Anda di halaman 1dari 12

PENDAHULUAN

Kawasan pesisir merupakan kawasan yang memiliki potensi sumberdaya hayati yang
beragam, diantaranya ekosistem mangrove, lamun, terumbu karang dan biota-biota laut yang
berasosiasi di dalamnya salah satunya gastropoda. dikarenakan hal tersebut tidak heran di daerah
pesisir hidup bermacam-macam biota laut, ada yang hidup menetap, ada pula yang hanya
bermigrasi dan berlindung dari anacaman predator, begitu pula dengan komunitas siput
gonggong di perairan.
Siput gonggong merupakan salah satu jenis gastropoda yang mendiami areal pasang surut
dengan substrat pasir berlumpur yang ditumbuhi lamun (Amini 1986). Hewan asli perairan Indo-
Pasifik banyak ditemui di perairan India-Srilanka, Selatan Jepang, Australia bagian Utara dan
Perairan Indonesia : Pulau Bintan, Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka. Siput gonggong ini
merupakan komoditi khas sehingga gonggong dijadikan maskot oleh Pulau Bintan. Pentingnya
siput gonggong sebagai komoditas utama di Pulau Bintanakan terkait dengan kelimpahan siput
gonggong yang tinggi. Secara ekologis komunitas gastropoda merupakan komponen yang
penting dalam rantai makanan di padang lamun, Beberapa jenis gastropoda merupakan hewan
dasar pemakan detritus tersuspensi di dalam air guna mendapatkan makanan (Tomascik et al.,
1997). Keberadaan lamun sebagai habitat siput gonggong sangat penting karena menyangkut
ketersediaan pasokan makanan yang berasal dari hancuran daun lamun (serasah) dan sebagai
lokasi pertumbuhan optimal.
Jumlah permintaan siput gonggong yang tinggi dengan cara berlebihan tanpa
memperhatikan keberlangsungannya dikhawatirkan menurunkan populasi siput gonggong akan
terus terjadi bahkan diprediksi akan terjadi kepunahan. Perlu adanya usaha dalam melestarikan
habitat melalui restoking dan pembudidayaan untuk mengurangi dampak dari adanya
pengambilan stok alam secara berlebih, mengingat masih banyaknya masyarakat yang belum
mengetahui keberadaan dan pemanfaatan siput gonggong. Agar didapatkan hasil yang optimal
maka perlu adanya penelitian dasar, dalam hal ini perlu diteliti kelimpahan siput gonggong di
habitatnya.
PEMBAHASAN
Slstematlk klaslllkasl slput gonggong adalah sebagal berlkut (Wye 1997utaml 2012):
Kingdom : Animalia
Filum : Moluska
Kelas : Gastropoda
Ordo : Neotaenioglossa
Famili : Strombidae
Cenus : Strombus
Siput gonggong merupakan salah satu spesies dari siput laut menengah, yang termasuk
dalam filum moluska dan berada dalam keluarga strombidae yang dianggap sebagai spesies
ekonomis penting di Indo-Pasifik Barat.Pada tingkat individu dewasa memiliki cangkang
berwarna coklat kekuningan atau emas dan abu-abu. Selain itu juga siput gonggong memiliki
karakteristik, yaitu cangkang menyerupai gasing dan tutup cangkang berbentuk sabit, mulut
cangkang (aperture) tumbuh melebar ke arah luar, lekukan stromboid terletak di sisi kanan
anterior cangkang, tepi cangkang bagian luar (outer lip) menebal, lapisan cangkangnya tebal,
permukaan gelung besar rata tanpa tonjolan atau lekukan, panjang maksimum cangkang dapat
mencapai 100 mm, tetapi umumnya berukuran 65 mm. Permukaan luar cangkang mulus, saluran
siphonal yang terdapat pada spesies ini berbentuk lurus, dan pendek, serta columella yang halus
dan benar-benar tanpa lipatan. Pada bagian tubuh yang tegak dengan beberapa alur spinal
anterior yang menegak berbentuk kerucut, berkerut, dan halus.
