PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kegiatan budidaya ikan baung (Mystus nemurus) selain bertujuan untuk
meningkatkan produksi ikan tersebut juga untuk mengatasi ketergantungan
masyarakat terhadap ikan baung yang berasal dari hasil penangkapan di alam,
yang cenderung menurun akibat tingginya penangkapan dan menurunnya daya
dukung perairan di mana ikan tersebut hidup (Noprimayanti, 2015).
Menurut Alawi (1995) untuk mempertahankan keadaan populasi ikan
baung, pembudidaya harus mengembangkan usaha budidaya ikan tersebut,
melalui penyediaan benih ikan baung yang berkualitas dengan jumlah yang
cukup. Masalah yang sering dihadapi dalam usaha pembenihan ikan adalah
tingginya tingkat mortalitas ikan pada saat fase larva. Seperti dinyatakan oleh
Djajadireja (dalam Hayati 2004) bahwa kematian ikan yang terbesar umumnya
terjadi sejak persediaan makanan pada kantong kuning telur habis sampai
berukuran benih.
Salah satu faktor yang menjadi penentu kelangsungan hidup dan
pertumbuhan larva ikan adalah pakan yang diberikan pada larva ikan (Agusnimar
et al., 2015). Untuk mengatasi hal itu larva ikan perlu diberi pakan yang cocok
untuk larva ikan baung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aryani, dkk
(2013) cacing sutera merupakan pakan alami yang terbaik untuk kelangsungan
hidup dan pertumbuhan larva ikan baung berumur 5-40 hari yang terbaik.
Cacing ini sangat dibutuhkan oleh ikan terutama fase larva, karena
nutrisinya sangat tinggi. Di dalam tubuh cacing sutera terkandung protein sekitar
57 % dan lemak 13 % serta dapat mempercepat pertumbuhan dan kelangsungan
hidup larva ikan baung (Mahmud, 2013).
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Morfologi Ikan Baung (Mystus nemurus)
Ikan baung diperkenalkan oleh Erlangga (2007) secara lengkap
mengklasifikasikan ikan baung dengan domain Eukaryota, kingdom Animalia,
subkingdom Bilateria, branch Deuterostomia, infrakingdom Chordonia, phylum
Chordata, subphylum Vertebrata, infraphylum Gnathostomata class Osteichthyes,
subclass Actinopterygii, infraclass Actinopteri, superdivision Neopterygii, division
Halecostomip,
subdivision
Teleostei,
infradivision
Elopocephala,
cohort
Ciriciri ikan baung dapat dilihat dari fisiknya yaitu badan panjang dan
tidak mempunyai sisik, memiliki sirip lemah yang panjangnya sama dengan sirip
dubur. Panjang totalnya 5 kali tinggi atau 3-3,5 kali panjang dan kepala. Ikan ini
mempunyai empat pasang sungut peraba, sirip punggung mempunyai 7 jari-jari.
Sirip dada mempunyai 8-9 jari-jari, sedangkan sirip ekor 11-12 jari-jari, kepala
besar dengan warna tubuh abu-abu kehitaman, punggung lebih gelap serta perut
lebih cerah, panjang tubuhnya bisa mencapai 50 cm (Tang et al., 2000).
Bentuk tubuh ikan baung memanjang, agak pipih, dan tidak bersisik. Di
bagian sirip dadanya terdapat tulang tajam dan bersengat yang berfungsi seperti
patil, yaitu sebagai senjata pembela diri, sirip ekor bercagak (bercabang)
mempunyai sirip punggung tambahan berupa sirip lemah yang terletak terpisah
antara sirip punggung dan sirip ekor dan mempunyai empat pasang sungut
(kumis) yang fungsinya sebagai alat peraba dan sungut rahang atas panjangnya
hampir melewati sirip dubur (Suraidah, 1992).
Ikan baung adalah ikan asli Indonesia. Ikan ini banyak hidup di air tawar.
Daerah yang paling disukai adalah perairan tenang, bukan air deras, karena itu
ikan baung banyak ditemukan di rawa-rawa, danau-danau, dan perairan yang
tenang lainnya (Rukmini, 2012).
Ikan baung merupakan ikan yang termasuk ordo ostariophysi yang hidup di
air tawar dan menyenangi hidup di dasar perairan. Suyanto (1994)
mengemukakan bahwa ikan yang termasuk genus Pangasius (patin), Siluridae
(selais), Claridae (lele) dan Macrones (baung) merupakan ikan yang berkumis dan
lebih menyenangi atau lebih suka hidup di perairan tawar yang tidak terlalu deras
atau perairan seperti danau, waduk telaga, rawa, serta genangan air seperti kolam.
keberhasilan budidaya, dimana ada dua cara untuk mendapatkan larva ikan baung
baik yaitu dengan cara penangkapan dari alam atau dan melakukan pemijahan
secara alami atau buatan (Sumantadinata, 1983).
Asnawi (1987) mengatakan bahwa faktor makanan mempunyai peranan
yang sangat penting bagi pertumbuhan individu. Untuk merangsang kelangsungan
hidup dan pertumbuhan ikan yang optimal diperlukan jumlah dan mutu makanan
yang tersedia dalam keadaan yang cukup.
Mudjiman (dalam Rosyadi dan Rasidi 2014) menjelaskan kandungan gizi
dari makanan untuk ikan secara umum meliputi, kadar protein 20-60 % dan
kandungan lemak antara 4-18 %, serat karbohidrat antara 10-15 %, kemudian
vitamin dan mineral berkisar 1 %. Karena harus sesuai dengan bukaan mulut pada
larva ikan maka bahan atau pakan yang digunakan harus mempunyai kandungan
gizi yang tinggi oleh karena itu cacing sutera merupakan pakan alami yang sesuai
dengan bukaan mulutnya dan kandungan gizinya pun lebih tinggi. Dimana
komposisi pada cacing sutera (T. tubifex) dapat disajikan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Komposisi Kandungan Cacing Sutera (T.tubifex) didalam Tubuh
Keterangan
Jumlah (%)
Lemak
13 %
Protein Kasar
Karbohidrat
65 %
20,3 %
Bahan Abu
5,3 %
Leusin
11,5 %
Prolin
5,6 %
Tyrosin
3,9 %
Arginin
8,9 %
Mediterania. Jintan hitam kini telah banyak ditanam di berbagai belahan dunia.
