PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Ikan patin (Pangasius hypopthalamus) merupakan salah satu komoditas
perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, baik pada tahap pembenihan
maupun pembesaran. Ikan patin merupakan ikan introduksi yang masuk ke
Indonesia tahun 1972 dari Bangkok sedangkan pemijahannya pertama kali
dilaporkan pada tahun 1981. Perkembangan budidaya di masyarakat meningkat
mulai tahun 1990an. Meskipun demikian, kegiatan pemijahan ikan ini masih
banyak terkonsentrasi di daerah Sukabumi, Bogor dan Jakarta sedangkan kegiatan
pendederan benih dan pembesaran sudah mulai berkembang di daerah lainnya di
Pulau Jawa dan Sumatera.
Menurut Susanto dan Amri ( 2001) ikan patin merupakan salah satu ikan
potensial untuk dikembangkan karena didukung oleh aspek biologi seperti
memiliki ukuran yang besar serta fekunditas yang tinggi, pertumbuhannya cepat,
tidak memiliki banyak duri dan dapat dipijahkan secara massal. Keunggulankeunggulan tersebut menyebabkan permintaan ikan patin terus meningkat,
terutama dalam permintaan benih ikan untuk kegiatan budidaya pembesaran ikan.
Upaya yang dilakukan untuk memenuhi permintaan benih ikan patin, maka harus
dilakukan pembenihan ikan patin. Sampai saat ini, pemijahan ikan patin masih
dilakukan secara buatan yaitu melalui pemberian rangsangan hormon untuk proses
pematangan gonad , pengeluaran telur dilakukan dengan cara pengurutan
(stripping) dan pembuahan dilakukan secara kering dengan mencampur sperma
dan telur.
Benih yang memiliki kualitas dan kuantitas yang baik sangat ditentukan oleh
cara pemeliharaan saat stadia larva. Keberhasilan usaha pembesaran juga
dipengaruhi oleh kondisi benih itu sendiri. Susanto dan Amri (2001), menyatakan
bahwa ikan patin hanya dapat dipijahkan 3 kali selama setahun dengan cara
pemijahan buatan. Ikan patin biasanya memijah hanya pada musim hujan
sehingga ketersediaan benih ikan patin di luar musim pemijahan sangatlah langka,
kalaupun ada biasanya tidak membuahkan hasil. Oleh karena itu, pemijahan
buatan dilakukan guna memenuhi ketersediaan ikan patin dipasaran.
1.2
Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui teknik pemijahan
buatan ikan patin yang nantinya diaplikasikan pada budidaya ikan patin
meliputi pemeliharaan induk, seleksi induk, pemijahan ikan patin, dan
pemeliharaan larva ikan patin.
1.3
Manfaat
Manfaat dari praktikum ini adalah praktikan dapat memijahkan ikan patin
secara buatan dari mulai pemeliharaan induk sampai pemeliharaan larva
ikan patin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
komoditi yang berprospek cerah, karena memiliki harga jual yang tinggi. Hal
inilah yang menyebabkan ikan patin banyak diminati oleh para pengusaha untuk
membudidayakannya. Adapun klasifikasi ikan patin siam menurut Saanin (1984)
adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Famili : Pangasidae
Genus : Pangasius
Spesies : Pangasius hypopthalamus
bawah. Ikan ini cukup responsif terhadap pemberian makanan tambahan. Pada
proses budidaya dalam usia enam bulan ikan patin bisa mencapai panjang 35-40
cm. Sebagai keluarga Pangasidae, ikan ini tidak membutuhkan perairan yang
mengalir untuk membongsorkan tubuhnya.
2.2
Indonesia. Secara alami ikan ini banyak ditemukan di sungai-sungai besar dan
berair tenang di Sumatera, seperti Sungai Musi, Batanghari dan Indragiri. Sungaisungai besar lainnya di Jawa, seperti Sungai Brantas dan Bengawan. Bahkan
keluarga dekat lele ini juga dijumpai di sungai-sungai besar di Kalimantan, seperti
Sungai Kayan, Berau, Mahakam, Barito, Kahayan dan Kapuas. Umumnya, ikan
ini ditemukan di lokasi-lokasi tertentu di bagian sungai, seperti lubuk (lembah
sungai) yang dalam.
