Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Budidaya adalah kegiatan untuk memproduksi biota (organisme) akuatik di
lingkungan terkontrol dalam rangka mendapatkan keuntungan (profit). Akuakultur
berasal dari bahasa Inggris aquaculture (aqua = perairan; culture = budidaya) dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi budidaya perairan atau budidaya
perikanan. Oleh karena itu, akuakultur dapat didefinisikan menjadi campur tangan
(upaya-upaya) manusia untuk meningkatkan produktivitas perairan melalui kegiatan
budidaya. Kegiatan budidaya yang dimaksud adalah kegiatan pemeliharaan untuk
memperbanyak (reproduksi), menumbuhkan (growth), serta meningkatkan mutu biota
akuatik sehingga diperoleh keuntungan (Effendi 2004).
Pakan alami memiliki peran penting dalam usaha akuakultur, terutama pada
proses pembenihan. Peran pakan alami hingga saat ini belum dapat tergantikan secara
menyeluruh. Disamping sebagai sumber protein, karbohidrat dan lemak, pakan alami
terutama mikroalga merupakan sumber utama asam lemak esensial yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan larva (Renaud et.al, 1999). Salah satu upaya untuk memenuhi
tersedianya pakan bagi larva adalah dengan memproduksi pakan alami, karena pakan
alami mudah dicerna dan dibudidayakan, memiliki nilai gizi tinggi, memiliki ukuran
yang sesuai dengan bukaan mulut larva, dan memiliki kemampuan berkembang biak
dengan cepat dalam waktu yang relatif singkat (Harun dkk, 2010).
Zooplankton digunakan secara luas di dalam industri budidaya ikan dan udang.
Salah satu zooplankton yang banyak digunakan sebagai pakan utama dalam
pembenihan ikan, udang dan kepiting adalah Artemia. Artemia banyak digunakan
karena ukurannya yang kecil sehingga sesuai dengan bukaan mulut larva. Artemia
sebagai pakan alami banyak digunakan dalam pembenihan udang karena nilai gizinya
yang tinggi. Nilai nutrisinya didapatkan dari kandungan protein Artemia dewasa
mencapai 60% (Sumeru dan Anna, 1992). Protein sangat diperlukan untuk proses
pertumbuhan ikan dan udang. Menurut Akbar (2000), protein merupakan komponen
utama dalam pembentukan organ-organ tubuh ikan.
Pakan buatan dalam berbagai jenis telah berhasil dikembangkan dan cukup
tersedia untuk larva ikan dan udang, namun Artemia masih tetap merupakan bagian
yang esensial sebagai pakan larva ikan dan udang di unit pembenihan. Keberhasilan
pembenihan ikan bandeng, kakap dan kerapu juga memerlukaan ketersediaan
Artemia sebagai pakan alami esensialnya, serta dengan adanya kenyataan bahwa
kebutuhan Artemia untuk larva ikan kakap dan kerapu 10 kali lebih banyak
dibandingkan dengan larva udang, maka kebutuhan cyste Artemia pada tahun-tahun
mendatang akan semakin meningkat (Yunus dkk. 1994).

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut diatas, maka dapat di
identifikasi permasalahan mengenai praktikum Penetasan Artemia dengan Metode
Dekapsulasi, antara lain :
1. Bagaimana pengaruh chlorin terhadap waktu dan jumlah tetas Artemia ?
2. Bagaimana hasil perhitungan hatcing rate Artemia dengan Metode
Dekapsulasi ?
3. Faktor apa saja yang menghambat derajat penetasan Artemia dengan Metode
Dekapsulasi ?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum penetasan artemia dengan metode dekapsulasi
adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui pengaruh chlorin terhadap waktu dan jumlah tetas Artemia.
2. Mengetahui hasil perhitungan hatcing rate Artemia dengan Metode
Dekapsulasi.
3. Mengetahui Faktor yang menghambat derajat penetasan Artemia dengan
Metode Dekapsulasi
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Artemia
Artemia merupakan organisme sejenis udang-udangan berukuran kecil (renik)
dikenal dengan nama brine shrimp. Artemia merupakan salah satu pakan hidup yang
banyak digunakan dalam pemeliharaan ikan dan udang. Hal ini terjadi karena artemia
memiliki yang tinggi, serta ukurannya sesuai dengan bukaan mulut hampir seluruh
jenis larva ikan Artemia (Djariyah 2005). Artemia bersifat pemakan segala atau
omnivora. Berdasarkan ilmu taksonomi, klasifikasi Artemia menurut Drewes (2002)
antara lain sebagai berikut:

Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Subphylum : Crustacea
Class : Branchiopoda
Order : Anostraca
Family : Artemiidae
Genus : Artemia
Species : Artemia sp.