Jintan hitam juga dikenal dengan nama-nama lain seperti Black cumin atau Black
Seed, Habbatul Baraka (Inggris dan Amerika Serikat); Kalonji, Azmut, Gurat,
Aof, dan Aosetta (Urdu, Hindi, Srilangka); Syuniz, Shonaiz, Al-Habbah AlSawada, Habbet el-baraka dan Khondria (Persia dan Pakistan). Taksonomi N.
Sativa adalah:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Ranunculales
Famili
: Ranunculaceae
Genus
: Nigella
Spesies
: Nigella sativa
Tanaman ini mempunyai tinggi sekitar 20-30 cm. Tanaman yang juga
dikenal dengan nama black seed ini mempunyai bunga yang lembut dengan 5-10
kelopak dan biasanya berwarna biru atau putih. Bagian dari jintan hitam yang
sering digunakan sebagai obat tradisional adalah bijinya. Biji tanaman ini secara
tradisional telah digunakan selama berabad abad di Timur Tengah, Afrika Utara,
dan India, untuk mengobati asma, batuk, influenza, eksim, dan obat cacing
(Salem, 2005).
Saat ini, jintan hitam (N. sativa) telah dilaporkan memiliki banyak efek
farmakologi termasuk anti parasit (anti helmintik, anti cestoda dan anti
schistosoma, serta memiliki efek antimikroba), anti bakteri, anti fungi, antivirus,
anti oksidan, anti inflamasi dan telah menunjukkan aktivitas dalam meningkatkan
respon imunitas berperan antara sel (Fatmawati, 2009)
9
Jumlah (%)
16,5
7,4
7,5
5,5
29,4
33,2
Jumlah %
21
35
38
6
Dengan adanya jumlah serta kandungan kimia yang ada dalam jintan hitam
(N. sativa) atau kandungan asam lemak essensial yang ada dalam jintan hitam
yaitu linoleat dan oleat dapat membantu sistem kekebalan tubuh serta
kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva ikan tersebut. Berbagai bahan herbal
digunakan dalam pencegahan penyakit, kelangsungan hidup dan pertumbuhan.
10
Bahan herbal difungsikan dalam memicu sistem imun non spesifik ikan sehingga
mampu menahan serangan akibat bakteri serta peningkatan kelangsungan hidup
dan pertumbuhan. Salah satu bahan alami yang digunakan untuk pengganti adalah
jintan hitam (N. sativa) (Permata, 2009).
Jintan hitam berpengaruh menguatkan fungsi kekebalan tubuh, dimana
kadar sel-sel T pembantu meningkat dibandingkan sel-sel T penekan dengan
perbandingan rata-rata 72 % serta terjadi peningkatan aktivitas sel-sel pembunuh
alami rata-rata 75 % (Anonim, 1986).
rasio antara sel T helper (Th) dengan sel T suppressor (Ts), sel (Th) berfungsi
sebagai membantu atau mengontrol sistem imun spesifik sedangkan sel (Ts)
berfungsi sebagai menghentikan respon imun (Ahmad, 2013).
2.3.3 Sistem Imun pada Ikan
12
13
nabati terbungkus didalam dinding selulosa yang memang sukar dicerna. Selain
itu kandungan asam amino esensialnya dari protein nabati umumnya kurang
lengkap dibandingkan dengan protein hewani.
Yilmaz et al., (2013) telah melakukan penelitian dengan tujuan untuk
mengetahui pengaruh tepung jintan hitam sebagai pakan tambahan terhadap
performan pertumbuhan dan resistensi penyakit pada awal makan ikan mujair
(Oreochromis mossambicus). Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa tepung
jintan hitam bisa digunakan untuk mendorong pertumbuhan dan meningkatkan
pemanfaatan makanan dan pertambahan berat larva ikan mujair, di samping itu
bisa juga digunakan sebagai agen antimikroba (antimicrobial agent) selama fase
awal larva ikan mujair (O.mossambicus).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wafaa et al., (2014)
tentang pengaruh penambahan biji jintan hitam, teh hijau dan ektrak propolis
terhadap parameter pertumbuhan, komposisi tubuh serta efisiensi ekonomi ikan
nila, ditemukan bahwa bahwa berat akhir, pertambahan berat, konversi pakan naik
secara signifikan pada ikan nila yang diberi biji jintan hitam di ikuti oleh ekstrak
propolis dan teh hijau. Dari hasil penelitian ini juga ditemukan bawah
penambahan zat tersebut dalam pakan ikan dapat menunjukan peningkatan
produksi yang efisien secara ekonomis dibandingkan dengan kontrol.
2.5 Kelangsungan hidup
Kelangsungan hidup merupakan perbandingan antara jumlah ikan yang
hidup pada akhir pemeliharaan dengan jumlah ikan yang ada pada awal
pemeliharaan. Dalam budidaya mortalitas merupakan penentu keberhasilan usaha
tersebut (Setiaji, 2007).
15
dipelihara
diharapkan
dapat
mencegah
terjadinya
kelaparan
dan
16
perairan yang terpilih haruslah yang memenuhi syarat bagi kelangsungan hidup
dan pertumbuhan ikan yang dibudidayakan.
