“LAPORAN PRAKTIKUM
KULTUR ARTEMIA DENGAN METODE
DEKAPSULASI DAN NONDEKAPSULASI”
DISUSUN OLEH:
ANGGELINA MORANTRI BILI, S.Pd
NIP. 198908012014032005
PENDAHULUAN
Artemia merupakan pakan alami yang banyak digunakan dalam usaha pembenihan ikan
dan udang, karena kandungan nutrisinya baik. Akan tetapi di perairan Indonesia tidak atau belum
ditemukan Artemia, sehingga sampai saat ini Indonesia masih mengimpor Artemia sebanyak 50
ton/ tahun, dimana harganya dalam bentuk kista/ telur antara Rp 400.000 – 500.000/ kg (Suara
Merdeka, 2002). Walaupun pakan buatan dalam berbagai jenis telah berhasil dikembangkan dan
cukup tersedia untuk larva ikan dan udang, namun Artemia masih tetap merupakan bagian yang
esensial sebagai pakan larva ikan dan udang diunit pembenihan. Keberhasilan pembenihan ikan
bandeng, kakap dan kerapu juga memerlukaan ketersediaan Artemia sebagai pakan alami
esensialnya, serta dengan adanya kenyataan bahwa kebutuhan Artemia untuk larva ikan kakap
dan kerapu 10 kali lebih banyak dibandingkan dengan larva udang, maka kebutuhan cyste
Artemia pada tahun-tahun mendatang akan semakin meningkat (Raymakers dalam Yunus, dkk.,
1994).
Secara umum terdapat dua alasan mengapa penggunaan pakan hidup alami sepertihalnya
Artemia lebih mengutungkan dibandingkan pakan buatan (pellet, dll) dalam pemeliharaan larva-
larva hewan air (ikan dan crustacean), yaitu : 1. Buruknya kualitas air mengakibatkan
disintegrasi micropelet yang biasanya pemberian pakan tersebut cenderung berlebihan dengan
tujuan pertumbuhan yang sempurna. 2. Tingginya tingkat mortalitas, mengakibatkan malnutrisi
dan atau penyerapan komponen-komponen nutrisi pakan pellet yang tidak
komplit(http://www.aquafauna.com/, 2004).
Cyste Artemia yang dibutuhkan sebagian besar masih diimpor, umumnya dari Amerika
Serikat dan hanya sebagian dari China (Yap et.al. dalam Yunus, dkk., 1994). Tetapi kebanyakan
cyste impor yang ada di Indonesia kualitasnya masih rendah. Sehingga menyebabkan produksi
yang beragam dan kematian masal larva udang. Untuk itu ditempuh jalan untuk dapat
membudidayakan Artemia di tambak secara lokal. Dari hasil budidaya Artemia secara lokal ini
diperoleh beberapa keuntungan yaitu waktu transportasi dan penyimpanan lebih singkat,
pengawasan kualitas pada proses produksi dan pengawasan terhadap pengelolaan lingkungan
tambak budidaya mengarah pada produksi cyste Artemia lokal yang berkualitas dan aman. Lebih
jauh lagi, produksi Artemia lokal dapat menunjang penghematan devisa melalui subtitusi impor.
Jenis pakan secara umum yang dapat dikonsumsi oleh ikan terdiri atas 2 jenis, yakni pakan alami
dan pakan buatan. Pakan alami adalah jasad-jasad hidup yang biasanya dari jenis plankton baik
fito maupun zooplankton yang sengaja dibudidayakan untuk diberikan kepada ikan sesuai
dengan kebutuhannya. Ketersediaan pakan alami merupakan faktor yang berperan penting dalam
mata rantai budidaya ikan terutama pada fase benih. Kepentingan pakan alami sebagai sumber
makanan ikan dapat dilihat antara lain:
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dilakukannya praktikum penetasan cyste artemia adalah sebagai berikut:
1. Diharapkan dapat memahami dan melakukan penetasan cyste artemia dengan metode
dekapsulasi dan tanpa dekapsulasi pada artemia sebelum dilakukan pengkulturan.
2. Agar dapat mengetahui pengaruh perlakuan dekapsulasi dan tanpa dekapsulasi terhadap
tingkat penetasan kista artemia yang akan di kultur.