Gambar 1. Artemia

Artemia sp. Secara umum tumbuh dengan baik pada kisaran suhu antara 25oC
- 30oC. Artemia sp. Dapat ditemui didanau dengan kadar garam yang tinggi yang
biasa disebut Grain shrimp. Kultur biomassa Artemia sp. Yang baik pada kadar
garam antara 30 – 35 ppt. Untuk Artemia sp. yang mampu mengahasilkan kista
membutuhkan kadar garam diatas 10 ppt (Isnansetyo dan Kurniastuty 1996). Kadar
oksigen terlarut yang dibutuhkan agar Artemia sp. tumbuh dengan baik ialah sekitar 3
ppm. Media untuk penetasan kista, diperlukan air yang pH lebih dari 8. Jika pH
kurang dari 8 maka efisiensi penetasan akan menurun atau waktu penetasan menjadi
lebih panjang. Artemia adalah binatang yang sederhana cara makannya, yaitu dengan
menyaring makannya atau disebut non-selective filter feeder, maka Artemia akan
terus menerus memakan apa saja yang ukurannya lebih kecil dari 50 µm (Mudjiman
1989).
Mudjiman (1989), menyatakan bahwa makanan Artemia di alam adalah
detritus bahan organik dan ganggang renik (ganggang hijau, ganggang biru,
cendawan atau ragi laut). Beberapa jenis ganggang hijau yang sering dijadikan
makanan oleh Artemia antara lain Euglena, Dunaliella salina dan Cladophora sp.
Seluruh partikel suspensi yang mungkin dapat dimakan oleh artemia secara terus
menerus akan diambil dari media kultur dengan gerakan terakopoda yang mempunyai
fungsi ganda sebagai respirasi dan pengumpul makanan sehingga tidak ada alternatif
lain bagi artemia untuk terus menerus menyaring makanan (Widyarti 1986).

2.2 Kandungan Nutrisi Artemia


Menurut Mudjiman (1989) Artemia sp. mudah sekali dicerna karena kulitnya
sangat tipis (kurang dari 1 mikron). Artemia sp. (nauplius) mengandung protein 42 %
dan Artemia sp. dewasa (biomassa) kandungan proteinnya dapat mencapai 60 % berat
kering. Protein Artemia sp. kaya akan asam amino esensial. Menurut Harefa (1996),
kandungan protein Artemia sp. mencapai 40 % – 60 %. Kandungan protein yang
tinggi inilah yang menyebabkan Artemia sp. digunakan sebagai pakan alami yang
sulit digantikan dengan pakan yang lain. Lebih lanjut ditambahkan bahwa komposisi
kandungan nutrisi Artemia sp. bervariasi, faktor yang mempengaruhi komposisi
tersebut diantaranya ialah strain, kualitas dan ketersediaan makanan serta kondisi
tempat Artemia sp. hidup.
Artemia memiliki kandungan nutrisi seperti protein 52,7%, karbohidrat
15,4%, lemak 4,8%, air 10,3%, dan abu 11,2% (Marihati et al. 2013). Salah satu
upaya meningkatan nutrisi Artemia sp. untuk memenuhi kebutuhan pakan larva ikan
ialah dengan melakukan pengkayaan pada Artemia sp. melalui pakannya. Kandungan
protein pada Artemia dewasa lebih besar daripada anak Artemia (nauplius).
Kandungan protein pada anak Artemia (nauplius) adalah 42% dan Artemia dewasa
60% dari berat kering. Selain itu, kandungan lemak Artemia dewasa lebih kecil dari
nauplius Artemia (Mudjiman 1989).
Nauplius mempunyai lemak yang sangat tinggi (20 %) dibandingkan
dengan Artemia sp. dewasa (10 %). Lemak Artemia sp. kaya akan asam-asam lemak
tak jenuh yang merupakan asam lemak esensial. Asam lemak tak jenuh bukan
merupakan sumber kolestrol, sehingga tidak membahayakn bagi mahluk hidup
(Mudjiman, 1989). Sama halnya dengan protein, kandungan lemak Artemia sp. juga
dapat di tentukan oleh beberapa faktor yang dapat meningkatkan kandungan lemak
seperti strain, media, intensitas cahaya, kualitas air suhu, pH dan salinitas ( Harefa,
1996).