Djatmika (dalam Boy 2005) mengemukakan kualitas air merupakan faktor
yang paling penting dalam budidaya intensif selain sebagai media hidup bagi ikan
kadang ada air yang nampaknya bersih, ternyata sudah dikategorikan kotor. Hal
ini dikarenakan pada bagian dasar wadah terdapat sisa pakan yang membusuk dan
menjadi amoniak. Asnawi (1987) menyatakan amoniak merupakan hasil
perombakan asam-asam amino oleh berbagai jenis bakteri aerob maupun anaerob.
Kualitas air adalah variabel yang dapat mempengaruhi kehidupan ikan serta
biota air lainnya. Variabel tersebut meliputi sifat-sifat kimia air seperti kandungan
oksigen, pH, karbondioksida, amoniak, dan alkalinitas. Selain sifat-sifat kimia air
juga meliputi sifat-sifat fisika dan biologi seperti suhu, kekeruhan, warna serta
jumlah plankton atau binatang air lainnya (Khairuman dan Amri, 2008).
Susanto (1991) menyatakan perairan sebagai tempat lingkungan hidup ikan,
kualitas lingkungan perairan memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap
pertumbuhan ikan, dimana suhu yang terbaik adalah 25-32C dengan perbedaan
suhu siang dan malam tidak melebihi 5C, kadar O2 terlarut berkisaran antara 6,78,6 ppm, sedangkan pH berkisaran antara 6,5-7,5.
Menurut Kordi dan Tancung (2007) oksigen yang dibutuhkan untuk
pernapasan biota budidaya tergantung ukuran, suhu dan tingkat aktivitasnya dan
batas minimumnya adalah 3 ppm atau mg/l. Kandungan oksigen di dalam air yang
dianggap optimum bagi budidaya air adalah 4-10 ppm.
Menurut Susanto (2009) pH air yang optimum adalah 6,7-8,6 atau berkisar
antara 4,9, oksigen terlarut berkisar antara 5-6 ppm, phospat lebih kecil dari 0,02
ppm dan kandungan NH3 kurang dari 1,5 ppm. Sedangkan Tang (2003)
17
menyatakan pH air yang optimum bagi ikan baung 4-11, oksigen terlarut 1-9 ppm,
salinitas 0-12 ppt dan alkalinitas lebih kecil dari 16 ppm.
Menurut Kordi dan Tancung (2007) penyebab timbulnya amoniak dalam air
tambak atau kolam adalah sisa-sisa dari ganggang yang mati, sisa pakan, dan
kotoran budidaya itu sendiri.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Balai Benih Ikan Fakultas Pertanian
Universitas Islam Riau pada Bulan Februari-Maret 2016.
3.2 Bahan dan Alat Penelitian
3.2.1 Bahan
a) Ikan uji
Ikan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva ikan baung
berumur 7 hari panjang 0,8 cm dan berat 0,9 gr yang berasal dari hasil pemijahan
buatan induk ikan baung di Balai Benih Ikan (BBI) Fakultas Pertanian Universitas
Islam Riau jumlah seluruh larva yang digunakan sebagai ikan uji dalam penelitian
ini adalah 750 ekor.
b) Cacing Sutera (T. tubifex)
Cacing sutera yang digunakan sebagai pakan ikan uji dalam penelitian ini
diperoleh dari pengumpul yang dicari di sungai sail. Cacing sutera yang diberikan
kepada ikan uji dalam bentuk utuh.
18
Penggaris
Blower
Aqua gelas 3 buah
19
3.3.1
Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menyiapkan wadah, ikan uji, pakan ikan uji
20
21
Pi
ij
= 1, 2, 3, 4 (perlakuan)
= 1, 2, 3 (ulangan)
Wt
Wo
Lt
Lo
wt
wo
1 x 100%
keterangan :
a
Wt
23
Wo
t
Nt
No
= Ada pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan baung yang diberi
cacing sutera (T.tubifex) yang telah direndam dalam larutan jintan Hitam
Sedangkan asumsi yang diajukan dalam penelitian ini antara lain :
sama
Sumber T.tubifex dianggap sama
Keahlian peneliti dianggap sama
Ketelitian peneliti dianggap sama
Sumber air media dianggap sama
Campuran T. Tubifex dengan jintan hitam dianggap sama
3.5 Analisa Data
Pada penelitian ini yang diamati adalah tingkat kelangsungan hidup dan
pertumbuhan larva ikan baung. Selain itu, dilakukan pengamatan kualitas air yang
diperkirakan berpengaruh terhadap larva ikan baung. Data yang diperoleh
24
disajikan dalam bentuk tabel dan histogram guna memudahkan dalam menarik
kesimpulan.
Hasil pengukuran pertumbuhan dan kelangsungan hidup dianalisa dengan
menggunakan ANAVA (sidik ragam) pola acak lengkap RAL. Bila anava
menunjukkan F hitung < F tabel taraf 95 %, maka tidak ada pengaruh perlakuan
dan bila F hitung > F tabel taraf 99 % maka perlakuan ini berpengaruh sangat
nyata (Sudjana, 1992). Hasil analisa variansi data yang menunjukkan perbedaan
sangat nyata akan dilanjutkan dengan uji Newman-Keuls.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan selama penelitian diperoleh
data kelangsungan hidup, pertumbuhan berat, pertumbuhan panjang dan laju
25
50
35,00
70,00
P1
50
43,00
86,00
P2
50
45,33
90,67
P3
50
42,33
84,67
P4
50
39,00
78,00
Keterangan:
P0 = Tanpa Penambahan Jintan hitam pada cacing sutera
P1 = Penambahan Jintan hitam dengan dosis 0,1 mg/3 gr cacing sutera
P2 = Penambahan Jintan hitam dengan dosis 0,2 mg/3 gr cacing sutera
P3 = Penambahan Jintan Hitam dengan dosis 0,3 mg/3 gr cacing sutera
P4 = Penambahan Jintan Hitam dengan dosis 0,4 mg/3 gr cacing sutera
Dari Tabel 4.1 terlihat rata-rata kelangsungan hidup ikan uji pada masingmasing perlakuan menunjukan perbedaan. Pada perlakuan (P0) sebasar 70,00 %,
(P1) sebesar 86,00 %, (P2) sebesar 90,67 %, (P3) sebesar 84,67 % dan pada
perlakuan (P4) sebesar 78,00 %. Meskipun tingkat kelangsungan hidup ikan uji
menunjukan perbedaan namun dari hasil uji statistik diperoleh F hitung (0,42) < F
tabel(0,05) (3,48) pada tingkat ketelitian 95%. Dengan demikian pemberian cacing
sutera yang direndam dalam larutan jintan hitam dengan dosis berbeda tidak
berpengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup ikan uji.
