Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Usaha pembenihan udang vaname selama beberapa dekade terakhir terus

berkembang seiring dengan meningkatnya kegiatan budidaya untuk memenuhi

kegiatan ekspor udang vaname. Ketersediaan benih udang merupakan hal penting

dalam rantai produksi untuk memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat

(FAO, 2020). Namun demikian, budidaya udang vaname tersebut dihadapkan

pada masalah rendahnya kualitas benur karena pemberian pakan yang tidak

sesuai, baik jenis, ukuran maupun kandungan nutrisinya (Panjaitan dan Suryati A,

2014).

Menurut Putra et al., (2020), untuk menghasilkan pertumbuhan benih

udang yang berkualitas, memerlukan komposisi pakan alami yang cukup dan

kebutuhan pakan alami merupakan factor utama yang mendukung pertumbuhan

larva udang. Sampai saat ini, peran pakan alami belum dapat digantikan oleh

pakan buatan. Lebih lanjut Rifai et al., (2015) mengemukakan bahwa keunggulan

pakan alami terletak pada kandungan gizinya yang lengkap, tidak mencemari

media budidaya, memiliki ukuran relatif kecil sehingga sesuai dengan bukaan

mulut larva, mudah diperoleh dan lebih murah jika dibandingkan dengan pakan

buatan.

Selain itu faktor lain yang diduga mempengaruhi sintasan larva menjadi

lebih baik adalah ukuran ukuran dari mikroalga yang diberikan sehingga lebih

mudah ditangkap pada stadia larva yang lebih lanjut (Rebekah, 2009). Jenis
fitoplankton yang dapat digunakan sebagai pakan larva udang vaname yaitu

Thalassiosira sp. dan S. costatum, selain karena memiliki kandungan nutrisi yang

dibutuhkan untuk larva udang vaname, ukuran yang sesuai bukaan mulut larva,

tidak mencemari media hidup larva, juga waktu yang dibutuhkan untuk proses

kultur tergolong cepat.

Thalassiosira sp. merupakan salah satu jenis diatom, termasuk ke dalam

ordo Centrales berbentuk panjang dengan filamen berantai dan valve berdempet,

berisi banyak kloroplas kecil dan sebuah vakuola yang besar (Kurniawan 2006).

Menurut (Whyte 1987), kandungan nutrisi fitoplankton dari Thalassiosira sp.

diantaranya protein, karbohidrat, lemak dan mineral sehingga bagus untuk

dijadikan pakan alami bagi larva udang vaname. Costard et al., (2012)

mengemukakan bahwa Thallasiosira sp. memiliki kandungan nutrisi yang tinggi

seperti jumlah asam lemak tak jenuh (PUFA) sebanyak hamper dua kali lipat bila

dibandingkan dengan pakan alami Chaetoceros terutama pada saat fase

exponensial.

Pakan alami lain yang juga banyak dimanfaatkan adalah Skeletonema

costatum. Fitoplankton ini diketahui juga memiliki kandungan nutrisi yang tinggi

dan ukurannya sesuai dengan bukaan mulut larva udang terutama stadia nauplii

sampai mysis (Hutabarat dan Herawati, 2015). Keunggulan lain dari S. costatum

adalah memiliki enzim autolisis sendiri sehingga mudah dicerna oleh larva dan

tidak mengotori media budidaya. Widiyani (1985) mengemukakan bahwa dinding

sel S. costatum memiliki komposisi pigmen seperti klorofil – a, β-karoten dan

fukosantin. Seperti diketahui pigmen β-karoten memiliki kapabilitas dalam


menyerap dan memantulkan cahaya radiasi reaktif yang berdampak pada

peningkatan pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva. Selain itu, karotenoid

juga dapat berfungsi sebagai vitamin A yang dapat membantu fungsi penglihatan,

pertumbuhan, resistansi penyakit dan reproduksi (Sudariono, 2012).

Menurut Kumlu (1998), penggunaan jenis fitoplankton secara campuran

dapat memberikan nilai nutrisi yang lebih tinggi daripada penggunaan satu jenis

fitoplankton sebagai pakan alami larva. Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam

penggunaan dua jenis fitoplankton secara kombinasi memberikan nilai sintasan

yang tinggi diduga karena memiliki ukuran sel yang berbeda dan nilai nutrisi yang

lebih lengkap dibandingkan hanya dengan pemberian satu jenis fitoplankton.

Panjaitan dan Suryati A (2014) juga mengemukakan bahwa pemberian

fitoplankton lebih dari satu jenis pada kondisi lingkungan yang layak dapat

meningkatkan pertumbuhan dan sintasan larva udang vaname yang lebih tinggi

atau lebih baik. Sehingga penggunaan beberapa jenis fitoplankton dapat

disarankan untuk menghasilkan benih udang vaname dengan kualitas dan

kuantitas yang lebih baik bagi pemeliharaan lanjutan atau usaha pembesaran

udang vaname.

