Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Ikan patin (Pangasius hypopthalamus) merupakan salah satu komoditas

perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, baik pada tahap pembenihan
maupun pembesaran. Ikan patin merupakan ikan introduksi yang masuk ke
Indonesia tahun 1972 dari Bangkok sedangkan pemijahannya pertama kali
dilaporkan pada tahun 1981. Perkembangan budidaya di masyarakat meningkat
mulai tahun 1990an. Meskipun demikian, kegiatan pemijahan ikan ini masih
banyak terkonsentrasi di daerah Sukabumi, Bogor dan Jakarta sedangkan kegiatan
pendederan benih dan pembesaran sudah mulai berkembang di daerah lainnya di
Pulau Jawa dan Sumatera.
Menurut Susanto dan Amri ( 2001) ikan patin merupakan salah satu ikan
potensial untuk dikembangkan karena didukung oleh aspek biologi seperti
memiliki ukuran yang besar serta fekunditas yang tinggi, pertumbuhannya cepat,
tidak memiliki banyak duri dan dapat dipijahkan secara massal. Keunggulankeunggulan tersebut menyebabkan permintaan ikan patin terus meningkat,
terutama dalam permintaan benih ikan untuk kegiatan budidaya pembesaran ikan.
Upaya yang dilakukan untuk memenuhi permintaan benih ikan patin, maka harus
dilakukan pembenihan ikan patin. Sampai saat ini, pemijahan ikan patin masih
dilakukan secara buatan yaitu melalui pemberian rangsangan hormon untuk proses
pematangan gonad , pengeluaran telur dilakukan dengan cara pengurutan
(stripping) dan pembuahan dilakukan secara kering dengan mencampur sperma
dan telur.
Benih yang memiliki kualitas dan kuantitas yang baik sangat ditentukan oleh
cara pemeliharaan saat stadia larva. Keberhasilan usaha pembesaran juga
dipengaruhi oleh kondisi benih itu sendiri. Susanto dan Amri (2001), menyatakan
bahwa ikan patin hanya dapat dipijahkan 3 kali selama setahun dengan cara
pemijahan buatan. Ikan patin biasanya memijah hanya pada musim hujan
sehingga ketersediaan benih ikan patin di luar musim pemijahan sangatlah langka,
kalaupun ada biasanya tidak membuahkan hasil. Oleh karena itu, pemijahan
buatan dilakukan guna memenuhi ketersediaan ikan patin dipasaran.

1.2

Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui teknik pemijahan
buatan ikan patin yang nantinya diaplikasikan pada budidaya ikan patin
meliputi pemeliharaan induk, seleksi induk, pemijahan ikan patin, dan
pemeliharaan larva ikan patin.

1.3

Manfaat
Manfaat dari praktikum ini adalah praktikan dapat memijahkan ikan patin
secara buatan dari mulai pemeliharaan induk sampai pemeliharaan larva
ikan patin.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Klasifikasi dan Morfologi Ikan Patin


Ikan patin siam merupakan salah satu komoditas ikan yang dikenal sebagai

komoditi yang berprospek cerah, karena memiliki harga jual yang tinggi. Hal
inilah yang menyebabkan ikan patin banyak diminati oleh para pengusaha untuk
membudidayakannya. Adapun klasifikasi ikan patin siam menurut Saanin (1984)
adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Famili : Pangasidae
Genus : Pangasius
Spesies : Pangasius hypopthalamus

Gambar 1. Ikan Patin Siam (Pangasius hypothalamus)


(Sumber : http://www.bbatjambi.co.id/)
Ikan patin siam memiliki tubuh yang memanjang dan berwarna putih
keperak-perakan dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Tubuh ikan ini
memiliki panjang hingga mencapai 120 cm, bentuk kepala yang relatif kecil,
mulut terletak di ujung kepala bagian bawah, pada kedua sudut mulutnya terdapat
dua pasang kumis yang berfungsi sebagai alat peraba yang merupakan ciri khas
ikan golongan catfish, dan memiliki sirip ekor berbentuk cagak dan simetris
(Djariah 2001). Ikan patin siam merupakan hewan nocturnal (melakukan aktivitas
di malam hari) dan termasuk jenis ikan omnivora (pemakan segala). Ikan patin
siam termasuk ikan dasar yang dapat dilihat dari bentuk mulut yang agak ke

bawah. Ikan ini cukup responsif terhadap pemberian makanan tambahan. Pada
proses budidaya dalam usia enam bulan ikan patin bisa mencapai panjang 35-40
cm. Sebagai keluarga Pangasidae, ikan ini tidak membutuhkan perairan yang
mengalir untuk membongsorkan tubuhnya.
2.2

