Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kegiatan budidaya ikan baung (Mystus nemurus) selain bertujuan untuk
meningkatkan produksi ikan tersebut juga untuk mengatasi ketergantungan
masyarakat terhadap ikan baung yang berasal dari hasil penangkapan di alam,
yang cenderung menurun akibat tingginya penangkapan dan menurunnya daya
dukung perairan di mana ikan tersebut hidup (Noprimayanti, 2015).
Menurut Alawi (1995) untuk mempertahankan keadaan populasi ikan
baung, pembudidaya harus mengembangkan usaha budidaya ikan tersebut,
melalui penyediaan benih ikan baung yang berkualitas dengan jumlah yang
cukup. Masalah yang sering dihadapi dalam usaha pembenihan ikan adalah
tingginya tingkat mortalitas ikan pada saat fase larva. Seperti dinyatakan oleh
Djajadireja (dalam Hayati 2004) bahwa kematian ikan yang terbesar umumnya
terjadi sejak persediaan makanan pada kantong kuning telur habis sampai
berukuran benih.
Salah satu faktor yang menjadi penentu kelangsungan hidup dan
pertumbuhan larva ikan adalah pakan yang diberikan pada larva ikan (Agusnimar
et al., 2015). Untuk mengatasi hal itu larva ikan perlu diberi pakan yang cocok
untuk larva ikan baung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aryani, dkk
(2013) cacing sutera merupakan pakan alami yang terbaik untuk kelangsungan
hidup dan pertumbuhan larva ikan baung berumur 5-40 hari yang terbaik.
Cacing ini sangat dibutuhkan oleh ikan terutama fase larva, karena
nutrisinya sangat tinggi. Di dalam tubuh cacing sutera terkandung protein sekitar
57 % dan lemak 13 % serta dapat mempercepat pertumbuhan dan kelangsungan
hidup larva ikan baung (Mahmud, 2013).
1

Untuk meningkatkan kelangsungan hidup larva ikan, pakan yang diberikan


harus ditambah dengan nutrien lainnya, seperti dikemukan oleh Umbas (dalam
Setiawati 2013) bahwa peningkatan kelangsungan hidup ikan pada stadia larva
dapat dilakukan dengan menambahkkan nutrien pada pakan dengan cara
perendaman yang disebut pengayaan atau bioenkapsulasi. Disamping itu pakan
yang diberikan harus bersih dari pathogen.
Melalui bioenkapsulasi ini diharapkan makanan (cacing sutera) yang
diperkaya dengan nutrient tertentu mampu meningkatkan daya tahan (imunitas)
tubuh ikan, sehingga dapat mengatasi berbagai serangan pathogen (Trilia, 2013),
dan membersihkan cacing sutera dari patogen
Beberapa jenis herbal sudah digunakan sebagai bioenkapsulasi diantaranya
adalah jintan hitam untuk ikan mujair mujair (Yilmaz, 2013); ikan nila (Wafaa. et
al, 2014), dan ikan kakap putih (Fauzy, 2013) sementara pemanfaatan Jintan
hitam untuk larva ikan baung belum pernah dilakukan.
Jintan hitam adalah zat organik yang diperlukan tubuh biota budidaya
dalam jumlah yang sedikit tetapi sangat penting untuk kondisi tubuh. Jintan hitam
adalah zat organik yang mengandung asam lemak essensial, ascorbat acid, dan
kandungan kimia. Diharapkan kandungan zat pada Jintan hitam mampu
mendukung kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan baung. Oleh karena itu
bahan organik pada jintan hitam yang dikaji ternayata sangat baik untuk
kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva ikan.
Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian
Kelangsungan hidup dan Pertumbuhan larva ikan baung (M. nemurus) yang
diberi cacing sutera (T. tubifex) yang direndam dalam larutan jintan hitam (Nigella
sativa).
1.2. Rumusan Masalah

Alasan penelitian ini dilakukan yaitu untuk menjawab masalah:


a. Apakah ada pengaruh dosis jintan hitam terhadap kelangsungan hidup
dan pertumbuhan larva ikan baung (Mystus nemurus)
b. Berapakah dosis terbaik yang diberikan untuk kelangsungan hidup dan
pertumbuhan larva ikan baung (M. nemurus)
1.3. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini perlu adanya pembatasan masalah agar dapat terarah
dan tidak menyimpang dari maksud dan tujuan yang telah ditetapkan. Batasan
masalah atau ruang lingkup penelitian ini adalah:
a. Hanya membahas pengaruh dosis yang optimum jintan hitam terhadap
kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva ikan baung (M. nemurus).
b. Oleh sebab baru pertama kali dilakukan sehingga pembahasan tentang
penentuan dosis, teknik pemberian dan penentuan jumlah belum dapat
ditentukan. Oleh karenanya belum dapat dipastikan teknik dan metoda
yang tepat/terbaik.
1.4. Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dosis jintan hitam yang terbaik
untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva ikan baung (M. nemurus) yang
diberi cacing sutera (T.tubifex) yang telah direndam dalam larutan jintan hitam.
Adapun manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
tentang kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva ikan baung yang diberi cacing
sutera (T.tubifex) yang telah direndam dalam larutan jintan hitam.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Morfologi Ikan Baung (Mystus nemurus)
Ikan baung diperkenalkan oleh Erlangga (2007) secara lengkap
mengklasifikasikan ikan baung dengan domain Eukaryota, kingdom Animalia,
subkingdom Bilateria, branch Deuterostomia, infrakingdom Chordonia, phylum
Chordata, subphylum Vertebrata, infraphylum Gnathostomata class Osteichthyes,
subclass Actinopterygii, infraclass Actinopteri, superdivision Neopterygii, division
Halecostomip,

subdivision

Teleostei,

infradivision

Elopocephala,

cohort

Clupeocephala, subcohort Otocephala, order Siluriformes, family Bagridae,


genus Hemibagrus, spesies Hemibagrus nemurus. Selanjutnya Saanin (1968)
mengklasifikasikan ikan baung dengan spesies Macrones nemurus, dan menurut
Imaki (dalam Tang 2007) ikan ini dimasukkan dalam genus Mystus dengan
spesies Mystus nemurus.
4

Ciriciri ikan baung dapat dilihat dari fisiknya yaitu badan panjang dan
tidak mempunyai sisik, memiliki sirip lemah yang panjangnya sama dengan sirip
dubur. Panjang totalnya 5 kali tinggi atau 3-3,5 kali panjang dan kepala. Ikan ini
mempunyai empat pasang sungut peraba, sirip punggung mempunyai 7 jari-jari.
Sirip dada mempunyai 8-9 jari-jari, sedangkan sirip ekor 11-12 jari-jari, kepala
besar dengan warna tubuh abu-abu kehitaman, punggung lebih gelap serta perut
lebih cerah, panjang tubuhnya bisa mencapai 50 cm (Tang et al., 2000).
Bentuk tubuh ikan baung memanjang, agak pipih, dan tidak bersisik. Di
bagian sirip dadanya terdapat tulang tajam dan bersengat yang berfungsi seperti
patil, yaitu sebagai senjata pembela diri, sirip ekor bercagak (bercabang)
mempunyai sirip punggung tambahan berupa sirip lemah yang terletak terpisah
antara sirip punggung dan sirip ekor dan mempunyai empat pasang sungut
(kumis) yang fungsinya sebagai alat peraba dan sungut rahang atas panjangnya
hampir melewati sirip dubur (Suraidah, 1992).
Ikan baung adalah ikan asli Indonesia. Ikan ini banyak hidup di air tawar.
Daerah yang paling disukai adalah perairan tenang, bukan air deras, karena itu
ikan baung banyak ditemukan di rawa-rawa, danau-danau, dan perairan yang
tenang lainnya (Rukmini, 2012).
Ikan baung merupakan ikan yang termasuk ordo ostariophysi yang hidup di
air tawar dan menyenangi hidup di dasar perairan. Suyanto (1994)
mengemukakan bahwa ikan yang termasuk genus Pangasius (patin), Siluridae
(selais), Claridae (lele) dan Macrones (baung) merupakan ikan yang berkumis dan
lebih menyenangi atau lebih suka hidup di perairan tawar yang tidak terlalu deras
atau perairan seperti danau, waduk telaga, rawa, serta genangan air seperti kolam.

Menurut Kuncoro (2010) menyatakan bahwa ikan baung merupakan ikan


benthopelagik, berada dihampir semua massa air. Melihat adanya sungut, daerah
dasar tetap menjadi prioritasnya. Madsuly (dalam Firdaus 2002), bahwa ikan
baung hidup di air tawar, terutama di sungai-sungai yang bercadas aron (cadas
yang tidak keras dan rapuh). Di kolam yang berdasar pasir dan batuan juga
tumbuh dengan baik, lebih-lebih jika airnya mengandung cukup bahan organik
yang dapat dimakan.
Rukmini (2012) mengemukakan ikan baung dapat hidup pada ketinggian
sampai 1.000 m dpl, hidup baik pada suhu antara 24-29 oC, derajat keasaman (pH)
antara 6,5-8, kandungan oksigen 4 ppm, dan air yang tidak terlalu keruh dengan
kecerahan pada pengukuran alat secchi disk.

Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi ikan yang


dipelihara, pada garis besarnya dapat dilihat dari faktor ineternal (biologi), dan
eksternal (lingkungan). Faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi ikan
yaitu padat tebar, makanan, sirkulasi air, dan jenis ikannya (Alawi, 1995).
2.2 Larva Ikan Baung (M. nemurus)
Larva ikan baung yang bersifat karnivora (pemakan daging) dan bukaan
mulutnya agak kecil memerlukan pakan alami jenis zooplankton yang
dimanfaatkan pada saat pertama kali makan. Karena bukaan mulut pada larva ikan
baung ini sangat kecil sehingga makanan yang dapat dikonsumsi adalah cacing
sutera (T.tubifex), sebab cacing sutera mempunyai nilai gizi yang sangat tinggi.
Dalam menghasilkan larva ikan baung kita harus mempunyai kualitas dan
kuantitas larva ikan yang memadai yang merupakan salah satu faktor penentu

keberhasilan budidaya, dimana ada dua cara untuk mendapatkan larva ikan baung
baik yaitu dengan cara penangkapan dari alam atau dan melakukan pemijahan
secara alami atau buatan (Sumantadinata, 1983).
Asnawi (1987) mengatakan bahwa faktor makanan mempunyai peranan
yang sangat penting bagi pertumbuhan individu. Untuk merangsang kelangsungan
hidup dan pertumbuhan ikan yang optimal diperlukan jumlah dan mutu makanan
yang tersedia dalam keadaan yang cukup.
Mudjiman (dalam Rosyadi dan Rasidi 2014) menjelaskan kandungan gizi
dari makanan untuk ikan secara umum meliputi, kadar protein 20-60 % dan
kandungan lemak antara 4-18 %, serat karbohidrat antara 10-15 %, kemudian
vitamin dan mineral berkisar 1 %. Karena harus sesuai dengan bukaan mulut pada
larva ikan maka bahan atau pakan yang digunakan harus mempunyai kandungan
gizi yang tinggi oleh karena itu cacing sutera merupakan pakan alami yang sesuai
dengan bukaan mulutnya dan kandungan gizinya pun lebih tinggi. Dimana
komposisi pada cacing sutera (T. tubifex) dapat disajikan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Komposisi Kandungan Cacing Sutera (T.tubifex) didalam Tubuh
Keterangan
Jumlah (%)
Lemak
13 %
Protein Kasar
Karbohidrat