26
100
80
60
Kelangsungan Hidup (%) 40
20
0
86
90.67
84.67
78
P1
P2
P3
P4
70
P0
Perlakuan
Gambar 4.1. Grafik Rata-rata Kelangsungan Hidup Larva Ikan Baung (M.
nemurus) Selama Penelitian (%).
27
Berdasarkan gambar 4.1 kelangsungan hidup ikan uji yang terbaik terdapat
pada perlakuan (P2) dan yang terendah pada perlakuan (P1, P3 dan P4) yaitu
86,00 %, 84,67 % dan 78,00 %, karena pada perlakuan (P2) merupakan dosis
yang optimal untuk kelangsungan hidup ikan uji, jika dosis jintan hitam dinaikan
menjadi 0,3, 0,4 mg/3 gr pakan maka kelangsungan hidup ikan uji akan menurun.
Hal ini diduga karena kandungan jintan hitam asam amino yang membentuk
protein sangat berlebih pada saat perendaman pada cacing sutera. Selain itu juga
disebabkan oleh cacing sutera yang direndam dalam larutan jintan hitam berubah
warna putih karena banyaknya zat tymoquinone dan tymol yang diserap cacing
sutera. Sehingga pakan yang diberikan tidak termanfaatkan dengan baik oleh
karena itu kelangsungan hidup ikan uji menurun. Selanjutnya Anonim (2007)
bahwa zat tymoquinone dan tymol diberikan berlebih pada, akan menyebabkan
damak buruk pada pakan tersebut.
Perlakuan P0 lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan P1, P2, P3 dan
P4, karena pada perlakuan P0 tidak diberi larutan jintan hitam sehingga asupan
tambahan yang diberikan pada cacing sutera untuk ikan uji tidak ada sehingga
kelangsungan hidup ikan uji kurang baik.
4.2. Pertumbuhan Berat Mutlak
Hasil penelitian dan pengukuran pertumbuhan berat mutlak larva ikan baung
yang dilakukan selama 21 hari pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2.
Perlakua
n
P0
P1
1,39
2,08
0,49
1,18
28
P2
P3
P4
0,9
0,9
0,9
2,80
2,07
1,96
1,90
1,17
1,06
Dari Tabel 4.2 terlihat bahwa tingkat pertumbuhan berat mutlak ikan uji
pada perlakuan (P0) adalah sebesar 0,49 gr, pada perlakuan (P1) sebesar 1,18 gr,
pada perlakuan (P2) sebesar 1,90 gr, pada perlakuan (P3) sebesar 1,17 gr dan pada
perlakuan (P4) sebesar 1,06 gr. Dari hasil uji statistik diperoleh F hitung (0,62) <
F tabel(0,05) (3,48) pada tingkat ketelitian 95%. Ini berarti bahwa pemberian cacing
sutera yang direndam dalam laurtan jintan hitam dengan dosis berbeda tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan berat mutlak larva ikan
baung.
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pertumbuhan berat mutlak ikan uji
yang diberi jintan hitam dengan dosis yang berbeda menunjukan pertumbuhan
berat mutlak yang berbeda. Untuk lebih jelasnya perbedaan tersebut dapat dilihat
pada Gambar 4.2
1.900
2.000
1.183
1.500
Pertumbuhan Berat Mutlak (gr)
1.000
1.177 1.067
0.497
0.500
0.000
P0
P1
P2
P3
P4
Perlakuan
Gambar 4.2. Grafik Rata-rata Pertumbuhan Berat Mutlak Larva Ikan Baung
(M.nemurus) selama penelitian (gr).
Pada gambar 4.2 dapat dilihat bahwa pertumbuhan berat mutlak ikan uji
yang diberi cacing sutera yang direndam dalam larutan jintan hitam (P1, P2, P3
29
dan P4) lebih tinggi dari pertumbuhan berat mutlak ikan uji yang diberi cacing
sutera tanpa direndam dalam larutan jintan hitam (P0). Hal ini berarti jintan hitam
dapat meningkatkan pertumbuhan berat mutlak ikan uji. Menurut Ahmad (2013),
jintan hitam mempunyai peranan penting dalam reaksi pembentukan prolin, oleat,
linoleat, leusin dan zat besi dimana senyawa di atas berfungsi dalam pembentukan
kolagen dan perkembangan tulang pada larva ikan. Disamping itu di dalam jintan
hitam ada asam ascorbat yang dapat membantu pertumbuhan ikan uji. Seperti
dikemukakan oleh Sobhana (dalam Noprimayanti 2016) bahwa asam ascorbat
dalam jintan hitam memiliki peranan penting dalam fungsi pertumbuhan, akan
tetapi apabila jumlah asam askorbat dan zat lain lebih tinggi akan menyebabkan
kerusakan pada pakan tersebut.
Pada gambar tersebut juga terlihat bahwa tingkat pertumbuhan berat mutlak
ikan uji yang tertinggi didapat pada perlakuan (P2) 0,2 mg/3 gr. Dengan demikian
dosis yang terbaik tersebut bukanlah dosis jintan hitam yang terendah 0,1 mg/3 gr
pakan (P1) maupun yang tertinggi 0,4 mg/3 gr pakan (P4) melainkan pemberian
jintan hitam dengan dosis 0,2 mg/3 gr pakan.