Merujuk kepada uraian latar belakang di atas, maka penelitian ini

bertujuan untuk mengevaluasi pemberian fitoplankton Thallasiosira sp. dan S.

costatum sebagai pakan alami yang paling memberikan pengaruh terhadap

sintasan (Survival Rate/SR) larva udang vaname, dan pertumbuhan (growth rate)

larva udang vaname baik secara tunggal maupun kombinasi.


1.2 Tujuan Penelitian

Untuk mengevaluasi pemberian fitoplankton Thallasiosira sp. dan S.

costatum sebagai pakan alami yang paling memberikan pengaruh terhadap

sintasan (Survival Rate/SR) larva udang vaname, dan pertumbuhan (growth rate)

larva udang vaname baik secara tunggal maupun kombinasi.

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran informasi tentang

pemberian fitoplankton Thallasiosira sp. dan S. costatum sebagai pakan alami

yang paling memberikan pengaruh terhadap sintasan (Survival Rate/SR) larva

udang vaname, dan pertumbuhan (growth rate) larva udang vaname baik secara

tunggal maupun kombinasi.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Udang Vaname (L. vannamei)

2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Udang Vaname (L. vannamei)

Menurut Sudrajat dan Achmad (2015), tata nama udang vaname menurut

ilmu taksonomi adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Artrhopoda

Kelas : Crustacea

Kelas : Malascostraca

Ordo : Decapoda

Famili : Penaeidae

Genus : Litopenaeus

Spesies : Litopenaeus vannamei

Nama dagang : Udang Vaname

Nama lokal : Udang putih

Gambar 1. Morfologi Udang Vaname (Wahidah, 2018)


Kepala udang vaname terdiri dari antenula, antena, mandibula, dan

dua pasang maxillae. Kepala udang vaname juga dilengkapi dengan tiga pasang

maxillipied dan lima pasang kaki berjalan (periopoda) atau kaki sepuluh

(decapoda). Maxillipied sudah mengalami modifikasi dan berfungsi sebagai

organuntuk makan. Endopodite kaki berjalan menempel pada chepalothorax yang

dihubugka oleh coxa (Wahidah, 2018).

Bentuk periopoda beruas-ruas yang berujung di bagian dactylus. Dactylus

ada yang berbentuk capit (kaki ke-1, ke-2, dan ke-3) dan tanpa capit (kaki ke-

4dan ke-5). Di antara coxa dan dactylus, terdapat ruang berturut-turut disebut

basis, ischium, merus, carpus, dan cropus. Pada bagian ischium terdapat duri yang

bisa digunakan untuk mengidentifikasi beberapa spesies penaeid dalam taksonomi

(Masito, 2010).

Organ reproduksi udang vaname betina terdiri dari sepasang ovarium,

oviduk, lubang genital, dan thelycum. Oogonia diproduksi secara mitosis dari

epitelium germinal selama kehidupan reproduktif dari udang betina.

Oogoniamengalami meiosis, berdiferensiasi menjadi oosit, dan dikelilingi oleh sel-

sel folikel. Oosit yang dihasilkan akan menyerap material kuning telur (egg yolk)

daridarah induk melalui sel-sel folikel (Sunaryo, 2018).

Organ reproduksi utama dari udang jantan adalah testes, vasa derefensia,

petasma, dan apendiks maskulina. Sperma udang memiliki nukleus yang tidak

terkondensasi dan bersifat nonmotil karena tidak memiliki flagela. Sperma yang

berdiferensiasi dikumpulkan dalam cairan dan melingkupinya dalam sebuah

chitinous spermatophore (Wahidah, 2018).


2.1.2 Habitat dan Siklus Hidup

Udang vaname adalah salah satu spesies udang unggul yang sejak tahun

2002 mulai dikulturkan di tambak-tambak di Indonesia dan banyak petani yang

mulai mengusahakannya (KKP 2010). Amirna (2013), menyatakan bahwa udang

vannamei adalah udang asli dari perairan Amerika Latin yang kondisi iklimnya

subtropis. Udang vaname bersifat nocturnal, yaitu aktif mencari makan pada

malam hari. Menurut Ubaidillah (2016) menyatakan bahwa udang vaname hidup

di habitat laut tropis dimana suhu air biasanya lebih dari 20°C sepanjang tahun.

Hidup di kedalaman 10-45 m, dan lebih suka dasar yang lembut dengan campuran

pasir dan lumpur.

Secara ekolologis udang vaname mempunyai siklus hidup yaitu

melepaskantelur di tengah laut kemudian terbawa arus dan gelombang menuju

pesisir menetas menjadi naupliusus seterusnya menjadi stadium zoea, mysis,

postlarva, dan juvenil. Pada stadium juvenil telah tiba di daerah pesisir

selanjutnya kembali ke tengah laut untuk proses pemijahan (Amirna, 2013).

