Anda di halaman 1dari 14

PEMIJAHAN SIPUT MATA BULAN

(Turbo chrysostomus Linnaeus,1758)


Posted on June 1, 2016
Tulisan ini merupakan tulisan ilmiah yang diterbitkan di Oseana Volume
XXXVIII Nomor 3 Tahun 2013. Bagi yang ingin mengunduh langsung
silahkan klik DISINI.

PEMIJAHAN SIPUT MATA BULAN


(Turbochrysostomus Linnaeus,1758)

Oleh

Dwi E.D. Setyono, Hollanda A. Kusuma,dan Balqam F Badi

ABSTRACT

SPAWNING OF YELLOW-MOUTH
TURBAN (Turbo chrysostomus Linnaeus,1758). Turbo chrysostomus is
marine gastropod which commonly found in tropical areas. They are usually
occupied an intertidal and shallow sublitoral waters with substrates of corral
rubble, rock and reef. This snail is herbivorous, they fed on micro- and
mcro-algae grown on the surface of corral, stone, and rocky substrate. This
manuscript will describe the process of spawning and the development of
the embryo of T. chrysostomus conducted in Laboratoryof UPT Loka
Pengembangan Bio Industri Laut Mataram LIPI.

PENDAHULUAN

Siput mata bulan (Turbo chrysostomus) merupakan salah satu jenis


gastropoda laut yang banyak ditemukan di wilayah dengan iklim tropis.
Siput ini dikenal dengan nama internasional yellow-mouth turban atau gold-
mouth turban. Nama umum yang dikenal oleh masyarakat Indonesia
adalah siput mata bulan (Ambon), sisok matan terata (sasak, Lombok), dan
siput usel (Pacitan dan Gunungkidul).

Siput mata bulan termasuk kelompok gastropoda laut famili Turbinidae.


Famili Turbinidae ini dicirikan dengan cangkang tunggal yang tebal dan
berat, cangkang berbentuk spiral kerucut (conical), dan memiliki
operkulum. Pada ujung kepala terdapat dua lubang hidung yang terpisang
dengan sungut yang panjang dan sepasang mata yang terletak pada
bagian tepi luar kepala. Otot jalan atau kaki besar dan berbentuk bulat telur
(ovate). Kelompok siput ini bersifat herbivora atau pemakan tumbuhan,
memakan mikro- dan makro-algae yang tumbuh di permukaan karang,
batu, dan koral mati (Setyono & Dwiono, 2005).

Siput ini termasuk dalam komoditas konsumsi karena kandungan


proteinnya yang tinggi. Hal ini dibuktikan dengan digunakannya siput ini
sebagai makanan masyarakat pesisir di Selatan Jawa, Madura, NTB, dan
Maluku (Personal Komunikasi). Selain itu, siput ini juga ditangkap karena
cangkangnya sebagai bahan kerajinan tangan (souvenir) yang mahal.
Namun sayang siput ini tidak termasuk ke dalam objek pengelolaan
tradisional sasi sehingga populasinya di alam rendah (Dwiono dan
Makatipu, 1997).

Siput mata bulan mempunyai potensi yang sangat besar untuk


dibudidayakan di Indonesia karena jenis siput ini mempunyai daya tahan
yang tinggi terhadap perubahan lingkungan, dan mudah dipelihara (Dwiono
& Makatipu, 1997). Tulisan ini dibuat untuk menjelaskan proses pemijahan
siput mata bulan (T. chrysostomus) yang dilakukan di Laboratorium UPT
Loka Pengembangan Bio Industri Laut Mataram.

KLASIFIKASI DAN MORFOLOGI

Menurut Eisenberg (1981), Wilson (1983), dan Abbott & Dance (1990) siput
mata bulan diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Moluska

Kelas : Gastropoda

Sub Kelas : Vetigastropoda

Ordo : Archaeogastropoda

Super Family : Trochoidea

Family : Turbinidae

Sub Family : Turbininae

Genus : Turbo

Spesies : Turbo chrysostomus Linnaeus,1758 (WoRMS, 2012)

Cangkang siput mata bulan (Gambar 1) memiliki ukuran panjang antero-


posterior(tinggi) yang lebih besar dari pada lebar, berwarna coklat muda
diselingi jalur berwarna coklat dan hijau dengan spiral yang berduri. Ukuran
cangkang dapat mencapai 6 cm, operkulum berwarna coklat-oranye atau
hijau tua, sedangkan bibir luar berwarna kuning keemasan.

HABITAT DAN PENYEBARAN

Siput mata bulan biasanya hidup di daerah pasang surut dan sublitoral
dangkal dengan substrat patahan karang, bebatuan dan karang mati
(Abbot & Dance, 1990). Siput ini ditemukan bersembunyi di sela-sela
karang mati dan celah atau lobang batu (Gambar 2). Siput ini berlindung
dari pemangsa dengan menempelkan badannya pada sela-sela karang
dan lobang batu tersebut.

