Anda di halaman 1dari 11

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP

PERTUMBUHAN DAN KECERAHAN WARNA IKAN BADUT (Amphiprion


ocellaris)

Riyanti
NIM : 2018154243026

I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang

Ikan badut (Amphiprion ocellaris) merupakan salah satu jenis ikan hias air laut yang
memiliki potensi besar, karena banyak diminati oleh masyarakat dan memiliki nilai
ekonomis tinggi serta sebagai komoditas unggulan (Kusumawati dkk, 2006). Ikan badut
dapat mendatangkan devisa karena sebagian besar ikan badut diekspor ke beberapa
negara seperti Malaysia, Hongkong, Singapura, Taiwan, Cina, dan Eropa (Anonim,
2012a). Pemenuhan kebutuhan pasar selama ini hanya dilakukan melalui tangkapan di
alam. Tingginya permintaan pasar untuk ikan badut dapat menyebabkan eksploitasi yang
tidak terkendali, oleh sebab itu perlu dilakukannya usaha untuk menjaga kelestarian stok
ikan badut di alam. Melakukan kegiatan budidaya merupakan salah satu usaha yang
telah dilakukan untuk menjaga kelestarian stok ikan badut di alam.

Data Pusat Statistik dan Informasi Sekretariat Jenderal Kementrian Kelautan dan
Perikanan, mencatat bahwa volume produksi ikan hias air laut terus mengalami
peningkatan dari tahun 2012 nilai produksi mencapai 938,47 juta ekor menjadi 1,19
miliar ekor pada tahun 2018. Hal ini dikarenakan telah dikembangkannya secara masal
berbagai jenis ikan hias air laut seperti clownfish (ikan badut) dan cardinal banggai, serta
ikan hias air laut telah menjadi usaha yang sangat menjanjikan di kalangan masyarakat
(Nuraini, 2020).

Selama ini kegiatan budidaya ikan badut menemukan beberapa kendala dalam
pengembangannya. Salah satu kendala yang dihadapi oleh pembudidaya yaitu
penggunaan pakan yang tidak sesuai untuk mendukung pertumbuhan dan kecerahan
warna ikan badut. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukannya upaya pemilihan
jenis pakan yang disukai ikan badut, harga murah, mudah diperoleh, serta mengandung
protein yang setara atau lebih tinggi dari pakan buatan (pellet) (Isyanto, 2003).

Pakan yang biasanya diberikan untuk ikan badut selain pellet yaitu tubifex, rotifer,
dan artemia. Ketiga jenis pakan ini dipilih karena memiliki kandungan protein yang cukup
tinggi untuk menunjang pertumbuhan dan kecerahan warna ikan badut. Kelebihan lain
dari ketiga jenis pakan tersebut yaitu dapat membuat indukan menjadi lebih produktif dan
dapat mencerahkan warna ikan badut (Anonim, 2012b). Dengan adanya potensi yang
dimiliki oleh tubifex, rotifer, dan artemia maka perlu dilakukannya penelitian mengenai
pengaruh pemberian ketiga jenis pakan tersebut dibandingkan dengan pellet terhadap
pertumbuhan dan kecerahan warna ikan badut.

I.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana pengaruh pemberian pakan yang
berbeda terhadap pertumbuhan dan kecerahan warna ikan badut (Amphiprion ocellaris).

I.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh pemberian
pakan yang berbeda terhadap pertumbuhan dan kecerahan warna ikan badut
(Amphiprion ocellaris).

I.4 Manfaat

Manfaat yang diharapkan adalah dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi
penulis tentang pakan yang sesuai untuk ikan badut. Manfaat bagi ilmu pengetahuan dan
masyarakat adalah memberikan informasi mengenai pakan yang sesuai untuk ikan badut
dalam mendukung pertumbuhan dan kecerahan warna ikan badut.
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Biologi Ikan Badut
II.1.1 Klasifikasi

Menurut Randall, J, E. (2006), klasifikasi ikan badut adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Actynopterygii

Ordo : Perciformes

Famili : Pomacentridae

Genus : Amphiprion

Spesies : Amphiprion ocellaris

2..1.2 Morfologi

Ikan badut pada umumnya memiliki bentuk tubuh bulat panjang atau agak bulat dan
pipih. Ikan badut memiliki satu sirip punggung yang terdiri dari 9-14 jari-jari keras, 11-18
jari-jari lemah, serta sirip dubur yang terdiri dari 2-3 jari. Ukuran sisik ikan ini besar dan
stenoid, pada bagian operkulumnya terdapat sisik. Gurat sisi memanjang sampai ke
belakang dasar sirip punggung dan dapat berlanjut sampai ke dekat dasar ekor
(Poernomo et al, 2003).
Sirip Dorsal
Dorsal
Ekor

