Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PRAKTIKUM 1

PERBENIHAN DAN PENANGKARAN BIOTA LAUT

PENETASAN KISTA / TELUR ARTEMIA

KELOMPOK IB

HIDAYAH MUSHLIHAH (L011 17 1308)


A. AMELIA NOVITASARI (L011 17 1004)
SHAQILA ADELIA (L011 17 1
YOSEVA (L011 17 1
DICKY DARMAWAN (L111 16
ICHSAN ASHARI (L111 16
GUSNAWATI (L011 17 1
ERMYSUARI (L011 17 1
MEIFANI BERELAKU (L111 16
MUHAMMAD INDRA GUNAWAN (L011 17 1534
TRYONO ROSEVEL JIMMY (L111 16
ARDIANTO (L111 16

ASISTEN : SUKMAWATI

LABORATORIUM PERBENIHAN DAN PENANGKARAN BIOTA LAUT


DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Artemia adalah jenis udang – udangan kecil tingkat rendah yang digolongkan
sebagai zooplankton. Jenis Artemia yang dimanfaatkan sebagai pakan alami biasanya
Artemia salina. Nama ilmiah ini resminya diberikan untuk crawfish yang ditemukan di
danau Livington, Inggris, yang sekarang sudah dinyatakan punah.
Kista Artemia berbentuk bulat berlekuk dalam keadaan kering dan bulat penuh
dalam keadaan basah. Warnanya coklat yang diselubungi oleh cangkang yang tebal dan
kuat. Cangkang ini berguna untuk melindungi embrio terhadap pengaruh kekeringan,
benturan keras, sinar ultra violet dan mempermudah pengapungan. Artemia memiliki
kemampuan beradaptasi dengan cepat terhadap variasi tingkatan oksigen di perairan
dengan menghasilkan hemoglobin untuk meningkatkan afinitas oksigen. Artemia juga
merupakan hewan yang bersifat filter feeder non selektif, oleh sebab itu faktor terpenting
yang harus diperhatikan dalam memilih pakan artemia adalah ukuran partikel kurang
dari 50 µm sehingga mudah dicerna, mempunyai nilai gizi dan dapat larut dalam media
kultur. Ada dua metode untuk dilakukan proses penetasan kista Artemia yaitu metode
dekapsulasi dan non dekapsulasi.
Pada dasarnya budidaya Artemia tidaklah sulit dan dapat dilakukan diluar
(outdoor) di danau bergaram, tambak garam, atau kolam yang menggunakan air laut,
dan dapat juga dilakukan di dalam ruangan (indoor) di bak – bak penampungan
menggunakan air laut. Budidaya Artemia dapat dilakukan dengan system monokultur
maupun tumpang sari. Monokultur merupakan budidaya yang memang khusus untuk
memproduksi Artemia saja (kista maupun biomassa).

B. Tujuan Praktikum
Tujuan praktikum penetasan telur artemia yakni untuk mengetahui teknik
penetasan telur dengan cara dekapsulasi dan tanpa dekapsulasi.

C. Kegunaan Praktikum
Kegunaan praktikum penetasan telur artemia yakni dapat memberikan
keterampilan kepada praktikan sehingga mampu menetaskan artemia.

D. Ruang Lingkup
Praktikum penetasan telur artemia melingkupi teknik-teknik penetasan telur
artemia.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Bougis (2008) klasifikasi Artemia adalah sebagai berikut :


Kingdom : Arthropoda
Phylum : Crustacea
Class : Branchiopoda
Order : Anostraca
Family : Artemiidae
Genus : Artemia
Spesies : Artemia sp.
Artemia adalah jenis udang – udangan kecil tingkat rendah yang digolongkan Commented [YO1]: Perbaikan sub bab. Artemia

sebagai zooplankton. Jenis Artemia yang dimanfaatkan sebagai pakan alami biasanya
Artemia salina. Nama ilmiah ini resminya diberikan untuk crawfish yang ditemukan di
danau Livington, Inggris, yang sekarang sudah dinyatakan punah. Meskipun telah
dikenal manusia beberapa abad sebelumnya, tetapi pemanfaatan Artemia sebagai
pakan budidaya baru dilakukan sekitar tahun 1930-an (Wibowo et. al. 2013).
Artemia mempunyai cangkang atau kerangka luar (eksoskeleton) yang sangat
tipis, sehingga dapat dicerna seluruhnya oleh hewan pemangsa. Kandungan asam
lemak omega-3 atau n-3 HUFA (highly unsaturated fatty acid) juga tinggi. Asam lemak
ini juga dibutuhkan oleh larva udang atau ikan pada stadium awal untuk pembentukan
membrane dan untuk pembentukan selanjutnya. Perendaman Artemia dalam larutan
campuran emulsi minyak, kuning telur dan air laut sebesar 250 ppm dapat memperkaya
asam lemak omega-3 (Wibowo et. al.2013).