2.3 Siklus Hidup dan Kemampuan Reproduksi Artemia


Proses pertumbuhan Artemia secara periodik melakukan ganti kulit (molting)
yang frekuensinya tergantung dari stadium siklus hidup dan kondisi lingkungan
tempat hidupnya. Pada proses ganti kulit ini, aktivitas osmoregulasi memegang
peranan penting yang berhubungan dengan besarnya energi yang digunakan (Riani
1990 dalam Purwanti 2004).
Siklus hidup Artemia cukup unik, baik jenis biseksual maupun
partenogenetik. Perkembangbiakannya dapat secara ovovivipar maupun ovipar
tergantung kondisi lingkungan, terutama salinitas. Pada salinitas tinggi akan
dihasilkan kista yang keluar dari induk betina, sehingga disebut perkembangbiakan
secara ovipar. Pada salinitas rendah tidak akan dihasilkan kista, tetapi telur langsung
menetas menjadi nauplius sehingga disebut perkembangbiakan secara ovovivipar
(Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
Mulanya cangkang siste seolah-olah terbelah menjadi 2 bagian. Bagian bawah
merupakan nauplius berwarna kemerah-merahan dan bagian atasnya adalah cangkang
perlindungannya. Untuk memisahkan kedua bagian ini dilakukan dengan menutup
bagian atas wadah menggunakan kain hitam dan bagian bawah wadah disinari dengan
lampu. Dalam proses pemisahan ini, aerasi dihentikan sementara. Dalam waktu 5-10
menit kemudian nauplius tersebut akan terlepas dari cangkangnya. Individu-individu
nauplius tersebut akan mengumpul di bagian dasar wadah, sedangkan cangkangnya
akan mengapung di permukaan.
Nauplius yang mengumpul di dasar wadah tersebut disedot dengan selang
plastik dan ditampung dalam saringan 125 mikron (plankton net). Di dalam saringan
penampung tersebut, nauplius dibersihkan dari kotorannya dengan menyemprotkan air
bersih sampai kotorannya hilang dan siap dijadikan pakan alami ikan (Djarijah 1996).

Gambar 2. Siklus Hidup Artemia


Menurut cara reproduksinya, Artemia dipilah menjadi dua, yaitu Artemia
yang bersifat biseksual dan Artemia yang bersifat parthenogenetik. Artemia biseksual
berkembangbiak secara seksual dengan perkembangbiakan yang didahului oleh
perkawinan antara jantan dan betina. Artemia parthenogenetik berkembangbiak
secara parthenogenesis, yaitu betina menghasilkan telur atau nauplius tanpa adanya
pembuahan (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
Dalam kehidupan Artemia, baik pada perkembangan biseksual maupun
parthenogenesis kedua–duanya dapat terjadi secara ovovivipar maupun ovipar. Pada
cara ovovivipar (menghasilkan nauplius), sel telur yang telah dibuahi di dalam uterus
berkembang menjadi embrio melalui stadia blastula dan gastrula. Dalam keadaan
lingkungan yang baik, gastrula akan berkembang lebih lanjut menjadi nauplius, yang
akhirnya dikeluarkan dari tubuh induknya. Apabila keadaan lingkungan tersebut
buruk, perkembangannya terhenti sampai pada tingkat gastrula. Selanjutnya stadia
gastrula dibungkus dengan cangkang telur yang kuat dan mengandung hematin yang
dihasilkan oleh kelenjar cangkang telur, yang dikeluarkan dari tubuh induknya dalam
bentuk kista. Kista akan menjadi nauplius melalui proses penetasan lebih dahulu yang
disebut dengan cara ovivar (Mudjiman 1989).
Menurut Mudjiman (1989), ovoviviparitas biasanya terjadi apabila keadaan
lingkungan cukup baik dengan salinitas air berkisar antara 100–150‰ ke bawah,
sehingga burayak yang masih lembut itu dapat hidup tanpa gangguan. Oviparitas
biasanya terjadi apabila keadaan lingkungan sangat buruk, terutama kadar oksigennya
sangat rendah dan salinitas lebih dari 150‰. Dengan demikian, kista yang
bercangkang tebal dan kuat itu mampu menghadapi keadaan yang buruk sambil
beristirahat. Apabila keadaan lingkungan sudah membaik, kista menetas menjadi
nauplius, dan memulai kehidupan baru.
Pada jenis biseksual, perkembangbiakan diawali dengan perkawinan.
Perkawinan diawali dengan adanya pasangan jantan dan betina yang berenang
bersama (riding pair). Artemia betina di depan, sedangkan Artemia jantan “memeluk”
dengan menggunakan penjepit di belakangnya. Riding pair berlangsung cukup lama,
walaupun perkawinan/kopulasinya hanya membutuhkan waktu singkat. Artemia
jantan memasukkan penis ke dalam lubang uterus betina dengan cara
membengkokkan tubuhnya ke depan (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).

