Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM TEKNOLOGI BAHAN ALAM


UJI BRINE SHRIMP LETALITY TEST (BSLT)

DISUSUN OLEH :

1. ASTRIE KUSUMA W (2007210028)

2. CHANDRA SIRAIT (2007210036)

3. DEDE KOMARUDIN (2007210044)

4. DEVI CAROLINE (2007210048)

5. DHANIYO (2007210050)

6. DHARMAYANTI (2007210051)

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
2010
I. TEORI DASAR

Uji Toksisitas (Brine Shrimp Lethality Test)

Senyawa yang diduga memiliki aktifitas anti kanker, harus di ujikan terlebih dahulu pada hewan
percobaan. Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dengan menggunakan larva udang
Artemia salina Leach sebagai hewan uji merupakan salah satu metode yang banyak digunakan
untuk pencarian senyawa antikanker baru yang berasal dari tanaman. Hasil uji toksisitas dengan
metode ini telah terbukti memiliki korelasi dengan daya sitotoksis senyawa anti kanker. Selain itu,
metode ini juga mudah dikerjakan, murah, cepat dan cukup akurat (Meyer, 1982). Lebih dari itu
uji larva udang ini juga digunakan untuk praskrining terhadap senyawa-senyawa yang diduga
berkhasiat sebagai antitumor. Dengan kata lain, uji ini mempunyai korelasi yang positif dengan
potensinya sebagai antikanker (Anderson, 1991).

Artemia salina Leach merupakan komponen dari invertebrata dari fauna pada ekosistem perairan
laut. Udang renik ini mempunyai peranan yang penting dalam aliran energi dan rantai makanan.
Spesies invertebrata ini umumnya digunakan sebagai organisme sentinel sejati berdasarkan pada
penyebaran, fasilitas sampling, dan luasnya karakteristik ekologi dan sensifitasnya terhadap bahan
kimia (Calleja M.C, Persoone G, 1992).

Pengujian Lethalitas telah digunakan dengan sukses untuk isolasi biomonitor dari cytotoxic
(Siqueira, M. J et. al., 1998), antimalaria (Perez, H, et.al., 1997), insektisida (Oberlies, N.
H.,et.al., 1998), dan antifeedent (Labbe, C., et.al., 1993) campuran dari ektrak tumbuhan. Hasil
dari skrening dari air, hydroalcoholic dan ekstrak alkohol dari beberapa tumbuhan obat penting
yang digunakan dalam pengobatan tradisional untuk lethalitas merujuk pada larva Artemia salina
yangdiperkenalkan.
Suatu konsentrasi mematikan (Lethal Concentration) adalah analisa secara statistik yang
menggunakan uji Whole Effluent Toxicity (WET) untuk menaksir lethalitas sampel effluen. Test
akut digunakan di Wisconsin untuk menaksir kondisi "akhir dari pipa" (yaitu, effluent yang tidak
dilemahkan, sebagai adanya dibebaskan pada lingkungan).

Konsentrasi effluen dimana 50% dari organisme mati selama test (LC50) digunakan sebagai
pemenuhan titik akhir (endpoint) untuk Test Whole Effluent Toxicity (WET) akut. Dalam rangka
mengkalkulasi LC50, salah satu dari konsentrasi test harus menyebabkan > 50% kematian. LC50,
yang lebih rendah berarti semakin beracun effluent tersebut. Sebagai contoh, LC50 > 100%
berarti kekuatan penuh effluent tersebut tidak membunuh lebih dari separuh organisme. LC50
sama dengan 50% berarti separuh effluent mempunyai kekuatan membunuh 50% dari organisme
tersebut.

