Anda di halaman 1dari 11

3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Tinjauan Umum Tanaman Limpasu


2.1.1. Klasifikasi Tanaman Limpasu

Gambar 2.1 buah limpasu (baccaurea lanceolata)


Divisi

: Magnoliophyta

Kelas

: Magnoliopsida

Bangsa

: Antidesmeae

Nama suku/ familia

: Phyllanthaceae

Nama Jenis/ Spesies : Baccaurea lanceolata


Nama Lokal

: Asam pahong, Asam pahung, Asam paung,

Mempaung,Limpanong, Pahu asam, dan Pahu temuangi (Malaysia), som


huuk, atau som lok (Thailand).
Nama asing

: Adenocrepis lanceolata (Miq.) Mll.Arg,

Baccaurea glabriflora Pax & K.Hoffm., Baccaurea pyrrhodasya (Miq.)


Mll.Arg.,Hedycarpus lanceolatus Miq., dan Pierardia pyrrhodasya Miq.
2.1.2. Deskripsi Tumbuhan Limpasu
Limpasu (Baccaurea lanceolata)

merupakan

keluarga

dari

Euphorbiaceae. Spesies ini ditemukan di Thailand, Malaysia, Sumatra,


dan Kalimantan. Menurut Lim (2012), limpasu mempunyai beberapa nama
daerah seperti limpasu, ampusu, lampaong, buah lepasu, lipasu
(Kalimantan), asam pahong, rambai hutan, pahu asam (Malaysia), lingsoe
(Jawa), limpaong, buapau (Sarawak). Pohon bercabang dengan tinggi 330 m, berumah dua. Daun tunggal, berseling, tersusun secara spiral,

pangkal tangkai daun biasanya dengan kelenjar yang menonjol. Helaian


daun membundar telur sampai membundar telur sungsang. Perbungaan
jantan menempel pada batang (cauline), beberapa menggerombol
bersama-sama, terdiri dari banyak bunga, bunga-bunga tersusun di
sepanjang perbungaan, berwarna kuning sampai kemerah-merahan, atau
coklat muda-keputihan. Kelopak bunga 3 5, membundar telur sungsang
sampai menyudip, mahkota bunga 3 5, rudimenter, staminodium 3 5,
benangsari 3 5. Perbungaan betina menempel pada batang (cauline),
sedikit menggerombol, bunga 20 25, berwarna sawo matang kekuningan
sampai kemerahan, kelopak bunga 4 atau 5, membundar telur sampai
membundar telur sungsang, mudah luruh, mahkota bunga 2 8 mereduksi,
bakal buah membulat, beruang 3 atau 4, kepala putik kemerahan sampai
kuning. Buah membulat sampai menjorong, berbiji 1 4, pada waktu
masih muda keunguan atau hijau, bila sudah masak hijau, kekuningan,
keputihan, keabu-abuan, sawo matang, biji menjorong. Potensi dari daun
yang ditumbuk dalam bambu dan dicampur dengan air dimanfaatkan
sebagai obat sakit perut (Djarwaningsih, 2007).
2.2.

Toksisitas
Toksisitas didefenisikan sebagai kemampuan suatu zat untuk menimbulkan

kerusakan. Toksisitas merupakan suatu sifat relative dari zat kimia dan sejauh ini
menyangkut diri manusia secara langsung dan tidak langsung. Toksisitas selalu
menunjukan sesuatu efek berbahaya atas mekanisme biologi tertentu. Toksisitas
merupakan istilah relative yang dapat dipergunakan dalam membandingkan suatu
zat kimia lebih toksik dari zat kimia lainnya. Kematian merupakan salah satu
diantara beberapa criteria toksisitas. Salah satu caranya adalah dengan dosis
maksimal kemudian kematian hewan uji dicatat. Angka kematian hewan dihitung
sebagai median Lethal Dose (LD50) atau Median Lethal Concentration (LC50).
Ada 3 jenis metode pengujian Biossay untuk mengetahui toksisitas suatu
bahan alam yaitu Simple Brench-Top Bioassay (Metode BSLT Brine Shrimp
Lethality Test, Lemna Minor Bioassay dan Crown-Gall Potato Disc Bioassay)
serta Pengujian pada sel telur babi.

A.