2.4 Teknik Penetasan


Telur Artemia yang baru dibuka dari kaleng berbentuk bola kempes, jadi
bukan seperti bola bundar, Hal ini disebabkan karena waktu pemrosesan telur tersebut
didehidrasi sehingga kadar air tinggal sekitar 10 %. Telur yang dimasukkan dalam air
dalam waktu satu sampai dua jam telah menyerap air dan bentuknya menjadi bulat.
Sekitar 15 jam kemudian telur mulai menetas, dari dalam telur keluar bentuk bulat
telur yang masih terbungkus dalam selaput tipis, bentuk ini disebut "umbrella stage".
Setelah beberapa jam, maka lapisan tipis ini pecah dan keluarlah nauplius. Untuk
mendapatkan hasil penetasan yang baik, maka perlu diperhatikan beberapa faktor
menurut Panggabean (1984) :
1. Hidrasi dari kista-kista.
Kista-kista yang dimasukkan ke dalam media air laut akan segera mengalami
hidrasi dan terjadilah perkembangan embryonal di dalam kista. Hidrasi ini dapat
terjadi pada kisaran salinitas antara 5‰ — 70‰.

2. Aerasi.
Oksigen sangat dibutuhkan untuk perkembangan embryonal A. salina. Oleh
karena itu erasi harus diberikan terus sampai terjadi penetasan, Selain untuk
mencukupi kebutuhan akan oksi gen, erasi dapat mencegah terjadinya pengendapan
kista-kista di dasar tangki. Pengendapan kista-kista dapat menimbulkan kondisi
"anaerob" pada kista-kista tersebut sehingga perkembangan embryo akan terhambat.
Kandungan oksigen yang minimal untuk penetasan A. salina adalah 3 ppm.

3. Penyinaran pada kista yang sudah menga lami hidrasi


Cahaya dapat merangsang pengaktifan kembali perkembangan em bryo A.
salina. Rangsangan cahaya ini hanya efektif pada hidrasi aerob. Dengan demikian
kista-kista yang sudah mengala mi hidrasi dapat dirangsang dengan penyi naran
bersama-sama dengan aerasi.

4. Suhu.
Suhu yang optimum untuk memperoleh hasil penetasan yang baik adalah
berbeda-beda menurut strain yang dipergunakan. Suhu optimum untuk strain
California-USA adalah 28°C, untuk strain Utah-USA adalah 30°C dan untuk strain
RRC adalah 35°C.

5. pH (derajat keasaman)
Proses pecahnya. lapisan tipis pada saat "umbrella stage" sangat dipengaruhi
oleh enzym penetas, dimana enzym ini pada pH 8,0 — 9,0 mempunyai aktivitas yang
optimum. Pe netasan tidak terjadi bila pH kurang dari 7,0 terutama bila kepadatan
telur yang tinggi. Untuk menaikkan pH air laut da pat ditambah dengan 1 — 2 g
kapur per liter atau dengan NaOH 0,5 N sebanyak 1,5 per liter air.

2.5 Metode Dekapsulasi


Cara dekapsulasi dilakukan dengan mengupas bagian luar kista menggunakan
larutan hipoklorit tanpa mempengaruhi kelangsungan hidup embrio. Cara dekapsulasi
merupakan cara yang tidak umum digunakan pada benih ikan maupun udang, namun
untuk meningkatkan daya tetas dan menghilangkan penyakit yang dibawa oleh pakan
alami berupa kista Artemia cara dekapsulasi lebih baik digunakan (Pramudjo dan
Sofiati 2004).
Subaidah dan Mulyadi (2004) menyatakan bahwa langkah-langkah penetasan
dengan cara dekapsulasi adalah sebagai berikut:
1. Kista Artemia dihidrasi dengan menggunakan air tawar selama 1-2 jam
2. Kista disaring menggunakan plankton net 120 µm dan dicuci bersih
3. Kista dicampur dengan larutan kaporit atau klorin dengan konsentrasi 1,5 ml
per 1 gram kista, kemudian diaduk hingga warna menjadi merah bata
4. Kista segera disaring menggunakan plankton net 120 mikron dan dibilas
menggunakan air tawar sampai bau klorin hilang, kista siap untuk ditetaskan
5. Kista akan menetas setelah 18-24 jam.
Menurut Pramudjo dan Sofiati (2004), kista hasil dekapsulasi dapat segera
digunakan (ditetaskan) atau disimpan dalam suhu 0oC - 4oC dan digunakan sesuai
kebutuhan. Dalam kaitannya dengan proses penetasan Chumaidi et al. (1990) dalam
Tyas (2004) menyatakan bahwa kista setelah dimasukan ke dalam air laut (5-70 ppt)
akan mengalami hidrasi berbentuk bulat dan di dalamnya terjadi metabolisme embrio
yang aktif, sekitar 24 jam kemudian cangkang kista pecah dan muncul embrio yang
masih dibungkus dengan selaput. Wadah penetasan Artemia dapat dilakukan dengan
wadah kaca, polyetilen (ember plastik) atau fiber glass. Ukuran wadah dapat
disesuaikan dengan kebutuhan, mulai dari volume 1 liter sampai dengan volume 1 ton
bahkan 40 ton (Sorgeloos 1996 dalam Hasyim 2002).