Adapaun tahap perkembangan larva udang vaname dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Stadia perkembangan larva udang vaname (Litopenaeus vannamei)

Stadia Larva Ciri Spesifik


Nauplius 6 Masih memiliki cadangan makanan (egg yolk)
Zoea 1 Mata belum tampak, karapaks mulai jelas
Zoea 2 Kedua mata sudah tampak dan memisah
Zoea 3 Terdapat spine pada segmen terakhir tubuh
Mysis 1 Kaki renang masih berupa tonjolan atau sembulan
Mysis 2 Kaki renang mulai tampak dan memiliki satu
Mysis 3 segmen
Post Larva Kaki renang memanjang dan memiliki 2 segmen
Kaki renang memanjang dan tumbuh stae, larva seperti
udang dewasa
Sumber: Nuntung et al. (2018)
2.1.3 Jenis Pakan dan Kebiasaan Makan

Udang dalam aktifitasnya mencari makanan lebih mengandalkan rangsang

bau dibandingkan dengan penglihatannya, karena sebagai biota yang hidup di

dasar perairan dengan tingkat intensitas matahari yang relatif rendah indera

penciuman akan lebih berfungsi dibandingkan dengan penglihatannya.

Udangbiasanya tertarik dengan sumber makanan yang berbau relatif amis dan

menyengat yang teridentifikasi melalui indera penciumannya dan antena/sungut

yang berfungsi sebagai peraba (Kalaseran, 2010).

Udang di dalam siklus hidupnya memiliki tingkat kebutuhan pakan yang

bersifat fluktuatif terutama dalam hal yang menyangkut umur, jenis makanan

dannafsu makannya. Udang pada usia tebar (benur) cenderung tergantung pada

pakanalami yang berupa zooplankton dan organisme renik lainnya yang tersedia

didalam perairan. Pada udang yang sedang yang mengalami proses moulting

nafsumakannya cenderung turun drastis, tapi sebaliknya setelah proses moulting

selesai nafsu makan udang akan meningkat kembali dan cenderung rakus (Masito,

2010).

Secara fisiologis parameter yang erat hubungannya dengan feeding habit

dan food habit adalah organ pencernaan udang yang memiliki karakteristik

dibandingkan dengan organisme lainnya, karena melalui organ ini dapat dipantau

kondisi dan kualitas udang berdasarkan nafsu makannya. Menurut Mangampa

(2014) organ pencernaan udang secara garis besar terbagi atas dua bagian yaitu:
Usus yang terletak di bagian punggung bagian atas dan sangat jelas terlihatlewat

pengamatan visual. Melalui usus udang dapat diidentifikasi nafsu makan, tingkat

konsumsi pakan, jenis pakan dari udang yang diamati.

Hepathopanchreas yang dapat diidentikkan dengan lambung udang. Organ

ini merupakan pusat dari pencernaan udang dan terletak di bagian kepala dan pada

kondisi normal berbentuk segitiga serta berwarna kecoklatan. Melalui pengamatan

visual dari hepathopanchreas dapat diidentifikasi kondisi dan kualitas udang yang

terkait dengan nafsu makannya. Pada kasus-kasus tertentu organ ini dapat pula

untuk mengidentifikasi tingkat keparahan suatu permasalahan yang menjangkiti

udang.

2.2 Thallasiosira sp.

2.2.1 Klasifikasi dan Morfologi Thallasiosira sp.

Menurut Mitra et al. (2012), klasifikasi Thallasiosira sp. adalah sebagai

berikut:

Devision : Thallophyta

Class : Bacillariophyceae

Order : Centrales

Family : Coscinodisceae

Genus : Thallasiosira

Spesies : Thallasiosira sp.

Thallasiosira sp. merupakan kelompok Bacillariophyceae dimana

kelompok mikroalga ini berwarna kuning sampai coklat yang biasa disebut

dengan diatom. Diatom berupa mikroalga seluler ini, dapat membentuk koloni
yang dinding selnya mengandung silika dan terdiri dari dua valva. Bentuknya ada

yang simetri bilateral dan simetri radial (Junda et al., 2012).

Menurut Botes (2001), Thallasiosira sp. memiliki bagian tubuh yang

bernama fultoportulae yang dapat mensekresikan β–kitin yang berguna agar

Thallasiosira sp. tidak tenggelam dan selnya selalu mengapung di perairan. Ciri–

ciri dari Thallasiosira sp. adalah permukaan katup datar, terdapat fultoportulae di

dekat pusat katup, memiliki dua katup yang dibatasi oleh duri–duri dan pada

bagian tepi dilapisi oleh mantel (Pratama 2012).

2.2.2 Biologi dan Habitat Thallasiosira sp.

Thallasiosira sp. merupakan salah satu jenis diatom, seperti halnya diatom

lain, merupakan mikroalga yang bersifat uniselular, eukariotik, dan

berfotosintetis. Diatom mempunyai keunikan dan sangat spesifik karena arsitektur

dan anatomi dinding selnya yang tersusun dari silika menyebabkannya dapat

tersimpan dalam kurun waktu yang lama didalam sedimen. Diatom yang termasuk

kedalam ordo Centrales ini berbentuk panjang dengan filamen berantai dan valve

berdempet, berisi banyak kloroplas kecil dan sebuah vakuola yang besar

(Kurniawan 2006). Bentuk Thallasiosira sp. dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Thallasiosira sp. (Dok. pribadi)


Edhy (2003) menyebutkan bahwa diatom memiliki beberapa karateristik

yang diantaranya:

a) Sel tunggal dengan dinding yang ditutupi silikat

b) Zat warna berupa klorofil–a dan c, β–karoten, fukoxantin dan diadinixanthin,

c) Thalus disebut frustule yang terdiri dari valvei (atas) dan gridle (bawah)

d) Reproduksi aseksual dengan pembelahan dan seksual dengan oogami dan

isogami.