Uji toksisitas dimaksudkan untuk memaparkan adanya efek toksik dan atau menilai batas
keamanan dalam kaitannya dengan penggunaan suatu senyawa. Pengukuran toksisitas dapat
ditentukan secara kuantitatif yang menyatakan tingkat keamanan dan tingkat berbahaya zat
tersebut (Cassaret dan Doull’s, 1975). Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu
metode skrining untuk menentukan ketoksikan suatu ekstrak ataupun senyawa. Kematian Artemia
salina Leach digunakan sebaga i parameter untuk menunjukkan adanya kandunganzat aktif
tanaman yang bersifat sitotoksik. Apabila harga LC50 _ 1000 μg/mL ekstrak tersebut dapat
dikatakan toksik. Bila kematian sebagai responnya, maka dosis penimbul kematian pada 50%
populasi dengan spesies yang sama dalam waktu spesifik dan kondisi percobaan sesuai
diistilahkan sebagai median lethal dose atau LD50. Obat yang diberikan sebagai konsentrasi
diistilahkan sebagai Median Lethal Concetration atau LC50 (Cassaret dan Doull’s, 1975).
Menurut Meyer dkk. (1982) tingkat toksisitas dari ekstrak tanaman dapat ditentukan dengan
melihat harga LC50-nya. Apabila harga LC50 lebih kecil dari 1000 μg/ml dikatakan toksik,
sebaliknya apabila harga LC50 lebih besar dari 1000 μg/ml dikatakan tidak toksik. Tingkat
toksisitas tersebut akan memberi makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai antitumor. Semakin
kecil harga LC50 semakin toksik suatu senyawa.

KLASIFIKASI Artemia salina, Leach

a. Klasifikasi

Artemia salina Leach adalah udang tingkat rendah yang hidup sebagai zooplankton. Artemia pada
tahun 1778 diber i nama cancer salinus,yang kemudian diubah menjadi Artemia salina pada tahun
1819 oleh Leach

Klasifikasi Artemia pada dunia hewan adalah sebagai berikut :

Divisi : Animal

Phylum : Arthropoda

Kelas : Crustaceae

Subkelas : Branchiopoda

Ordo : Anostraca

Familia : Arthemidae

Genus : Artemia

Species : Artemia salina Leach

( Mudjiman, 1995)

b. Morfologi Artemia salina, Leach

Artemia salina, Leach diperdagangkan dalam bentuk telur istirahat yang dinamakan kista. Kista ini
bentuk bulatan-bulatan kecil berwarna kelabu kecoklatan dengan diameter berkisar 200-300 μm
(Mudjiman,1995). Kista berkualitas baik, apabila diinkubasi dalam air berkadar garam 5-70 permil
akan menetas sekitar 18-24 jam. Artemia yang baru menetas disebut nauplius, berwarna orange,
berbentuk bulat lonjong dengan panjang sekitar 400 mikron, lebar 170 mikron dan berat 0,002 mg.
Nauplius berangsur –angsur mengalami perkembangan dan perubahan morfologis dengan 15 kali
pergantian kulit hingga menjadi dewasa. Pada setiap pergantian kulit dis ebut instar (Mujiman, 1995).
Ada beberapa tahap penetasan Artemia yaitu tahap hidrasi, tahap pecah cangkang, dan tahap payung
atau tahap pengeluaran. Tahap hidrasi terjadi penyerapan air sehingga kista yang diawetkan dalam
bentuk kering tersebut akan menjadi bulat dan aktif bermetabolisme. Tahap selanjutnya adalah tahap
pecah cangkang dan disusul dengan tahap payung yang terjadi beberapa saat sebelum nauplius keluar
dari cangkang (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Tahap penetasan Artemia seperti pada gamb ar 1.

Gambar 1. Tahap penetasan telur Artemia

Artemia dewasa biasanya berukuran panjang 1-2 cm yang ditandai adanya tangkai mata yang jelas
terlihat pada kedua sisi bagian kepala, antena sebagai alat sensori, saluran pencernaan yang terlihat
jelas, dan 11 pasang thorakopoda. Pada Artemia jantan, antena berubah menjadi alat penjepit,
sepasang penis terdapat dibagian belakang tubuh, sedangkan pada Artemia betina antena mengalami
penyusutan. Sepasang indung telur atau ovarium terdapat di kedua sisi saluran pencernaan, dibelakang
thorakopoda (Mujiman,1995). Gambar 2 merupakan gambar morfologi nauplius Artemia salina
Leach.

Gambar 2. Morfologi nauplius Artemia salina

(Mujiman, 1995)

c. Lingkungan hidup

Artemia salina hidup planktonik di perairan berkadar garam tinggi antara 15-30 permil, suhu yang
dikehendaki berkisar antara 25°C-30°C, oksigen terlarut sekitar 3 mg/L dan pH antara 7,3-8,4.
Artemia salina, Leach tidak dapat mempertahankan diri dari pemangsa musuh- musuhnya karena
tidak mempunyai alat atau cara untuk membela diri, salah satu cara untuk menghindarkan diri dari
pemangsa hewan lain dengan berpindah kekondisi alam berupa lingkungan hidup berkadar garam
tinggi. Pada umumnya pemangsa tidak dapat hidup lagi pada kondisi itu (Mudjiman,1995). Makanan
Artemia salina terdiri atas ganggang renik, bakteri dan cendawan. Dalam pemeliharaan makanan yang
diberikan adalah katul padi, tepung terigu, tepung kedelai, dan ragi (Mudjiman,1995).

d. Perkembangbiakan dan siklus hidup


Perkembangbiakannya yaitu jenis biseksual dan jenis partenogenenetik Keduanya dapat terjadi
ovovivipar atau ovipar. Pada ovovivipar keluar dari induknya sudah berupa anak yang dinamakan
nauplius, sedangkan pada ovipar anak keluar dari induknya berupa telur, bercangkang tebal yang
dinamakan siste. Perkembangbiakan jenis biseksual harus melalui proses perkawinan antara induk
jantan dengan induk betina. Pada jenis parthenogenesis tidak ada perkawinan karena memang tidak
pernah ada jantannya. Jadi, betina akan beranak dengan sendirinya tanpa perkawinan
(Mudjiman,1995). Siklus hidup Artemia salina seperti pada gambar 3.

Gambar 3. Siklus Hidup Artemia salina Leach (Mudjiman,1995)

e. Penetasan telur Artemia salina Leach

Telur yang siap menetas berwarna coklat keabu-abuan. Untuk media penetasan dapat digunakan air
laut biasa (kadar garam ± 30 permil). Tapi untuk mencapai hasil penetasan yang lebih baik, kita perlu
menggunakan air berkadar garam 5 permil. Ini dapat dibuat dengan mengencerkan air laut dengan air
tawar. Sebelum ditetaskan telur-telur tersebut perlu dicuci terlebih dahulu, yakni dengan direndam di
dalam air tawar selama 1 jam, baru kemudian dimasukan

e. Penetasan telur Artemia salina Leach

Telur yang siap menetas berwarna coklat keabu-abuan. Untuk media penetasan dapat digunakan air
laut biasa (kadar garam ± 30 permil). Tapi untuk mencapai hasil penetasan yang lebih baik, kita perlu
menggunakan air berkadar garam 5 permil. Ini dapat dibuat dengan mengencerkan air laut dengan air
tawar. Sebelum ditetaskan telur-telur tersebut perlu dicuci terlebih dahulu, yakni dengan direndam di
dalam air tawar selama 1 jam, baru kemudian dimasukan dalam wadah penetasan. Suhu air yang baik
selama proses penetasan adalah antara 25-30 C. Sedangkan kadar oksigennya harus lebih dari 2 mg/L.
Untuk merangsang proses penetasannya media penetasan tersebut perlu disinari dengan lampu yang
dipasang di samping wadah. Dalam waktu 24-36 jam setelah pemasukan telur, biasanya telur-telur itu
sudah menetas menjadi anak Artemia yang dinamakan nauplius (Mudjiman,1995).