Hasil yang didapat pada penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Yilmaz et al., (2013) yang menemukan bahwa pertumbuhan
ikan mujiar (Oreochromis mossambicus) tertinggi ditemukan pada perlakuan
dengan pemberian jintan hitam dengan dosis 1 %, lebih baik dari pemberian
dengan dosis lebih rendah (0,0 % dan 0,5 %) maupun dengan dosis yang lebih
tinggi ( 1,5 % dan 2,0 %).
Sudah dipastikan mengapa pemberian cacing sutera yang direndam dalam
larutan jintan hitam dengan dosis 0,2 mg/ 3 gr perlakuan (P2) lebih baik dari
pemberian cacing sutera yang direndam dalam larutan jintan hitam dengan dosis
30
yang lebih tinggi ( 0,3 mg/ 3 gr atau 0,4 mg/ 3 gr pakan) perlakuan (P3 dan P4).
Namun demikian di duga disebabkan karena pemberian jintan hitam dengan dosis
yang lebih tinggi menyebabkan terjadinya kerusakan pada tubuh cacing sutera
yang direndam dalam larutan jintan hitam yang diberikan pada larva dapat
menghambat proses pertumbuhan berat mutlak ikan uji.
Pada perlakuan (P1) 1,18 gr, rata-rata pertumbuhan berat mutlak ikan uji
lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan (P2) 1,90 gr. Hal tersebut terjadi
karena disebabkan dosis yang diberikan terlalu rendah, sehingga dosis jintan
hitam yang ditambahkan pada pakan terlalu sedikit. Sehingga ikan uji kurang
mendapatkan nutrien tambahan dari jintan hitam. Seperti dikemukan oleh Yilmaz
et al., (2013) jintan hitam merupakan pakan tambahan ( diatary supplementation).
P4
0,8
3,30
2,35
Pada Tabel 4.3 terlihat bahwa pertumbuhan panjang mutlak ikan uji pada
setiap perlakuan yaitu (P0) sebesar 2,03 cm, (P1) 2,70 cm, (P2) 3,47 cm, (P3) 2,53
cm dan (P4) 2,35 cm. Dari hasil uji statistik diperoleh F hitung (0,977) < F
tabel(0,05) (3,48) pada tingkat ketelitian 95 %. Hal ini berarti bahwa pemberian
cacing sutera yang direndam dalam larutan jintan hitam dengan dosis berbeda
memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan panjang
mutlak ikan uji. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.3 untuk setiap
perlakuan.
3.467
3.500
3.000
2.500
2.000
1.500
1.000
0.500
0.000
2.700
2.533
2.027
PO
P1
P2
P3
2.350
P4
Perlakuan
Gambar 4.3. Grafik Rata-rata Pertumbuhan Panjang Mutlak Larva Ikan Baung
(M. nemurus) Selama Penelitian (cm)
Pada Gambar 4.3 terlihat bahwa pertumbuhan panjang mutlak ikan uji yang
diberi cacing sutera yang direndam dalam larutan jintan hitam dengan dosis 0,2
mg/3 gr pakan (P2) menghasilkan pertumbuhan yang tertinggi yaitu 3,47 cm. Ini
diduga disebabkan oleh kandungan senyawa asam lemak yang membantu
mendorong pertumbuhan panjang mutlak ikan uji. Selanjutnya Mardiana (2011)
32
jintan hitam banyak mengandung asam lemak, yang merupakan asam lemak yang
banyak terdapat di alam dan secara khusus banyak terkandung pada jintan hitam,
sehingga harus ada asupan tambahan dari luar.
Dapat dilihat bahwa pertumbuhan panjang mutlak ikan uji yang diberi
cacing sutera yang direndam dalam larutan jintan hitam didapat hasil tertinggi
pada perlakuan (P2) sebesar 3,47 cm dan yang terendah pada perlakuan (P0) yaitu
2,03 cm. Hal ini berarti pemberian cacing sutera yang direndam dalam larutan
jintan hitam mampu mempercepat pertumbuhan panjang mutlak ikan uji dan lebih
baik dari pada tanpa direndam dalam jintan hitam. Hal ini diduga oleh kandungan
linoleat pada jintan hitam dapat mendorong pertumbuhan panjang mutlak ikan uji.
Selanjutnya Widjaja dan Utomo (2007) apabila tubuh kekurangan asam lemak
(linoleat) akan mengakibatkan terganggunya sistem metabolisme pada tubuh
sehingga terjadi penghambatan pada pertumbuhan ikan. Senyawa aktif jintan
hitam yang mengakibatkan pertumbuhan ikan uji sangat cepat pertumbuhannya
karena adanya senyawa-senyawa asam amino, nutrisi dan asam lemak (Srinivasan,
2005).
4.4. Laju Pertumbuhan Berat Harian
Adapun data laju pertumbuhan berat harian tertera pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4. Rata-rata Laju Pertumbuhan Berat Harian Larva Ikan Baung
(M.nemurus) selama penelitian (%)
Laju Pertumbuhan
Perlakuan/Ulanga
Rata-rata Laju Berat Harian (gr)
Harian (%)
n
Awal
Akhir
P0
0,90
1,39
2,08
P1
0,90
2,08
4,02
P2
0,90
2,80
5,54
P3
0,90
2,07
4,00
P4
0,90
1,96
3,73
33
Dari Tabel 4.4 terlihat rata-rata laju pertumbuhan berat harian ikan uji pada
perlakuan (P0) sebesar 2,08 %, (P1) sebesar 4,02 %, (P2) sebesar 5,54 %, (P3)
sebesar 4,00 % dan pada perlakuan (P4) sebesar 3,73 %. Hal itu berarti laju
pertumbuhan berat harian ikan relatif tinggi, karena lebih dari 2,5 %. Kemudian
menurut Djangkaru (1975), nilai laju pertumbuhan harian yang baik minimal 1 %.