Adapun spesies Thallasiosira sp. yang sudah dikenal hingga saat ini

antara lain adalah T. pseudonana, T. weissflogii, T. antarctica, dan T. hyalina.

2.2.3 Reproduksi dan Fase Pertumbuhan Thallasiosira sp.

Amalia (2019) mengemukakan bahwa reproduksi Thallasiosira sp. terjadi

dengan cara pembelahan sel dimana setengah protoplasma (yaitu protoplasma di

dalam epiteka) dan protoplasma setengah lainnya (yang berada di hipoteka)

menjadi frustul diatom baru (sel baru) dan kelak sel baru tersebut membelah lagi

seperti cara diatas, sehingga makin lama terbentuklah individu–individu yang

lebih kecil, sampai batas tertentu sehingga sel terkecil tadi tidak mampu

membelah lagi (secara alami). Fase pembelahan terakhir (frustul terkecil) sel

Thallasiosira sp. tidak lagi melakukan pembelahan seperti diatas, tetapi

protoplasmanya membesar membentuk spora yang disebut auxospora yang

mendesak cangkang menjadi terbuka sehingga auxospora meninggalkan

cangkang, demikian pula halnya dengan frustul terkecil lainnya juga membentuk

auxospora. Dua auxospora dapat menyatu (bergabung menjadi satu) dan mereka

membesarkan diri sampai sebesar indukannya terdahulu dan akhirnya terbentuk


frustul baru (individu baru) yang bentuk, besar, dan sifat (karakternya) sama

dengan sel indukannya dahulu.

Menurut Prayitno (2016), pola pertumbuhan mikroalga yaitu terbentuk

sigma sigmoid yang terdiri dari empat fase yaitu fase linier (adaptasi),

eksponensial, stasioner, dan kematian. Fase pertumbuhan mikroalga tersebut

dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Fase Pertumbuhan Mikroalga (Creswell, 2010)

1) Fase Adaptasi Pada fase ini sel mikroalga beradaptasi dengan medium dan

lingkungan kulturnya seperti suhu, salinitas dan pH. Lama tidaknya fase ini

sangat tergantung pada viabilitas sel (Armanda, 2013). Proses adaptasi

mikroalga dilakukan dengan cara energi yang dihasilkan digunakan untuk

bertahan hidup dimana pertumbuhan akan cenderung lambat (Lavens dan

Sorgeloos,1996; Endrawati dan Riniatsih, 2013).

2) Fase Eksponensial Menurut Armanda (2013), pada fase eksponensial jumlah

sel mengalami peningkatan secara cepat. Puncak pertumbuhan populasi

mikroalga terjadi pada fase ini. Fase ini diawali dari pembelahan sel dengan

laju pertumbuhan yang tetap dan terlihat dalam kondisi yang sangat optimal.

Selvika et al. (2016) menambahkan bahwa pada fase logaritmik


(eksponensial) kandungan nutrien masih tinggi. Nutrien dapat dimanfaatkan

oleh masing-masing mikroalga untuk proses pertumbuhan. Sehingga pada

fase ini terjadi peningkatan jumlah sel secara konstan.

3) Fase Stasioner Pada fase ini, pertumbuhan populasi diatom cenderung

stasioner, artinya pembelahan sel dan kematian sel seimbang. Fase ini

berlangsung sangat singkat, sehingga kecenderungan yang ada adalah

penurunan pertumbuhan populasi pada 24 jam ketiga kultur. Penurunan

pertumbuhan populasi ini karena diatom sudah mulai mengalami kematian

(Armanda, 2013).

4) Fase Kematian Pada fase ini, penurunan jumlah sel lebih besar daripada pada

fase stasioner. Penurunan jumlah sel ini karena seluruh sel secara alami

mengalami kematian. Salah satu faktor yang mempercepat kematian ini

adalah berkurangnya jumlah nutrien dan semakin banyaknya metabolit

sekunder diatom yang dapat menghambat pertumbuhan sel secara alami

(Armanda, 2013).

2.2.4 Kandungan Nutrisi Thallasiosira sp.

Secara umum komposisi biokimia atau kandungan nutrisi fitoplankton

adalah protein, karbohidrat, lipid atau lemak, vitamin dan mineral yang

membentuk hingga 90– 95% berat kering dari suatu sel fitoplankton. Fitoplankton

dari jenis berbeda memiliki kandungan nutrisi yang berbeda pula. Gisella et al

(2012) mengemukakan bahwa Skeletonema costatum sp mempunyai kandungan

protein sekitar 44,5%, kandungan karbohidrat 26,1% dan kandungan lemak

sekitar 11,8% dari berat keringnya. Jenis fitoplankton ini adalah salah satu jenis
pakan alami yang direkomendasikan untuk diberikan sebagai pakan alami karena

mempunyai beberapa keunggulan antara lain adalah nilai nutrisi yang

dikandungnya memenuhi syarat bagi pertumbuhan larva udang vaname dan jenis

crustacea lainnya.