65 %
20,3 %

Bahan Abu

5,3 %

Leusin

11,5 %

Prolin

5,6 %

Tyrosin

3,9 %

Arginin

8,9 %

Sumber: Pennak (1978)


Oleh sebab itu cacing sutera (T.tubifex) adalah pakan yang baik yang
diberikan untuk larva ikan untuk mempercepat pertumbuhannya.
7

Mudjiman (2008) berpendapat makanan merupakan faktor penting yang


menentukan keberhasilan budidaya ikan. Pemberian pakan yang efektif dan
efisien, dalam arti jenis, dan waktu pemberian yang tepat akan menghasilkan
pertumbuhan ikan yang optimal. Menurut Tang et al., (2000) ikan baung termasuk
ikan pemakan segalanya (Omnivora) dengan kecenderungan memakan anak ikan,
udang, remis, cacing-cacing dan rumput lunak atau mengarah ke pemakan daging
(Carnivora).
Kono (dalam Panjaitan 1996) menyatakan jumlah pakan yang diberikan
pada ikan tergantung ukuran ikan, pada jenis yang sama, ikan yang berukuran
kecil membutuhkan pakan yang relatif lebih banyak dibandingkan ikan berukuran
besar. Hal ini disebabkan karena ikan berukuran kecil mempunyai kisaran
metabolisme yang lebih banyak untuk mempertahankan berat satuan dari bobot
tubuhnya.
Cruz (dalam Susanto 1995) mengemukakan frekuensi pemberian pakan
paling sedikit dilakukan 3 kali sehari dengan rentang waktu yang sama.
Tampubolon (1989) menegaskan bahwa pemberian makanan yang sering dalam
jumlah pakan yang sedikit untuk tiap kali pemberian lebih menguntungkan bagi
ikan dari pada dalam jumlah yang banyak tetapi jarang, selanjutnya Suryanti
(dalam Susanto 1995) menyatakan bahwa pemberian makanan terhadap ikan
dengan frekuensi tinggi yaitu 5 kali sehari lebih baik dari pada pemberian pakan
dengan frekuensi rendah yaitu 2 kali sehari (pagi dan sore).
2.3 Jintan Hitam (Nigella sativa)
Nigella sativa atau yang di Indonesia dikenal dengan nama jintan hitam
adalah suatu tanaman obat dengan biji hitam yang berasal dari kawasan

Mediterania. Jintan hitam kini telah banyak ditanam di berbagai belahan dunia.
Jintan hitam juga dikenal dengan nama-nama lain seperti Black cumin atau Black
Seed, Habbatul Baraka (Inggris dan Amerika Serikat); Kalonji, Azmut, Gurat,
Aof, dan Aosetta (Urdu, Hindi, Srilangka); Syuniz, Shonaiz, Al-Habbah AlSawada, Habbet el-baraka dan Khondria (Persia dan Pakistan). Taksonomi N.
Sativa adalah:
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Magnoliophyta

Kelas

: Magnoliopsida

Ordo

: Ranunculales

Famili

: Ranunculaceae

Genus

: Nigella

Spesies

: Nigella sativa

Tanaman ini mempunyai tinggi sekitar 20-30 cm. Tanaman yang juga
dikenal dengan nama black seed ini mempunyai bunga yang lembut dengan 5-10
kelopak dan biasanya berwarna biru atau putih. Bagian dari jintan hitam yang
sering digunakan sebagai obat tradisional adalah bijinya. Biji tanaman ini secara
tradisional telah digunakan selama berabad abad di Timur Tengah, Afrika Utara,
dan India, untuk mengobati asma, batuk, influenza, eksim, dan obat cacing
(Salem, 2005).
Saat ini, jintan hitam (N. sativa) telah dilaporkan memiliki banyak efek
farmakologi termasuk anti parasit (anti helmintik, anti cestoda dan anti
schistosoma, serta memiliki efek antimikroba), anti bakteri, anti fungi, antivirus,
anti oksidan, anti inflamasi dan telah menunjukkan aktivitas dalam meningkatkan
respon imunitas berperan antara sel (Fatmawati, 2009)
9

2.3.1 Kandungan Kimia pada Jintan Hitam (Nigella sativa)


Kandungan kimia jintan hitam (N. sativa) bermacam-macam dan terdiri atas
asam amino, protein, karbohidrat, minyak atsiri dan volatile, alkaloid, saponin,
dan banyak kandungan lain. Sedangkan minyak jintan hitam (N. sativa) memiliki
kandungan zat aktif. Thymoquinone adalah zat aktif utama dari minyak atsiri
jintan hitam (N. sativa). Karena thymoquinone sangat besar jumlahnya (27.8 % 57.0 %) (Kokdil dan Yilmaz 2005), dan konstituen utama dari ekstrak biji
Habbatussauda adalah thymoquinone (Aboul dan Ela, 2002). Sebagian besar
aktivitas farmakologis jintan hitam dikaitkan dengan keberadaan thymoquinone.

Tabel 2.2 Komposisi Kimia Jintan hitam


N
Komposisi Habbatussauda
o
1.
Carvone
2.
Alfa pinene
3.
Beta pinene
4.
Sabine
5.
p-cymene
6.
Asam lemak
Sumber : (Rajsekhaar dalam Salma 2014)
Tabel 2.3 Nilai Gizi Jintan hitam
No
Nilai gizi
1.
Protein
2.
Karbohidrat
3.
Lemak
4.
Mineral
Sumber : (Rajsekhaar dalam Salma 2014)

Jumlah (%)
16,5
7,4
7,5
5,5
29,4
33,2

Jumlah %
21
35
38
6

Dengan adanya jumlah serta kandungan kimia yang ada dalam jintan hitam
(N. sativa) atau kandungan asam lemak essensial yang ada dalam jintan hitam
yaitu linoleat dan oleat dapat membantu sistem kekebalan tubuh serta
kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva ikan tersebut. Berbagai bahan herbal
digunakan dalam pencegahan penyakit, kelangsungan hidup dan pertumbuhan.
10

Bahan herbal difungsikan dalam memicu sistem imun non spesifik ikan sehingga
mampu menahan serangan akibat bakteri serta peningkatan kelangsungan hidup
dan pertumbuhan. Salah satu bahan alami yang digunakan untuk pengganti adalah
jintan hitam (N. sativa) (Permata, 2009).
Jintan hitam berpengaruh menguatkan fungsi kekebalan tubuh, dimana
kadar sel-sel T pembantu meningkat dibandingkan sel-sel T penekan dengan
perbandingan rata-rata 72 % serta terjadi peningkatan aktivitas sel-sel pembunuh
alami rata-rata 75 % (Anonim, 1986).

2.3.2 Manfaat Jintan Hitam (N. sativa)


Analisis dan publikasi studi yang telah dilakukan di beberapa negara
menyatakan bahwa (N. sativa) dapat digunakan sebagai anti oksidan, anti
diabetes, anti kolesterol, anti kanker, anti peradangan, anti histamin, anti asma
bronkial, anti infeksi bakteri, virus dan parasit dan dapat digunakan sebagai
immunomodulator. Thymoquinone yang merupakan kandungan utama dari (N.
sativa) dilaporkan menunjukkan efek proteksi terhadap hepar yang ditunjukan
dengan terjadinya penurunan aktivitas enzim alkaline phosphatase dan aspartate
aminotransferase.
Mekanisme kerja Jintan hitam sebagai imunostimulan adalah melalui
imunitas non-spesifik yaitu dengan meningkatkan aktivitas sel natural killer (NK),
dimana manfaat dari imunostimulan adalah untuk meningkatkan ketahanan tubuh
ikan itu sendiri. Sel NK merupakan sel yang berperan dalam mengenali dan
menghancurkan sel abnormal ketika sel tersebut muncul di jaringan perifer. Jintan
hitam sebagai imunostimulan melalui imunitas spesifik mampu meningkatkan
11

rasio antara sel T helper (Th) dengan sel T suppressor (Ts), sel (Th) berfungsi
sebagai membantu atau mengontrol sistem imun spesifik sedangkan sel (Ts)
berfungsi sebagai menghentikan respon imun (Ahmad, 2013).
2.3.3 Sistem Imun pada Ikan

Sistem imun merupakan sistem pertahanan tubuh terhadap lingkungan.


Imunostimulan adalah sistem pertahanan tubuh, Imunitas atau kekebalan adalah
kemampuan organisme untuk melawan semua jenis organisme atau toksin yang
cenderung merusak jaringan atau organ Fujuya (2002). Secara sederhana,
imunostimulan merupakan suatu substan yang merangsang atau meningkatkan
sistem imun dengan berinteraksi secara langsung dengan sel-sel yang
mengaktifkan sistem imun (Gannam and Schrok, 2001).
Imunostimulan dapat berupa bakteri dan produk bakteri, yeast, kompleks
karbohidrat, faktor nutrisi, ekstrak hewan, ekstrak tumbuhan, dan obat-obatan
sintetik Cook et al., (2003). Jintan hitam dapat memperkuat sistem kekebalan
tubuh dari serangan virus, bakteri dan kuman. Dengan kandungan utama Jintan
hitam yaitu tymoquinone dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh untuk
pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan baung (Anonim, 1986)
Jintan hitam mempunyai unsur sapion yang berfungsi sebagai kortikosteroid
yang dapat mempengaruhi lemak, karbohidrat, dan protein. Sapion juga berfungsi
untuk mempertahankan diri dari lingkungan sekitar (Potchestroom, 1989), oleh
karena itu dapat dikaitkan dengan larva ikan baung, oleh sebab itu penambahan
Jintan hitam yang memiliki unsur sapion untuk mempertahankan diri dari
perubahan lingkungan. Agar kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva ikan
menjadi meningkat.