Sementara Djajasekawa (1985) menyatakan laju pertumbuhan berat harian ikan
adalah 2,5 % (bila makanan alami tidak ada).
Setelah dilakukan uji statistik diperoleh hasil F hitung (0,19) < F tabel(0,05)
(3,48) pada tingkat ketelitian 95%. Ini berarti bahwa pemberian cacing sutera
yang direndam dalam jintan hitam dengan dosis berbeda memberikan pengaruh
tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan ikan uji. Meskipun demikian laju
pertumbuhan untuk masing-masing perlakuan berbeda. Di mana laju pertumbuhan
ikan uji pada perlakuan yang diberi cacing sutera yang direndam dalam larutan
jintan hitam (P1), (P2), (P3) dan (P4) lebih tinggi dari kelangsungan hidup ikan
uji tanpa diberi larutan jintan hitam pada pakan (P0). Untuk lebih jelasnya laju
pertumbuhan harian ikan uji selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.4.
5.54
6
4
Laju Pertumbuhan Berat Harian (%)
4.02
3.73
P3
P4
2.08
2
0
P0
P1
P2
Perlakuan
Gambar 4.4. Grafik Rata-rata Laju Pertumbuhan Berat Harian Ikan Baung (M.
nemurus) Selama Penelitian (%).
34
Pada Gambar 4.4. dapat dijelaskan diatas bahwa, perlakuan (P2) diperoleh
laju pertumbuhan berat harian yang terbaik sebesar 5,54 %. Data ini lebih baik
dibandingkan dengan perlakuan (P0) sebesar 2,08 %, perlakuan (P1) sebesar 4,02
%, (P3) yaitu sebesar 4,00 % dan (P4) sebesar 3,73 %. Dimana dosis yang
optimum jintan hitam yang terbaik untuk laju pertumbuhan berat harian ikan uji
adalah 0,2 mg/3 gr pakan (perlakuan P2) yaitu sebesar 5,54 %.
Seperti dikemukakan oleh Asnawi (1987) makanan yang dimanfaatkan oleh
ikan, pertama sekali dimanfaatkan untuk memelihara tubuh dan mengganti alatalat tubuh yang rusak, setelah itu kelebihan makanan yang tersisa baru digunakan
untuk pertumbuhan. Tingginya laju pertumbuhan berat harian ikan uji yang diberi
cacing sutera yang direndam dalam larutan jintan hitam jika dibandingkan dengan
laju pertumbuhan berat harian ikan uji yang diberi cacing sutera tanpa direndam
dalam larutan jintan hitam, disebabkan karena adanya kelebihan asupan nutrisi
pada pakan yang berasal dari jintan hitam.
Pada perlakuan (P1) 4,02 % laju pertumbuhan berat hariannya lebih lambat
dibandingkan dengan (P2) 5,54 %, karena jumlah kandungan pada jintan hitam
lebih sedikit yang masuk kedalam tubuh cacing karena jumlah dosis yang
diberikan pada perlakuan (P1) hanya 0,1 mg/3 gr pakan ini diduga karena asupan
nutrisi tambahan jintan hitam yang diberikan pada pakan mengakibatkan laju
pertumbuhan berat harian rendah, sedangkan pada perlakuan (P3) dan (P4)
mengalami penurunan laju pertumbuhan berat harian ini disebabkan oleh jumlah
kandungan pada jintan hitam yang diberi pada pakan mengakibatkan perubahan
pada cacing sutera itu sendiri sehingga laju pertumbuhan berat harian menjadi
lambat dan rendah. Pada perlakuan (P0) laju pertumbuhan berat harian lebih
rendah dibandingkan dari perlakuan lain, ini disebabkan karena pada pakan tidak
35
direndam jintan hitam karena sedikitnya kandungan yang dapat membantu proses
pencernaan didalam pencernaan ikan sehingga laju pertumbuhan berat harian
menjadi rendah.
Cortezt-Jacinto et al., (2005) menjelaskan bahwa laju pertumbuhan berat
harian berkaitan erat dengan pertambahan berat tubuh yang berasal dari pakan
yang dikonsumsi oleh ikan.
4.5. Kualitas Air
Dalam penelitian ini juga dilakukan pengukuran kualitas air yaitu suhu, pH,
oksigen terlarut, dan amoniak. Hasil pengukuran kualitas ait dapat dilihat Tabel
4.5.
Kisaran Angka
Suhu 0C
23-30
3,35-3,53
NH3
0,32-0,39
Kisaran angka suhu air selama penelitian ini dianggap sangat baik sesuai dengan
pendapat Lovel (dalam Emri 1995) yang menyatakan bahwa suhu air yang
optimal bagi ikan cat fish berkisar antara 24-32 0C, dengan demikian suhu air pada
penelitian layak dan mendukung bagin kehidupan ikan baung.
Derajat keasaman merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan dan kehidupan ikan. Dari hasil pengamatan hasil pengukuran selama
36
penelitian, pH air media yang digunakan untuk penelitian yaitu 6. Susanto dalam
Hardianto (2014) menyatakan bahwa untuk mendukung kehidupan ikan budidaya
secara wajar, nilai pH berkisar antara 5-9.
Oksigen terlarut (DO) selama penelitian berkisar antara 3,35-3,52 ppm,
Tang (2003) menyatakan bahwa oksigen terlarut untuk ikan baung yaitu 1-9 ppm.