Semua jenis fitoplankton menghasilkan karbohidrat dalam bentuk unsur

Karbon (C), Hidrogen (H) dan Oksigen (O) melalui proses fotosintesis dan

dimanfaatkan oleh larva udang sebagai sumber energi namun tidak dalam jumlah

yang besar. Karbohidrat juga berguna sebagai bahan perantara (precursor)

didalam proses metabolisme yang berkaitan dengan pertumbuhan (Mudjiman

2007). Lemak berperan sebagai sumber energi yang mempunyai nilai tinggi

dibandingkan protein dan karbohidrat, selain itu lemak juga berperan sebgai

pelarut beberapa vitamin. Meskipun dalam jumlah yang sedikit, vitamin dan

mineral sangat dibutuhkan larva karena mempunyai banyak fungsi yaitu sebagai

katalisator dalam poses–proses biokimia, sebagai koenzim didalam sistem

biologis, menjaga keseimbangan tekanan osmotik tubuh serta proses metabolisme

dan penyerapan nutrisi (Brown dalam Purba 2008).

2.3 Skeletonema costatum

2.3.1 Klasifikasi dan Morfologi Skeletonema costatum

Skeletonema costatum merupakan organisme uniseluler yang termasuk

dalam phytoplankton jenis diatom. Menurut (Edhy et al.,2003) klasifikasi

Skeletonema costatum adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Bacillariophyta
Class : Bacillariophyceae

Ordo : Centrales Family : Skeletonemoidae

Genus : Skeletonema

Spesies : Skeletonema costatum

Skeletonema costatum merupakan fitoplankton dari jenis diatom yang

bersel tunggal dan ukuran sel berkisar antara 4-15 µm. Sel diatom memiliki ciri

khas yaitu dinding selnya terdiri dari dua bagian seperti cawan petri. Dinding sel

atas yang disebut epiteka saling menutupi dinding sel bagian bawah yang disebut

hipoteka pada masing-masing tepinya. Pada setiap sel dipenuhi oleh sitoplasma.

Dinding sel Skeletonema costatum memiliki frustula yang dapat menghasilkan

skeletal eksternal yang berbentuk silindris (cembung) dan mempunyai duri-duri

yang berfungsi sebagai penghubung pada frustula yang satu dengan yang lain

sehingga membentuk filamen (Haryati, 2001). Pada bagian epiteka terdiri dari

komponen epivaf dan episingulum (Clinton, 2014). Dinding sel Skeletonema

costatum mengandung pigmen yang terdiri dari klorofil-a, ß-karoten dan 10 10

fukosantin (Widiyani, 2003). Pigmen yang dominan adalah karotenoid dan

diatomin. Adanya pigmen karoten menyebabkan dinding sel berwarna coklat

keemasan. Sel berbentuk seperti kotak dengan sitoplasma yang memenuhi sel dan

tidak memiliki alat gerak. Adapun bentuk sel Skeletonema costatum dapat dilihat

pada gambar 4 dibawah.


Gambar 4. Skeletonema costatum (Dok. Pribadi)

2.3.2 Reproduksi dan Fase Pertumbuhan Skeletonema costatum

Secara normal, Skeletonema costatum berproduksi secara aseksual, yaitu

dengan pembelahan sel. Pembelahan sel yang terjadi berulang-ulang ini akan

mengakibatkan ukuran sel menjadi lebih kecil secara berangsur-angsur hingga

generasi tertentu. Apabila ukuran sel sudah dibawah tujuh mikron, secara

reproduksi tidak lagi secara aseksual, akan tetapi berganti menjadi seksual dengan

pembentukan auxospora. Mula-mula epiteka dan hipoteka ditinggalkan dan

menghasilkan auxospora tersebut. Auxospora ini akan membangun epiteka dan

hipoteka baru dan tumbuh menjadi sel yang ukurannya membesar, kemudian

melakukan pembelahan sel hingga membentuk rantai (Isnansetyo dan

Kurniastuty, 1995). Dengan cara seperti ini memberikan hasil yang sangat baik

dalam mengembangkan populasi melalui dua jalan berbeda yaitu mendorong

produksi dalam jumlah besar yang cepat jika kondisi untuk tumbuh

menyenangkan serta ukuran terbesar yang dicapai sel tunggal sebagai dari

populasi terus berkurang oleh setiap pembelahan berikutnya.

Kawaroe (2010) mengemukakan bahwa pola pertumbuhan mikroalga pada

sistem kultivan terbagi menjadi lima tahap yaitu:


1) Fase lag

Pada fase lag belum mengalami perubahan. Pada fase ini pertumbuhan

fitoplankton dikaitkan dengan adaptasi fisiologis metabolisme sel pertumbuhan

fitoplankton, seperti peningkatan kadar enzim dan metabolit yang terlibat dalam

pembelahan sel dan fiksasi karbon.