12

Mardiana (2011) menyatakan bahwa Jintan hitam banyak mengandung asam


lemak, yang merupakan asam lemak yang banyak terdapat di alam dan secara
khusus banyak terkandung pada jintan hitam. Apabila tubuh kekurangan asam
linoleat dapat menimbulkan gangguan metabolisme yang menyebabkan
pertumbuhan terhambat, dermatitis, dan gangguan reproduksi (Widjaja dan
Utomo, 2007).
2.4 Pertumbuhan
Pertumbuhan adalah perubahan ukuran baik berat, panjang maupun volume
sesuai dengan pertambahan waktu. Pertumbuhan seekor ikan dapat dilihat dari
pertambahan panjang badan dan kenaikan bobotnya maka untuk mengetahui
normal atau tidaknya pertumbuhan ikan peliharaan, sebaiknya mengukur panjang
dan berat bobot ikan (sejumlah sampel saja, sebanyak 5-10 ekor dari jumlah ikan
peliharaan setiap kali sebelum penebaran Soesono (dalam Apriadi, 2005).
Effendi (2003) mendefinisikan pertumbuhan pada tingkat individu dan
populasi sebagai proses perubahan ukuran panjang, berat, atau volume pada
periode waktu tertentu (level individu). Pada level populasi pertumbuhan
didefinisikan sebagai proses perubahan jumlah individu/ biomassa pada periode
waktu tertentu. Selanjutnya Setiaji (2007) menambahkan laju pertumbuhan adalah
persentase pertambahan berat makhluk persatuan waktu. Laju pertumbuhan akan
menurun akan mempengaruhi kebutuhan energi. Jumlah energi yang digunakan
untuk pertumbuhan tergantung pada jenis ikan, umur, kondisi lingkungan dan
komposisi makanan.
Huet (1973) menyatakan bahwa pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor
internal yang meliputi keturunan, umur, ketahanan terhadap penyakit dan

13

kemampuan untuk memanfaatkan makanan buatan, sedangkan faktor eksternal


meliputi suhu air, besarnya ruang gerak, kualitas air, jumlah dan mutu makanan.
Suhenda (1993) menyatakan pemberian ransum harian yang tepat pada ikan
untuk mencapai pertumbuhan yang optimal adalah sebesar 30 %. Jumlah makanan
yang akan diberikan pada ikan haruslah disesuaikan dengan jumlah ikan yang
sedang dipelihara, jika jumlah makanan yang diberikan terlalu sedikit dapat
mempengaruhi pertumbuhan ikan yang sedang dipelihara.
Kecepatan pertumbuhan tergantung jumlah makanan yang diberikan, ruang,
suhu, dalamnya air dan faktor-faktor lain. Makanan yang dimanfaatkan oleh ikan
pertama sekali dimanfaatkan untuk memelihara tubuh dan mengganti alat-alat
tubuh yang rusak, setelah itu kelebihan makanan yang tersisa baru digunakan
untuk pertumbuhan (Asnawi, 1987).
Menurut Sulastri (2006) bahwa kebutuhan energi pada ikan ditentukan oleh
umur, temperatur, ukuran ikan, tipe makanan, aktivitas fisiologis, komposisi
makanan dan tingkat kelaparan ikan. Selanjutnya Tang (2003) menegaskan
pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kualitas
air dan kualitas pakan yang diberikan. Aspek kebutuhan gizi pada ikan sama
dengan makhluk hidup lain, yaitu protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan
mineral agar dapat melakukan proses fisiologis dan biokimia selama hidupnya.
Selanjutnya Mudjiman (2008) menyatakan bahwa jumlah energi yang
digunakan untuk pertumbuhan tergantung pada jenis ikan, umur, kondisi
lingkungan dan komposisi makanan. Semua faktor tersebut akan berpengaruh
dalam proses metabolisme standar, serta protein sangat diperlukan oleh tubuh
ikan. Bagi ikan protein merupakan sumber tenaga yang paling utama, mutu
protein dipengaruhi oleh sumber asalnya serta kandungan asam aminonya. Protein
14

nabati terbungkus didalam dinding selulosa yang memang sukar dicerna. Selain
itu kandungan asam amino esensialnya dari protein nabati umumnya kurang
lengkap dibandingkan dengan protein hewani.
Yilmaz et al., (2013) telah melakukan penelitian dengan tujuan untuk
mengetahui pengaruh tepung jintan hitam sebagai pakan tambahan terhadap
performan pertumbuhan dan resistensi penyakit pada awal makan ikan mujair
(Oreochromis mossambicus). Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa tepung
jintan hitam bisa digunakan untuk mendorong pertumbuhan dan meningkatkan
pemanfaatan makanan dan pertambahan berat larva ikan mujair, di samping itu
bisa juga digunakan sebagai agen antimikroba (antimicrobial agent) selama fase
awal larva ikan mujair (O.mossambicus).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wafaa et al., (2014)
tentang pengaruh penambahan biji jintan hitam, teh hijau dan ektrak propolis
terhadap parameter pertumbuhan, komposisi tubuh serta efisiensi ekonomi ikan
nila, ditemukan bahwa bahwa berat akhir, pertambahan berat, konversi pakan naik
secara signifikan pada ikan nila yang diberi biji jintan hitam di ikuti oleh ekstrak
propolis dan teh hijau. Dari hasil penelitian ini juga ditemukan bawah
penambahan zat tersebut dalam pakan ikan dapat menunjukan peningkatan
produksi yang efisien secara ekonomis dibandingkan dengan kontrol.
2.5 Kelangsungan hidup
Kelangsungan hidup merupakan perbandingan antara jumlah ikan yang
hidup pada akhir pemeliharaan dengan jumlah ikan yang ada pada awal
pemeliharaan. Dalam budidaya mortalitas merupakan penentu keberhasilan usaha
tersebut (Setiaji, 2007).

15

Tingkat kematian larva (juvenil) merupakan masalah yang selalu dihadapi


dalam usaha budidaya ikan menurut (Sumantadinata, 1983). Kelangsungan hidup
merupakan perbandingan antara jumlah ikan hidup pada akhir pemeliharaan
dengan awal pemeliharaan (Effendi, 1997)
Effendi (2003) menyatakan bahwa kelangsungan hidup merupakan
perbandingan antara jumlah ikan yang hidup pada akhir pemeliharaan dengan
awal pemeliharaan. Menurut Sumantadinata (1983) tingkat kematian larva
merupakan masalah yang selalu dihadapi dalam usaha budidaya ikan.
Harris (1992) faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup (survival)
ialah faktor internal dan faktor eksternal, faktor internal adalah ikan itu sendiri,
spesies keturunan fisiologisnya, sedangkan faktor eksternal yaitu kualitas air,
suhu, kekeruhan, pH, DO,NH3 dan makanan. Selanjutnya Wilson (dalam Kurnia
2012) berpendapat bahwa tersedianya makanan yang cukup dan sesuai bagi ikan
yang

dipelihara

diharapkan

dapat

mencegah

terjadinya

kelaparan

dan

memperkecil angka kematian.


Menurut Sukma (dalam Sulastri 2006) benih ikan mati selama pendederan
dapat mencapai 50 %-60 % yang disebabkan oleh kurangnya makanan alami yang
sesuai bagi benih ikan serta adanya hama dan penyakit.
2.6 Kualitas Air
Kualitas air merupakan parameter yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
dan kelangsungan hidup organisme perairan. Dalam budidaya ikan, secara umum
kualitas air dapat diartikan sebagai perubahan (variabel) yang mempengaruhi
pengelolaan, kelangsungan hidup produktivitas ikan yang dibudidayakannya. Jadi

16

perairan yang terpilih haruslah yang memenuhi syarat bagi kelangsungan hidup
dan pertumbuhan ikan yang dibudidayakan.
Djatmika (dalam Boy 2005) mengemukakan kualitas air merupakan faktor
yang paling penting dalam budidaya intensif selain sebagai media hidup bagi ikan
kadang ada air yang nampaknya bersih, ternyata sudah dikategorikan kotor. Hal
ini dikarenakan pada bagian dasar wadah terdapat sisa pakan yang membusuk dan
menjadi amoniak. Asnawi (1987) menyatakan amoniak merupakan hasil
perombakan asam-asam amino oleh berbagai jenis bakteri aerob maupun anaerob.
Kualitas air adalah variabel yang dapat mempengaruhi kehidupan ikan serta
biota air lainnya. Variabel tersebut meliputi sifat-sifat kimia air seperti kandungan
oksigen, pH, karbondioksida, amoniak, dan alkalinitas. Selain sifat-sifat kimia air
juga meliputi sifat-sifat fisika dan biologi seperti suhu, kekeruhan, warna serta
jumlah plankton atau binatang air lainnya (Khairuman dan Amri, 2008).
Susanto (1991) menyatakan perairan sebagai tempat lingkungan hidup ikan,
kualitas lingkungan perairan memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap
pertumbuhan ikan, dimana suhu yang terbaik adalah 25-32C dengan perbedaan
suhu siang dan malam tidak melebihi 5C, kadar O2 terlarut berkisaran antara 6,78,6 ppm, sedangkan pH berkisaran antara 6,5-7,5.
Menurut Kordi dan Tancung (2007) oksigen yang dibutuhkan untuk
pernapasan biota budidaya tergantung ukuran, suhu dan tingkat aktivitasnya dan
batas minimumnya adalah 3 ppm atau mg/l. Kandungan oksigen di dalam air yang
dianggap optimum bagi budidaya air adalah 4-10 ppm.
Menurut Susanto (2009) pH air yang optimum adalah 6,7-8,6 atau berkisar
antara 4,9, oksigen terlarut berkisar antara 5-6 ppm, phospat lebih kecil dari 0,02
ppm dan kandungan NH3 kurang dari 1,5 ppm. Sedangkan Tang (2003)
17

menyatakan pH air yang optimum bagi ikan baung 4-11, oksigen terlarut 1-9 ppm,
salinitas 0-12 ppt dan alkalinitas lebih kecil dari 16 ppm.
Menurut Kordi dan Tancung (2007) penyebab timbulnya amoniak dalam air
tambak atau kolam adalah sisa-sisa dari ganggang yang mati, sisa pakan, dan
kotoran budidaya itu sendiri.

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Balai Benih Ikan Fakultas Pertanian
Universitas Islam Riau pada Bulan Februari-Maret 2016.
3.2 Bahan dan Alat Penelitian
3.2.1 Bahan
a) Ikan uji
Ikan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva ikan baung
berumur 7 hari panjang 0,8 cm dan berat 0,9 gr yang berasal dari hasil pemijahan
buatan induk ikan baung di Balai Benih Ikan (BBI) Fakultas Pertanian Universitas
Islam Riau jumlah seluruh larva yang digunakan sebagai ikan uji dalam penelitian
ini adalah 750 ekor.
b) Cacing Sutera (T. tubifex)
Cacing sutera yang digunakan sebagai pakan ikan uji dalam penelitian ini
diperoleh dari pengumpul yang dicari di sungai sail. Cacing sutera yang diberikan
kepada ikan uji dalam bentuk utuh.
18

c) Jintan hitam (N. sativa)


Jintan hitam yang digunakan adalah serbuk yang sudah dikemas di dalam
kapsul, yang didapat di apotek. Dengan merek dagang Habbatussauda merek
Kurma Ajwa. Jumlah kapsul dalam satu botol tersebut 120 kapsul.
3.2.2 Wadah dan Media Penelitian
Wadah yang digunakan dalam penelitian ini berupa toples plastik
berkapasitas 10 liter, di dalam wadah tersebut diisi air sebanyak 5 liter sebagai
media penelitian. Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah air sumur bor
yang ada di Balai Benih Ikan Fakultas Pertanian Universitas Islam Riau. Sebelum
digunakan air diendapkan terlebih dahulu setelah itu air di masukan ke dalam
wadah penelitian kemudian disaring dan diberi aerasi.
3.2.3 Alat Penelitian
Berbagai peralatan digunakan dalam penelitian ini, baik untuk mengukur
berat dan panjang ikan maupun untuk mengukur kualitas air. Adapun jenis alat
yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Jenis Peralatan yang di Gunakan Selama Penelitian.
No
Alat
Kegunaan
1. Timbangan digital
Menimbang bobot ikan dan pakan
2. pH indikator universal
Mengukur pH air
3. Termometer air raksa
Mengukur suhu air
4. Tabung ukuran 10 ml
Untuk mengukur air
5. Tangguk besar dan kecil
Menangkap larva ikan
6. Aerasi
Mensuplai kadar oksigen
7. DO meter merk Martini
Mengukur oksigen terlarut dan NH3
8.
9.
10
.