DAFTAR PUSTAKA

Akbar. 2000. Meramu Pakan Ikan Kerapu Bebek, Lumpur, Macan. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Djarijah A S. 1996. Pakan Ikan Alami. Kanisius : Yogyakarta
Djarijah, A. S. 2005. Pembenihan Ikan Mas. Kanisius : Yogyakarta.
Drewes. 2002. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya : Jakarta.
Harefa, F. 1996. Permbudidayaan Artemia Untuk Pakan Udang Dan Ikan.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Harun, R., Danquah, M.K., and Forde, G.M., (2010), Microalgal biomass as a
fermentation feedstock for bioethanol production, J. Chem. Technol.
Biotechnol., 85, pp, 199-203.
Hasyim, B.A. 2002. Pengaruh Artemia yang Diperkaya dengan Minyak Ikan, Minyak
Kelapa dan Minyak jagung Trehdap Pertumbuhan, Sintasan dan Volume
Otak Larva Ikan Nila (Oreochromis niloticus).Bogor. Skirpsi. Program Stusi
Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.Intitut Pertanian
Bogor. 39 hlm
Isnansetyo, A Dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Fitoplankton Dan zooplankton.
Kanisius. Yogyakarta.116 hal.
Marihati, Muryati, dan Nilawati. 2013. Budidaya Artemia salina sebagai diversifikasi
produk dan biokatalisator percepatan penguapan di ladang garam. Peneliti
Madaya Balai Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri. Jurnal
Agromedia 31 (1): 57-66.
Mudjiman, A. 1989. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Panggabean, M.G.L. 1984. Teknik Penetasan dan Pemanenan Artemia Salina. Jurnal
Oseana. Vol ix.
Pramudjo dan Sofiati, 2004.Prospek Teknik Produksi Cyste Brine Shrimp
(Artemia salina LEACH) di Indonesia.Fakultas Perikanan, Unsrat-Manado.
Purwanti E. 2004. Pengaruh salinitas yang berbeda terhadap daya tetas sistem
Artemia yang dihasilkan di tambak garam Rembang, Jawa Tengah. [skripsi].
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Renaud, S.M., L.V. Thinh and D.L. David. 1999. The Gross Chemical Composition
and Fatty Acid Composition of 18 Species of Tropical Australian
Microalgae for Possible Use in Mariculture. Aquaculture, 170 :147-159.
Rizaldy. F. 2013. Efektifitas Naupli Artemia yang diperkaya dengan Susu Bubuk
Afkir Sebagai Pakan Terhadap Kelangsungan Hidup Larva Nilem
(Osteochilus hasselti). Skripsi. Universitas Padjadjaan.
Subaidah dan Mulyadi. 2004, Cara Pene-tasan Artemia dengan cara deka-sulasi.
Jakarta.
Sumeru, S Umiati. dan A. Suzy. 1992. Pakan Udang. Kanisius, Yogyakarta.
Tyas, I. K. 2004. Pengkayaan Pakan Nauplius Artemia dengan Korteks Otak Sapi
untuk Meningkatkan Kelangsungan Hidup, Pertumbuhan, dan Daya Tahan
Tubuh Udang Windu (Penaeus monodon. Fab) Stadium PL 5-PL 8.
Skripsi.Jurusan Biologi FMIPA UNS. Surakarta.
Yunus,dkk. 1994. Menjadikan Artemia Sebesar Rebon. Techner, No.16 Tahun III.
Edisi November 1994. P.T. Longmen Indo Nusantara, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai