan transek
sejauh 25m setiap kelompoknya.
3. Tingkat keanekaragaman jenis ikan di pulau Menjangan Besar lebih
tinggi dibandingkan di pulau Menjangan Kecil.
4. Jenis ikan yang ditemukan di substrat pasir dan pecahan karang mati
di pulau Menjangan Besar dan pulau Menjangan Kecil.
5. Genus karang yang didapatkan di pulau Menjangan Besar Fungia dan
pulau Menajangan Kecil Seriatopora spdengan menggunakan Coral
Finder Tool
6. Hasil prevelensi penyakit karang yang didapatkan di pulau
Menjangan Besar 47,27% dan pulau Menjangan Kecil 30,36%.
7. Hubungan antara persentase tutupan karang dengan indeks
keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi ikan karang sangat
rendah.
5.2. Saran
Sebaiknya saat sebelum praktikum lapang praktikan harus mempersiakannya
sebaik mungkin, sehingga apabila dilapang tidak binggung. Dan untuk
praktikum selanjutnya agar supaya lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Adrim,M., S.A. Harahap., dan K. Wibowo. 2012. Struktur Komunitas Ikan


Karang di Perairan Kendari . Ilmu Kelautan. 17(3): 154-163.

Allen. 1972. Amphiprion sandaracinos.


http://www.marinespecies.org/aphia.php?p=taxdetails&id=278405 (diakses
pada tanggal 8 Desember 2018 pukul 22.53 WIB).

Allen, G. R. & M. Adrim. 2003. Review article; Coral reef fishes of Indonesia.
Zool Stud. 42(1): 1-72.

Anna,E.W.M. dan Djuwariah. 2009. Panduan Point Intercept Transect (PIT)


untuk Masyarakat Studi Baseline dan Monitoring Kesehatan Karang di
Lokasi Daerah Perlindungan Laut. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Jakarta.

Anna,E.W.M. dan Djuwariah. 2009. Panduan Point Intercept Transect (PIT)


untuk Masyarakat Studi Baseline dan Monitoring Kesehatan Karang di
Lokasi Daerah Perlindungan Laut. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Jakarta.

Arief, D. 1984. Pengukuran Salinitas Air Laut dan Peranannya dalam Ilmu
Kelautan. Jurnal Oseana. 4(1): 3-10.

Dedi. 2015. Hubungan Parameter Lingkungan Terhadap Prevalensi Penyakit


Karang dan Tutupan Karang Hidup. Tesis. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

Dianne J. Bray. 2018. Hemiglyphidodon plagiometopon


http://fishesofaustralia.net.au/home/species/356#moreinfo (diakses
pada tanggal 8 Desember 2018 pukul 22.30 WIB).

Febrizal., A.Damar., dan N.P.Zamani. 2009. Kondisi Ekosistem Terumbu


Karang di Perairan Kabupaten Bintan dan Alternatif Pengelolaannya.
Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 16(2): 167-175.

Fitriana, N. 2010. Inventarisasi Bintang Laut (Echinodemata: Asteroidea) di


Pantai Pulau Pari, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Jurnal
Imiah Faktor Exactra. 3(2): 167-174.
Froese, R. 2010. Amphiprion sandaracinos (Allen, 1972) Yellowtail Clownfish.
http://www.fishbase.org/summary/speciessummary.php?id=544 8
diakses pada tanggal 8 Desember 2018 pukul 23.13 WIB).

Giyanto, et al. 2017. Status Terumbu Karang Indonesia 2017. Pusat Penelitian
Oseanografi-LIPI. Jakarta.

Gon, O., 1993. Revision of the cardinalfish genus Cheilodipterus (Perciformes:


Apogonidae), with description of five new species. Indo-Pac. Fish. (22):59 p.

Handayani,M., B.Semedi., M.A.Asadi., M.herdiutamu., dan R.Novakandi.


2017. Prevelensi Penyakit Karang White Bnad Disease (WBD) di
Perairan Malang Selatan, Jawa Timur. Prosiding Seminar Nasional
Kelautan dan Perikanan. 3: 64-69.

Harriot, V. J. and D. A. Fisk. 1987. A comparison of settlement plate types for


experiment on the recruitment of scleractinian corals. Mar Ecol Prog
Ser. 37: 201- 208.

Hazrul., R.D.Palupi., dan R.Ketjulan. 2016. Identifikasi Penyakit Karang


(Scleractinia) di Perairan Pulau Saponda Laut, Sulawesi Tenggara. Sapa
Laut. 1(2): 32-41.

Hill, J. And C. Wilkinson, 2004. Methods for Ecological Monitoring of Coral Reefs.
A Resources for Managers. Australian Institute of Marine Science,
Townville, 117 pp.