Penggaris
Blower
Aqua gelas 3 buah

Mengukur panjang ikan uji


Mesin pengatur oksigen
Untuk wadah proses persiapan pakan

3.3 Metode Penelitian

19

3.3.1

Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menyiapkan wadah, ikan uji, pakan ikan uji

sebagai perlakuan dan pengumpulan data. Prosedur untuk masing-masing


kegiatan adalah sebagai berikut :
1. Persiapan Wadah Penelitian
Sebelum penelitian dilakukan, wadah yang digunakan dalam penelitian ini
dibersihkan. Setelah itu barulah wadah penelitian diisi dengan air, kemudian
dilakukan aerasi selama 3 hari sebelum larva ikan dimasukan. Pekerjaan
selanjutnya memberi label kepada setiap wadah sesuai dengan hasil pengacakan.
2. Persiapan Ikan Uji
Seperti dikemukakan di atas, ikan uji yang digunakan adalah larva ikan
baung yang telah berumur 7 hari yang diperoleh dari hasil pemijahan induk ikan
baung secara buatan dengan menggunakan hormon LHRH (dengan merek dagang
Ovaprim) dengan dosis 1,5. Telur hasil penelitian ditetaskan di dalam bak kayu.
Setelah benih berumur 7 hari (terhitung dari waktu penetasan) dilakukan
pemilihan larva. Setelah itu ikan uji tersebut dipindahkan ke wadah penelitian,
sebelum dimasukan ke dalam wadah penelitian dilakukan pengukuran awal berat
dan panjang ikan uji tersebut. Ikan uji ditebarkan kedalam wadah dengan
kepadatan 10 ekor/liter air.
3. Penyiapan Pakan Uji
Pakan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah cacing sutera yang
direndam dalam larutan jintan hitam. Prosedur yang digunakan untuk menyiapkan
pakan uji ini mengacu kepada penelitian sebelumnya.

20

Prosedur untuk menyiapkan perlakuan (P0) (tanpa pemberian jintan hitam),


dilakukan hanya dengan menyiapkan cacing sutera yang tanpa dicincang
kemudian langsung diberikan tanpa dicampur dengan jintan hitam.
Prosedur mempersiapkan pakan uji untuk perlakuan (P1) dilakukan dengan
cara menimbang jintan hitam sebanyak 0,1 mg, sedangkan untuk perlakuan (P2)
dilakukan dengan menimbang jintan hitam sebanyak 0,2 mg, untuk perlakuan (P3)
dilakukan dengan menimbang jintan hitam sebanyak 0,3 mg, dan untuk perlakuan
(P4) dilakukan dengan menimbang jintan hitam sebanyak 0,4 mg. Sedangkan
cacing sutera ditimbang sebanyak 3 gr untuk masing-masing perlakuan.
Kemudian jintan hitam yang sudah ditimbang dimasukan ke dalam gelas aqua dan
dilarutkan dengan air sebanyak 3 ml kemudian diaduk, ditunggu beberapa menit
agar homogen dan setelah itu masukkan cacing hidup dan direndam selama 30
menit agar jintan hitam meresap kedalam tubuh cacing sutera (T. tubifex), dari 3 gr
pakan yang telah dicampurkan tersebut masing-masing ulangan dibagi 1 gr pakan
untuk diberikan pada ikan uji pada setiap ulangan untuk masing-masing
perlakuan. Kemudian 3 gr pakan diberikan selama penelitian berlangsung atau
selama 21 hari pemeliharaan larva ikan baung.
4. Pemberian Pakan
Untuk pemberian pakan pada larva ikan baung ini dilakukan sebanyak 4 kali
sehari yaitu pada jam 08.00 WIB, 12.00 WIB, 16.00 WIB, 20.00 WIB. Dimana
pemberian cacing sutera yang telah direndam dalam larutan jintan hitam ini
diberikan hanya pada pagi hari saja yaitu pukul 08.00 WIB. Karena rentang waktu
malam sampai pagi hari terlalu jauh, jika pakan yang diberi jintan hitam pada
malam hari maka pakan akan cepat habis dan terjadi kanibalisme.
5. Pemeliharaan dan Pengamatan Larva ikan Baung dan Kualitas Air

21

Pemeliharaan dilakukan selama 21 hari yaitu kelangsungan hidup dan


pertumbuhan larva ikan baung, pengamatan yang dilakukan yaitu berat ikan,
jumlah ikan, dan panjang ikan. Pengamatan untuk kualitas air yaitu DO, NH3, dan
suhu. Dalam penelitian ini dilakukan pergantian media penelitian yaitu apabila
media penelitian yang saya tentukan terlihat keruh, pengukuran kualitas air pada
awal dan akhir penelitian saja untuk DO dan NH3.

3.3.2 Metode dan Rancangan Penelitian


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen,
dan rancangan yang digunakan yaitu menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan dan 3 kali ulangan. Dimana perlakuannya
adalah sebagai berikut:
P0 = Tanpa penambahan jintan hitam pada cacing sutera
P1 = Penambahan jintan hitam dengan dosis 0,1 mg/3 gr cacing sutera
P2 = Penambahan jintan hitam dengan dosis 0,2 mg/3 gr cacing sutera
P3 = Penambahan jintan hitam dengan dosis 0,3 mg/3 gr cacing sutera
P4 = Penambahan jintan hitam dengan dosis 0,4 mg/3 gr cacing sutera
Model linier dari Rancangan Acak Lengkap adalah
Yij = + Pi + ij
Keterangan :
Yij

= Variabel yang dianalisa

= Nilai rata-rata umum

Pi

= Pengaruh Perlakuan ke-i


22

ij

= Kesalahan percobaan dari ulangan ke-i perlakuan ke-j

= 1, 2, 3, 4 (perlakuan)

= 1, 2, 3 (ulangan)

3.3.3 Parameter yang Diukur


Pengamatan yang dilakukan yaitu terhadap pertumbuhan berat dan panjang
mutlak, pertumbuhan panjang mutlak, laju pertumbuhan harian, kelangsungan
hidup dan konversi pakan.
1. Pertumbuhan Berat Mutlak menggunakan rumus Ricker dalam Rahmawati
(1993)
Wm = Wt-Wo
Keterangan :
Wm

= Pertumbuhan Berat Mutlak (gr)

Wt

= Rata-rata berat akhir (gr)

Wo

= Rata-rata berat awal (gr)

2. Pertumbuhan Panjang Mutlak menggunakan rumus Zonneveld dalam Rosyadi


(2013)
Lm = Lt-Lo
Keterangan :
Lm

= Pertumbuhan Panjang Mutlak (cm)

Lt

= Rata-rata Panjang Akhir (cm)

Lo

= Rata-rata Panjang Awal (cm)

3. Laju pertumbuhan harian menggunakan rumus Zonneveld


a=t

wt
wo

1 x 100%

keterangan :
a

= Laju pertumbuhan harian (%)

Wt

= Berat rata-rata individu ikan pada akhir penelitian (gr)

23

Wo
t

= Berat rata-rata individu ikan pada awal penelitian (gr)


= Lama pemeliharaan (hari)

4. Kelulushidupan dengan menggunakan rumus Effendi, (1979)


SR = Nt x 100 %
No
Keterangan :
S

= Kelulushidupan ikan uji (%)

Nt

= Jumlah benih pada akhir penelitian (ekor)

No

= Jumlah benih pada awal penelitian (ekor)

3.4 Hipotesis dan Asumsi


Hipotesis yang diajukan dalam penelitian adalah :
HO = Tidak ada pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan baung yang
diberi cacing sutera (T.tubifex) yang telah direndam dalam larutan jintan
hitam
HI

= Ada pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan baung yang diberi
cacing sutera (T.tubifex) yang telah direndam dalam larutan jintan Hitam
Sedangkan asumsi yang diajukan dalam penelitian ini antara lain :

1. Keadaan lingkungan pada semua wadah penelitian


2. Larva ikan baung memiliki kemampuan memanfaatkan makanan dianggap
3.
4.
5.
6.
7.

sama
Sumber T.tubifex dianggap sama
Keahlian peneliti dianggap sama
Ketelitian peneliti dianggap sama
Sumber air media dianggap sama
Campuran T. Tubifex dengan jintan hitam dianggap sama
3.5 Analisa Data
Pada penelitian ini yang diamati adalah tingkat kelangsungan hidup dan

pertumbuhan larva ikan baung. Selain itu, dilakukan pengamatan kualitas air yang
diperkirakan berpengaruh terhadap larva ikan baung. Data yang diperoleh

24

disajikan dalam bentuk tabel dan histogram guna memudahkan dalam menarik
kesimpulan.
Hasil pengukuran pertumbuhan dan kelangsungan hidup dianalisa dengan
menggunakan ANAVA (sidik ragam) pola acak lengkap RAL. Bila anava
menunjukkan F hitung < F tabel taraf 95 %, maka tidak ada pengaruh perlakuan
dan bila F hitung > F tabel taraf 99 % maka perlakuan ini berpengaruh sangat
nyata (Sudjana, 1992). Hasil analisa variansi data yang menunjukkan perbedaan
sangat nyata akan dilanjutkan dengan uji Newman-Keuls.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan selama penelitian diperoleh
data kelangsungan hidup, pertumbuhan berat, pertumbuhan panjang dan laju

25

pertumbuhan. Hasil penelitian dari data penelitian yang diperoleh diuraikan


sebagai berikut.
4.1. Kelangsungan Hidup
Dari data persentase kelangsungan hidup larva ikan baung pada masingmasing perlakuan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.1. Sedangkan data
lengkapnya ada pada Lampiran 1.
Tabel 4.1 Rata-rata Persentase Kelangsungan Hidup Larva Ikan Baung
(M.nemurus) Pada Masing-masing Perlakuan (%)
Jumlah Larva (ekor)
Kelulushidupan
Perlakuan
Awal
Akhir
%
P0

50

35,00

70,00

P1

50

43,00

86,00

P2

50

45,33

90,67

P3

50

42,33

84,67

P4
50
39,00
78,00
Keterangan:
P0 = Tanpa Penambahan Jintan hitam pada cacing sutera
P1 = Penambahan Jintan hitam dengan dosis 0,1 mg/3 gr cacing sutera
P2 = Penambahan Jintan hitam dengan dosis 0,2 mg/3 gr cacing sutera
P3 = Penambahan Jintan Hitam dengan dosis 0,3 mg/3 gr cacing sutera
P4 = Penambahan Jintan Hitam dengan dosis 0,4 mg/3 gr cacing sutera
Dari Tabel 4.1 terlihat rata-rata kelangsungan hidup ikan uji pada masingmasing perlakuan menunjukan perbedaan. Pada perlakuan (P0) sebasar 70,00 %,
(P1) sebesar 86,00 %, (P2) sebesar 90,67 %, (P3) sebesar 84,67 % dan pada
perlakuan (P4) sebesar 78,00 %. Meskipun tingkat kelangsungan hidup ikan uji
menunjukan perbedaan namun dari hasil uji statistik diperoleh F hitung (0,42) < F
tabel(0,05) (3,48) pada tingkat ketelitian 95%. Dengan demikian pemberian cacing
sutera yang direndam dalam larutan jintan hitam dengan dosis berbeda tidak
berpengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup ikan uji.

26

Seperti dikemukakan di atas tingkat kelangsungan hidup ikan uji untuk


masing-masing perlakuan berbeda. Di mana kelangsungan hidup ikan uji pada
perlakuan yang diberi cacing sutera yang direndam dalam jintan hitam (P1, P2, P3
dan P4) lebih tinggi dari kelangsungan hidup ikan uji yang diberi cacing sutera
tanpa direndam dalam jintan hitam (P0). Hal ini berarti pemberian cacing sutera
yang direndam dalam jintan hitam dapat meningkatkan kelangsungan hidup ikan
uji. Adanya peningkatan ini diduga kandungan jintan hitam yaitu asam amino
yang membentuk protein dapat meningkatkan sistem imun dan mempertahankan
kelangsungan hidup ikan uji tersebut. Seperti dikemukakan oleh Andarawulan dan
Koswara (1989) bahwa kandungan didalam jintan hitam yaitu asam amino yang
membentuk protein dapat membantu meningkatkan kekebalan tubuh dan untuk
kelangsungan hidup ikan uji.
Untuk lebih jelasnya Perbedaan tingkat kelangsungan hidup ikan uji untuk
masing-masing perlakukan dapat dilihat pada Gambar 4.1.

100
80
60
Kelangsungan Hidup (%) 40
20
0

86

90.67

84.67

78

P1

P2

P3

P4

70

P0

Perlakuan

Gambar 4.1. Grafik Rata-rata Kelangsungan Hidup Larva Ikan Baung (M.
nemurus) Selama Penelitian (%).
27

Berdasarkan gambar 4.1 kelangsungan hidup ikan uji yang terbaik terdapat
pada perlakuan (P2) dan yang terendah pada perlakuan (P1, P3 dan P4) yaitu
86,00 %, 84,67 % dan 78,00 %, karena pada perlakuan (P2) merupakan dosis
yang optimal untuk kelangsungan hidup ikan uji, jika dosis jintan hitam dinaikan
menjadi 0,3, 0,4 mg/3 gr pakan maka kelangsungan hidup ikan uji akan menurun.
Hal ini diduga karena kandungan jintan hitam asam amino yang membentuk
protein sangat berlebih pada saat perendaman pada cacing sutera. Selain itu juga
disebabkan oleh cacing sutera yang direndam dalam larutan jintan hitam berubah
warna putih karena banyaknya zat tymoquinone dan tymol yang diserap cacing
sutera. Sehingga pakan yang diberikan tidak termanfaatkan dengan baik oleh
karena itu kelangsungan hidup ikan uji menurun. Selanjutnya Anonim (2007)
bahwa zat tymoquinone dan tymol diberikan berlebih pada, akan menyebabkan
damak buruk pada pakan tersebut.
Perlakuan P0 lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan P1, P2, P3 dan
P4, karena pada perlakuan P0 tidak diberi larutan jintan hitam sehingga asupan
tambahan yang diberikan pada cacing sutera untuk ikan uji tidak ada sehingga
kelangsungan hidup ikan uji kurang baik.
4.2. Pertumbuhan Berat Mutlak
Hasil penelitian dan pengukuran pertumbuhan berat mutlak larva ikan baung
yang dilakukan selama 21 hari pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2.
Perlakua
n
P0
P1

Rata-rata Pertumbuhan Berat Mutlak Larva Ikan Baung (Mystus


nemurus) selama penelitian (gr).
Berat Rata-rata Larva Ikan
Baung (gr)
Pertumbuhan Berat Mutlak (gr)
Awal
Akhir
0,9
0,9

1,39
2,08

0,49
1,18
28

P2
P3
P4

0,9
0,9
0,9

2,80
2,07
1,96

1,90
1,17
1,06

Dari Tabel 4.2 terlihat bahwa tingkat pertumbuhan berat mutlak ikan uji
pada perlakuan (P0) adalah sebesar 0,49 gr, pada perlakuan (P1) sebesar 1,18 gr,
pada perlakuan (P2) sebesar 1,90 gr, pada perlakuan (P3) sebesar 1,17 gr dan pada
perlakuan (P4) sebesar 1,06 gr. Dari hasil uji statistik diperoleh F hitung (0,62) <
F tabel(0,05) (3,48) pada tingkat ketelitian 95%. Ini berarti bahwa pemberian cacing
sutera yang direndam dalam laurtan jintan hitam dengan dosis berbeda tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan berat mutlak larva ikan
baung.
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pertumbuhan berat mutlak ikan uji
yang diberi jintan hitam dengan dosis yang berbeda menunjukan pertumbuhan
berat mutlak yang berbeda. Untuk lebih jelasnya perbedaan tersebut dapat dilihat
pada Gambar 4.2
1.900

2.000
1.183

1.500
Pertumbuhan Berat Mutlak (gr)

1.000

1.177 1.067

0.497

0.500
0.000
P0

P1

P2

P3

P4

Perlakuan

Gambar 4.2. Grafik Rata-rata Pertumbuhan Berat Mutlak Larva Ikan Baung
(M.nemurus) selama penelitian (gr).
Pada gambar 4.2 dapat dilihat bahwa pertumbuhan berat mutlak ikan uji
yang diberi cacing sutera yang direndam dalam larutan jintan hitam (P1, P2, P3
29

dan P4) lebih tinggi dari pertumbuhan berat mutlak ikan uji yang diberi cacing
sutera tanpa direndam dalam larutan jintan hitam (P0). Hal ini berarti jintan hitam
dapat meningkatkan pertumbuhan berat mutlak ikan uji. Menurut Ahmad (2013),
jintan hitam mempunyai peranan penting dalam reaksi pembentukan prolin, oleat,
linoleat, leusin dan zat besi dimana senyawa di atas berfungsi dalam pembentukan
kolagen dan perkembangan tulang pada larva ikan. Disamping itu di dalam jintan
hitam ada asam ascorbat yang dapat membantu pertumbuhan ikan uji. Seperti
dikemukakan oleh Sobhana (dalam Noprimayanti 2016) bahwa asam ascorbat
dalam jintan hitam memiliki peranan penting dalam fungsi pertumbuhan, akan
tetapi apabila jumlah asam askorbat dan zat lain lebih tinggi akan menyebabkan
kerusakan pada pakan tersebut.
Pada gambar tersebut juga terlihat bahwa tingkat pertumbuhan berat mutlak
ikan uji yang tertinggi didapat pada perlakuan (P2) 0,2 mg/3 gr. Dengan demikian
dosis yang terbaik tersebut bukanlah dosis jintan hitam yang terendah 0,1 mg/3 gr
pakan (P1) maupun yang tertinggi 0,4 mg/3 gr pakan (P4) melainkan pemberian
jintan hitam dengan dosis 0,2 mg/3 gr pakan.
Hasil yang didapat pada penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Yilmaz et al., (2013) yang menemukan bahwa pertumbuhan
ikan mujiar (Oreochromis mossambicus) tertinggi ditemukan pada perlakuan
dengan pemberian jintan hitam dengan dosis 1 %, lebih baik dari pemberian
dengan dosis lebih rendah (0,0 % dan 0,5 %) maupun dengan dosis yang lebih
tinggi ( 1,5 % dan 2,0 %).
Sudah dipastikan mengapa pemberian cacing sutera yang direndam dalam
larutan jintan hitam dengan dosis 0,2 mg/ 3 gr perlakuan (P2) lebih baik dari
pemberian cacing sutera yang direndam dalam larutan jintan hitam dengan dosis
30

yang lebih tinggi ( 0,3 mg/ 3 gr atau 0,4 mg/ 3 gr pakan) perlakuan (P3 dan P4).
Namun demikian di duga disebabkan karena pemberian jintan hitam dengan dosis
yang lebih tinggi menyebabkan terjadinya kerusakan pada tubuh cacing sutera
yang direndam dalam larutan jintan hitam yang diberikan pada larva dapat
menghambat proses pertumbuhan berat mutlak ikan uji.
Pada perlakuan (P1) 1,18 gr, rata-rata pertumbuhan berat mutlak ikan uji
lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan (P2) 1,90 gr. Hal tersebut terjadi
karena disebabkan dosis yang diberikan terlalu rendah, sehingga dosis jintan
hitam yang ditambahkan pada pakan terlalu sedikit. Sehingga ikan uji kurang
mendapatkan nutrien tambahan dari jintan hitam. Seperti dikemukan oleh Yilmaz
et al., (2013) jintan hitam merupakan pakan tambahan ( diatary supplementation).

4.3. Pertumbuhan Panjang Mutlak


Selain pertumbuhan berat pada penelitian ini juga diukur pertumbuhan
panjang ikan uji pada masing-masing perlakuan. Hasil pengukuran pertumbuhan
panjang mutlak ikan uji selama penelitian pada masing-masing perlakuan
disajikan dalam Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Rata-rata Pertumbuhan Panjang Mutlak Larva Ikan Baung (M.
nemurus) Selama Penelitian (cm)
Rata-rata Panjang Mutlak Larva Ikan
Pertumbuhan
Perlakuan
Baung (cm)
Panjang Mutlak (cm)
Awal
Akhir
P0
0,8
2,83
2,03
P1
0,8
3,50
2,70
P2
0,8
4,27
3,47
P3
0,8
3,33
2,53
31

P4

0,8

3,30

2,35

Pada Tabel 4.3 terlihat bahwa pertumbuhan panjang mutlak ikan uji pada
setiap perlakuan yaitu (P0) sebesar 2,03 cm, (P1) 2,70 cm, (P2) 3,47 cm, (P3) 2,53
cm dan (P4) 2,35 cm. Dari hasil uji statistik diperoleh F hitung (0,977) < F
tabel(0,05) (3,48) pada tingkat ketelitian 95 %. Hal ini berarti bahwa pemberian
cacing sutera yang direndam dalam larutan jintan hitam dengan dosis berbeda
memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan panjang
mutlak ikan uji. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.3 untuk setiap
perlakuan.