Menurut Djariah (2001), ikan patin mampu bertahan hidup pada perairan
yang kondisinya sangat jelek dan akan tumbuh normal di perairan yang memenuhi
persyaratan ideal sebagaimana habitat aslinya. Kandungan oksigen (O 2) yang
cukup baik untuk kehidupan ikan patin berkisar 2-5 ppm dengan kandungan
karbondioksida (CO2) tidak lebih 12,0 ppm. Nilai pH atau derajat keasaman
adalah 7,2-7,5, dan ammonia (NH3) yang masih dapat ditoleransi oleh ikan patin
yaitu 1 ppm. Keadaan suhu air yang optimal untuk kehidupan ikan patin antara
lain 28-290C. Ikan patin lebih menyukai perairan yang memiliki fluktuasi suhu
rendah. Kehidupan ikan patin mulai terganggu apabila suhu perairan menurun
sampai 14-150C ataupun meningkat di atas 350C. Aktivitas patin terhenti pada
perairan yang suhunya di bawah 60C atau di atas 420C.
2.3
yang berasal dari makanan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Patin
merupakan ikan pemakan segala (omnivora), tetapi cenderung pemakan daging
(carnivora). Susanto dan Amri (2002), menjelaskan di alam makanan utama ikan
patin berupa udang renik (crustacea), insekta dan moluska. Sementara makanan
pelengkap ikan patin berupa rotifera, ikan kecil, dan daun-daunan yang ada di
perairan. Apabila dipelihara di jala apung, ikan patin ternyata tidak menolak diberi
pakan, sesuai dengan penelitian Arifin (1993) dalam Cholik et al (2005) yang
menyatakan bahwa ikan patin sangat tanggap terhadap pakan buatan.
2.4
ikan laut, krustacea, ikan konsumsi air tawar dan ikan hias. Ini terjadi karena
Artemia memiliki nilai gizi yang tinggi, serta ukuran yang sesuai dengan bukaan
mulut hampir seluruh jenis larva ikan. Artemia dapat diterapkan di berbagai
pembenihan ikan dan udang, baik itu air laut, payau maupun tawar. Artemia
merupakan kelompok udang-udangan dari phylum Arthopoda. Mereka berkerabat
dekat dengan zooplankton lain seperti copepode dan daphnia (kutu air). Artemia
hidup di danau-danau garam (berair asin) yang ada di seluruh dunia. Udang ini
toleran terhadap selang salinitas yang sangat luas, mulai dari nyaris tawar hingga
jenuh garam. Secara alamiah salinitas danau dimana mereka hidup sangat
bervariasi, tergantung pada jumlah hujan dan penguapan yang terjadi. Apabila
kadar garam kurang dari 6 % telur artemia akan tenggelam sehingga telur tidak
bisa menetas, hal ini biasanya terjadi apabila air tawar banyak masuk kedalam
danau dimusim penghujan. Sedangkan apabila kadar garam lebih dari 25% telur
akan tetap berada dalam kondisi tersuspensi, sehingga dapat menetas dengan
normal.
Menurut Bougis (1979) dalam Kurniastuty dan Isnansetyo (1995) adalah
sebagai berikut:
Phylum: Anthropoda
Kelas: Crustacea
Subkelas: Branchiopoda
Ordo: Anostraca
Familia: Artemidae
Genus: Artemia
Spesies: Artemia salina
Kista Artemia sp. yang ditetaskan pada salinitas 15-35 ppt akan menetas
dalam waktu 24-36 jam. Larva artemia yang baru menetas dikenal dengan
Habitat Artemia
Artemia sp. secara umum tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25-30 oC.
Kista artemia kering tahan terhadap suhu -273 hingga 100 derajat celcius. Artemia
dapat ditemui di danau dengan kadar garam tinggi, disebut dengan brain shrimp.
Kultur biomasa artemia yang baik pada kadar garam 30-50 ppt. Untuk artemia
yang mampu menghasilkan kista membutuhkan kadar garam diatas 100 ppt
(Kurniastuty dan Isnansetyo 1995).