Sirip Anal
Operkulum
Sirip Abdominal

Gambar 1. Morfologi Ikan Badut

Sumber : Safary, 2018

2.1.3 Habitat dan Kebiasaan Hidup

Ikan badut biasanya hidup di perairan jernih dan hangat pada daerah terumbu
karang dengan kedalaman kurang dari 50 meter (Darmawan et al, 2014) . Ikan badut
bersimbiosis mutualisme menggunakan anemon laut antara lain yaitu heterachis
magnifica, stichodactyla gigantea dan stichodactyla mertensii (Allen, 1972). Cara ikan
badut menghindar dari predator atau musuh dengan berlindung pada anemone laut.
Habitat yang paling digemari ikan badut yaitu laguna-laguna berbatu disekitar terumbu
karang.

2.1.4 Makanan dan Cara Makan

Ikan badut pada umumnya termasuk pemakan plankton dan alga atau omnivore
(pemakan segala) (Fautin, D.G., 2007), tetapi ada juga beberapa jenis ikan badut
diantaranya herbivora, dan ada juga pemakan invertebrate kecil yang ditemukan di terum
bu karang (Bugess dan Axelrod, 1973). Pakan yang digemari oleh larva dan juvenil ikan
badut biasanya berupa rotifer, atau naupli artemia yang diperkaya nutrisi dengan omega
3 dan probiotik (Sahandi, 2011).

2.1.5 Siklus Hidup dan Reproduksi

Ikan badut termasuk dalam jenis ikan yang hermaprodit protandry yaitu keadaan
dimana proses diferensiasi gonadnya berjalan dari fase betina (Ayu et al, 2015).
Perbedaan jantan dan betina pada ikan badut dapat dilihat pada ukuran tubuh. Ikan
badut yang bertubuh besar dan agresif berjenis kelamin betina, sedangkan ikan badut
jantan ukuran tubuhnya lebih kecil dari ikan badut betina. Perkawinan ikan badut didalam
satu kelompok hanya dilakukan oleh dua anemonefish jantan dan betina, melalui
fertilisasi eksternal (Fajar, 2016).

Ukuran induk ikan badut yang dapat melakukan pemijahan pertama kali pada ukuran
5-8 cm. Ikan badut dapat menghasilkan telur 300-700 butir (Zieman, 2003).pemijahan
ikan badut akan terjadi sepanjang tahun dan dalam satu bulan terjadi 3 kali pemijahan.

2.2 Cacing Sutra (Tubifex sp)

2.2.1 Klasifikasi Cacing Sutra (Tubifex sp)

Menurut Gusrina (2008) dalam Sitanggang dan Pasaribu (2019) klasifikasi cacing
sutra sebagai berikut :

Filum : Annelida

Kelas : Oligochaeta

Ordo : Haplotaxida

Famili : Tubifisidae

Genus : Tubifex

Spesies : Tubifex sp.


Gambar 2. Cacing sutra (Tubifex sp)

Sumber : dunia-perairan.com

2.2.2 Kandungan Cacing Sutra (Tubifex sp)

Cacing sutra memiliki peranan penting karena dapat memacu pertumbuhan ikan lebih
cepat dibandingkan pakan alami seperti kutu air (Daphnia sp, dan Moina sp), hal ini
disebabkan cacing sutra mempunyai kelebihan pada kandungan nutrisinya (Sumaryam,
2000). Kandungan gizi cacing sutra yaitu protein (57%), lemak (13,3%), serat kasar (2,04%),
kadar abu (3,6%) dan air (87,7%).

2.3 Artemia Salina

2.3.1 Klasifikasi Artemia Salina

Menurut Priyambodo dan Triwahyuningsih (2003) dalam Muthiah, A. L. (2018),


klasifikasi arterima salina sebagai berikut :

Filum : Anthropoda

Kelas : Crustacea

Subkelas : Bracnhiopoda

Ordo : Anostraca

Famili : Artemidae

Genus : Artemia

Spesies : Artemia salina


Gambar 3. Artemia Salina

Sumber : Suprianta, 2018

2.3.2 Kandungan Artemia Salina

Artemia salina merupakan merupakan pakan alami yang tidak menimbulkan dampak
pada kualitas air, dan memiliki nilai gizi yang tinggi untuk menunjang pertumbuhan ikan
badut. Kandungan gizi artemia salina yaitu protein kasar sebesar 52,7%, lemak 4,8%,
karbohidrat 15,4%, air 10,3%, dan abu 11,2%. Ukuran tubuh artemia salina berukuran kecil
yang sesuai dengan bukaan mulut ikan dan bergerak aktif sehingga merangsang ikan untuk
memangsanya (Pahlawati dan Nindhi, 2018).