3.467

Panjang Mutlak (cm)

3.500
3.000
2.500
2.000
1.500
1.000
0.500
0.000

2.700

2.533

2.027

PO

P1

P2

P3

2.350

P4

Perlakuan

Gambar 4.3. Grafik Rata-rata Pertumbuhan Panjang Mutlak Larva Ikan Baung
(M. nemurus) Selama Penelitian (cm)
Pada Gambar 4.3 terlihat bahwa pertumbuhan panjang mutlak ikan uji yang
diberi cacing sutera yang direndam dalam larutan jintan hitam dengan dosis 0,2
mg/3 gr pakan (P2) menghasilkan pertumbuhan yang tertinggi yaitu 3,47 cm. Ini
diduga disebabkan oleh kandungan senyawa asam lemak yang membantu
mendorong pertumbuhan panjang mutlak ikan uji. Selanjutnya Mardiana (2011)
32

jintan hitam banyak mengandung asam lemak, yang merupakan asam lemak yang
banyak terdapat di alam dan secara khusus banyak terkandung pada jintan hitam,
sehingga harus ada asupan tambahan dari luar.
Dapat dilihat bahwa pertumbuhan panjang mutlak ikan uji yang diberi
cacing sutera yang direndam dalam larutan jintan hitam didapat hasil tertinggi
pada perlakuan (P2) sebesar 3,47 cm dan yang terendah pada perlakuan (P0) yaitu
2,03 cm. Hal ini berarti pemberian cacing sutera yang direndam dalam larutan
jintan hitam mampu mempercepat pertumbuhan panjang mutlak ikan uji dan lebih
baik dari pada tanpa direndam dalam jintan hitam. Hal ini diduga oleh kandungan
linoleat pada jintan hitam dapat mendorong pertumbuhan panjang mutlak ikan uji.
Selanjutnya Widjaja dan Utomo (2007) apabila tubuh kekurangan asam lemak
(linoleat) akan mengakibatkan terganggunya sistem metabolisme pada tubuh
sehingga terjadi penghambatan pada pertumbuhan ikan. Senyawa aktif jintan
hitam yang mengakibatkan pertumbuhan ikan uji sangat cepat pertumbuhannya
karena adanya senyawa-senyawa asam amino, nutrisi dan asam lemak (Srinivasan,
2005).
4.4. Laju Pertumbuhan Berat Harian
Adapun data laju pertumbuhan berat harian tertera pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4. Rata-rata Laju Pertumbuhan Berat Harian Larva Ikan Baung
(M.nemurus) selama penelitian (%)
Laju Pertumbuhan
Perlakuan/Ulanga
Rata-rata Laju Berat Harian (gr)
Harian (%)
n
Awal
Akhir
P0
0,90
1,39
2,08
P1
0,90
2,08
4,02
P2
0,90
2,80
5,54
P3
0,90
2,07
4,00
P4
0,90
1,96
3,73
33

Dari Tabel 4.4 terlihat rata-rata laju pertumbuhan berat harian ikan uji pada
perlakuan (P0) sebesar 2,08 %, (P1) sebesar 4,02 %, (P2) sebesar 5,54 %, (P3)
sebesar 4,00 % dan pada perlakuan (P4) sebesar 3,73 %. Hal itu berarti laju
pertumbuhan berat harian ikan relatif tinggi, karena lebih dari 2,5 %. Kemudian
menurut Djangkaru (1975), nilai laju pertumbuhan harian yang baik minimal 1 %.
Sementara Djajasekawa (1985) menyatakan laju pertumbuhan berat harian ikan
adalah 2,5 % (bila makanan alami tidak ada).
Setelah dilakukan uji statistik diperoleh hasil F hitung (0,19) < F tabel(0,05)
(3,48) pada tingkat ketelitian 95%. Ini berarti bahwa pemberian cacing sutera
yang direndam dalam jintan hitam dengan dosis berbeda memberikan pengaruh
tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan ikan uji. Meskipun demikian laju
pertumbuhan untuk masing-masing perlakuan berbeda. Di mana laju pertumbuhan
ikan uji pada perlakuan yang diberi cacing sutera yang direndam dalam larutan
jintan hitam (P1), (P2), (P3) dan (P4) lebih tinggi dari kelangsungan hidup ikan
uji tanpa diberi larutan jintan hitam pada pakan (P0). Untuk lebih jelasnya laju
pertumbuhan harian ikan uji selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.4.
5.54

6
4
Laju Pertumbuhan Berat Harian (%)

4.02

3.73

P3

P4

2.08

2
0
P0

P1

P2

Perlakuan

Gambar 4.4. Grafik Rata-rata Laju Pertumbuhan Berat Harian Ikan Baung (M.
nemurus) Selama Penelitian (%).
34

Pada Gambar 4.4. dapat dijelaskan diatas bahwa, perlakuan (P2) diperoleh
laju pertumbuhan berat harian yang terbaik sebesar 5,54 %. Data ini lebih baik
dibandingkan dengan perlakuan (P0) sebesar 2,08 %, perlakuan (P1) sebesar 4,02
%, (P3) yaitu sebesar 4,00 % dan (P4) sebesar 3,73 %. Dimana dosis yang
optimum jintan hitam yang terbaik untuk laju pertumbuhan berat harian ikan uji
adalah 0,2 mg/3 gr pakan (perlakuan P2) yaitu sebesar 5,54 %.
Seperti dikemukakan oleh Asnawi (1987) makanan yang dimanfaatkan oleh
ikan, pertama sekali dimanfaatkan untuk memelihara tubuh dan mengganti alatalat tubuh yang rusak, setelah itu kelebihan makanan yang tersisa baru digunakan
untuk pertumbuhan. Tingginya laju pertumbuhan berat harian ikan uji yang diberi
cacing sutera yang direndam dalam larutan jintan hitam jika dibandingkan dengan
laju pertumbuhan berat harian ikan uji yang diberi cacing sutera tanpa direndam
dalam larutan jintan hitam, disebabkan karena adanya kelebihan asupan nutrisi
pada pakan yang berasal dari jintan hitam.
Pada perlakuan (P1) 4,02 % laju pertumbuhan berat hariannya lebih lambat
dibandingkan dengan (P2) 5,54 %, karena jumlah kandungan pada jintan hitam
lebih sedikit yang masuk kedalam tubuh cacing karena jumlah dosis yang
diberikan pada perlakuan (P1) hanya 0,1 mg/3 gr pakan ini diduga karena asupan
nutrisi tambahan jintan hitam yang diberikan pada pakan mengakibatkan laju
pertumbuhan berat harian rendah, sedangkan pada perlakuan (P3) dan (P4)
mengalami penurunan laju pertumbuhan berat harian ini disebabkan oleh jumlah
kandungan pada jintan hitam yang diberi pada pakan mengakibatkan perubahan
pada cacing sutera itu sendiri sehingga laju pertumbuhan berat harian menjadi
lambat dan rendah. Pada perlakuan (P0) laju pertumbuhan berat harian lebih
rendah dibandingkan dari perlakuan lain, ini disebabkan karena pada pakan tidak
35

direndam jintan hitam karena sedikitnya kandungan yang dapat membantu proses
pencernaan didalam pencernaan ikan sehingga laju pertumbuhan berat harian
menjadi rendah.
Cortezt-Jacinto et al., (2005) menjelaskan bahwa laju pertumbuhan berat
harian berkaitan erat dengan pertambahan berat tubuh yang berasal dari pakan
yang dikonsumsi oleh ikan.
4.5. Kualitas Air
Dalam penelitian ini juga dilakukan pengukuran kualitas air yaitu suhu, pH,
oksigen terlarut, dan amoniak. Hasil pengukuran kualitas ait dapat dilihat Tabel
4.5.

Tabel 4.5. Pengukuran Kualitas Air Media Pemeliharaan Selama Penelitian.


Parameter Kualitas Air

Kisaran Angka

Suhu 0C

23-30

Derajat Keasaman (pH)

Oksigen Terlarut (ppm)

3,35-3,53

NH3

0,32-0,39

Dari Tabel 4.5 dapat dilihat

bahwa suhu air berkisar antara 23-30 0C.

Kisaran angka suhu air selama penelitian ini dianggap sangat baik sesuai dengan
pendapat Lovel (dalam Emri 1995) yang menyatakan bahwa suhu air yang
optimal bagi ikan cat fish berkisar antara 24-32 0C, dengan demikian suhu air pada
penelitian layak dan mendukung bagin kehidupan ikan baung.
Derajat keasaman merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan dan kehidupan ikan. Dari hasil pengamatan hasil pengukuran selama

36

penelitian, pH air media yang digunakan untuk penelitian yaitu 6. Susanto dalam
Hardianto (2014) menyatakan bahwa untuk mendukung kehidupan ikan budidaya
secara wajar, nilai pH berkisar antara 5-9.
Oksigen terlarut (DO) selama penelitian berkisar antara 3,35-3,52 ppm,
Tang (2003) menyatakan bahwa oksigen terlarut untuk ikan baung yaitu 1-9 ppm.
Sedangkan Handoyo et al., (2010) menyatakan bahwa oksigen terlarut yang
optimal untuk kehidupan ikan 2-9 ppm. Selanjutkan Huet (1973) menambahkan
bahwa kandungan oksigen terlarut yang layak bagi kehidupan ikan tidak kurang
dari 1 ppm.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pengamatan terhadap perendaman cacing
sutra (T. tubifex) dengan larutan jintan hitam terhadap pertumbuhan dan
kelangsungan hidup larva ikan baung dapat disimpulkan sebagai berikut.
Pemberian cacing sutera (T. tubifex) yang direndam dalam larutan jintan
hitam dengan dosis yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap Kelangsungan
hidup dan pertumbuhan larva ikan baung.
Kelangsungan hidup larva ikan baung yang terbaik sebesar 90,67 %
ditemukan pada perlakuan (P2) yaitu perlakukan pemberian cacing sutera yang
direndam dalam jintan hitam dengan dosis 0,2 mg/3 gr. Sedangkan Pertumbuhan
berat larva ikan, pertumbuhan panjang mutlak dan laju pertumbuhan berat harian

37

ikan baung terbaik juga ditemukan pada perlakuan (P2) masing-masing 1,90 gr,
1,90 cm dan 5,54%.
5.2. Saran
Berdasarakan penelitian ini disarankan bahwa untuk meningkatkan
kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva ikan baung perlu diberi cacing sutera
yang direndam dalam larutan jintan hitam dengan dosis 0,3 mg/ 3 gr pakan.
Disamping itu disarankan untuk melakukan penelitian untuk meningkatkan
efektifitas penggunaan jintan hitam untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan
pertumbuhan larva ikan baung.

DAFTAR PUSTAKA
Aboul dan E. I. Ela 2002. Cytogenetic Studies on Nigella sativa Seeds Extract and
Thymoquinone on Mouse Cells Infected with Schistosomiasis Using
Karyotyping. Mutation Research, 516: halaman 11-17.
Agusnimar, Sholihin dan Abdul Fatah Rasidi. 2015. Kelangsungan hidup dan
Pertumbuhan Larva Ikan Selais yang diberi cacing Sutera (Tubifex tubifex)
Utuh dan Olahan. Jurnal Dinamika Pertanian Vol. XXX : halaman 77-82
Ahmad. 2013. Efektifitas Jintan Hitam (N. sativa) Sebagai Imonostimulan pada
Kakap Putih (L. calcarifer) terhadap Bakteri Vibrio alginolyticus melalui
Profil Histopologi. Halaman 48
Alawi, H. 1995. Budidaya Ikan Baung (Macrones nemurus C.V) dalam Keramba
Terapung di Sungai Kampar, Pertumbuhan dan Produksi Ikan Baung dengan
Padat Berbeda. Lembaga Penelitian Universitas Riau, Pekanbaru 36
halaman.
Anonim. 2013. Kandungan Nutrisi pada Cacing sutera untuk Pertumbuhan dan
Kelangsungan Hidup Larva Ikan Baung
Anonim. 2008. Tentang Tingkat Kematian yang Tertinggi pada Masa Larva Ikan
Anonim. 2007. Jintan Hitam (Nigella sativa) Sebagai Anti Bakteri Terhadap
Pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus.
Universitas Pendidikan Indonesia. Jakarta
38