Sedangkan Handoyo et al., (2010) menyatakan bahwa oksigen terlarut yang
optimal untuk kehidupan ikan 2-9 ppm. Selanjutkan Huet (1973) menambahkan
bahwa kandungan oksigen terlarut yang layak bagi kehidupan ikan tidak kurang
dari 1 ppm.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pengamatan terhadap perendaman cacing
sutra (T. tubifex) dengan larutan jintan hitam terhadap pertumbuhan dan
kelangsungan hidup larva ikan baung dapat disimpulkan sebagai berikut.
Pemberian cacing sutera (T. tubifex) yang direndam dalam larutan jintan
hitam dengan dosis yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap Kelangsungan
hidup dan pertumbuhan larva ikan baung.
Kelangsungan hidup larva ikan baung yang terbaik sebesar 90,67 %
ditemukan pada perlakuan (P2) yaitu perlakukan pemberian cacing sutera yang
direndam dalam jintan hitam dengan dosis 0,2 mg/3 gr. Sedangkan Pertumbuhan
berat larva ikan, pertumbuhan panjang mutlak dan laju pertumbuhan berat harian
37
ikan baung terbaik juga ditemukan pada perlakuan (P2) masing-masing 1,90 gr,
1,90 cm dan 5,54%.
5.2. Saran
Berdasarakan penelitian ini disarankan bahwa untuk meningkatkan
kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva ikan baung perlu diberi cacing sutera
yang direndam dalam larutan jintan hitam dengan dosis 0,3 mg/ 3 gr pakan.
Disamping itu disarankan untuk melakukan penelitian untuk meningkatkan
efektifitas penggunaan jintan hitam untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan
pertumbuhan larva ikan baung.
DAFTAR PUSTAKA
Aboul dan E. I. Ela 2002. Cytogenetic Studies on Nigella sativa Seeds Extract and
Thymoquinone on Mouse Cells Infected with Schistosomiasis Using
Karyotyping. Mutation Research, 516: halaman 11-17.
Agusnimar, Sholihin dan Abdul Fatah Rasidi. 2015. Kelangsungan hidup dan
Pertumbuhan Larva Ikan Selais yang diberi cacing Sutera (Tubifex tubifex)
Utuh dan Olahan. Jurnal Dinamika Pertanian Vol. XXX : halaman 77-82
Ahmad. 2013. Efektifitas Jintan Hitam (N. sativa) Sebagai Imonostimulan pada
Kakap Putih (L. calcarifer) terhadap Bakteri Vibrio alginolyticus melalui
Profil Histopologi. Halaman 48
Alawi, H. 1995. Budidaya Ikan Baung (Macrones nemurus C.V) dalam Keramba
Terapung di Sungai Kampar, Pertumbuhan dan Produksi Ikan Baung dengan
Padat Berbeda. Lembaga Penelitian Universitas Riau, Pekanbaru 36
halaman.
Anonim. 2013. Kandungan Nutrisi pada Cacing sutera untuk Pertumbuhan dan
Kelangsungan Hidup Larva Ikan Baung
Anonim. 2008. Tentang Tingkat Kematian yang Tertinggi pada Masa Larva Ikan
Anonim. 2007. Jintan Hitam (Nigella sativa) Sebagai Anti Bakteri Terhadap
Pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus.
Universitas Pendidikan Indonesia. Jakarta
38
39
Kokdil, G. dan S, Yilmaz. (2005). Analysis of the Fixed Oils of the Genus Nigella
L. (Ranunculaceae) in Turkey. Biochemical Systematics and Ecology, Vol
(33): 1203-1209.
Kordi, M. G. H dan A, B. Tancung. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam
Budidaya Perairan. Cetakan Pertama, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. 208
halaman.
Kono, 1996. Pengaruh Frekuensi Pemberian Pakan yang Berbeda Terhadap
Pertumbuhan dan Kelulushidupan Benih Ikan Selais (Kriptopterus lais).
Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 9-11 halaman
Kuncoro, B. 2010. Budidaya Belut Sistem Organik. IPB Press. Bogor. 51 halaman
Kurnia, A. 2012. Budidaya Ikan Baung (Mystus nemurus) di Desa Buluh Cina.
Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Hasil Praktek
Umum Fakultas Pertanian UIR. 61 halaman.
Madsuly, 2002. Ekologi Budidaya Ikan Air Tawar. Penerbit Yayasan Pustaka
Nusantara. Yogyakarta. 126-138 halaman
Mardiana. 2011. Karakteristik Asam Lemak dan Kolesterol Rajungan
(Portunuspelagicus) akibat proses pengukusan. [skripsi]. Bogor: Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 228 halaman
Mudjiman, A. 2008. Makanan Ikan. Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Jakarta. 192
halaman.
Pennak, R. W. 1978, "Fresh - Water Invertebrates of The United State", second
Edition, Wiley - Intersciens Publication. New York. 113 halaman
Permata, M. K. 2009. Pengaruh Pemberian Ekstrak Jintan Hitam (Nigella sativa)
Terhadap Perubahan Histopatologik Hepar Mencit Balb/C Yang Diinfeksi
Salmonella Typhimurium. Universitas Diponegoro. Semarang
Potchestroom. 1989. Pengobatan Antihistimin dan Antialergi, Universitas
Potchestroom Afrika Selatan. Jilid V. VI. Hal 357
Rodiana, 2015. Pemberian Probiotik dengan Dosis Berbeda pada T.tubifex
Terhadap Pertumbuhan dan Kelulushidupan Larva Ikan Selais
(Kryptopterus lais). Skripsi Fakultas Pertanian. Jurusan Budidaya Perairan.
Universitas Islam Riau. Pekanbaru. 58 halaman
Rosyadi, dan A. F. Rasidi,. 2014. Pemberian Probiotik Dengan Dosis Berbeda
Terhadap Pertumbuhan Ikan Baung (Mystus nemurus) Di Kolam
Pemeliharaan. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian. UIR. 52 halaman.
Rukmini. 2012. Teknologi Budidaya Biota Laut. Karya Putra Darwati. Bandung.