BAB II
TINJAUAN PUSTKA
Filum : Arthropoda
Sud Fillum : Branchiata
Kelas : Crustacea
Subclass : Branchiopoda
Ordo : Anostraca
Famili : Artemiidae
Genus : Artemia
Spesies : Artemia sp.
Nama Artemia salina Linnaeus 1758 secara taksonomis sudah tidak dipakai lagi. Eksperimen
persilangan antar Artemia dari berbagai populasi menunjukkan adanya isolasi reproduksi dari
beberapa kelompok dalam populasi dan menyebabkan adanya pengakuan terhadap spesies
sibling sehingga penamaan secara taksonomi harus diberikan. Diantara strain biseksual atau
zygogenetik Artemia (populasi yang terdiri dari jantan dan betina) ada 6 jenis sibling yang
diketahui sejauh ini, yakni:
Artemia salina : Lymington England
Artemia tunisiana : Eropa
Artemia fransiscana : Amerika (Utara, Tengah dan Selatan)
Artemia urmiana : Iran
Artemia monica : Mono-Lake, CA-USA (Harefa, 1996).
Pada salinitas rendah dan tingkat yang optimal makanan, artemia betina dibuahi biasanya
menghasilkan nauplii berenang bebas hingga 75 nauplii per hari. Dalam kondisi yang super
ideal, suatu Artemia dewasa bisa hidup selama tiga bulan dan menghasilkan hingga 300 nauplii
atau kista setiap 4 hari. Kista produksi diinduksi oleh kondisi salinitas tinggi, dan kekurangan
pangan kronis dengan fluktuasi oksigen yang tinggi antara siang dan malam.
METODELOGI PRAKTIKUM
Pemanenan Artemia
1. Siapkan beaker glass sebagai wadah penampungan Artemia yang akan dipanen, serta seser
yang akan digunakan untuk menyaring
2. Buka aerasi dari bagian pangkal (dekat aerator) hingga selang aerasi; mencapai seser halus
untuk menyaring Artemia yang dipanen.
3. Lakukan secara perlahan dan hati-hati, jangan sampai cangkang Artemia ikut terbawa.
Parameter pengamatan yang akan diamati dalam praktikum ini adalah Pengamatan
perbedaan tahapan proses dalam metode dekapsulasi dan tanpa dekapsulasi dan Penghitungan
Derajat Penetasan atau Hatching Rate (HR) dari kista artemia sesuai dengan masing-masing
metode penetasan. Untuk mengetahui derajat penetasan artemia maka dilakukan penghitungan
telur artemia berdasarkan dari jumlah cyste artemia yang ditetaskan dengan jumlah nauplius
yang dihasilkan. Metode yang dapat digunakan untuk mengetahui derajat penetasan menurut
gusrina (2008), yaitu dengan menggunakan rumus:
𝑁
𝐻𝑅 = 𝑥 100 %
𝐶
Dimana :
HR = Daya Tetas
N = Jumlah telur yang menetas
C = Jumlah total telur yang ditetaskan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
Penghitungan Derajat Penetasan atau Hatching Rate (HR) dari kista artemia sesuai
dengan masing-masing metode penetasan. Untuk mengetahui derajat penetasan artemia maka
dilakukan penghitungan telur artemia berdasarkan dari jumlah cyste artemia yang ditetaskan
dengan jumlah nauplius yang dihasilkan. Metode yang dapat digunakan untuk mengetahui
derajat penetasan menurut gusrina (2008), yaitu dengan menggunakan rumus:
𝑁
𝐻𝑅 = 𝑥 100 %
𝐶
Dimana :
HR = Daya Tetas
N = Jumlah telur yang menetas
C = Jumlah total telur yang ditetaskan/ditebar
2. 0 139.500 0% 47.16 %
4.2 Pembahasan
Adapun parameter yang akan dibahas oleh penulis dalam kegiatan praktikum penetasan
cyste artemia dengan metode dekapsulasi dan tanpa dekapsulasi ini antara lain adalah : Persiapan
wadah dan media penetasan, persiapan cyste artemia, penetasan cyste artemia, pemanenan
nauplius/larva artemia dan Menghitung derajat penetasan (HR). Karena ini adalah bagian dari
faktor-faktor berhasil atau tidaknya penetasan cyste artemia.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan (gusrina 2008), wadah yang dapat digunakan
dalam mengkultur pakan alami artemia ada beberapa macam. Antara lain adalah kantong plastic
berbentuk kerucut, botol aqua, gallon air minum bekas, ember plastic dan bentuk wadah lainnya
yang didesain berbentuk kerucut pada bagian bawahnya agar memudahkan pada saat pemanenan.