Habitat dan Penyebaran Ikan Patin


Penyebaran ikan patin di alam cukup luas, hampir di seluruh wilayah

Indonesia. Secara alami ikan ini banyak ditemukan di sungai-sungai besar dan
berair tenang di Sumatera, seperti Sungai Musi, Batanghari dan Indragiri. Sungaisungai besar lainnya di Jawa, seperti Sungai Brantas dan Bengawan. Bahkan
keluarga dekat lele ini juga dijumpai di sungai-sungai besar di Kalimantan, seperti
Sungai Kayan, Berau, Mahakam, Barito, Kahayan dan Kapuas. Umumnya, ikan
ini ditemukan di lokasi-lokasi tertentu di bagian sungai, seperti lubuk (lembah
sungai) yang dalam.
Menurut Djariah (2001), ikan patin mampu bertahan hidup pada perairan
yang kondisinya sangat jelek dan akan tumbuh normal di perairan yang memenuhi
persyaratan ideal sebagaimana habitat aslinya. Kandungan oksigen (O 2) yang
cukup baik untuk kehidupan ikan patin berkisar 2-5 ppm dengan kandungan
karbondioksida (CO2) tidak lebih 12,0 ppm. Nilai pH atau derajat keasaman
adalah 7,2-7,5, dan ammonia (NH3) yang masih dapat ditoleransi oleh ikan patin
yaitu 1 ppm. Keadaan suhu air yang optimal untuk kehidupan ikan patin antara
lain 28-290C. Ikan patin lebih menyukai perairan yang memiliki fluktuasi suhu
rendah. Kehidupan ikan patin mulai terganggu apabila suhu perairan menurun
sampai 14-150C ataupun meningkat di atas 350C. Aktivitas patin terhenti pada
perairan yang suhunya di bawah 60C atau di atas 420C.
2.3

Makanan dan Kebiasaan Makan Ikan Patin Siam


Djariah (2001), mengatakan bahwa ikan patin memerlukan sumber energi

yang berasal dari makanan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Patin
merupakan ikan pemakan segala (omnivora), tetapi cenderung pemakan daging
(carnivora). Susanto dan Amri (2002), menjelaskan di alam makanan utama ikan
patin berupa udang renik (crustacea), insekta dan moluska. Sementara makanan
pelengkap ikan patin berupa rotifera, ikan kecil, dan daun-daunan yang ada di

perairan. Apabila dipelihara di jala apung, ikan patin ternyata tidak menolak diberi
pakan, sesuai dengan penelitian Arifin (1993) dalam Cholik et al (2005) yang
menyatakan bahwa ikan patin sangat tanggap terhadap pakan buatan.
2.4

Klasifikasi dan Morfologi Artemia


Artemia merupakan pakan alami yang sangat penting dalam pembenihan

ikan laut, krustacea, ikan konsumsi air tawar dan ikan hias. Ini terjadi karena
Artemia memiliki nilai gizi yang tinggi, serta ukuran yang sesuai dengan bukaan
mulut hampir seluruh jenis larva ikan. Artemia dapat diterapkan di berbagai
pembenihan ikan dan udang, baik itu air laut, payau maupun tawar. Artemia
merupakan kelompok udang-udangan dari phylum Arthopoda. Mereka berkerabat
dekat dengan zooplankton lain seperti copepode dan daphnia (kutu air). Artemia
hidup di danau-danau garam (berair asin) yang ada di seluruh dunia. Udang ini
toleran terhadap selang salinitas yang sangat luas, mulai dari nyaris tawar hingga
jenuh garam. Secara alamiah salinitas danau dimana mereka hidup sangat
bervariasi, tergantung pada jumlah hujan dan penguapan yang terjadi. Apabila
kadar garam kurang dari 6 % telur artemia akan tenggelam sehingga telur tidak
bisa menetas, hal ini biasanya terjadi apabila air tawar banyak masuk kedalam
danau dimusim penghujan. Sedangkan apabila kadar garam lebih dari 25% telur
akan tetap berada dalam kondisi tersuspensi, sehingga dapat menetas dengan
normal.
Menurut Bougis (1979) dalam Kurniastuty dan Isnansetyo (1995) adalah
sebagai berikut:
Phylum: Anthropoda
Kelas: Crustacea
Subkelas: Branchiopoda
Ordo: Anostraca
Familia: Artemidae
Genus: Artemia
Spesies: Artemia salina
Kista Artemia sp. yang ditetaskan pada salinitas 15-35 ppt akan menetas
dalam waktu 24-36 jam. Larva artemia yang baru menetas dikenal dengan