Hoeksema, B. (2014). "Seriatopora Lamarck, 1816". World Register of Marine


Species. Retrieved 2014-12-23.

Ilham. 2007. Keterkaitan Kondisi dan Rugositas Terumbu Karang dengan


Kelimpahan dan Keragaman Ikan Karang di Pulau Badi Kabupaten
Pangkep. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Ilyas.I.S., S. Astuty, S.A. Harahap., dan N. P. Purba. 2017. Keanekaragaman


Ikan Karang Target Kaitannya dengan Keanekaragaman Bentuk
Pertumbuhan Karang pada Zona inti di Taman Wisata Perairan
Kepualaun Anambas. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 8(2): 103-111.

KKP. 2018. Menjangan Besar, Direktorat Pulau Pulau Kecil Indonesia.


http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/direktori
pulau/index.php/public_c/pulau_info/4303 (diakses pada tanggal 8
Desember 2018 pukul 20.41 WIB).

KKP. 2018. Menjangan Kecil, Direktorat Pulau Pulau Kecil Indonesia.


http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/direktori-
pulau/index.php/public_c/pulau_info/4304 (diakses pada tanggal 8
Desember 2018 pukul 20.35 WIB).

Lamarck. 1816. Seriatopora sp.


https://www.orafarm.com/products/hardcoral/seriatopora/ (diakses
pada tanggal 9 Desember 2018 pukul 10.11 WIB).

Leske. 1778. Diadema setosum. http://eol.org/pages/2942801/overview


(diakses tgl 4 desember 2018 pukul 23.45 WIB).

Linnaeus. 1758. Asteroidea sp. http://www.prf.or.jp/cgi-


bin/orgget.pl?org=Asteroidea%20sp.;inf=1 (diakses tanggal 5
Desember 2018 pukul 22.05 WIB).

Manuputty A E W. 1998. Sebaran Vertikal Karang Batu dan Pertumbuhannya di


Pulau Pari, Pulau Pulau Seribu. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Michael,D., N.P.Zamani., D.Soedharma., dan O.Johan. 2015. Prevalensi,


Insidensi dan Perkembangan Black-band Disease pada Karang
Scleractinia (Montipora spp) di Perairan Dangkal Gugusan Pulau
Pari. Ilmu Kelautan. 20(1): 52-60.

Miftaudin,S.A.Harahap., I.Riyantini., dan D.J.Prihadi. 2017. Studi Kelayakan


Zona Inti Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Kecamatan Selat
Nasik, Kabupaten Belitung. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 8(1): 92-104.

Mismail, B. 2010. Akuarium Terumbu Karang. Cetakan Pertama. Universitas


Brawijaya Press. Malang.

Nontji A. 2002. Laut Nusantara Cetakan ke 3. Djambatan. Jakarta. 351 Hal.

Nybakken J.W. 2004. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologi. PT Gramedia.


Jakarta.
Patty,S.I. 2013. Distribusi Suhu,Salinitas, dan Oksigen Terlarut di Perairan
Kema, Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Platax. 1(3): 148-157.

Ponto,S.O., A.Kumenaung., dan P.Wauran. 2015. Analisis Korelasi Sektor


Pertanian terhadap Tingkat Kemiskinan di Kabupaten Kepulauan
Sangihe. Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi. 15(4): 137-147.

Purba, N.P. 2013. Pengantar Ilmu Kelautan. Universitas Padjajaran. Jatinagor.

Putra,Y.P., A.Sabdono., dan A.Trianto. 2014. Aktivitas Bakteri Karang Sebagai


Antobakteri Ulcerative White Spots di Perairan Pulau Panjang, Jepara.
Makalah Seminar Nasional Mikrobologi. Universitas Diponegoro.
Semarang.

Quoy& Gaimand. 1825. Abudefduf vaigiensis.


http://www.marinespecies.org/aphia.php?p=taxdetails&id=212879 (diakses
pada tanggal 8 Desember 2018 pukul 22.10 WIB).

Riduwan, 2003. Dasar-dasar Statistika. Alfa Beta. Bandung.

Romimoharto, K., dan Juwana. S.2001. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan Tentang
Biota Laut. Djambatan. Jakarta.
Saptarini,D., Mukhtasor., dan I.F.M.Rumengan. 2016. Variasi Bentuk
Pertumbuhan (lifeform) Karang di Sekitar Kegiatan Pembangkit Listrik,
studi kasus kawasan perairan PLTU Paiton, Jawa Timur. Prosiding
Seminar Nasional Biodiversitas. 5(2): 1-9.

Siringoringo,R.M. 2007. Pemutihan Karang dan Beberapa Penyakit Karang.


Oseana. 32(4): 29-37.