Setelah dipastikan kondisi wadah penetasan telah berfungsi dengan baik, langkah selanjutnya
adalah pembuatan media penetasan. Salinitas pada media penetasan artemia ini adalah salinitas
35 ppt dengan cara membuat air laut tiruan, air laut ini dibuat dengan jalan menambahkan garam
yang tidak beryodium ke dalam air tawar sampai memiliki salinitas 35 ppt dengan pengecekan
menggunakan salinomoter. Setelah media penetasan dibuat, kemudian dimasukkan kedalam
botol aqua yang telah disiapkan sebanyak 1 liter/botol aqua dan diaerasi secara kuat agar garam
tercampur merata. Sedangkan munurut (gusrina 2008), kista artemia dapat ditetaskan pada media
yang mempunyai salinitas 5-35 ppt, walaupun pada habitat aslinya dapat hidup pada salinitas
yang sangat tinggi.
Persiapan Kista Artemia
Kista artemia yang akan ditetaskan sebelumnya ditimbang sesuai dengan dosis yang akan
digunakan dengan timbangan digital. Dalam praktikum ini menggunakan 5 gram cyste per liter
air media penetasan. Pada praktikum penetasan kista artemia ini, kista dimasukan kedalam
wadah yang berisi dengan salinitas 35 ppt dengan memasukkan garam pada air dengan volume 1
L. Kista yang sudah dimasukan kedalam air tersebut menetas dalam waktu 22 jam, penetasan
kista tersebut relative cepat hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Mudjiman (1989)
penetasan kista artemia yang berkualitas baik akan menetas dalam waktu sekitar 18-24 jam
apabila diinkubasi dalam salinitas 5-35 ppt, ada beberapa proses yang terjadi dalam penetasan
kista artemia yaitu tahapan hidrasi, tahapan pecah cangkang, dan tahapan naupli. Pada praktikum
ini digunakan 5 gram kista per liter air media penetasan. Kemudian dilakukan penghitungan
jumlah kista yang tebar dengan metode sampling . Untuk mengetahui jumlah tebar maka
dilakukan dengan metode sampling dengan menimbang 0.05 gr Cyst Artemia kemudian ditebar
secara merata pada kertas yang telah diberi luasan tertentu kemudian beberapa kotak pada
luasan sebagai sampel (5 kotak dengan ukuran 1 cm 2 ) kemudian dirata-rata selanjutnya
dikalikan dengan luasan kertas untuk memperoleh nilai jumlah tebar.
Pada praktikum ini, cyste artemia dimasukkan kedalam wadah penetasan pada pukul 15.30 WIB
dan penetasan cyste terjadi pada pagi harinya antara pukul 02.00-06.00 WIB. Penetasan kista
Artemia adalah suatu proses inkubasi Cyste artemia di media penetasan (air laut ataupun air laut
buatan) sampai menetas. Proses penetasan terdiri dari beberapa tahapan yang membutuhkan
waktu sekitar 18-24 jam.
𝑁
𝐻𝑅 = 𝑥 100 %
𝐶
Dimana :
HR = Daya Tetas
N = Jumlah telur yang menetas
C = Jumlah total telur yang ditetaskan/ditebar
Pengamatan hari pertama
1. Non Dekapsulasi
Jumlah naupli dalam sampel 1 ml: 27 sehingga kemungkinan dalam 300 ml terdapat 300 x 27 =
8100. Jumlah tebarnya adalah 295.780. Sehingga HR-nya adalah 8.100/295.780 x 100% =
2,74 %
2. Dekapsulasi
Jumlah naupli dalam sampel 1 ml: 3 sehingga kemungkinan dalam 300 ml terdapat 300 x 3 =
900. Jumlah tebarnya adalah 202.160. Sehingga HR-nya adalah 900/202.160 x 100% = 0.44
%
Jumlah naupli dalam sampel 1 ml: 465 sehingga kemungkinan dalam 300 ml terdapat 300 x 465
= 139.500. Jumlah tebarnya adalah 295.780. Sehingga HR-nya adalah 139.500 /295.780 x
100% = 47.16 %
2. Dekapsulasi
Jumlah naupli dalam sampel 1 ml: 0 sehingga kemungkinan dalam 300 ml terdapat 300 x 0 = 0.