nauplius. Nauplius dalam pertumbuhannya mengalami 15 kali perubahan bentuk,


masing-masing perubahan merupakan satu tingkatan yang disebut instar (Pitoyo,
2004) Pertama kali menetas larva artemia disebut Instar I. Nauplius stadia I (Instar
I) ukuran 400 mikron, lebar 170 mikron dan berat 15 mikrongram, berwarna
orange kecoklatan. Setelah 24 jam menetas, naupli akan berubah menjadi Instar II,
Gnatobasen sudah berbulu, bermulut, terdapat saluran pencernakan dan dubur.
Tingkatan selanjutnya, pada kanan dan kiri mata nauplius terbentuk sepasang
mata majemuk. Bagian samping badannya mulai tumbuh tunas-tunas kaki, setelah
instar XV kakinya sudah lengkap sebanyak 11 pasang. Nauplius menjadi artemia
dewasa (Proses instar I-XV) antara 1-3 minggu (Mukti 2004).
Pada tiap tahapan perubahan instar nauplius mengalami moulting. Artemia
dewasa memiliki panjang 8-10 mm ditandai dengan terlihat jelas tangkai mata
pada kedua sisi bagian kepala, antena berfungsi untuk sensori. Pada jenis jantan
antena berubah menjadi alat penjepit (muscular grasper), sepasang penis terdapat
pada bagian belakang tubuh. Pada jenis betina antena mengalami penyusutan.
2.5

Habitat Artemia
Artemia sp. secara umum tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25-30 oC.

Kista artemia kering tahan terhadap suhu -273 hingga 100 derajat celcius. Artemia
dapat ditemui di danau dengan kadar garam tinggi, disebut dengan brain shrimp.
Kultur biomasa artemia yang baik pada kadar garam 30-50 ppt. Untuk artemia
yang mampu menghasilkan kista membutuhkan kadar garam diatas 100 ppt
(Kurniastuty dan Isnansetyo 1995).
2.6

Reproduksi Artemia
Chumaidi et al., (1990) menyatakan bahwa perkembangbiakan artemia ada

dua cara, yakni partenhogenesis dan biseksual. Pada artemia yang termasuk jenis
parthenogenesis populasinya terdiri dari betina semua yang dapat membentuk
telur dan embrio berkembang dari telur yang tidak dibuahi. Sedangkan pada
artemia jenis biseksual, populasinya terdiri dari jantan dan betina yang
berkembang melalui perkawinan dan embrio berkembang dari telur yang dibuahi.
Sutaman (1993) mengatakan bahwa penetasan cystae artemia dapat
dilakukan dengan 2 cara, yaitu penetasan langsung dan penetasan dengan cara