2) Fase logaritmik atau eksponensial

Pada fase eksponensial sel fitoplankton telah mengalami pembelahan sel

dengan laju pertumbuhannya tetap. Pertumbuhan fitoplankton dapat maksimal

tergantung pada spesies alga, intensitas cahaya dan temperatur.

3) Fase transisional atau fase berkurangnya pertumbuhan relatif

Pertumbuhan sel mulai melambat ketika nutrien, cahaya, pH, CO2 atau faktor

kimia dan fisika lain mulai membatasi pertumbuhan.

4) Fase stasioner Pada fase keempat faktor pembatas dan tingkat pertumbuhan

seimbang. Laju kematian fitoplankton relatif sama dengan laju

pertumbuhannya sehingga kepadatan fitoplankton pada fase ini relatif

konstan.

5) Fase kematian Pada fase kematian, kualitas air memburuk dan nutrient habis

hingga ke level tidak sanggup menyokong kehidupan fitoplankton.

Kepadatan sel menurun dengan cepat karena laju kematian fitoplankton lebih

tinggi dari pada laju pertumbuhannya hingga kultur berakhir.

Skeletonema costatum merupakan diatom yang bersifat eurythermal yang

mampu tumbuh pada kisaran suhu 3ºC-30ºC. Untuk pertumbuhan optimal, alga ini

membutuhkan kisaran suhu antara 25ºC-27ºC. Pada kisaran suhu 15ºC-34ºC, alga
ini masih dapat tumbuh dengan baik. Alga ini juga bersifat euryhaline hidup di

laut, pantai dan muara sungai. Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh

terhadap pertumbuhan mikroalga antara lain cahaya, suhu, salinitas, tekanan

osmose dan pH air, yang bisa jadi memacu atau menghambat pertumbuhan (Fogg

and Thake, 1987). Salinitas optimal untuk pertumbuhannya adalah 25-29 ppt.

Pertumbuhan alga ini banyak dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Tumbuh optimal

pada intensitas 14 14 cahaya 5000 lux - 12.000 lux, akan tetapi pertumbuhannya

menurun jika intensitas cahaya melebihi 12.000 lux.

2.3.3 Kandungan Nutrisi Skeletonema costatum

Skeletonema costatum merupakann pakan yang baik untuk larva udang

vaname, karena mengandung nutrisi yang lengkap sesuai dengan kebutuhannya.

Sel yang padat dan dinding sel yang tipis sehingga mudah dicerna oleh larva

udang vaname. Skeletonema costatum mudah di tangkap oleh larva udang vaname

karena tidak bergerak, bentuk dan ukuran sesuai dengan ukuran mulut larva dan

saat dikultur pun tidak menghasilkan senyawa yang bersifat racun sehingga tidak

mengganggu kehidupan larva udang vaname. Adapun kandungan nutrisi

Skeletonema costatum yaitu mengandung protein 30,55 %, lemak 1,55 %, serat

2,09 %, abu 44,37 %, dan kadar air 8,41% (BBPBAP Jepara, 2004).

S. costatum memiliki enzim autolisis sendiri sehingga mudah dicerna oleh

larva dan tidak mengotori media budidaya. Widiyani (1985) mengemukakan

bahwa dinding sel S. costatum memiliki komposisi pigmen seperti klorofil – a, β-

karoten dan fukosantin. Seperti diketahui pigmen β-karoten memiliki kapabilitas

dalam menyerap dan memantulkan cahaya radiasi reaktif yang berdampak pada
peningkatan pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva. Selain itu, karotenoid

juga dapat berfungsi sebagai vitamin A yang dapat membantu fungsi penglihatan,

pertumbuhan, resistansi penyakit dan reproduksi (Sudariono, 2012).


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2023, bertempat di

Hatchery Mustika Benur Kupa, Desa Kupa, Kec. Mallusetasi, Kab. Barru.

3.2 Alat dan Bahan

Penelitian ini menggunakan 9 wadah berupa styrofoam dengan volume

30L dengan tinggi air 10cm. Adapun peralatan yang digunakan yaitu selang dan

batu aerasi, gelas plastik, haemacytometer, kaca preparat, cover glass, mikroskop,

penggaris, timbangan analitik, refraktometer, kertas lakmus, termometer dan

spoit. Adapun bahan yang digunakan yaitu nauplius udang vaname, Thallasiosira

sp. dan Skeletonema costatum.

3.3 Desain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

eksperimen, yaitu kegiatan penelitian yang bertujuan untuk menilai pengaruh

suatu perlakuan/tindakan/treatment dengan menggunakan perlakuan yang

berbeda. Teknik pengambilan data dilakukan dengan cara observasi langsung,

yaitu pencatatan pengamatan secara sistematik fenomena-fenomena yang

diselidiki, baik pengamatan itu dilakukan dalam situasi yang sebenarnya maupun

situasi buatan yang khusus diadakan (Supardi, 2007).

Melalui metode penelitian ini dapat diketahui hubungan sebab akibat

variabel yang dipantau.


Penelitian ini di desain dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL).