f. Penggunaan Artemia salina Leach dalam penelitian

Suatu metode uji hayati yang tepat dan murah untuk skrining dalam menentukan toksisitas suatu
ekstrak tanaman aktif dengan menggunakan hewan uji Artemia salina Leach. Artemia sebe lumnya
telah digunakan dalam bermacammacam uji hayati seperti uji pestisida, polutan, mikotoksin,
anestetik, komponen seperti morfin, kekarsinogenikan dan toksikan dalam air laut. Uji dengan
organisme ini sesuai untuk aktifitas farmakologi dalam ekstrak tanaman yang bersifat toksik.
Penelitian menggunakan Artemia salina memiliki beberapa keuntungan antara lain cepat, mudah,
murah dan sederhana. Penelitian dengan larva Artemia salina Leach telah digunakan oleh Pusat
Kanker Purdue, Universitas Purdue di Lafayette untuk senyawa aktif tanaman secara umum dan tidak
spesifik untuk zat anti kanker. Namun demikian hubungan yang signifikan dari sampel yang bersifat
toksik terhadap larva Artemia salina Leach ternyata juga mempunyai aktifitas sitotoksik. Berdasarkan
hal tersebut maka larva Artemia salina Leach dapat digunakan untuk uji toksisitas (Meyer et al., cit
Wahyuni,S.,2002).

II. CARA KERJA


1. Persiapan larva udang

Siapkan air laut sintetik dengan melarutkan 38 g garam laut buatan dalam 1 L air suling.
Bejana penetas disekat sehingga memiliki dua sisi ruang, yaitu sisi terbuka dan tertutup. Telur
udang laut artemia salina leach ditaburkan dalam bejana penetas yang berisi air laut sintetik
dan disimpan dibawah lampu dengan sisi terbuka mengahadap lampu. Setelah 24 jam, telur
yang sudah menetas menjadi nauplii dipindahkan ke tempat lain, 24 jam setelah itu nauplii
terssebut sudah dapat digunakan sebagai hewan uji.

2. Uji BSLT Tahap I

Siapkan 12 vial untuk potensi masing-masing 3 konsentrasi dilakukan triplo, adapun


tingkatan potensi toksisitas rendah (1000,100,10) dan 3 vial untuk kontrol. 3 vial Larutan
kontrol. Larutan stok dibuat, kemudian dimasukkan kedalam vial yang telah disiapkan untuk
masing-masing konsentrasi tersebut, kemudian diuapkan dengan sempurna. Setiap
konsentrasi dibuat dalam 3 vial. Kemudian kedalam masing2 vial dimasukkan air laut sintetik
kira-kira 3 ml dan 10 ekor nauplii udang laut, selanjutnya ditambahkan air laut sintetik sampai
diperoleh 5 ml. Vial tersebut diletakkan dibawah lampu, setelah 24 jam dihitung jumlah larva
yang mati.

3. Uji BSLT Tahap II

Hal yang diamati dalam uji ini adalah jumlah mortalitas udang yang disebabkan oleh ekstrak
tanaman. Senyawa aktif akan menghasilkan jumlah mortalitas yang tinggi. Data yang
diperoleh akan diolah untuk mendapatkan nilai LC 50 (Lethal concentration 50 %) dengan
tingkat kepercayaan 95% menggunakan metode analisis probit. LC 50 merupakan besarnya
konsentrasi (ppm) ekstrak uji untuk dapat mematikan 50% dari hewan uji. Komponen yang
diuji bioaktivitasnya dengan metode BSLT dinyatakan sangat toksik. Apabila memiliki LC 50 <
30 ppm, apabila memiliki LC50 > 1000 ppm

Nilai LC50 yang diperoleh dari uji bioaktivitas akan dibandingkan dengan kalium bikromat
yang digunakan sebagai standard toksisitas. Kalium bikromat larut dalam air dan praktis tidak
larut dalam alkohol, tidak higroskopis, berbentuk granul dengan kristal prisma merah jinggga.