dekapsulasi. Cara dekapsulasi dilakukan dengan mengupas bagian luar kista


menggunakan larutan hipoklorit tanpa mempengaruhi kelangsungan hidup
embrio.
Cara dekapsulasi merupakan cara yang tidak umum digunakan pada pantipanti benih, namun untuk meningkatkan daya tetas dan meneghilangkan penyakit
yang dibawa oleh cytae artemia cara dekapsulasi lebih baik digunakan (Pramudjo
dan Sofiati 2004). Subaidah dan Mulyadi (2004) memberikan penjelasan langkahlangkah penetasan dengan cara dekapsulasi, sebagai berikut: 1. Cystae artemia
dihidrasi dengan menggunakan air tawar selama 1-2 jam; 2. Cystae disaring
menggunakan plankton net 120 mikronm dan dicuci bersih; 3. Cystae dicampur
dengan larutan kaporit/klorin dengan dosis 1,5 ml per 1 gram cystae, kemudian
diaduk hingga warna menjadi merah bata; 4. Cystae segera disaring menggunakan
plankton net 120 mikronm dan dibilas menggunakan air tawar sampai bau klorin
hilang, barulah siap untuk ditetaskan; 5. Cystae akan menetas setelah 18-24 jam.
Pemanenan dilakukan dengan cara mematikan aerasi untuk memisahkan cytae
yang tidah menetas dengan naupli artemia.
Pramudjo dan Sofiati (2004) cystae hasil dekapsulasi dapat segera
digunakan (ditetaskan) atau disimpan dalam suhu 0 derajat celcius (- 4 derajat
celcius) dan digunakan sesuai kebutuhan. Dalam kaitannya dengan proses
penetasan Chumaidi et al (1990) mengatakan kista setelah dimasukan ke dalam air
laut (5-70 ppt) akan mengalami hidrasi berbentuk bulat dan di dalamnya terjadi
metabolisme embrio yang aktif, sekitar 24 jam kemudian cangkang kista pecah
dan muncul embrio yang masih dibungkus dengan selaput. Pada saat ini panen
segera akan dilakukan.
2.7

Klasifikasi dan Morfologi Cacing Sutra


Klasifikasi cacing sutra menurut Healy (2001) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia
Filum : Annelida
Kelas : Oligochaeta
Ordo : Haplotaxida
Famili : Tubificidae
Genus : Tubifex

Spesies : Tubifex sp

Gambar 2. Cacing Sutra


(Sumber: Wijayanti 2010)
Cacing sutra memiliki warna tubuh kemerahan dengan panjang 4 cm dan
memiliki diameter rata-rata 0,5 mm. Warna merah pada tubuh cacing sutra
dikarenakan adanya Erytrocruorin yang larut dalam darah (Pennak 1978).
Cacing sutra disebut sebagai cacing sutra karena memiliki tubuh yang sangat
lembut seperti benang sutra. Cacing sutra hidup dengan membentuk koloni di
perairan jernih yang kaya bahan organik. Kebiasaan cacing sutra yang berkoloni
antara satu individu dan individu lain sehingga sulit untuk dipisahkan (Khairuman
dan Sihombing 2008).
Famili Tubificid membuat tabung pada lumpur untuk memperoleh oksigen
melalui permukaan tubuhnya. Oksigen tersebut diperoleh dengan cara tubuh
bagian posterior menonjol keluar dari tabung dan bergerak secara aktif mengikuti
aliran air. Gerakan aktif bagian posterior Tubificid dapat membantu fungsi
pernafasan (Rogaar, 1980 dalam Febrianti 2004).
2.8

Habitat Cacing Sutra


Cacing sutra dapat tumbuh dengan baik pada kondisi lingkungan yang

mengandung bahan organik tinggi. Hidup di dasar perairan sungai atau parit
selokan yang airnya selalu mengalir (Kotpal 1980 dalam Suharyadi 2012).
Tubificid dapat hidup pada perairan tercemar, pada kondisi ini Tubificid mampu
bertahan hidup karena kemampuannya untuk melakukan respirasi pada tekanan
oksigen yang rendah (Palmer 1968).
Cacing sutra menempati daerah permukaan hingga kedalaman 4 cm.
Cacing muda yang berbobot 0,1-5 mg dapat ditemui pada kedalaman 0-4 cm,
sedangkan cacing dewasa yang berbobot > 5 mg dapat ditemui pada kedalaman 2-