Anonim. 1995. Pengenalan Jenis-Jenis Ikan Perairan Umum Jambi : Bagian I


Ikan-Ikan Sungai Utama Batang Hari-Jambi. Dinas Perikanan Propinsi
Daerah Tingkat I. Jambi. 73 halaman
Anonim. 1993. Studi Identifikasi/ Inventarisasi Plasma Nutfah Perikanan Perairan
umum Propinsi Jambi. Diskan Prop. Jambi. 119 halaman.
Anonim. 1993. Aquaculture Training Manual. Fishing News Book. A Divinision
of Blackwell Scientific Publication, Ltd.,
Anonim. 1986. Sediaan Galenik Jintan Hitam Departemen Kesehatan Republik
Indonesia Jakarta.
Anonim. 1965. Farmakope Indonesia, Edisi I, 1-2, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta
Ahmad. 2013. Efektivitas Jintan Hitam (N. sativa) sebagai Imunostimulan pada
Kakap Putih (Lates calcarifer) Terhadap Bakteri Vibrio alginolyticus melalui
Profil Histopatologi
Apriadi, A. 2005. Pengaruh Pemberian Pupuk EMHABE dengan Dosis yang
Berbeda Terhadap Kelulushidupan dan Pertumbuhan Benih Ikan Tambakan
(Helostoma temminckii). Skripsi Fakultas Pertanian Jurusan Budidaya
Perikanan, Universitas Islam Riau. Pekanbaru. 55 halaman.
Aryani, N. Pamungkas,. N. A, Adeline. 2013. Perbedaan Lama Waktu Pemberian
Tubifex dan Pakan Buatan Terhadap Pertumbuhan dan Kelulushidupan Ikan
Baung (Mystus nemurus). Jurnal Akukultur Indonesia 12 (1): 19-25
Asnawi, S. 1987. Pemeliharaan Ikan Dalam Keramba. Gramedia Jakarta. 82
halaman.
Boy, S. 2005. Budidaya Ikan Mas (Cyprinus carpio) Dalam Keramba di Jorong
Ambacang Anggang Kanagarian Aia Manggih Kecamatan Lubuk Sikaping
Kabupaten Pasaman Provinsi Sumatera Barat. Hasil Praktek Umum
Fakultas Pertanian UIR Pekanbaru. 61 halaman.
Cahyono, B. 2001. Budidaya Ikan di Perairan Umum. Kanisius. Yogyakarta. 95
halaman.
Cook, M. T., Hayball, P. J., Hutchinson, W., Nowak, B. F., Hayball, J. D., 2003.
Administration of a Commercial Immunestimulan Preparation, EcoActiva
as a feed Supplement Enhances Macrophage Respiratory Burst and the
Growth Rate of Snaper (Pagurus auratus, Sparidae (Bloch and Schneider)
in Winter. Fish and Shellfish Immunology Vol (14), 333345.
Djajasekawa, H. 1985. Pakan Ikan (Makanan Ikan). Cetakan Pertama. Yasaguna.
Jakarta. 44 halaman

39

Djangkaru, Z. 1975. Makan Ikan. Lembaga Penelitian Perikanan Darat (LPPD)


Dirjen Perikanan. Jakarta. 51 halaman.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius, Yogyakarta. Halaman 14, 57, 72, 112
Effendi, M. I. 1997. Metode Biologi Perikanan. Cetakan Pertama, Penerbit
Yayasan Dwi Sri, Bogor, 112 halaman.
Emri. 1995. Respon Pertumbuhan Ikan Jambal Siam (Pangasius sutchi) Pada
Pemberian Pakan Berkalori Sama Dengan Kadar Protein Berbeda. Fakultas
Perikanan Universitas Riau. Pekanbaru. 55 halaman (tidak diterbitkan).
Erlangga, 2007. Efek Pencemaran Perairan Sungai Kampar di Provinsi Riau
Terhadap Ikan Baung (Hemibagrus nemurus). Tesis. Pasca sarjana. IPB.
Bogor. 113 halaman.
Fauzi. A. 2013. Histopologi Organ Kakap Putih (Lates calcarifer) dengan Infeksi
Vibrio alginolyticus dan Jintam hitam (N. sativa) Sebagai Imunostimulan
Fatmawati, D. I. 2009. Efek Antimikroba Ekstrak Biji Jintan Hitam (Nigella
sativa) Terhadap Salmonella typhi.
Fujuya, Y. 2002. Fisiologi Ikan: Dasar Pengembangan Teknologi Perikanan.
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Depdiknas, Jakarta. 147 halaman
Gannam, AL, Schrok RM. 2001. Immunostimulant in Fish diet diacu dalam
Nutrition and Fish Health. Food Products Press, New York. P:235-260
Harris, E. 1992. Beberapa Usaha Dalam Peningkatan Benih. Jendral Perikanan.
Departemen Pertanian. Jakarta. 62 halaman.
Hardianto, J. 2014. Pemberian Probiotik Dengan Dosis yang Berbeda Pada Pakan
Buatan Terhadap Pertumbuhan Ikan Baung (Mystus nemurus). Skripsi.
Fakultas Pertanian Universitas Islam Riau. Pekanbaru. 70 halaman.
Handoyo, B., C. Setiowibowo dan Y, Yustitran. 2010. Cara Mudah Budidaya dan
Kandungan Protein yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Ikan Jambal Siam
(Pangasius sutchi). Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Riau.
Pekanbaru. 67 hal.
Hayati, U. 2004. Pengaruh Persentase Pemberian T. Tubifex dan Pelet Udang
Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan hidup Benih Ikan Baung (Mystus
nemurus). Skripsi Fakultas Pertanian Jurusan Budidaya Perikanan. UIR.
Peknbaru. 67 halaman.
Huet. M. 1973. Text of Fish Culture Breeding and Cultivation of Fish. Fishing
News (Book) Ltd, London. 436 halaman.
Khairuman dan K, Amri. 2008. Ikan Baung Peluang Usaha dan Teknik Budidaya
Intensif. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 88 halaman.
40

Kokdil, G. dan S, Yilmaz. (2005). Analysis of the Fixed Oils of the Genus Nigella
L. (Ranunculaceae) in Turkey. Biochemical Systematics and Ecology, Vol
(33): 1203-1209.
Kordi, M. G. H dan A, B. Tancung. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam
Budidaya Perairan. Cetakan Pertama, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. 208
halaman.
Kono, 1996. Pengaruh Frekuensi Pemberian Pakan yang Berbeda Terhadap
Pertumbuhan dan Kelulushidupan Benih Ikan Selais (Kriptopterus lais).
Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 9-11 halaman
Kuncoro, B. 2010. Budidaya Belut Sistem Organik. IPB Press. Bogor. 51 halaman
Kurnia, A. 2012. Budidaya Ikan Baung (Mystus nemurus) di Desa Buluh Cina.
Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Hasil Praktek
Umum Fakultas Pertanian UIR. 61 halaman.
Madsuly, 2002. Ekologi Budidaya Ikan Air Tawar. Penerbit Yayasan Pustaka
Nusantara. Yogyakarta. 126-138 halaman
Mardiana. 2011. Karakteristik Asam Lemak dan Kolesterol Rajungan
(Portunuspelagicus) akibat proses pengukusan. [skripsi]. Bogor: Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 228 halaman
Mudjiman, A. 2008. Makanan Ikan. Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Jakarta. 192
halaman.
Pennak, R. W. 1978, "Fresh - Water Invertebrates of The United State", second
Edition, Wiley - Intersciens Publication. New York. 113 halaman
Permata, M. K. 2009. Pengaruh Pemberian Ekstrak Jintan Hitam (Nigella sativa)
Terhadap Perubahan Histopatologik Hepar Mencit Balb/C Yang Diinfeksi
Salmonella Typhimurium. Universitas Diponegoro. Semarang
Potchestroom. 1989. Pengobatan Antihistimin dan Antialergi, Universitas
Potchestroom Afrika Selatan. Jilid V. VI. Hal 357
Rodiana, 2015. Pemberian Probiotik dengan Dosis Berbeda pada T.tubifex
Terhadap Pertumbuhan dan Kelulushidupan Larva Ikan Selais
(Kryptopterus lais). Skripsi Fakultas Pertanian. Jurusan Budidaya Perairan.
Universitas Islam Riau. Pekanbaru. 58 halaman
Rosyadi, dan A. F. Rasidi,. 2014. Pemberian Probiotik Dengan Dosis Berbeda
Terhadap Pertumbuhan Ikan Baung (Mystus nemurus) Di Kolam
Pemeliharaan. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian. UIR. 52 halaman.
Rukmini. 2012. Teknologi Budidaya Biota Laut. Karya Putra Darwati. Bandung.
141 halaman
Saanin, H. 1968. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid I dan II. Bina Cipta.
Bogor. 244 halaman.

41

Salem M. L. 2005 Immunomodulatory and therapeutic properties of the Nigella


sativa L. seed. Int. Immunopharmacol. 5 (13-14):1749-70
Saldewi, H. 2005. Pengaruh Perbedaan Frekuensi Pemberian Cacing Sutra (T.
tubifex) Terhadap Pertumbuhan dan Kelulushidupan Benih Ikan Baung
(Mystus nemerus). Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Islam Riau,
Pekanbaru. 51 halaman.
Salma. 2014. Uji Efektivitas Ekstrak Biji Jintan Hitam (Nigella sativa) Terhadap
Pertumbuhan Bakteri Shigella dysenteriae.
Setiaji, J. 2007. Buku ajar Dasar-dasar Budidaya Perairan. Fakultas Pertanian.
Universitas Islam Riau. Pekanbaru. 144 halaman (tidak diterbitkan).
Sobhana K. S,. C. V. Mohan, K. M. Shankar. 2002. Effect of Dietray Vitamin C on
the Diesease Susceptibility and Inflammatory Responseof Mrigal, Cirrhinus
mrigal (Hamilton) to Experimentallifection of Aeromonas hydrophilla.
Aquaculture 207: 225-238.
Srinivasan, K. 2005. Spices as Influencers of Body Metabolism: an Overview of
there Decades of Research. Food Res. Int., 38 (1): 77-86 halaman
Sulastri, T. 2006. Pengaruh Pemberian Pakan Pasta dengan Penambahan Lemak
yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan Kelulushidupan Benih Ikan Selais
(Kryptopterus lais). Skripsi Fakultas Pertanian Jurusan Budidaya Perikanan,
Universitas Islam Riau Pekanbaru. 52 halaman (tidak diterbitkan).
Sumantadinata, K. 1983. Pengembangbiakan Ikan-ikan Peliharaan Di Indonesia,
Sastra Hudaya, Bogor. 132 halaman.
Suraidah. 1992. Red Tail Catfish Berkepala Batik dari Amazona. Trubus. halaman
Susanto, H. 1991. Budidaya Ikan di Pekarangan. Penebar Swadaya. Jakarta 152
halaman.
Susanto, R. 2009. Budidaya Ikan Lele. Cetakan 14, Penebar Swadaya. 192
halaman.
Suyanto, R. M. 1994. Pengaruh Padat Penebaran terhadap Pertumbuhan dan
Sintasan Pendederan Ikan Nila (Oreocromis niloticus) di kolam. Jurnal
Ikhtiologi Indonesia. Halaman 10.
Tampubolon G. H. dan E. Mulyadi. 1989. Synopsis Ikan Kerapu diperairan
Indonesia. Balitbang, Semarang. 86 halaman
Tang, U. M., R, Affandi., R. Widjajakusumo., H. Setianto dan M. F. Rahardjo.
2000. Aspek Biologi dan Kebutuhan Lingkungan Benih Ikan Baung.
Disertasi Program Pasca Sarjana. Institute Pertanian Bogor.161 halaman
Tang, U. M. 2007. Teknik Budidaya Ikan Baung. Kanasius
halaman.