4. Analisa Data

Nilai LC50 diperoleh dengan regresi log probit


III. Perhitungan Uji BSLT
Cara I

Konsentras Log D M H AM AH M/T % Kematian


i (rpm) (X) (Y)
1000 3 30 0 76 0 76/76 100%
100 2 29 1 46 1 46/47 97,87%
1 17 13 17 14 17/31 54,84%
a = 39,0767 LC50 = a+bx

b = 22,58 x = 50-a/b

r = 0,8862 = 50-39,0767/22,58

= 0,4838

LC5 = 3,0465 μg

120

100

80

60 Series 3
% KEMATIAN
Linear (Series 3)
Linear (Series 3)
40 Linear (Series 3)

20

0
1 2 3
log D
`

Cara II (Data Probit)

Konsentrasi Jumlah yang mati n ∑M % Kematian Probit (Y) Log D (X)


1 2 3
1000 0 0 0 30 30/30 100 8,09 3
100 0 1 0 30 29/30 96,67 6,83 2
10 5 2 6 30 13/30 43,33 4,83 1
Blangko 8 6 8 30 22/30 73,33 3,02 -

a = 3,3233 y = a + bx

b = 1,63 5 = a + bx

r = 0,9915 x = 5-a/b

x = 5-3,3233/1,63

= 3,0166 (LC50= 1038,9628 μg/ml)

I. Rpm 1000
Y = a+bx
8,09= 3,3233 + 1,63 x
x = 2,9244
LC50 = 840,1481 μg/ml
II. Rpm 100
Y = a+bx
6,83 = 3,3233 + 1,63 x
x = 2,1513
LC50 = 141.6934 μg/ml
III. Rpm 10
Y = a+bx
4,83 = 3,3233 + 1,63 x
x = 0,9798
LC50= 9,5445 μg/ml
120

100

80

60
probit Series 1
Series 3
40 Linear (Series 3)

20

0
1 2 3
log D

IV. PEMBAHASAN
1. Uji BSLT digunakan sebagai uji permulaan untuk mengetahui aktivitas dari suatu zat atau
senyawa yang terkandung dalam suatu ekstrak atau suatu isolat murni.
2. Pada perbenihan larva udang Artemia salina digunakan air laut buatan yang dibuat dengan
menggunakan garam yang tidak mengandung iodium karena bila menggunakan garam yang
mengandung iodium maka larva udang akan tumbuh lebih besar dan akan mengaburkan data
dari BSLT yang didapat.
3. Pada uji BSLT digunakan larva udang Artemia salina yang telah berumur 48 jam. Pada saat
penetasan setelah 24 jam larva udang yang telah menetas di pindahkan ketempat lain hal ini
bertujuan agar umur dari larva udang yang digunakan sama. Ditakutkan bila tidak
dipindahkan ada larva udang yang baru menetas setelah 24 jam. Dan terbawa dalam
percobaan sehingga usia dari larva udang tidak seragam.
4. Pada blangko hanya digunakan pelarut/pengencer dari estrak untuk melihat pengaruh pelarut
terhadap larva udang. Seharusnya pada blangko tidak ada larva udang yang mati namun pada
percobaan terdapat beberapa larva udang yang mati ini kemungkinan disebabkan pelarut
(etanol) yang tidak menguap seluruhnya setelah dikeringkan.
5. Pada pengujian BSLT dibuat larutan dengan konsentrsi yang berbeda-beda mulau dari
1000,100,dan 10μg/ml. Ini bertujuan untuk melihat pengaruh konsentrasi dari ektrak terhadap
aktivitasnya(LC50)
6. Pada percobaan dibuat triplo agar didapat data statistik yang dapat baik sehingga dapt
dihitung secara statistik dari data yang didapat. Jika dilakukan simplo mungkin bisa terjadi
kesalahan dan tidak ada data lain yang dapat dipakai.
7. Pada pecobaan dilakukan pengeringan untuk mengeringkan pelarur yang digunakan agar
tidak mengaburkan data yang didapat. Apakah larva udang yang mati karena aktivitas dari
ekstrak atau palarutnya.
8. Pada hasil percobaan didapat LC50 sebesar 10µg/ml (cara 1) dan 13,825μg/ml (cara2). Dapat
diketahui bahwa ektrak dari kunyit memilki akvitas yang toksik(persyaratan toksik≤
30μg/ml). Dan dalam percobaan yang dilakukan mayer bila hasil LC 50 ≤30μg/ml
diperkiraakan bahwa ektrak tersebut dapat berguna sebagai anti kanker.
9. Pada percobaan dilakukan perhitungan jumlah larva udang yang mati dengan menghitung
larva udang yang hidup. Karena sulit untuk menghitung larva udang yang mati sehigga
dihitung dengan mengamati yang hidup.
10. Pada percobaan larva udang yang digunakan ditempatkan dekat cahaya agar larva udamg
dapat hidup dengan suhu yang sesuai. Dan didapat data larva udang yang tidak dipengaruhi
oleh kondisi lingkungan dari tempat hidup larva udang