2.4 Rotifera (Brachionus sp.)

2.4.1 Klasifikasi Rotifera

Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty, (1995) klasifikasi rotifer sebagai berikut :

Filum : Avertebrata

Kelas : Ashelmintes

Sub kelas : Rotaria

Ordo : Eurotaria

Family : Brachionidae

Sub family : Brachioninae

Genus : Brachionus

Spesies : Brachionus sp.


Gambar 4. Rotifer (Brachionus sp.)

Sumber : alamikan.com 2014

2.4.1 Kandungan Rotifera

Rotifera termasuk salah satu jenis zooplankton yang dapat digunakan untuk
pembenihan ikan air laut karena memiliki kandungan gizi yang tinggi sehingga sampai saat
ini belum tergantikan ( Astuti et al,. 2012). Keunikan alami yang dimiliki oleh rotifer yaitu
berfungsi sebagai pentransfer nutrisi bagi larva yang dibudidayakan (Fernandez-Reiriz et al.,
1993).

Secara umum, kandungan protein rotifer berkisar antara 28-63%, lemak berkisar 9-
28% (Lubzens et al. 1989, dalam Wullur 2017 ). Kandungan karbohidrat berkisar antara
10,5-27% (Fernandez-Reiriz et al. 1993, dalam Wullur 2017) yang terdiri atas glukosa
berkisar antara 61-80% (dengan komponen utama glycogen), ribosa 9-18%, galactosa,
mannosa, deoxyglucosa, fucosa and xylosa berkisar antara 0,8-7% (Nagata & Whyte 1992,
dalam Wullur 2017 ).
III. METODOLOGI PENELITIAN
III.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan, selama 30 hari pada bulan April hingga Mei 2022 di
Balai Perikanan Budidaya Laut (BPBL) Lombok, Dusun Gili Genting, Kecamatan Sekotong
Barat, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

III.2 Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimen
yaitu data yang dikumpulkan tergantung dari data yang didapatkan selama penelitian.

III.3 Tehnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan salah satu kegiatan dari beberapa serangkaian kegiatan
dalam satu penelitian. Penelitian ini akan menggunakan tehnik pengumpulan data dilakukan
melalui teknik observasi. Teknik observasi bertujuan untuk mengamati secara langsung
parameter yang akan diteliti atau pengamatan langsung terhadap parameter yang diukur
(Sugiyono, 2017). Pengamatan langsung dilakukan dengan cara mengukur panjang, bobot,
dan kecerahan warna.

III.4 Jenis Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data
primer yang dikumpulkan terdiri atas data panjang tubuh, bobot tubuh, dan kecerahan warna
ikan badut, serta kualitas air selama pemeliharaan (suhu, pH, salinitas, DO, amoniak) . Data
sekunder yang dikumpulkan yanitu data dokumentasi Lembaga/instansi relevan, lembaga
penelitian, publikasi ilmiah, buku, dan sumber-sumber lainnya yang berkaitan dengan
penelitian ini.

III.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Metode pengolahan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kuantitatif, Sugiyono, (2017) menjelaskan metode kuantitatif yaitu metode yang dilakukan
karena data penelitiannya berupa angka-angka dan analisisnya menggunakan statistik.
Metode kuantitatif merupakan proses menemukan pengetahuan yang menggunakan data
berupa angka sebagai alat untuk menganalisis. Tujuannya adalah mengubah dan mengolah
data mentah yang sudah dikumpulkan dari hasil pengukuran untuk dapat dikaji lebih lanjut.

III.5.1 Pertumbuhan Panjang


Pertumbuhan panjang merupakan selisih antara panjang ikan antara ujung kepala hingga
ujung ekor tubuh pada akhir penelitian dengan panjang tubuh pada awal penelitian.
Pertumbuhan panjang dihitung menggunakan rumus (Effendie,1979) :

T = Lt – Lo

Keterangan :

T = Pertambahan Panjang (cm)

Lt = Panjang rata-rata akhir (cm)

Lo = Panjang rata-rata awal (cm)

III.5.2 Pertambahan Berat

Pertumbuhan berat merupakan selisih berat ikan pada akhir penelitian dengan berat
pada awal penelitian. Pertumbuhan berat dihitung menggunakan rumus (Effendie, 1979) :

W = Wt – Wo

Keterangan :

W = Pertambahan berat (gram)

Wt = Berat rata-rata ikan akhir penelitian (gram)

Wo = Berat rata-rata ikan awal penelitian (gram)