Cangkang siput gonggong lebih berfungsi sebagai alat gerak pengeruk substrat dan bela
diri atau mempertahankan diri daripada sebagai tutup cangkang, karena tidak menutup seluruh
daerah mulut cangkang (Yonge1976dalam Utami 2012).Pertumbuhan cangkang moluska sangat
dipengaruhi oleh ketersediaan bahan-bahan pembentuk cangkang, seperti kalsium karbonat
sebagai unsur makro, magnesium karbonat, silikat, fosfat, asam amino, seperti asam asparatik,
serine, alanine dan lainnya sebagai unsur mikro (Bevelander et al 1981).
Habitat dan Tingkah Laku Siput Gonggong
Habitat siput gonggong umumnya adalah substrat lumpur berpasir yang banyak
ditumbuhi tumbuhan bentik seperti lamun dan makro alga, mulai dari batas surut terendah hingga
kedalaman 6 meter (Abbott, 1960). Pemilihan habitat ini mengikuti ketersediaan makanan
berupa detritus dan makro alga serta kondisi lingkungan yang terlindung dari gerakan massa air
(Nybakken, 1988). Siput gonggong lebih bersifat epifauna atau hidup di atas permukaan substrat,
walaupun hewan ini juga memiliki kebiasaan membenamkan diri pada waktu-waktu
tertentu.Pemilihan ini dikarenakan kegiatan mencari makan dan reproduksi dilakukan di
permukaan substrat.Jenis siput laut ini memiliki tingkah laku dalam beberapa fase sebagai
berikut fase membenamkan diri ke dalam substrat, fase aktif mencari makan di permukaan
substrat, dan fase reproduksi. Siput gonggong akan membenamkan diri ke dalam substrat pada
saat pergerakan masaa air
Reproduksi dan Siklus Hidup Siput Gonggong
Menurut Barker (2001), banyak gastropoda alat kelaminnya terpisah, sehingga tiap
individu adalah dioseus dengan satu gonad yang terletak dekat apex. Secara umum Gastropoda
memiliki alat kelamin yang terpisah, begitu pula halnya dengan siput gonggong (Strombus
turturella). Penelitian tentang reproduksi siput gonggong belum banyak dilakukan baik di daerah
tropis maupun sub-tropis.Musim penangkapan siput gonggong di perairan P. Bintan Riau
mencapai puncaknya pada bulan Mei hingga Oktober (Amini, 1986). Menurut
Barnes(1994)dalam Siddik (2011), kebanyakan gastropoda bersifat dioseus dengan sebuah gonad
(ovari atau testis) terletak dekat saluran pencernaan dalam massa viseral (Gambar 2).
Gambar 2. Siput Gonggong jantan dan betina dewasa (Dody, 2009)
Ketika terjadi perkawinan, pembuahan terjadi di dalam, kemudian telur dibungkus semacam agar
dan dikeluarkan dalam bentuk rangkaian kalung, pita atau berkelompok, telur siput gonggong
berbentuk seperti rangkaian kalung (Gambar 3).
Gambar 3. Siklus Hidup Gonggong ( Dody, 2009 )
Stadium trochophore berlangsung didalam pembungkus telur dan menetas sebagai larva
veliger yang berenang bebas.Ciri khas larva veliger adalah mempunyai velum yang bersilia,
kaki, mata, dan tentakel.Velum berfungsi sebagai alat untuk berenang dan mengalirkan makanan
ke mulut karena veliger merupakan pemakan suspensi (Appeldorn, 1988).Pada akhir stadium
veliger kaki sudah cukup besar untuk merayap, maka larva turun ke substrat dan melakukan
metamorfosa.Velum hilang dan bentuk tubuh berubah seperti dewasa.
Saat metamorfosa merupakan saat yang paling kritis dalam daur hidup gastropoda
(Barnes1994dalam Dody 2007). Menurut Barker (2001) :
1) Fertilisasi telur (telur berdiameter 0,23 mm dan kuning telur berdiameter 0,18mm).