4 cm (Marian, 1984). Pada kedalamanan tersebut terdapat perbedaan ukuran


partikel sumber nutrisi cacing sutra, partikel-partikel yang dimakan cacing sutra
berukuran < 63 m (Rodriguez et al. 2001).
Cacing sutra mampu bertahan hidup pada kisaran suhu 20-29 C (Putra,
2010) tetapi suhu optimal yang diperlukan bagi cacing sutra berkisar antara 20-30
C. Selain suhu, pH air juga berpengaruh terhadap pertumbuhan cacing sutra.
Nilai pH yang rendah akan mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya
proses nitrifikasi. Kisaran pH optimal untuk Tubificid yaitu 6-8 (Whitley 1968).
Kebutuhan kadar oksigen bagi pertumbuhan embrio cacing sutra secara normal
berkisar antara 2,5-7,0 ppm (Marian 1984).
Sistem flow through perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan oksigen
bagi cacing sutra walaupun cacing sutra dapat bertahan hidup pada kondisi
oksigen rendah. Namun pergantian air perlu dilakukan untuk membuang
kandungan amoniak yang bersifat racun bagi cacing sutra. Nilai amoniak pada
media harus berkisar antara 0,01-1,76 ppm dan jika kandungan amoniak > 3 ppm
merupakan kondisi letal bagi cacing sutra (Suprapto 1986 dalam Suharyadi 2012).
Fiastri (1987) menyatakan bahwa debit air optimal bagi pertumbuhan
cacing sutra adalah 750 ml/menit atau sekitar 3 l/ menit untuk setiap m2 wadah
yang dipakai. Menurut Sulmartiwi (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan
populasi cacing sutra tertinggi adalah dengan debit air 525 ml/menit. Sedangkan
Shafrudin et al (2005) memberikan debit air 300 ml/menit atau 1,87 l/menit untuk
setiap m2 wadah yang dipakai.
2.9

Reproduksi Cacing Sutra


Perkembangbiakan cacing sutra dapat dilakukan dengan cara pemutusan

ruas. Ruas cacing sutra yang terputus dapat hidup dan berkembangbiak kembali,
selain itu cacing sutra merupakan jenis hermaprodit tetapi diperlukan sperma dari
cacing lain dalam proses pembuahan sel telur. Cacing sutra betina mengeluarkan
telur yang telah matang dan telur tersebut akan dibuahi oleh cacing lain. (Supeni,
et al., 1994 dalam Johari 2012). Telur dari cacing sutra ditaruh di bawah sedimen
substrat, hal itu bertujuan untuk melindungi perkembangan embrio dari organisme
lain (Lobo, et al. 2011).

Telur cacing sutra berkembang di dalam kokon sampai menjadi embrio.


Proses perkembangan embrio keluar dari kokon dilakukan secara enzimatik
(Puslitbangkan 1990 dalam Suharyadi 2012). Berdasarkan penelitian Lobo, et al,
2011 menyatakan adanya hubungan antara berat individu dengan jumlah telur
dalam kokon. Tingginya temperatur pada media dapat meningkatkan metabolisme
sehingga frekuensi reproduksi cacing sutra meningkat. Perkembangan embrio
sampai menjadi cacing dewasa berkisar 7 minggu. Waktu peletakkan kokon
sampai menetas menjadi cacing muda adalah 12-18 hari dan peletakkan kokon
tersebut tidak berpengaruh terhadap substrat media (Lobo, et al. 2011).
2.10

Kegiatan Pembenihan

2.10.1 Pengelolaan Induk


Pengelolaan induk merupakan tahap awal untuk menghasilkan benih yang
berkualitas baik sehingga menentukan keberhasilan kegiatan pembenihan ikan.
Mutu induk yang baik ditunjang dengan pengelolaan yang tepat diharapkan dapat
menghasilkan benih dengan kualitas yang baik dan jumlah yang mencukupi.
Kriteria induk yang akan digunakan, antara lain berdasarkan bentuk fisik,
ukuran berat, umur dan tingkat kesehatan. Induk betina yang layak dipijahkan
telah berumur 3 tahun dan beratnya telah mencapai >2 kg/ekor. Sedangkan induk
jantan yang siap dipijahkan telah berumur2 tahun dan beratnya mencapai 1,5-2
kg/ekor. Induk yang akan dipijahkan harus sehat secara fisik, yaitu tidak terinfeksi
oleh penyakit parasit dan luka akibat benturan, pukulan, goresan, sayatan, dan
lain-lain (Sunarma 2007).
Induk jantan dan betina dapat dipelihara bersama-sama pada satu kolam
atau bisa terpisah dengan kepadatan 3-5 ekor/m2. Induk sebaiknya dibuat dalam
beberapa kelompok dan dipelihara secara terpisah untuk dapat digunakan pada
proses pemijahan secara bergantian. Kolam pemeliharaan induk dapat berupa
kolam tanah atau tembok dan memiliki saluran pemasukan dan pengeluaran air.
Kualitas air untuk induk adalah suhu 25-30oC, pH 6,0 - 8,5 dan kandungan
oksigen terlarut >4 mg/L (Sunarma 2007).
Pakan yang diberikan berupa pakan buatan dengan kualitas yang baik dan
kuantitas yang mencukupi. Pakan harus memiliki kandungan protein 30-35 %.