A. Penetasan Artemia dengan Cara Dekapsulasi

Udang renik air asin Artemia sp. termasuk zooplankton yang berfungsi sebagai
makanan bermutu tinggi bagi berbagai jenis ikan, udang, dan kepiting. Artemia sp.
diperdagangkan dalam bentuk telur awetan atau siste di dalam kaleng, dengan harga
yang cukup mahal dan persediaan di pasaran terbatas namun manfaatnya cukup besar,
untuk itu diperlukan suatu usaha untuk meningkatkan persentase penetasan Artemia sp
(hatching percentage). Persentase penetasan merupakan parameter yang digunakan
dalam menentukan keberhasilan penetasan Artemia sp. Salah satu usaha tersebut
adalah melalui proses dekapsulasi (Widodo dkk,2016).
Menurut Mudjiman (1989) dekapsulasi memiliki beberapa keuntungan: (1)
nauplius bersih dari cangkang telur dan telur yang tidak menetas, (2) telur sekaligus
telah dibebashamakan oleh bahan pendekapsulasi, (3) hasil penetasan lebih baik, (4)
tidak diperlukan penyinaran untuk penetasan, dan (5) telur yang telah didekapsulasi
dapat langsung digunakan untuk makanan benih ikan, udang, dan kepiting (Widodo
dkk,2016).
Proses dekapsulasi akan mempermudah Artemia sp. keluar dari cangkang
sehingga kelangsungan hidupnya akan meningkat karena pada proses dekapsulasi
terjadi penipisan cangkang yang memungkinkan nauplius cepat menetas. Penipisan
cangkang akan terjadi dalam waktu dekapsulasi, akan tetapi lama waktu optimum yang
diperlukan dan jenis larutan dekapsulasi belum dapat ditentukan secara tepat karena
acuan lama waktu selama ini hanya didasarkan pada perubahan warna dan larutan
dekapsulasi (Widodo dkk,2016).
Tahapan dekapsulasi yaitu pertama-tama telur direndam terlebih dahulu dalam
air tawar sekitar 1 jam untuk proses hidrasi dan diaerasi agar telur teraduk merata. Telur
yang telah terhidrasi ditiriskan terlebih dahulu, kemudian dimasukkan kedalam larutan
dekapsulasi sesuai dengan perlakuan selama15 menit. Sambil dilakukan pengadukan,
suhu dekapsulasi tidak boleh lebih dari 40 0C karena dapat mematikan embrio, setelah
itu telur dicuci dengan air bersih dalam saringan planktonet 120 mikron kemudian
dinetralkan dengan larutan natrium tiosulfat ½ menit dan dicuci kembali sampai baunya
hilang. Telur dari hasil dekapsulasi dimasukkan ke dalam wadah penetasan selama 24
jam yang telah diisi air laut dan diaerasi (Widodo dkk,2016).

B. Penetasan Artemia dengan Cara Non Dekapsulasi

Penetasan Artemia dengan cara non dekapsulasi sama juga seperti dekapsulasi,
dari organ tubuhnya artemia menunjukkan warna tubuh cokelat kemarahan. Perlakuan
dekapsulasi dan non dekapsulasi bila dilihat dari panjang dan bentuk tubuh artemia tidak
menunjukkan perbedaan,semua hampir menunjukkan panjang dan bentuk tubuh yang
sama. Pada metode penetasan non-dekapsulasi embrio akan keluar dari cangkang
secara alami tanpa bantuan zat-zat lain yang dapat mempermudah keluarnya embrio
dari cangkang. Namun pada penetasan metode dekapsulasi embrio akan lebih cepat
keluar dari cangkang karena adanya pemberian bahan yang dapat
mengikis/melunakkan cangkang kista melalui pencucian (Widodo dkk,2016).
Pertumbuhan artemia antara perlakuan dekapsulasi dengan non-dekapsulasi
adalah hampir sama. Terjadi pertumbuhan yang sebagaimana mestinya. Hanya saja
pada perlakuan dekapsulasi pertumbuhan cenderung lebih lambat daripada artemia
non-dekapsulasi. Terlihat perbedaan kecepatan pertumbuhan artemia pada kedua
perlakuan. Yang mempengaruhi perbedaan kecepatan tumbuh antar perlakuan adalah
tingkat persebaran artemia pada perlakuan dekapsulasi lebih tinggi daripada non-
dekapsulasi. Karena kita tahu bahwa perlakuan dekapsulasi akan meningkatkan daya
tetas kista artemia sehingga jumlah artemia lebih banyak. Tingginya daya tebar artemia
akan mengakibatkan perebutan makanan untuk hidup atau terjadi kompetisi. Perlakuan
dekapsulasi akan menghasilkan banyak artemia tetapi ukurannya cenderung kecil.
Perlakuan non-dekapsulasi menghasilkan artemia dengan jumlah lebih sedikit tetapi
ukuran artemia cenderung lebih besar. Rendahnya jumlah artemia pada non-
dekapsulasi tidak akan terjadi perebutan makanan, sehingga pertumbuhan lebih cepat
dan ukuran lebih besar. Penetasan kista artemia ditandai dengan keluarnya embrio dari
cangkang. Pada metode penetasan non-dekapsulasi embrio akan keluar dari cangkang
secara alami tanpa bantuan zat-zat lain yang dapat mempermudah keluarnya embrio
dari cangkang. Namun pada penetasan metode dekapsulasi embrio akan lebih cepat
keluar dari cangkang karena adanya pemberian bahan yang dapat
mengikis/melunakkan cangkang kista melalui pencucian (Widodo dkk,2016).
Jumlah kista yang menetas (Hatching rate) lebih besar pada perlakuan
dekapsulasi dibandingkan perlakuan non-dekapsulasi. Hal ini disebabkan pada
perlakuan dekapsulasi embrio pada cangkang akan mudah keluar karena sebelum
dipelihara pada botol(untuk penetasan) terlebih dahulu dicuci dengan larutan kaporit.
Larutan kaporit ini akan mengikis cangkang artemia sehingga embrio akan lebih mudah
terlepas dibandingkan dengan perlakuan non dekapsulasi dimana embrio keluar tanpa
adanya pengikisan cangkang terlebih dahulu. Selain mempermudah keluarnya embrio
dari cangkang, larutan kaporit juga dapat membersihkan kisat dari hama yang dapat
menggangu artemia (Widodo dkk,2016).
III. METODOLOGI PRAKTIKUM