2) Fase trokofor yang mulai aktif berenang (19 jam setelah pemijahan).
3) Fase veliger muda (umur 29 jam dengan panjang 0,26 mm).
4) Fase veliger yang mulai aktif berenang dan sudah memiliki organ stigmas dan cephalic
tentakel (umur 2,5 hari dengan panjang 0,29 mm).
5) Fase veliger sempurna dalam tingkat pertumbuhan awal (umur 5 hari dengan panjang tubuh
0,29 mm).
6) Fase pertumbuhan memasuki stadia larva dan mulai membentuk cangkang peristomal (umur
13 hari).
7) Fase dewasa yang telah memiliki organ respirasi (140 hari dengan panjang tubuh 3,0 mm).
8) Fase selanjutnya membentuk cangkang muda (160 hari dengan panjang tubuh 3,7 mm).
9) Fase dewasa
Pada studi terbaru menunjukkan bahwa seksual dimorfirm terjadi padamasa-masa awal
selama saat ontogeny spesies.Siput gonggong jantanmencapai tingkat kematangan awal lebih
pendek ukurannya dibandingkansiput betina.Individu-individu mencapai dewasa pada saat bibir
luarnya sudahpadat atau tebal.Kebiasaan makan siput gonggong yang cenderung herbivoryaitu
memakan algae yang biasanya terdapat plada detritus (Cob et al., 2009).Menurut Sugiarti dkk
(2005), siput gonggong hidup sebagai depositfeeder, mempunyai probosis yang besar untuk
menyapu dan menyedot endapan di dasar perairan.
Pengolahan dan Nilai Gizi Siput Gonggong
Pengolahan siput gonggong hanya cukup direbus dengan dibubuhi sedikit garam. Di
restoran ataupun kaki lima, cara menyajikannya hanya dengan merebus, dan dimakan dengan
saos tomat ataupun sambal yang diberi kacang tanah ataupun bumbu lainnya untuk kemudian
dihidangkan dalam keadaan hangat. Untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang ada (pasir,
lumpur, lendir) maka penanganan sebelum diolah/direbus, dilakukan dengan cara menaruh lebih
dahulu di perairan yang bersih dengan menggunakan keranjang atau jaring.
Analisis kandungan nilai gizi Strombus turturellayang dilakukan pada Balai Penelitian
Teknologi Perikanan di Jakarta (Amini, 1986) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil penelitian nilai
gizi siput gonggong Kandungan
Gonggong segar (%) Gonggong rebus (%)
Air 85,47 80,79
Abu 2,51 1,45
Protein 9,77 15,38
Lemak 0,85 1,10
Garam 1,49 0,58
T.V.B. (mg.N %) 6,15 3,67
T.M.A. (mg.N %) 0,89 0,99
Karbohidrat Tidak dianalisa, karena terlalu kecil
Kebijakan Pengelolaan Siput Gonggong
Sampai saat ini pengaturan pemanfaatan secara lestari atau pengelolaan gonggong belum
ada.Tanpa adanyaupaya pengelolaan dikhawatirkan siput gonggong sebagai sumberdaya alam
dapat menurun atau menjadi langka seperti yang telah terjadi terhadap beberapa sumberdaya
alam laut lainnya. Dari aspek pengelolaan, potensi penurunan ini antara lain terlihat dari tidak
adanya pengaturan wilayah tangkap gonggong di lokasi studi. Dengan kata lain semua wilayah
menjadi daerah tangkap. Upaya penangkapan gonggong semakin tinggi dengan semakin
banyaknya jumlah gonggong dari tahun ke tahun.Cara penangkapan gonggong semakin
bervariasi dan intensif.Bila sebelumnya gonggong hanya ditangkap dengan menggunakan tangan
pada saat air surut, kini telah ada penggunaan pukat gonggong. Dikhawatirkan penggunaan pukat
ini akan menyebabkan tingkat pengambilan gonggong yang sangat intensif selain kerusakan
habitat lamun.