2.6
Reproduksi Artemia
Chumaidi et al., (1990) menyatakan bahwa perkembangbiakan artemia ada
dua cara, yakni partenhogenesis dan biseksual. Pada artemia yang termasuk jenis
parthenogenesis populasinya terdiri dari betina semua yang dapat membentuk
telur dan embrio berkembang dari telur yang tidak dibuahi. Sedangkan pada
artemia jenis biseksual, populasinya terdiri dari jantan dan betina yang
berkembang melalui perkawinan dan embrio berkembang dari telur yang dibuahi.
Sutaman (1993) mengatakan bahwa penetasan cystae artemia dapat
dilakukan dengan 2 cara, yaitu penetasan langsung dan penetasan dengan cara
Kingdom : Animalia
Filum : Annelida
Kelas : Oligochaeta
Ordo : Haplotaxida
Famili : Tubificidae
Genus : Tubifex
Spesies : Tubifex sp
mengandung bahan organik tinggi. Hidup di dasar perairan sungai atau parit
selokan yang airnya selalu mengalir (Kotpal 1980 dalam Suharyadi 2012).
Tubificid dapat hidup pada perairan tercemar, pada kondisi ini Tubificid mampu
bertahan hidup karena kemampuannya untuk melakukan respirasi pada tekanan
oksigen yang rendah (Palmer 1968).
Cacing sutra menempati daerah permukaan hingga kedalaman 4 cm.
Cacing muda yang berbobot 0,1-5 mg dapat ditemui pada kedalaman 0-4 cm,
sedangkan cacing dewasa yang berbobot > 5 mg dapat ditemui pada kedalaman 2-
ruas. Ruas cacing sutra yang terputus dapat hidup dan berkembangbiak kembali,
selain itu cacing sutra merupakan jenis hermaprodit tetapi diperlukan sperma dari
cacing lain dalam proses pembuahan sel telur. Cacing sutra betina mengeluarkan
telur yang telah matang dan telur tersebut akan dibuahi oleh cacing lain. (Supeni,
et al., 1994 dalam Johari 2012). Telur dari cacing sutra ditaruh di bawah sedimen
substrat, hal itu bertujuan untuk melindungi perkembangan embrio dari organisme
lain (Lobo, et al. 2011).
Kegiatan Pembenihan
dengan ukurannya yang relatif seragam, memiliki diameter > 1,0 mm dan pada
larutan serra > 80% inti sel bergerak ke pinggir (Sunarma 2007).
2.10.3 Pemijahan
Setelah mendapatkan induk yang siap dipijahkan melalui seleksi induk,
tahap selanjutnya adalah memijahkan induk tersebut. Induk yang akan dipijahkan
diberok dahulu 1-2 malam untuk mengurangi kadar lemak pada saluran
pengeluaran telur dan membuang kotoran/feces (Sunarma 2007).
Pemijahan dilakukan secara buatan melalui pemberian rangsangan hormon
untuk proses pematangan akhir gonad, pengurutan untuk proses pengeluaran telur
dan pembuahan dengan mencampur sperma dan telur. Hormon yang digunakan
adalah ovaprim dan sejenisnya. Standar dosis ovaprim yang diberikan untuk induk
betina adalah 0,5 ml/kg sedangkan untuk jantan adalah 0,2 ml/kg (bila
diperlukan). Penyuntikan dilakukan sebanyak dua kali pada bagian intramuskular
dengan interval waktu penyuntikan pertama dan kedua sekitar 6-12 jam.
Penyuntikan pertama sebanyak 1/3 bagian dari dosis total dan sisanya 2/3 bagian
lagi diberikan pada penyuntikan kedua (Sunarma 2007).
Setelah penyuntikan kedua, 6-8 jam kemudian dilakukan pengecekan
ovulasi induk. Pengecekan ini akan menentukan saat pengeluaran telur untuk
proses pembuahan. Bila pengeluaran telur dilakukan sebelum ovulasi (terlalu
cepat waktu), pengeluaran telur tidak akan lancar dan biasanya persentase
keberhasilan pembuahan akan kecil. Sedangkan bila terlalu lambat, pembuahan
biasanya juga gagal karena air sudah masuk ke dalam kantung telur yang
menyebabkan lubang mikrofil pada telur sudah tertutup. Pengecekan ovulasi
dilakukan dengan cara melakukan pengurutan pada bagian dekat urugenital secara
pelan dan hati-hati. Ovulasi sudah tercapai bila sudah ada sedikit telur yang keluar
sehingga pengurutan secara keseluruhan dapat dilanjutkan untuk proses
pembuahan (Sunarma 2007).