III.5.3 Tingkat Pertambahan Bobot Tubuh Ikan

Tingkat pertambahan bobot tubuh ikan digunakan untuk mengukur persentase


kenaikan bobot tubuh ikan dengan rumus sebagai berikut :

Wt−Wo
Wg= x 100 %
Wo

Keterangan :

Wg = Pertambahan bobot ikan (gram)

Wt = Bobot ikan pada akhir pemeliharaan (gram)

Wo = Bobot ikan pada awal pemeliharaan (gram)

III.5.4 Kecerahan Warna

Pengamatan warna dilakukan menggunakan kertas pengukur warna yaitu kertas M-


TCF (Modifed Toca Color Finder). Cara pengamatannya yaitu dengan di fokuskan pada
warna yang mendekati pada warna badan, sirip punggung dan sirip ekor. Pengamatan
terhadap perubahan warna ikan badut dilakukan dengan pemberian nilai atau pembobot
pada kertas pengukur warna.

DAFTAR PUSTAKA

Allen, G.R. 1972. The Anemone Fishes: their classification and biology. T.F.H. Publication.
New Jerse. 288p.

Anonim, 2012a. An Exploration of the Clownfish. http://tolweb.org/treehouses/?tree


house_id=3390/. Diakses pada tanggal 19 April 2022.

Anonim, 2012b. Cacing Darah. http://www.o-fish.com/ofishBloodWorm.html/. Diakses pada


tanggal 19 April 2022.

Astuti, R.P., S. L. Sagala, Gunawan, G. S. Sumiarsa., P. T. Imanto. 2012. Optimalisasi dosis


dan frekuensi pakan dalam produksi rotifera (Brachionus rotundiformis). Jurnal Ilmu
dan Teknologi Kelautan Tropis. 4(2), 239-246

Ayu, P.N., M., Azrita. 2015. Aspek Reproduksi Ikan Badut (Amphiprion ocellaris,
Pomancentridae) di Perairan Mentawai. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Universitas Bung Hatta.

Bugges, W.E., and H.R. Axelrod. 1973. Fishes of Southern Japan and Ryukyus 2nd
Edition.T.F.H. Publications. Inc.Ltd.England.

Effendie.,M.I.1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri Bogor.

Fajar, J. 2016. Uniknya Reproduksi Si Ikan Badut. https://www.mongabay.co.id. Diakses


pada tanggal 19 April 2022

Fautin, D. G. 2007. Anemon ikan dan anemon laut tuan mereka: panduan tuk aquarists dan
penyelam. Museum Australia Barat.

Gusrina. 2008. Dalam Sitanggang, L.P. Pasaribu, E.R. 2019. Pemanfaatan Kotoran Ternak
Untuk Meningkatkan Kepadatan dan Produktivitas Cacing Sutra (Tubifex sp.)

Isnansetyo, A. Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton. Kanisius.


Yogjakarta. Hal 13-97.

Isyanto, S. 2003. Teknologi Pembesaran Ikan Hias Air Laut (Amphiprion percula) dengan
Menggunakan Pakan Tubifex sp. Universitas Diponogoro. Semarang.

Kusumawati. 2006. Dalam Aldo, J. Banurea, J.S. Harefa, Y.M.F, 2021. Pengaruh Pemberian
Pakan Terhadap Pertumbuhan Ikan Badut (Amphiprion percula) Pada Media
Resirkulasi. Jurnal Penelitian Terapan Perikanan dan Kelautan.
Nagata. Whyte. 1992. Dalam Wullur, S. 2017. Rotifer Dalam Perspektif Marikultur.
Diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat,
Universitas Ratulangi (LPPM UNSRAT). Manado – Sulawesi Utara

Randall, J. E. 2006. Selain anemonfishes yang mengasosiasikan dengan ikan anemone laut.
Terumbu karang, 21 :188-190

Sahandi, J. 2011. Reproduction of Persian Gulf anemone fish (Amphiprion clarkii) in captive
system. Aquaculture, Aquarium, Conservation & Legislation. International Journal of
the Bioflux society. Volume 4. Issue 5.

Sugiyono. 2017. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung.Alfabeta, CV.

Sumaryam. 2000. Dalam Hidayat, S. Putra, I. Mulyadi. 2015. Pemeliharaan Cacing Sutra
(Tubifex sp.) Dengan Dosis Pupuk yang Berbeda Pada Sistem Resirkulasi.
Media.neliti.com.

Poernomo, Ahmad. 2003. Ikan Hias Laut Indonesia. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal 124-
125.

Ziemann, D.A. 2003. Potensi untuk pemulihan populasi ikan hias laut melalui siaran
pembenihan. Aquarium Ilmu dan Konservasi, 3:107-117.

Anda mungkin juga menyukai