Meskipun pengambilan gonggong bukan sebagai sumber mata pencaharian utama
masyarakat, namun rata-rata pendapatan dari hasil penjualan cukup memadai sekitar Rp
1.000.000,00. Selain itu gonggong juga menjadi sumber makanan bagi masyarakat.Berdasarkan
hasil diskusi dengan kelompok-kelompok masyarakat diketahui bahwa ada keinginan untuk
mengelola gonggong melalui pembatasan ukuran tangkap, pengaturan penangkapan, dan
penggunaan alat tangkap, serta pembuatan daerah larang ambil sebagi sumber
pembibitan.Aturan-aturan pengelolaan ini diharapkan dapat dibangun dan disepakati secara
bersama antara pemerintah daerah dengan masyarakat, diformalkan melalui peraturan daerah dan
disosialisasikan ke masyarakat luas termasuk pengusaha gonggong dan pemilik restoran
(Laporan akhir DKPPKE Kota Tanjungpinang, 2012).
Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Siput Gonggong
(a) Substrat dasar dan sedimen perairan
Substrat merupakan tempat tinggal tumbuhan dan hewan yang hidup di dasar perairan atau di
permukaan benda yang ada di kolom perairan.Substrat juga berguna sebagai habitat, tempat mencari
makan, dan memijah bagi sebagian besar organisme akuatik. Menurut Hynes (1978) dalamHonata
(2010) faktor utama yang menentukan penyebaran, kepadatan, dan komposisi jenis bentik adalah
substrat dasar perairan, yaitu lumpur, pasir tanah liat berpasir, kerikil dan batu. Tipe substrat suatu
perairan akan mempengaruhi penyebaran, kepadatan, dan komposisi bentos.
Distribusi dan kelimpahan moluska dipengaruhi oleh diameter rata-rata butiran sedimen,
kandungan debu, liat, dan adanya kandungan cangkang-cangkang organisme yang telah mati dan
kestabilan substrat. Kestabilan substrat dipengaruhi oleh pengadukan substrat oleh alat
tangkap.Kelimpahan dan keanekaragaman jenis epifauna meningkat pada substrat yang banyak
mengandung cangkang organisme yang telah mati.Jenis-jenis dari kelas gastropoda dan bivalvia
dapat tumbuh dan berkembang pada sedimen halus, karena memiliki alat-alat fisiologi khusus untuk
beradaptasi pada lingkungan perairan yang memiliki tipe substrat berlumpur (seperti siphon yang
memanjang) (Discoll & Brandon, 1973 dalamPratami, 2005).
(b) Suhu
Suhu air dipermukaan dipengaruhi oleh curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu
udara, kecepatan angin, dan intensitas matahari.Suhu air di perairan Indonesia umumnya berkisar
antara 28-31 C.Suhu air di dekat pantai biasanya sedikit lebih tinggi daripada yang di lepas pantai
(Nontji, 2002).Suhu air pada lapisan permukaan memperlihatkan nilai yang lebih bervariasi daripada
suhu air pada lapisan yang lebih dalam.Suhu pada lapisan permukaan cenderung lebih hangat
daripada lapisan di bawahnya, dan maksimum suhu air teramati pada lapisan permukaan
(BAPPEDA, 2007). Menurut Dody (2007) bahwa siput gonggong hidup pada kisaran suhu antara
28,5-29,9 C.
(c) Salinitas
Salinitas adalah total konsentrasi dari seluruh ion terlarut dalam perairan yang dinyatakan
dalam satuan gr/kg atau . Salinitas mempunyai peranan penting dalam kehidupan organisme,
misalnya dalam distribusi biota akuatik. Penurunan salinitas di perairan estuari akan mengubah
komposisi dan dinamika populasi organisme. Tanggapan atau respon organisme terhadap kadar
salinitas berbeda-beda (Levinton, 1982 dalamIppah, 2007). Nilai salinitas di sekitar perairan
Teluk Klabat berkisar antara 24,95-32,73 PSU (BAPPEDA, 2007). Menurut (Dody2007) bahwa
siput gonggong pada kisaran salinitas antara 31,0-33,3 .