Pemberian pakan dilakukan setiap hari sebanyak 3% bobot biomas/hari dengan


frekuensi pemberian pakan 2-3 kali/hari (Sunarma 2007).
2.10.2 Seleksi Induk
Seleksi induk merupakan langkah awal dalam usaha pembenihan ikan.
Langkah ini sangat menetukan keberhasilan pembenihan secara keseluruhan
sehingga harus dilakukan secara teliti dan akurat berdasarkan kriteria yang sudah
ditentukan.
Pada umumnya, induk ikan betina yang telah matang gonad memiliki ciriciri yang mudah dibedakan dengan induk jantan atau induk betina yang belum
dewasa. Postur tubuh induk ikan betina cenderung melebar dan pendek, perut
lembek, halus dan membesar ke arah anis. Urogenital membengkak dan membuka
serta berwarna merah tua. Sedangkan postur tubuh induk jantan relatif lebih
langsing dan panjang. Alat kelamin (urogenital) membengkak dan berwarna
merah tua. Apabila bagian perut dekat lubang kelamin diurut akan mengeluarkan
cairan puih kental (cairan sperma) (Sunarma 2007).

A = Induk Jantan; B = Induk Betina (Sumber: LRPTBPAT, 2007)


Untuk menjamin pemilihan induk betina yang matang gonad, dapat
dilakukan dengan pengukuran diameter telur dan pengamatan pergerakan inti sel
telur. Proses ini dapat dilakukan dengan cara melakukan pengambilan telur
menggunakan kateter atau kanulator dari kantung telur. Telur yang sudah diambil
diletakkan pada larutan sera untuk mengukur diameter telur dan pergerakan inti
sel di bawah mikroskop. Telur dari induk yang sudah matang gonad ditandai

dengan ukurannya yang relatif seragam, memiliki diameter > 1,0 mm dan pada
larutan serra > 80% inti sel bergerak ke pinggir (Sunarma 2007).
2.10.3 Pemijahan
Setelah mendapatkan induk yang siap dipijahkan melalui seleksi induk,
tahap selanjutnya adalah memijahkan induk tersebut. Induk yang akan dipijahkan
diberok dahulu 1-2 malam untuk mengurangi kadar lemak pada saluran
pengeluaran telur dan membuang kotoran/feces (Sunarma 2007).
Pemijahan dilakukan secara buatan melalui pemberian rangsangan hormon
untuk proses pematangan akhir gonad, pengurutan untuk proses pengeluaran telur
dan pembuahan dengan mencampur sperma dan telur. Hormon yang digunakan
adalah ovaprim dan sejenisnya. Standar dosis ovaprim yang diberikan untuk induk
betina adalah 0,5 ml/kg sedangkan untuk jantan adalah 0,2 ml/kg (bila
diperlukan). Penyuntikan dilakukan sebanyak dua kali pada bagian intramuskular
dengan interval waktu penyuntikan pertama dan kedua sekitar 6-12 jam.
Penyuntikan pertama sebanyak 1/3 bagian dari dosis total dan sisanya 2/3 bagian
lagi diberikan pada penyuntikan kedua (Sunarma 2007).
Setelah penyuntikan kedua, 6-8 jam kemudian dilakukan pengecekan
ovulasi induk. Pengecekan ini akan menentukan saat pengeluaran telur untuk
proses pembuahan. Bila pengeluaran telur dilakukan sebelum ovulasi (terlalu
cepat waktu), pengeluaran telur tidak akan lancar dan biasanya persentase
keberhasilan pembuahan akan kecil. Sedangkan bila terlalu lambat, pembuahan
biasanya juga gagal karena air sudah masuk ke dalam kantung telur yang
menyebabkan lubang mikrofil pada telur sudah tertutup. Pengecekan ovulasi
dilakukan dengan cara melakukan pengurutan pada bagian dekat urugenital secara
pelan dan hati-hati. Ovulasi sudah tercapai bila sudah ada sedikit telur yang keluar
sehingga pengurutan secara keseluruhan dapat dilanjutkan untuk proses
pembuahan (Sunarma 2007).
Proses pembuahan didahului dengan penyiapan sperma yang dikeluarkan
dari induk jantan. Sperma ditampung dalam wadah dan diencerkan dengan larutan
NaCl 0,9% atau larutan Ringer dengan perbandingan sekitar 1:100. Sperma yang
tercampur urine (air kencing ikan) sebaiknya tidak digunakan. Telur dikeluarkan
dengan melakukan pengurutan induk betina secara hati-hati dan ditampung dalam