Siput mata bulan dijumpai di perairan pantai di wilayah Indo-Pacific


termasuk perairan pantai Samudera Hindia (Kenya, Seychelles, Chagos,
Andaman dan kepulauan Nicobar), Asia Tenggara (Malaysia, Indonesia,
Thailand dan Philipina) dan Kepulauan Fiji di Pasifik Selatan. Di Pasifik
Barat jenis siput ini dijumpai di perairan pesisir Kepulauan Ryukyu, Jepang
(Yamaguchi, 1993), perairan Melanesia Utara hingga selatan New
Caledonia (Gambar 3) (FAO, 1998).

Menurut Arifin (1994), kondisi lingkungan tempat berkembangnya siput


mata bulan adalah sebagai berikut:

1. Topografi yang beragam dan kaya akan mikroalga yang tumbuh pada
substrat batu karang,

2. Kemiringan pantai yang tidak terlalu curam dengan kedalaman


kurang dari 20 meter,

3. Pergerakan air pada arus yang kuat, tanpa adanya aliran sungai
besar dan polusi.
Gambar 3. Daerah persebaran siput mata bulan (T. chrysostomus) (FAO,
1998)

TEKNIK PEMIJAHAN

Teknik pemijahan adalah salah satu bentuk rekayasa manusia agar biota
dapat dipijahkan di laboratorium. Teknik pemijahan mengacu pada teknik
yang dilakukan oleh Setyono (2003, 2006a, 2011; Setyono & Dwiono,
2011) dengan beberapa modifikasi. Langkah-langkah pemijahan pada siput
mata bulan dirangkumkan sebagai berikut:

1. Pemberian aerasi kuat.

Induk siput diberikan aerasi kuat untuk meningkatkan oksigen terlarut


(dissolved oxygen) di dalam air laut sebagai rangsangan pemijahan.

2. Rangsangan mekanik.

Induk yang telah diaerasi kuat selama + 6 jam kemudian digoyang-


goyangkan di dalam jaring.

3. Desikasi
Setelah diberikan rangsangan mekanik, induk kemudian dibiarkan tanpa air
selama +1 jam. Perlakuan ini ditujukan untuk memanipulasi kondisi surut
rendah yang terjadi di alam.

4. Pengisian bak pemijahan dengan air laut.

Bak pemijahan diisi dengan air laut segar (fresh sea water) yang disaring
menggunakan saringan kain ukuran 0,5 mikron.

5. Penempatan induk siput pada bak pemijahan.

Pada sore hari menjelang matahari terbenam, induk yang telah dirangsang
ditempatkan di dalam bak pemijahan yang telah diisi air laut segar dan
bersih.

6. Pemantauan induk yang memijah.

Secara berkala (setiap jam) induk dicek untuk melihat apabila terjadi
pemijahan. Apabila telah terjadi pemijahan, telur dan sperma diaduk pelan-
pelan dan dibiarkan selama 30 menit.

7. Penyaringan telur.

Telur hasil pemijahan yang telah dibuahi sperma kemudian disaring


menggunakan saringan bertingkat, yaitu saringan yang disusun bertumpuk
mulai dari bawah ke atas dengan ukuran 40 mm, 80 mm, 100 mm, dan 200
mm. Telur yang diambil adalah yang tersaring pada saringan 80 mm dan
100 mm.

8. Penghitungan jumlah telur.


Telur yang telah disaring ditempatkan pada wadah/kontener plastik. Jumlah
telur ditentukan dengan mengambil beberapa sampel (3-5 kali) dengan
volume sampel masing-masing 1 ml. Jumlah telur dalam wadah ditentukan
dengan menghitung volume air berisi telur (ml) dikalikan jumlah rata-rata
telur per ml.

9. Penempatan larva pada bak pemeliharaan

Telur yang telah menetas menjadi larva ditempatkan di dalam bak larva
yang telah ditumbuhi pakan diatom. Pemindahan larva dari wadah
penetasan ke dalam bak larva dilakukan 12 jam setelah pemijahan.

Secara ringkas teknik pemijahan siput mata bulan di UPT LPBIL Mataram
LIPI diilustrasikan pada Gambar 4 di bawah ini.
Gambar 4. Alur kegiatan pemijahan siput mata bulan (T. chrysostomus) di
UPT LPBIL Mataram LIPI

EMBRIOGENESIS

Telur yang sudah dibuahi akan mengalami proses embriogensis (Setyono,


2003, 2005, 2006b). Pembelahan sel tahap satu (dua sel) terjadi pada 45
menit setelah terjadi ferlitilasi. Pembelahan menjadi empat sel terjadi 15
menit kemudian. Pembelahan delapan sel terjadi setelah 30 menit
berikutnya. Stadium gastrula dicapai pada waktu 1 jam setelah stadium
multisel. Stadium trochophore terjadi dalam waktu yang lama dibandingkan
dengan tahapan sebelumnya yaitu sekitar 5 jam
setelah gastrula.Trochophore bergerak aktif untuk keluar dari cangkang dan
menjadi veliger 3 jam kemudian. Secara ringkas, tahapan embriogenesis
dan waktu yang diperlukan dapat dilihat pada Gambar 5 dan Tabel 1.