Menurut Venberg & Venberg (1972) bahwa salinitas optimum bagi bivalvia berkisar
antara 2-36 .Suhu dan salinitas merupakan parameter yang penting diukur, karena fluktuasinya
sangat tinggi, umumnya di daerah estuari.Fluktuasi alami salinitas di daerah pasang surut dapat
disebabkan oleh penguapan besar, curah hujan, dan berbagai aktivitas manusia, terutama di
daerah pesisir dekat muara sungai yang mengeluarkan sejumlah besar air tawar.Kelimpahan larva
menunjukkan hubungan dengan penurunan salinitas.
(d) Derajat keasaman (pH)
Toksisitas suatu senyawa kimia juga dipengaruhi pH.Senyawa ammonium yang dapat
terionisasi banyak ditemukan pada perairan yang memiliki pH rendah.Ammonium bersifat tidak
toksik (innocuous). Namun pada suasana alkalis (pH tinggi) lebih banyak ditemukan ammonia yang
tak terionisasi (unionized) dan bersifat toksik. Ammonia tak terionisasi ini lebih mudah terserap ke
dalam tubuh organisme akuatik dibandingkan dengan ammonium (Tebbut, 1992 dalamEffendi,
2003). Menurut Odum (1971) bahwa perubahan pH pada perairan laut biasanya sangat kecil, karena
adanya turbulensi massa air yang selalu menstabilkan perairan.
Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-
8,5. Nilai pH akan mempengaruhi proses biologi kimiawi perairan. Keanekaragaman bentos mulai
menurun pada pH 6-6,5 (Effendi, 2003). Sementara menurut Nybakken (1992) lingkungan perairan
laut yang memiliki pH yang bersifat relatif lebih stabil dan berada dalam kisaran yang sempit,
biasanya berkisar antara 7,5-8,4. Menurut Dody (2007) bahwa siput gonggong hidup pada kisaran pH
antara 7,60-7,67.
(e) Kekeruhan
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya
yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air.Kekeruhan disebabkan
oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir
halus) maupun bahan organik dan anorganik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (Davis
& Cornwell, 1991 dalamEffendi, 2003).Banyak organisme akuatik, khususnya filter feeder, tidak
dapat mentolerir konsentrasi bahan anorganik dalam jumlah yang besar (Wetzel, 2001 dalamHonata,
2010). Kriteria baku mutu air laut untuk biota laut pada kekeruhan menurut KEPMEN LH tahun
2004 adalah lebih dari 5 NTU.
(f) Oksigen terlarut (DO)
Oksigen terlarut yang terdapat dalam air laut berasal dari difusi udara dan fotosintesis
fitoplankton dan tumbuhan bentik.Kecepatan difusi oksigen dari udara ke dalam air sangat
lambat, sehingga fotosintesis fitoplankton merupakan sumber utama dalam penyediaan oksigen
terlarut di perairan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kelarutan oksigen antara lain suhu,
salinitas, pergerakan massa air, tekanan atmosfer, luas permukaan air, dan persentase oksigen
sekelilingnya (BAPPEDA, 2007). Kadar oksigen berfluktuasi tergantung pada proses
pencampuran, pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah yang masuk ke
dalam badan perairan (Effendi, 2003).
Penurunan oksigen terlarut secara temporer selama beberapa hari biasanya tidak
mempunyai pengaruh yang berarti karena moluska dapat melakukan metabolisme secara anaerob
namun metabolisme ini akan menyebabkan organisme kekurangan energi sehingga
mempengaruhi aktivitas lainnya seperti reproduksi dan pertumbuhan. Kadar oksigen terlarut
optimum bagi moluska bentik adalah 4,1-6,6 mg/l, sedangkan kadar minimal yang masih dalam
batas toleransi adalah 4 mg/l (Clark, 1974). Menurut Sutamihardja (1978) dalamBAPPEDA
(2007) kadar oksigen terlarut yang normal di perairan laut berkisar antara 5,7-8,5 mg/l.

Anda mungkin juga menyukai