Dengan 3 taraf perlakuan dan 3 kali pengulangan, susunan perlakuan dalam

penelitian ini sebagai berikut :

1) Perlakuan A : Pakan alami Thallassiosira sp 100%

2) Perlakuan B : Pakan alami Skeletonema costatum 100%

3) Perlakuan C : Pakan Alami Thallassiosira sp 100% Zoea 1-3), dan


A1 C3 B1

B3 A2 C2

Pakan alami Skeletonema costatum 100% (Mysis 1-PL 2)

C1 B2 A3

3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Persiapan Media Pemeliharaan

Styrofoam yang digunakan sebagai wadah pemeliharaan larva dibersihkan

dengan cara membilas seluruh sisi styrofoam menggunakan air tawar agar bersih.

Setelah itu dikeringkan selama 1 hari. Kemudian air media pemeliharaan yang

sudah netral pasca di treatmen dimasukkan 10 liter dan aerasi dinyalakan.

3.4.2 Penebaran Nauplius

Hewan uji yang digunakan adalah naupliusus udang vaname. Untuk

mengurangi risiko kematian, saat penebaran dilakukan aklimatisasi agar nauplius

mampu menyesuaikan dengan kondisi lingkungan di bak pemeliharaan. Nauplius

ditebar pada pagi hari sekitar pukul 7, dengan padat tebar 5.000 ekor.
3.4.3 Manajemen Pemberian Pakan

Pemberian pakan dilakukan sore hari setelah penebaran. Hal ini bertujuan

agar saat perubahan stadia larva mendapatkan pasokan makanan. Pemberian

pakan alami dilakukan 2 kali sehari yaitu pukul 08.00 dan pukul 16.00 dengan

kepadatan 40.000 sampai 50.000 sel/mL yang dihitung menggunakan

haemacytometer.

3.4.4 Pengamatan Perkembangan Larva

Perkembangan larva udang vaname dilakukan dengan cara sampling setiap

hari dengan mengambil 20 ekor biota dari setiap ulangan media pemeliharaan

larva menggunakan gelas plastik, kemudian diamati secara visual. Pengamatan

visual bertujuan untuk mengamati kondisi air berupa warna air, kotoran udang,

sisa pakan dan kepadatan alga serta kondisi larva berupa stadia larva, keaktifan

pergerakan larva, keseragaman ukuran larva.

3.4.5 Monitoring Kualitas Air

Merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pemeliharaan

larva udang vaname. Untuk itu dilakukan monitoring kualitas air yang meliputi

suhu, salinitas, DO, pH, dan kepadatan plankton. Selain itu dilakukan pula

penyiponan saat larva telah mencapai stadia Mysis 2.

3.5 Variabel Penelitian

Perhitungan tingkat kelangsungan hidup (SR)

Nt
SR = x 100%
No
Sumber Setyono (2009)

Tingkat kelangsungan hidup dapat dihitung dengan menghitung jumlah biota yang

hidup pada akhir pemeliharaan atau pada saat panen dibagi dengan jumlah biota

pada awal pemeliharaan (Virgiastuti 2015).

Keterangan :

SR = Survival Rate (%)

Nt = Jumlah biota yang hidup pada akhir pemeliharaan (ekor) No =

Jumlah biota pada awal pemeliharaan (ekor).

Pertumbuhan Panjang Biota

Panjang biota uji dilakukan dngan mengukur panjang larva menggunakan

penggaris untuk mengetahui perlakuan yang terbaik.

Parameter Kualitas Air

Sebagai data pendukung maka dilakukan pengukuran parameter kualitas air

berupa suhu, salinitas, DO dan ph 2 kali sehari yaitu pagi dan sore hari.

Analisis Data

Data dianalisis menggunakan metode analisis ragam ANOVA (analysis of

variance) pada selang kepercayaan 95% melalui aplikasi Statistical Program

Software System (SPSS Versi 16.0). Analisis digunakan pada parameter relative

percent survival (RPS), apabila terdapat perbedaan signifikan antara perlakuan

maka dilanjutkan dengan uji Duncan. Adapun parameter laju kematian dianalisis

secara deskriptif.
DAFTAR PUSTAKA

Amirna. 2013. Pemberian Selase Ikan Gabus pada Pakan buatan bagi
pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang vaname pada stadia postlarva. Jurnal
minat Indinesia. Vol. 01. No. 1.

Armanda, D, T., 2013. Pertumbuhan Kultur Mikroalga Diatom Skeletonema


Costatum (Greville) Cleve Isolat Jepara Pada Medium F/2 Dan Medium Conway.
Jurnal bioma, Vol. 2 (1), Hal. 49-63.

BBPBAP, 2004. Petunjuk Teknis Budidaya Udang Vannamei (Litpenaeus


Vannamei) Intensif yang Berkelanjutan. Departemen Perikanan dan Kelautan,
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Balai Besar Pengembangan Budidaya
Air Payau, Jepara.

Botes, L. 2001. Phytoplankton Identification Catalogue. GloBallast Monograph


Series No.