wadah. Tetesan air dalam wadah atau pada telur harus dihindari. Bila dikehendaki,
pengurutan dapat dilakukan secara berulang tapi dalam tenggat waktu yang relatif
singkat. Telur yang sudah ditampung ditambahkan dengan sperma dan diaduk
secara merata. Untuk memudahkan pencampuran telur dan sperma dapat diberi
tambhana larutan fisiologis secukupnya (Sunarma 2007).
2.10.4 Penetasan Telur
Telur yang sudah dibuahi ditetaskan pada tempat yang sudah disiapkan
sebagai tempat penetasan telur. Telur ditebar merata di dasar akuarium dan
diusahakan jangan ada telur yang menumpuk, karena telur tersebut akan busuk
dan menyebabkan menurunnya kualitas media atau air sehingga dapat
mengakibatkan kegagalan penetasan (Sunarma 2007).
Aerasi yang cukup untuk menjamin kandungan oksigen terlarut serta suhu
perlu diperhatikan agar proses penetasan telur berjalan secara optimal. Pada suhu
29-30oC biasanya telur mulai menetas setelah inkubasi 18-24 jam. Larva hasil
penetasan dapat dipindahkan ke wadah yang lain atau tetap pada wadah yang
sama dengan melakukan penggantian air. Proses ini perlu dilakukan karena pada
saat penetasan terdapat sisa cangkang telur yang dapat membusuk dan
menyebabkan bahan beracun bagi larva. Proses pemindahan larva atau
penggantian air harus dilakukan secara hati-hati karena larva masih kritis
(Sunarma 2007).
2.10.5 Pemeliharaan Larva dan Benih
Larva ikan patin mempunyai sifat kanibal yang tinggi sehingga untuk
menghindarinya perlu diperhatikan waktu untuk pemberian makan. Pakan
pertama dapat diberikan sekitar 24 jam setelah menetas pada kisaran suhu
pemeliharaan

29-30oC. Pakan yang diberikan berupa

nauplii Artemia.

PenyiapanArtemia dapat merujuk pada petunjuk produsennya dan biasanya


terdapat pada bagian kemasan (Sunarma 2007).
Pemberian pakan Artemia selanjutnya dapat dilakukan pada kisaran 4-5
jam sekali. Pakan diberikan secara ad libitum atau secukupnya dengan
memperhatikan nafsu makan ikan. Penggantian pakan dari Artemia ke cacing
rambut dapat dilakukan mulai hari ke tujuh dengan memperhatikan bukaan mulut

larva. Bila suplai cacing rambut tidak ada, pemberian pakan buatan masih
mungkin dilakukan dengan memberikan adaptasi secukupnya (Sunarma 2007).
Pemeliharaan larva/benih di akuarium dapat dilakukan sampai umur
minimal 10-14 hari sebelum dipindah ke dalam bak pendederan. Sedangkan
pemindahan benih dari bak ke kolam biasanya dilakukan setelah pemeliharaan 3-4
minggu. Pertimbangan pemindahan pemeliharaan dapat disesuaikan dengan
kebutuhan (Sunarma 2007).

BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1

Waktu dan Tempat

Pelaksanaan kegiatan praktikum teknik pembenihan ikan, dilakukan pada :


Waktu
: Jumat-Sabtu, 1-2 April 2016 dan Jumat, 11 April 2016
Tempat: Laboratorium MSP Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Padjadjaran Jatinangor dan Ciparanje.
3.2

Alat dan Bahan


Dalam pelaksanaan praktikum ini digunakan alat-alat dan bahan sebagai

berikut:
3.2.1

Alat Praktikum
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum teknik pembenihan ikan

terlampir pada tabel 1.


Tabel 1. Alat yang digunakan dalam praktikum
No
Nama Alat
Fungsi
1. Wadah
Sebagai tempat telur dan sperma
2. Kain
Untuk menutupi kepala ikan patin
3. Timbangan
Menimbang bobot ikan
4. Bak berok
Tempat memberok ikan
5. Suntikan
Untuk menyuntikkan ovaprim pada ikan
6. Botol 1,5 L
Tempat kultur artemia
7. Aerator
Sebagai aerasi
8. Saringan
Untuk menyaring artemia
9. Akuarium
Tempat pemeliharaan larva ikan
10. Heater
Untuk menjaga kestabilan suhu dalam akuarium
11. Trashbag
Untuk menutup akuarium
3.2.2

Bahan Praktikum
Bahan yang digunakan dalam praktikum teknik pembenihan ikan terlampir

pada tabel 2.
Tabel 2. Bahan yang digunakan dalam praktikum
No
Nama Bahan
Fungsi
1.
Ikan Patin (Pangasius sp.)
Objek yang dipijahkan
2.
Ovaprim
Untuk merangsang maturasi ikan patin
3.
NaCl
Untuk mengencerkan sperma

4.
5.
6.
7.
8.
9.

Akuades
Telur Artemia
Garam
Air
Cacing sutra
Larva ikan patin

Untuk mengencerkan ovaprim


Sebagai pakan larva ikan patin
Untuk memberi salinitas air
Sebagai media kultur
Sebagai pakan larva ikan patin
Sebagai objek pengamatan

3.3 Prosedur Kerja Pemijahan Buatan Ikan Patin


Prosedur kerja yang dilakukan pada praktikum ini yaitu :
Pemijahan Buatan Ikan Patin
- Disiapkan indukan ikan patin dengan jumlah jantan 3 ekor dan betina 2
ekor
- Indukan diberok selama satu malam
- Indukan ditimbang dan disuntikan ovaprim. Penyuntikan I dosis 1/3 dari
dosis total, penyuntikan II dosis 2/3 dari dosis total
- Setelah 8 jam indukan di stripping
- Sperma diencerkan dengan NaCl 100%
- Setelah 24 jam pada suhu 30oC larva patin akan menetas
Larva Patin Menetas

Pembuatan Pakan Artemia


- Disiapkan botol 1,5 L, diberi air dan aerasi
- Disiapkan heater dengan suhu 31oC
- Garam ditimbang 20 gram, kemudian dimasukkan dalam botol dan
dilarutkan
- Telur artemia dimasukkan ke dalam botol yang berisi air+garam
Hari 1 = 0,5 gram
Hari 2 = 1,0 gram
Hari 3 = 1,5 gram
- Aerasi harus besar, pastikan suhu dan oksigen sesuai
- Botol disimpan di bak fiber dan didiamkan 24 jam
- Setelah 24 jam , artemia akan menetas
- Sebelum diberikan pada larva, kista dan artemia dipisahkan dengan
menggunakan kertas saring dan dikumpulkan dengan bantuan ca
Artemia
Pemeliharaan Larva Ikan Patin

- Akuarium diisi air sebanyak 22 liter dan dipasang aerator + heater (pada
suhu 30oC
- Larva ikan patin dimasukkan sebanyak 230 ekor
- Akuarium ditutup menggunakan trashbag
- Larva diberi pakan hidup artemia selama 3 hari tiap 2 jam sekali
-

Hari ke 4, setelah 72 jam diberikan pakan hidup berupa cacing sutra


secara adlibitum

Hitung SR dan FCR


Hasil

Anda mungkin juga menyukai