Jumlah tebarnya adalah 202.160. Sehingga HR-nya adalah 0 /202.160x 100% = 0 %
Dari data tersebut dapat dilihat jumlah cyste artemia yang menetas (Hatching rate) lebih
besar pada perlakuan non-dekapsulasi dibandingkan perlakuan dekapsulasi. Tujuan awal
dilakukan metode dekapsulasi adalah meningkatkatkan daya tetas cyste artemia atau biasa
disebut dengan peningkatan heacthing rate (hareta, 1997). Akan tetapi dari hasil praktikum ini
bertolak belakang dengan pernyataan tersebut, HR cyste artemia yang mendapat perlakuan
dekapsulasi jauh lebih rendah dibandingkan dengan cyste non-dekapsulasi bahkan setelah hari
kedua HR 0%. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa factor diantaranta : suhu, aerasi, kepadan
cyste, salinitas air, intensitas cahaya, kualitas cyste artemia serta ketebalan lapisan klorin cyste.
Sedangkan dalam praktikum ini banyaknya cyste yang tidak menetas adalah akibat dari
penanganan pada saat cyste diberi chlorine, dimana yang seharusnya dimasukkan kedalam
beaker glas dan diaresai kuat hingga 5-15 menit, namun dalam praktikum ini dengan cara
pengadukan secara manual (diputar). Hal ini yang mengakibatkan cyste artemia pecah/mati
karena dapat terjadi penggilasan cyste oleh alat pengaduk. Selain itu karena terjadinya
pemadaman listrik pada malam hari kurang lebih 3-4 jam sehingga mengakibatkan aerasi tidak
berfungsi, hal ini dapat menyebabkan kurangnya oksigen terlarut dan tidak terjadinya
pengadukan media dalam wadah penetasan. Sehingga mengakibatkan banyak cyste artemia tidak
menetas.
BAB IV
5.1 Kesimpulan
Penetasan cyste artemia dengan metode dekapsulasi lebih baik dibandingkan dengan non-
dekapsulasi, namun dalam praktikum ini mendapatkan hasil yang sebaliknya. Hal ini karena
diakibatkan oleh tidak ada kecermatan dalam prosedur proses perlakuan dekapsulasi terutama
tahap pemberian khlorin. Dari hasil ini maka dapat disimpulkan bahwa dengan metode
dekapsulasi dinyatakan tidak berhasil karena dibawah nilai 50 % dengan hasil presentase %.
Sedangan dengan metode non-dekapsulasi Hacthing Rate (HR) hasilnya adalah 47.16 %. Maka
presentasi ini dapat dinyatakan berhasil melakukan penetasan cyste artemia.
5.2 Saran
Saran untuk lebih teliti dalam melakukan dan kecermatan dalam prosedur kerja agar
mendapatkan hasil yang maksimal. Pada praktikum kali ini diharapkan para praktikan, sangat
memahami ketika mengambil melakukan dekapsulasi dengan larutan klorin dengan tepat
sehingga proses penetasan artemia dengan metode dekapsulasi dapat berlangsung dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
http://triyramadhani.blogspot.co.id/2015/06/laporan-praktikum-kultur-pakan-alami.html diakses
4 April 2017 pukul 10.00
Gusrina Budidaya Ikan Jilid 3 untuk SMK. 2008. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah
Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah,
Departemen Pendidikan Nasional.
Produksi Pakan Alami Kelas X. 2013. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan,
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan
Nasional.
La Ode Muhammad Apdy Poto. 2017. Modul Diklat PKB Guru Dasar Budidaya Ikan. Jakarta:
DirektoratJenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Gusrina, (2008). Budidaya Ikan Jilid 1, 2 dan 3 untuk SMK. Jakarta: Direktorat Pembinaan
Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.
Anonim, (2008). Artemia Pakan Alami Berkualitas untuk Ikan dan Udang. . Diakses tanggal 4
April 2017 pada pukul 19.00 WIB. Situs :
http://mantauresearcher.blogspot.com/2008_01_01_archive.html.
http://ismail-jeunib.blogspot.com/2009/11/pakan-alami-artemia.html
http://defishes.xanga.com/715768618/kultur-pakan-alami-kpa/
http://my.opera.com/sampahbermanfaat/blog/show.dml/4450747