Proses pembuahan didahului dengan penyiapan sperma yang dikeluarkan
dari induk jantan. Sperma ditampung dalam wadah dan diencerkan dengan larutan
NaCl 0,9% atau larutan Ringer dengan perbandingan sekitar 1:100. Sperma yang
tercampur urine (air kencing ikan) sebaiknya tidak digunakan. Telur dikeluarkan
dengan melakukan pengurutan induk betina secara hati-hati dan ditampung dalam
wadah. Tetesan air dalam wadah atau pada telur harus dihindari. Bila dikehendaki,
pengurutan dapat dilakukan secara berulang tapi dalam tenggat waktu yang relatif
singkat. Telur yang sudah ditampung ditambahkan dengan sperma dan diaduk
secara merata. Untuk memudahkan pencampuran telur dan sperma dapat diberi
tambhana larutan fisiologis secukupnya (Sunarma 2007).
2.10.4 Penetasan Telur
Telur yang sudah dibuahi ditetaskan pada tempat yang sudah disiapkan
sebagai tempat penetasan telur. Telur ditebar merata di dasar akuarium dan
diusahakan jangan ada telur yang menumpuk, karena telur tersebut akan busuk
dan menyebabkan menurunnya kualitas media atau air sehingga dapat
mengakibatkan kegagalan penetasan (Sunarma 2007).
Aerasi yang cukup untuk menjamin kandungan oksigen terlarut serta suhu
perlu diperhatikan agar proses penetasan telur berjalan secara optimal. Pada suhu
29-30oC biasanya telur mulai menetas setelah inkubasi 18-24 jam. Larva hasil
penetasan dapat dipindahkan ke wadah yang lain atau tetap pada wadah yang
sama dengan melakukan penggantian air. Proses ini perlu dilakukan karena pada
saat penetasan terdapat sisa cangkang telur yang dapat membusuk dan
menyebabkan bahan beracun bagi larva. Proses pemindahan larva atau
penggantian air harus dilakukan secara hati-hati karena larva masih kritis
(Sunarma 2007).
2.10.5 Pemeliharaan Larva dan Benih
Larva ikan patin mempunyai sifat kanibal yang tinggi sehingga untuk
menghindarinya perlu diperhatikan waktu untuk pemberian makan. Pakan
pertama dapat diberikan sekitar 24 jam setelah menetas pada kisaran suhu
pemeliharaan
nauplii Artemia.
larva. Bila suplai cacing rambut tidak ada, pemberian pakan buatan masih
mungkin dilakukan dengan memberikan adaptasi secukupnya (Sunarma 2007).
Pemeliharaan larva/benih di akuarium dapat dilakukan sampai umur
minimal 10-14 hari sebelum dipindah ke dalam bak pendederan. Sedangkan
pemindahan benih dari bak ke kolam biasanya dilakukan setelah pemeliharaan 3-4
minggu. Pertimbangan pemindahan pemeliharaan dapat disesuaikan dengan
kebutuhan (Sunarma 2007).
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1
berikut:
3.2.1
Alat Praktikum
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum teknik pembenihan ikan
Bahan Praktikum
Bahan yang digunakan dalam praktikum teknik pembenihan ikan terlampir
pada tabel 2.
Tabel 2. Bahan yang digunakan dalam praktikum
No
Nama Bahan
Fungsi
1.
Ikan Patin (Pangasius sp.)
Objek yang dipijahkan
2.
Ovaprim
Untuk merangsang maturasi ikan patin
3.
NaCl
Untuk mengencerkan sperma
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Akuades
Telur Artemia
Garam
Air
Cacing sutra
Larva ikan patin
- Akuarium diisi air sebanyak 22 liter dan dipasang aerator + heater (pada
suhu 30oC
- Larva ikan patin dimasukkan sebanyak 230 ekor
- Akuarium ditutup menggunakan trashbag
- Larva diberi pakan hidup artemia selama 3 hari tiap 2 jam sekali
-