A. Waktu dan Tempat


Praktikum ini dilakukan pada hari Selasa, 8 Oktober 2019 pukul 09.45 WITA di
Laboratorium Perbenihan dan Penangkaran Biota Laut, Universitas Hasanuddin,
Makassar.

B. Alat dan Bahan


Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Handcounter
2. Alat Tulis
3. Kolkulator
4. Timbangan Analitik
Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Kertas HVS
2. Artemia
3. Larutan Hipoklorit
4. Larutan HCl

C. Prosedur Kerja
1. Cara Dekapsulasi
Dengan Dekapsulasi (proses penghilangan lapisan luar kista dengan dengan
menggunakan larutan hipoklorit). Prosedur kerja sebagai berikut :
a. Mempersiapkan wadah penetasan (botol cocacola 1,5 liter), lampu neon untuk
pencahayaan dan peralatan aerasi
b. Masukkan air laut yang telah disaring ke dalam wadah penetasan sebanyak 1
liter.
c. Menimbang Kista/telur Artemia sebanyak 0,5 gram kemudian dihidrasi dengan
air tawar selama kurang lebih 1 jam
d. Kista disaring dengan saringan 120 μm dan dicuci bersih.
e. Kista siap didekapsulasi, dengan mencampur dalam larutan hipoklorit/baycline
dan diaduk secara manual serta diaerasi kuat.
f. Lama proses dekapsulasi tersebut 5 – 15 menit dengan ditandai perubahan
warna kista dari coklat gelap menjadi abu-abu kemudian orange.
g. Kista disaring dengan saringan 120 μm dan dicuci sampai bersih dengan air laut
hingga bau klorin hilang dan tidak ada lagi sisa busa pada kista tersebut.
h. Kista dicelup 2 kali dalam larutan HCl 0,1 N dan dicuci bersih.
i. Kista hasil dekapsulasi siap untuk ditetaskan dalam wadah penetasan.
j. Lakukan pengamatan (penghitungan) pada hari berikutnya atau setelah kista
artemia menetas menjadi nauplius.

2. Cara Non Dekapsulasi


a. Mempersiapkan wadah penetasan (botol cocacola 1,5 liter), lampu neon untuk
pencahayaan dan peralatan aerasi.
b. Masukkan air laut yang telah disaring ke dalam wadah penetasan sebanyak 1
liter.
c. Menimbang Kista/telur Artemia sebanyak 0,5 gram, kemudian memasukkan ke
dalam wadah yang telah disiapkan.
d. Lakukan pengamatan (penghitungan) pada hari berikutnya atau setelah kista
artemia menetas menjadi nuplius dengan menghitung tingkat penetasan telur
artemia.
e. Masing-masing kelompok kerja membuat laporan hasil pengamatannya.
DAFTAR PUSTAKA

Asmanelli dan Iksan P.A. 1993. Beberapa Catatan Mengenai Kuda Laut Dan
Kemungkinan Pengembangannya. Oseana. ISSN: 0216-1877. Vol XVIII(4).
Jakarta.
Bougias. 2008. Pakan Ikan Alami. Kanisius, Yogyakarta.
Wibowo, S. 2013. Artemia. Penebar Swadaya. Jakarta.
Widodo,A., Mulyana dan Fia, S.R. 2016. Pengaruh Lama Waktu Perendaman dan
Larutan Dekapsulasi terhadap Penetasan Siste Artemia sp. Jurnal Mina Sains.
ISSN: 2407-9030. Vol 2(1).

Anda mungkin juga menyukai