141 halaman
Saanin, H. 1968. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid I dan II. Bina Cipta.
Bogor. 244 halaman.
41
Yogyakarta. 88
42
43
LAMPIRAN
44
Kelulushidupan
(%)
64,00
72,00
74,00
210,00
70,00
82,00
88,00
88,00
258,00
86,00
90,00
90,00
92,00
272,00
90,67
88,00
88,00
78,00
254,00
84,67
76,00
80,00
78,00
234,00
45
Rata-rata
50,00
39,00
78,00
P0
64,00
72,00
74,00
210,00
70,00
101924
65869
19318,9
3
82605,5
1
DB
Perlakuan
P1
P2
82,00
90,00
88,00
90,00
88,00
92,00
258,00
272,00
86,00
90,67
P3
88,00
88,00
78,00
254,00
84,67
P4
76,00
84,67
76,00
80,00
78,00
Rata-rata
324,00
338,00
332,00
994,00
331,33
81,00
84,50
83,00
82,83
988036,0
0 65869,0667
255564,0
0
85188
FK
KTG
F
hitung
19319
F Tabel
0,05
65869
19318,9
5
3863,79
0,42
3,48
3
82605,5
9
9178,39
JK Galat
1
15
167794
Jumlah
Ket: F Hitung 0,42 < F Tabel 3,48 (0,05), Tidak Berbeda Nyata
FK
Jk
Perlakuan
Jumlah
0,01
6,06
46
1
2
3
Jumlah
Rata-rata
P1
1
2
3
Jumlah
Rata-rata
P2
1
2
3
Jumlah
Rata-rata
P3
1
2
3
Jumlah
Rata-rata
P4
Jumlah
Rata-rata
1
2
3
Selama
Rerata Berat
Mutlak (gr)
0,570
0,650
0,271
1,491
0,497
0,900
1,660
0,990
3,550
1,183
1,700
1,900
2,100
5,700
1,900
0,990
1,660
0,880
3,530
1,177
1,100
0,660
1,440
3,200
1,067
47
PO
0,57
0,65
0,27
1,49
0,50
P1
0,90
1,66
0,99
3,55
1,18
25
17
6,31
Perlakuan
P2
1,70
1,90
2,10
5,70
1,90
P3
0,99
1,66
0,88
3,53
1,18
70,0164
8
23,338
8
KTG
F hitung
P4
1,1000
0,6600
1,4400
3,2000
1,0667
Jumlah
Rata-rata
4,69
5,88
5,41
15,98
1,17
1,47
1,35
1,33
18,19
DB
FK
F Tabel
0,05
FK
1
17
Jk
5
6,3
1,26
0,62
3,48
Perlakuan
JK Galat
9
18,2
2,02
Jumlah
15
42
Ket: F Hitung 0,62 < F Tabel 3,48 (0,05), Tidak Berbeda Nyata.
0,01
6,06
48
1
2
3
Jumlah
Rata-rata
P1
1
2
3
Jumlah
Rata-rata
P2
1
2
3
Jumlah
Rata-rata
P3
1
2
3
Jumlah
Rata-rata
P4
Jumlah
Rata-rata
1
2
3
Panjang
Mutlak (gr)
2,00
1,88
2,20
6,08
2,03
2,70
2,20
3,20
8,10
2,70
2,70
3,70
4,00
10,40
3,47
2,20
2,70
2,70
7,60
2,53
2,20
2,05
2,80
7,05
2,35
49
P0
2,00
1,88
2,20
6,08
2,03
Perlakuan
P1
P2
P3
2,70
2,70
2,20
2,20
3,70
7,05
3,20
4,00
2,35
8,10
10,40
11,60
2,70
3,47
3,87
148,67
73
87
14,4100
134,262
SV
DB
FK
FK
Jk
Perlakuan
87,266
72,856
72,8562
KTG
14,57
1
14,91
8
395
F hitung
0,977
P4
2,20
2,05
2,80
7,05
2,35
Jumlah
Rata-rata
9,60
14,83
11,75
36,18
2,40
3,71
2,94
3,02
131,
7
44
F Tabel
0,05
0,01
3,48
6,06
9
134,262
JK Galat
15
294,384
Jumlah
Ket: F Hitung 0,977 < F Tabel 3,48 (0,05), Tidak Berbeda Nyata.
50
P1
P2
P3
P4
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
Berat
Awal
0,9
0,9
0,9
0,9
0,9
0,9
0,9
0,9
0,9
0,9
0,9
0,9
0,9
0,9
0,9
LPH %
Akhir
1,470
1,550
1,171
1,800
2,560
1,890
2,600
2,800
3,000
1,890
2,560
1,780
2,000
1,560
2,340
2,36
2,62
1,26
3,36
5,10
3,6
5,18
5,55
5,9
3,60
5,1
3,3
3,88
2,65
4,66
Rata %
2,08
4,02
5,54
4,00
3,73
51
Ulangan
1
2
3
PO
2,36
2,62
1,26
P1
3,36
5,10
3,60
P2
5,18
5,55
5,90
P3
3,60
5,10
3,30
Jumlah
6,24
10,54
16,63
12,00
2,08
4,02
5,54
4,00
3377,9
3
695,80
225,195
6
231,934
1
KTG
F hitung
Rata-rata
JK Total
Ratarata
18,38
21,02
18,72
4,01
4,60
4,37
58,12
3,87
72
FK
225
Jk
Perlakuan
JK Galat
SV
P4
3,8800
2,6500
4,6600
11,190
0
3,7300
Jumlah
6,74
64,97
DB
FK
0,05
FK
1
225
Jk
5
7
1,35
0,19
3,48
Perlakuan
JK Galat
9
65
7,22
Jumlah
15
297
Ket: F Hitung 0,19 < F Tabel 3,48 (0,05), Berbeda Sangat Nyata.
F Tabel
0,01
6,06
52
53
54