7. Saldanha Bay, South Africa. 6 p

Edhy, W.A., P. Januar, dan Kurniawan. 2003. Plankton di lingkungan PT Central


pertiwi bahari. Laboraturium central department, aquaculture division PT. central
pertiwi bahari. Tulang bawang.

Endrawati, H dan I. Riniatsih. 2013. Kadar total lipid mikroalga Nannochloropsis


oculata yang dikultur dengan suhu yang berbeda. Buletin Oseanografi Marina. 1:
25-33.

Junda , M., Hasrah., dan Yuli, H. 2012. Identifikasi genus fitoplankton pada salah
satu tambak udang di Desa Bontomate’ne Kecamatan Segeri Kabupaten Pangkep.
Jurnal Bionature.13 (2): 108-115.

Kalaseran dan Ockstan J. 2010. Pemeliharaan Post Larva Udang Vaname di


Haatchery PT. Sentral Shirmp Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Kelautan dan
Perikanan Vol. VI No.1. Kawaroe, M., T. Partono, A. Sunudin, D.S. Wulan,
dan D. Augustine. 2010. Mikroalga

:Potensi dan Pemanfaatannya untuk Produksi Bio Bahan Bakar. IPB Press. Bogor

Kementerian Kelautan Dan Perikanan. 2010. Kelayakan Usaha Udang Vaname.


Kementerian Kelautan Dan Perikanan. 2018. Kelayakan Usaha Udang Vaname.

Kumlu, M. (1998). Larval Growth and Survival of Penaeus ndicus (Decapoda:


Penaidae) on Live Feeds.Faculty of Fisheries. Cukurova University, Balcah,
AdanaTurkey. Journal of Biology 22, 235-245

Kurniawan, A. 2006. Budidaya pakan alami [Skripsi]. Universitas Bangka


Belitung.

Pangkalpinang

Lavens, P. and P. Sorgeloos. 1996. Manual on the Production and Use of Live
Food for Aquaculture. University of Ghent. Belgium. 295 p

Mangampa M, Burhanuddin, Suwoyo HS, Hendrajat EA, Tahe S. 2014.


Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) Pola Ekstensif Plus melalui
Aplikasi Probiotik dan Pergiliran Pakan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kelautan dan Perikanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Maros.

Masito dan Siti. 2010. Pengelolaan Pembenihan Udang Vannamei (Litopenaeus


vannamei). Karya Ilmiah Praktik Akhir. Sekolah Tinggi Prikanan. 2010. Jakarta.

Mudjiman, A. 2008. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta

Nuntung, Sakaria, Idris, Sari AP. 2018. Teknik Pemeliharaan Udang Vaname
(Litopenaeus vannamei) di PT. Central Pertiwi Bahari Rembang. Jawa Tengah.
Prosing Seminar. Vol.1,2018, ISSN:2622-0520

Prayitno, J. 2016. Pola pertumbuhan dan pemanenan biomassa dalam


fotobioreaktor mikroalga untuk penangkapan karbon. Jurnal Teknologi
Lingkungan. 7 (1): 45 – 52.

Purba CY. (2012). Performa Pertumbuhan, Kelulushidupan, dan Kandungan


Nutrisi Larva Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei) Melalui Pemberian Pakan
Artemia Produk Lokal yang Diperkaya dengan Sel Diatom, Journal of Aquacultre
Management and Technology, 1(1):102- 115
Rebekah, M.K. (2009). Thalassiosira weissflogii. USGS Nonindigenous Aquatic
Species Database, Gainesville, FL.

Selvika, Z., A. B. Kusuma., N. E. Herliyany dan B. F. S. P. Negara. 2016.


Pertumbuhan Chlorella sp. pada beberapa konsentrasi limbah batubara. Depik. 5
(3): 107-112.

Sudrajat dan Achmad. 2015. Budidaya 26 Komoditas Laut Unggul.


JakartaTimur: Penebar Swadaya. 188 hlm.

Sunaryo, Nyoman W. Djunaedy A. 2018. Kelulusan Hidup Larva Udang Vaname


Pada Penerapan Perbedaan Sistem Filtrasi Air Media Pemeliharaan. Implementasi
Hasil Riset Sumber Daya Laut dan Pesisir Dalam Rangka Mencapai Kemandirian
Ekonomi. Surabaya.

Supardi, 2007. Penelitian Eksperimen di bidang Pendidikan. Jakarta

Ubaidillah R, Marwoto RM, Hadiaty RK, Fahmi, Wowor D, Mumpuni, Pratiwi R,


Tjakrawidjaja AH, Mudjiono, Hartati ST, Heryanto, Riyanto A, Mujiono N. 2016.
Endangered Aquatic Biota In Indonesia. Jakarta : Directorate of Conservation and
Marine Biodiversity and Directorate General of Marine Space Management
Ministry of Marine Affairs and Fisheries

Wahidah, Purnomo, Joko. 2018. Teknik Pemeliharaan Udang Vaname


(Litopenaeus vannamei) di PT. Central Pertiwi Bahari Rembang. Jawa Tengah.
Prosing Seminar. Vol.1,2018, ISSN:2622-0520

Anda mungkin juga menyukai