V. KESIMPULAN
Dari percobaab diatas di dapat :
LC50 :10 μg/ml (Cara I)
LC 50 :13,285 μg/ml (Cara II)

VI. DAFTAR PUSTAKA

1. Soedibyo, Mooryati. 1998. Alam Sumber Kesehatan Manfaat dan Kegunaan. Jakarta. Balai
Pustaka

2. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. 1978. Materia Medika Indonesia II.
Jakarta. Departemen Kesehatan

3. World Health Organization. 1998. Quality Control Method for Medicinal Plant Materials.
Geneva

4. Hariana H. Arief, Drs. 2008. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya ed. III. Jakarta

5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta.

6. Petunjuk Praktikum Teknologi Bahan Alam. 2010

7. Anonimous. 1994. Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. Prosiding
Seminar di Bogor 1 – 2 Desember 1993. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor.
8. Anonimous. 1989. Vademekum Bahan Obat Alam. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta.
9. Darwis SN. 1991. Tumbuhan obat famili Zingiberaceae. Bogor, Puslitbang Tanaman Industri:
39-61.
10. Kartasapoetra, G. 1992. Budidaya tanaman berkhasiat obat: kunyit (kunir). Jakarta, PT.
Rineka Cipta: 60.
11. Kloppenburg-Versteegh, J. 1988. Petunjuk lengkap mengenai tanamantanaman di Indonesia
dan khasiatnya sebagai obat-obatan tradisional (kunir atau kunyit-Curcuma domestica Val.).
Jilid 1: bagian Botani. Yogyakarta, CD.RS. Bethesda: 102-103.
12. Moko, Hidayat; Mulyoto; Ismiyatiningsih. 1993. Pengaruh beberapa zat pengatur tumbuh dan
mulsa terhadap pertumbuhan tanaman kunyit. Buletin Pertanian Tanaman Rempah dan Obat,
8 (1) 1993: 30-38.
13. Muhlisah, Fauziah. 1996. Tanaman obat keluarga (toga): kunyit. Cet.2. Jakarta, Penebar
Swadaya: 40-41.
14. Nugroho, Nurfina A. 1998. Manfaat dan prospek pengembangan kunyit. Ungaran,Trubus
Agriwidya. 86 hal.
15. Soedibyo, BRA Mooryati. 1998. Alam sumber kesehatan, manfaat dan kegunaan: kunyit.
Cet.1. Jakarta, Balai Pustaka: 230-231.
16. Wijayakusuma, H.M. Hembing; Dalimartha, Setiawan; Wirian, A.S.  1992. Tanaman
berkhasiat obat di Indonesia: kunyit; Curcuma longa Linn (Jiang Huang). Jilid 4. Jakarta,
Pustaka Kartini: 93-94.

Anda mungkin juga menyukai