Smith. 1961. Cheilodipterus artus.


http://www.marinespecies.org/aphia.php?p=taxdetails&id=209377 (diakses
pada tanggal 8 Desember 2018 pukul 22.50 WIB).

Thovyan,A.I., V.Sabariah., dan D.Parenden. 2017. Tutupan Terumbu Karang


di Perairan Pasir Putih Kabupaten Manokwari. Jurnal Sumberdaya
Akuatik Indopasifik. 1(1): 67-80.

Timotius, Silvianita. 2013. Pelatihan Coral Finder. Kantor Yayasan Terumbu


Karang Indonesia (TERANGI), Jakarta. Hal 2-3.
Wahyulfatwatul.U.A.S.,M.Litaay., D.Priosambodo., dan W.Moka. 2017.
Genera Karang Keras di Pulau Barrang Lompo dan Bone Batang
Berdasarkan Metode Identifikasi Coral Finder. Jurnal Biologi Makassar.
2(2): 39-51.

Yanuar,A., dan Aunurohim. 2015. Komunitas Ikan Karang pada Tiga Model
Terumbu Buatan (Artificial Reef) di Perairan Pasir Putih Situbondo,
Jawa Timur . Jurnal Sains dan Sintesis. 4(1): 2337-3520.

Yusron, E. dan Susetiono. 2010. Diversitas Fauna Ekhinodermata di Perairan


Ternate Maluku Utara. Oseanologi dan Limnology di Indonesia. 36(3): 293-
307.

Yusuf,M. 2013. Kondisi Terumbu Karang Dan Potensi Ikan Di Perairan


Taman Nasional Karimunjawa, Kabupaten Jepara. Buletin Oseanografi
Marina. 2: 54- 60.

Zamani,P. 2015. Kondisi Terumbu Karang dan Asosiasinya dengan Bintang


Laut (Linckia laevigata) di Perairan Pulau Tunda, Kabupaten Seram,
Provinsi Banten. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. 6(1): 1-10.

Zulfianti. 2014. Distribusi dan Keanekaragaman Jenis Ikan Karang (Famili


Pomacentridae) Untuk Rencana Referensi Daerah Perlindungan Laut
(DPL) di Pulau Bonetambung Makassar. Skripsi. Universitas
Hasanuddin. Makassar.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Perhitungan
Tutupan Karang
KELOMPOK
KEL.1 KEL.2 KEL.3 KEL.4 KEL.5 KEL.6 KEL.7 KEL.8
P. Menjangan
Besar 38 74 90 86 64 64 64 78
P. Menjangan
Kecil 56 90 90 72 84 53 70 70

Indeks H C E Ikan Karang


KEL.1 KEL.2 KEL.3
H E C H E C H E C
Pulau Menjangan
Besar 2.05 0.82 0.15 1.96 0.89 0.16 1.51 0.94 0.21
Pulau Menjangan
Kecil 0.99 1.99 2.99 1.96 0.85 0.17 1.59 0.99 0.21
KEL.4 KEL.5 KEL.6
H E C H E C H E C
1.81 0.93 0.18 1.57 0.98 0.21 2.14 0.93 0.13
1.58 0.98 0.21 1.55 0.8 0.3 1.39 0.86 0.3
KEL.7 KEL.8
H E C H E C
1.49 0.92 0.25 2.21 0.88 0.13
0.84 0.76 0.51 1.95 0.88 0.16

Prevelensi penyakit karang


KEL.1 KEL.2 KEL.3 KEL.4 KEL.5 KEL.6 KEL.7 KEL.8
P. Menjangan Besar 8.77 54.55 14.29 15.38 26 48 47.27 41.53
P. Menjangan Kecil 9.09 34.69 12.9 12.9 52 21.7 30.36 75
Lampiran 2. Hasil perhitungan dengan SPSS

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N

Tutupan Karang 71.4375 14.87714 16

Keanekaragaman 1.6619 .38718 16

Keseragaman .9625 .28182 16

Dominansi .3919 .69909 16

Correlations

Tutupan Karang Keanekaragaman Keseragaman Dominansi

Tutupan Karang Pearson Correlation 1 .093 -.216 -.278

Sig. (2-tailed) .732 .421 .298

N 16 16 16 16

Keanekaragaman Pearson Correlation .093 1 -.411 -.568*

Sig. (2-tailed) .732 .114 .022

N 16 16 16 16

Keseragaman Pearson Correlation -.216 -.411 1 .948**

Sig. (2-tailed) .421 .114 .000

N 16 16 16 16

Dominansi Pearson Correlation -.278 -.568* .948** 1

Sig. (2-tailed) .298 .022 .000

N 16 16 16 16

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).


Lampiran 3. Foto kegiatan

Anda mungkin juga menyukai