Yogyakarta. 88

42

Trilia, N. A. O. 2013. Imunogenisitas Kombinasi Vaksin Inaktif Whole Cell


Aeromonas salmonicida Dan Jintan Hitam (Nigella sativa) Pada Ikan Mas
(Cyprinus carpio). Universitas Lampung. Bandar lampung. 132 halaman
Wafaa, E, I. Doaa. E. Murr A and M. Rania. 2014. Effect of Dietary Inclusion of
Black Cumin Seeds, Green Tea and Propolis Extraction on Growth
Parameters, Body Composition and Economic Efficiency of Nile Tilapia
(Oreochromis niloticus). World Journal of Fish and Marine Sciences 6 (5) :
447-452
Widjaja, E, Utomo BN. 2007. Produk samping Kelapa Sawit sebagai Bahan Pakan
Alternatif di Kalimantan Tengah: 2. Pengaruh Pemberian Solid terhadap
Kandungan Kolesterol, Asam Lemak dan Vitamin A pada Ayam Broiler.
Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 12 (1): 16-21.
Winarno, D. 1992. Pengaruh Pemberian Aquazyme Pada Media kultur dan
Makanan yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Ikan Klemak (Leptobarbus
hoevenii Blkr). Fakultas Pertanian Universitas Islam Riau, Pekanbaru. 104
halaman (tidak diterbitkan).
Yilmaz, S, Ergun S, Soytas N. 2013. Herbal Supplements are Useful for
Preventing Streptococcal Disease During FirstFeeding of Tilapia fry,
(Oreochromis mossambicus). The Israeli Journal of AquacultureBamidgeh,
IJA_Vol 2. No. 2. Halaman 11-124
Yurisman dan B. Heltonika. 2010. Pengaruh Kombinasi Pakan Terhadap
Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Selais (Ompok
hypophthalmus). Jurnal Berkala Perikanan Terubuk, Juli 2010. Vol. 38 No.
2. (80-94).
Yushinta, F. 2004. Fisiologi Ikan. Dalam Pengembangan Teknik Perikanan.
Rineka Cipta. Jakarta. 179 halaman.

43

LAMPIRAN
44

Lampiran 1. Kelangsungan Hidup Larva Ikan Baung (M. nemurus)


Perlakuan/
Ulangan
1
P0
2
3
Jumlah
Rata-rata
1
P1
2
3
Jumlah
Rata-rata
1
P2
2
3
Jumlah
Rata-rata
1
2
P3
3
Jumlah
Rata-rata
1
P4
2
3
Jumlah

Kelulushidupan Benih (ekor)


Awal
Akhir
50
32
50
36
50
37
150,00
105,00
50,00
35,00
50
41
50
44
50
44
150,00
129,00
50,00
43,00
50
45
50
45
50
46
150,00
136,00
50,00
45,33
50
44
50
44
50
39
150,00
127,00
50,00
42,33
50
38
50
40
50
39
150,00
117,00

Kelulushidupan
(%)
64,00
72,00
74,00
210,00
70,00
82,00
88,00
88,00
258,00
86,00
90,00
90,00
92,00
272,00
90,67
88,00
88,00
78,00
254,00
84,67
76,00
80,00
78,00
234,00
45

Rata-rata

50,00

39,00

78,00

Lampiran 2. Analisis Variansi Kelangsungan hidup Larva Ikan Baung (M.


nemurus)
Ulangan
1
2
3
Jumlah
Rata-rata
JK Total
FK
Jk
Perlakuan
JK Galat
SV

P0
64,00
72,00
74,00
210,00
70,00
101924
65869
19318,9
3
82605,5
1
DB

Perlakuan
P1
P2
82,00
90,00
88,00
90,00
88,00
92,00
258,00
272,00
86,00
90,67

P3
88,00
88,00
78,00
254,00
84,67

P4
76,00
84,67
76,00
80,00
78,00

Rata-rata

324,00
338,00
332,00
994,00
331,33

81,00
84,50
83,00
82,83

988036,0
0 65869,0667
255564,0
0
85188

FK

KTG

F
hitung

19319

F Tabel
0,05

65869
19318,9
5
3863,79
0,42
3,48
3
82605,5
9
9178,39
JK Galat
1
15
167794
Jumlah
Ket: F Hitung 0,42 < F Tabel 3,48 (0,05), Tidak Berbeda Nyata
FK
Jk
Perlakuan

Jumlah

0,01

6,06

46

Lampiran 3. Pertumbuhan Berat Mutlak Larva Ikan Baung


Penelitian (M. nemurus)
Perlakuan/
Ulangan
P0

1
2
3

Jumlah
Rata-rata
P1

1
2
3

Jumlah
Rata-rata
P2

1
2
3

Jumlah
Rata-rata
P3

1
2
3

Jumlah
Rata-rata
P4
Jumlah
Rata-rata

1
2
3

Berat Rata-rata (gr)


Awal
Akhir
0,900
1,470
0,900
1,550
0,900
1,171
2,700
4,191
0,900
1,397
0,900
1,800
0,900
2,560
0,900
1,890
2,700
6,250
0,900
2,083
0,900
2,600
0,900
2,800
0,900
3,000
2,700
8,400
0,900
2,800
0,900
1,890
0,900
2,560
0,900
1,780
2,700
6,230
0,900
2,077
0,900
2,000
0,900
1,560
0,900
2,340
2,700
5,900
0,900
1,967

Selama

Rerata Berat
Mutlak (gr)
0,570
0,650
0,271
1,491
0,497
0,900
1,660
0,990
3,550
1,183
1,700
1,900
2,100
5,700
1,900
0,990
1,660
0,880
3,530
1,177
1,100
0,660
1,440
3,200
1,067

47

Lampiran 4. Analisis Variansi Pertumbuhan Berat Mutlak Larva Ikan


Baung Selama Penelitian (M. nemurus)
Ulangan
1
2
3
Jumlah
Rata-rata
JK Total
FK
Jk
Perlakuan
JK Galat
SV

PO
0,57
0,65
0,27
1,49
0,50

P1
0,90
1,66
0,99
3,55
1,18
25
17
6,31

Perlakuan
P2
1,70
1,90
2,10
5,70
1,90

P3
0,99
1,66
0,88
3,53
1,18

70,0164
8

23,338
8

KTG

F hitung

P4
1,1000
0,6600
1,4400
3,2000
1,0667

Jumlah

Rata-rata

4,69
5,88
5,41
15,98

1,17
1,47
1,35
1,33

18,19
DB

FK

F Tabel
0,05

FK
1
17
Jk
5
6,3
1,26
0,62
3,48
Perlakuan
JK Galat
9
18,2
2,02
Jumlah
15
42
Ket: F Hitung 0,62 < F Tabel 3,48 (0,05), Tidak Berbeda Nyata.

0,01
6,06

48

Lampiran 5. Pertumbuhan Panjang Mutlak Larva Ikan Baung Selama


Penelitian (M. nemurus)
Perlakuan/
Ulangan
P0

1
2
3

Jumlah
Rata-rata
P1

1
2
3

Jumlah
Rata-rata
P2

1
2
3

Jumlah
Rata-rata
P3

1
2
3

Jumlah
Rata-rata
P4
Jumlah
Rata-rata

1
2
3

Panjang Rata-rata (cm)


Awal
Akhir
0,80
2,80
0,80
2,68
0,80
3,00
2,40
8,48
0,80
2,83
0,8
3,50
0,80
3,00
0,80
4,00
2,40
10,50
0,80
3,50
0,8
3,50
0,8
4,50
0,8
4,80
2,40
12,80
0,80
4,27
0,8
3,00
0,8
3,50
0,8
3,50
2,40
10,00
0,80
3,33
0,8
3,00
0,8
2,85
0,8
3,60
2,40
9,45
0,80
3,15

Panjang
Mutlak (gr)
2,00
1,88
2,20
6,08
2,03
2,70
2,20
3,20
8,10
2,70
2,70
3,70
4,00
10,40
3,47
2,20
2,70
2,70
7,60
2,53
2,20
2,05
2,80
7,05
2,35

49

Lampiran 6. Analisis Variansi Pertumbuhan Panjang Mutlak Larva Ikan


Baung Selama Penelitian (M. nemurus)
Ulangan
1
2
3
Jumlah
Rata-rata
JK Total
FK
Jk
Perlakuan
JK Galat

P0
2,00
1,88
2,20
6,08
2,03

Perlakuan
P1
P2
P3
2,70
2,70
2,20
2,20
3,70
7,05
3,20
4,00
2,35
8,10
10,40
11,60
2,70
3,47
3,87
148,67
73
87
14,4100
134,262

SV

DB

FK

FK
Jk
Perlakuan

87,266

72,856

72,8562
KTG
14,57
1
14,91
8

395

F hitung

0,977

P4
2,20
2,05
2,80
7,05
2,35

Jumlah

Rata-rata

9,60
14,83
11,75
36,18

2,40
3,71
2,94
3,02

131,
7

44
F Tabel

0,05

0,01

3,48

6,06

9
134,262
JK Galat
15
294,384
Jumlah
Ket: F Hitung 0,977 < F Tabel 3,48 (0,05), Tidak Berbeda Nyata.

50

Lampiran 7. Laju Pertumbuhan Berat Harian Larva Ikan Baung Selama


Penelitian (M. nemurus)
Perlakuan
Ulangan
P0

P1

P2

P3

P4

1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3

Berat
Awal
0,9
0,9
0,9
0,9
0,9
0,9
0,9
0,9
0,9
0,9
0,9
0,9
0,9
0,9
0,9

LPH %
Akhir
1,470
1,550
1,171
1,800
2,560
1,890
2,600
2,800
3,000
1,890
2,560
1,780
2,000
1,560
2,340

2,36
2,62
1,26
3,36
5,10
3,6
5,18
5,55
5,9
3,60
5,1
3,3
3,88
2,65
4,66

Rata %

2,08

4,02

5,54

4,00

3,73

51

Lampiran 8. Analisis Variansi Laju Pertumbuhan Berat Harian Larva Ikan


Baung Selama Penelitian (M. nemurus)
Perlakuan

Ulangan
1
2
3

PO
2,36
2,62
1,26

P1
3,36
5,10
3,60

P2
5,18
5,55
5,90

P3
3,60
5,10
3,30

Jumlah

6,24

10,54

16,63

12,00

2,08

4,02

5,54

4,00

3377,9
3
695,80

225,195
6
231,934
1

KTG

F hitung

Rata-rata
JK Total

Ratarata

18,38
21,02
18,72

4,01
4,60
4,37

58,12
3,87

72

FK

225

Jk
Perlakuan
JK Galat
SV

P4
3,8800
2,6500
4,6600
11,190
0
3,7300

Jumlah

6,74

64,97
DB

FK

0,05

FK
1
225
Jk
5
7
1,35
0,19
3,48
Perlakuan
JK Galat
9
65
7,22
Jumlah
15
297
Ket: F Hitung 0,19 < F Tabel 3,48 (0,05), Berbeda Sangat Nyata.

F Tabel
0,01
6,06

52

Lampiran 9. Lay Out Selama Penelitian dan Perendaman Cacing sutera

Lampiran 10. Penimbangan Jintan hitam dengan Timbangan Digital dan


Ikan uji

53

Lampiran 11. Pakan Cacing sutera dan Perendaman

Lampiran 12. Sampel Air NH3 dan DO pada Akhir Penelitian

54

Anda mungkin juga menyukai