Gambar 5. Proses embriogenesis pada siput mata bulan (T. chrysostomus)

Tabel 1. Tahapan embriogenesis siput mata bulan (T. chrysostomus) dan


waktu yang diperlukan

No Tahapan Waktu setelah pemijahan/fertilisasi

1 Fertilisasi 0 jam

2 2 sel 45 menit
3 4 sel 60 menit (1 jam)

4 8 sel 1 jam 30 menit

5 16 sel 1 jam 45 menit

6 Multisel 2 jam 45 menit

7 Grastula 3 jam 45 menit

8 Trochophore 8 jam 45 menit

9 Veliger awal 11 jam 45 menit

PERKEMBANGAN EMBRIO ABNORMAL

Pada pemijahan yang dilakukan di Laboratorium dijumpai beberapa telur


yang mengalami perkembangan yang tidak normal. Beberapa
perkembangan yang tidak normal tersebut (Gambar 6) antara lain sel telur
yang belum matang, cangkang telur yang pecah dan sel telur yang rusak.
PENUTUP

Hasil kegiatan di UPT LPBIL Mataram LIPI menunjukkan bahwa siput mata
bulan dapat dipijahkan di Laboratorium dengan rangsangan pemijahan
berupa kombinasi aerasi kuat, rangsangan mekanik, dan desikasi. Telur
yang dikeluarkan oleh induk betina berhasil dibuahi oleh sperma induk
jantan yang disemprotkan ke kolom air lebih dahulu. Telur yang telah
dibuahi oleh sperma mengalami proses embriogenesis dan menetas
menjadi larva veliger sekitar 12 jam setelah pembuahan.

DAFTAR PUSTAKA

Abbot, R.T. & S.P. Dance, S.P. 1990. Compendium of seashell. Crawford
House Press, Bathurst, Australia. 411 p.

Arifin, Z. 1994. Siput Mata Bulan (Turbo chrysostomus); Habitat dan Siklus
hidup. Lonawarta : XVII (1) 1994. Halaman 1-8.
Dwiono, S.A.P & P C. Makatipu. 1997. Percobaan Pembenihan Turbo
chrysostomus.Seminar Kelautan LIPI-UNHAS Ambon 1997. Halaman 115-
120

Eisenberg, J.M. 1981. A collectors guide to seashells of the


world. Crescent Books. New York. 239 p.

FAO. 1998. The Living Marine Resources Of The Western Central Pacific
Volume 1 : Seaweeds, corals, bivalves and gastropods. Editor : Kent E.
Carpenter dan Volker H. Niem. Food and Agriculture Organization Of The
United Nations, Roma.

Setyono, D.E.D. 2003. Embryonic and early stage development of Turbo


chrysostomusL., 1758 (Mollusca: Gastropoda). Prosiding Seminar Nasional
Perikanan Indonesia 2003. Jakarta, 8-9 Oktober 2003. Makalah
Pendukung. Vol 4: 26-31

Setyono, D.E.D 2005. Abalone (Haliotis asinina L): 4. Embrionic and larval
development. Oseana, 30(1): 15-19.

Setyono, D.E.D. 2006a. Induction spawning for the tropical abalone


(Haliotis asinina) in the laboratory. Indonesiaan Aquaculture Journal, 1 (1) :
17 27.

Setyono, D.E.D. 2006b. Embryonic, larval and early juvenile growth of the
tropical abalone (Haliotis asinina) in laboratory. Torani, 16 (3) : 162 171.

Setyono, D.E.D. 2011. Teknik produksi benih abalon tropis. Oseana, 36 (3):
11-22
Setyono, D.E.D & S.A.P. Dwiono 2005. Feeding rate and growth of juvenile
green snail (Turbo marmoratus) fed by macroalgae. Prosiding Pertemuan
Ilmiah Tahunan ISOI 2003Jakarta 10-11 Desember 2003. p: 159-163

Setyono, D.E.D. & S.A.P. Dwiono, 2011. Pemijahan dan pemeliharaan


juvenil abalon tropis di laboratorium UPT LPBIL Mataram. Jurnal
Oseanologi, 3(1&2): 18-28

Wilson, B. 1983. Australian marine shells. Volume 1. Odyssey Publishing


Kallaroo, Western Australia. 408 p

WoRMS 2012. Turbo chrysostomus Linnaeus,


1758.http://www.marinespecies.org/aphia.php?p=taxdetails&id=216368 [dia
kses tanggal 10-02-2013]

Yamaguchi, M. 1993. Biology of the greensanil (Turbo marmoratus) and its


resource management. Workshop on Pacific Inshore Fisheries Resources
Working Paper no. 11.South Pacific Commission. Noumea, New Caledonia.
9p

Anda mungkin juga menyukai