Metode BSLT Brine Shrimp Lethality Test adalah suatu metode guna
menentukan toksisitas suatu senyawa bahan alam dengan cepat, murah dan
cukup akurat untuk penapisan ekstrak bahan aktif dengan menggunakan
hewan uji Artemia salina Leach yang berumur 48 jam. Metode ini
juga digunaka untuk mendeteksi keberadaan senyawa toksik dalam proses
isolasi senyawa dari bahan alam yang berefek sitotoksik dengan
menentukan harga LC 50 dari senyawa aktif. Metode BSLT dapat
digunakan dari berbagai sistem uji seperti morfin, karsinogenik dan
ketoksikan dari hewan dan tumbuhan laut serta senyawa racun dari
tumbuhan darat.

B.

Lemna minor Biossay terutama digunakan sebagai uji pendahuluan


terhadap bahan yang dapat menghambat dan meningkatkan pertumbuhan
tanaman. Dengan pengujian ini dapat diamati bahwa anti tumor alami juga
dapat menghambat pertumbuhan lemna, walaupun korelasinya dengan
antitumor lainnya kurang baik. Oleh karena itu pengujian ini lebih
diarahkan untuk mencari herbisida dan stimulant pertumbuhan baru.

C.

Crown-gall potato Biossaay merupakan metode pengujian toksisitas yang


relatif cepat pengerjaannya, tidak mahal, tidak memerlukan hewan
percobaan serta menunjukan korelasi yang baik dengan uji anti tumor
lainnya. Crown-Gall merupakan suatu penyakit neoplastik pada tumbuhan
yang disebabkan bakteri gram negatif Agrobacterium tumefaciens yang
selanjutnya menyebabkan pertumbuhan jaringan tumor secara otonom dan
tidak dipengaruhi oleh mekanisme kontrol normal.
Selanjutnya pengujian efek toksik dihitung dengan menentukan nilai LC50

dengan probit analisis menggunakan MINITAB17 .Selanjutnya tingkat toksisitas


suatu ekstrak diklasifikasikan berdasarkan nilai LC 50nya sesuai dengan klasifikasi
yaitu (Meyer et al., 1982).

Uji toksisitas merupakam uji hayati yang berguna untuk menentukan


tingkat toksisitas dari suatu zat atau bahan pencemar. Suatu senyawa kimia
dikatakan bersifat racun akut jika senyawa tersebut dapat menimbulkan efek racun
dalam jangka waktu singkat, dalam hal ini 24 jam sedangkan jika senyawa

tersebut baru menimbulkan efek dalam jangka waktu yang panjang, disebut racun
kronis (karena kontak yang berulang-ulang walaupun dalam jumlah yang sedikit).
LC50 (median Lethal Concentration) yaitu konsentrasi yang menyebabkan
kematian sebanyak 50% dari organism uji yang dapat diestimasi dengan grafik
dan perhitungan pada suatu waktu pengamatan tertentu, misalnya LC50 24 jam
LC50 48 jam LC50 96 jam sampai waktu hidup hewan uji. (Dhahiyat dan
Djuangsih, 1997)
Dengan adanya kenyataan bahwa beberapa zat kimia akan menimbulakan
kematian dalam dosis microgram maka zat kimia seperti itu biasanya dianggap
sangat toksik (beracun). Penggolangan toksisitas didasarkan atas besarnya jumlah
zat kimia yang diperlukan untuk menimbulkan bahaya.
Tabel 2.1 klasifikasi tingkat toksisitas berdasarkan nilai LC50
Konsentrasi membunuh 50% larva

Kategori

Sangat tinggi

1-10 /mL

Sedang

10-100 /mL

Rendah

100-1000 /mL

Pada percobaan terhadap larva udang renik (artemia salina leach),


toksisitas dinyatakan dengan nilai LC50 yaitu konsentrasi senyawa kimia dengan
pelarut tertentu yang menyebabkan kematian 50%

larva udang renik. Suatu

ekstrak dinyatakan toksik apabila mempunyai nilai LC50 kuranh dari 1000 g/mL
sedangkan senyawa murni dinyatakan toksik apabila mempunyai nilai LC50 < 30
g/mL meyer,1982)
2.3.

Brine Shrimp Lethality Test


Brine Shimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu metode untuk

menguji bahan bahan yang bersifat sitotoksik dalam ekstrak tanaman aktif yang
dikemukakan oleh meyer dan kawan kawan (Meyer, 1982; McLaughlin, 1990).
Metode uji sitotoksik ini sering digunakan untuk penapisan awal terhadap
senyawa aktif yang terkandung dalam suatu ekstrak. Keuntungan metode BSLT
adalah waktu pelaksanaan cepat, tidak memerlukan perawatan khusus,

menggunakan teknis aseptis, tidak memerlukan serum hewan, hasil uji berkolerasi
baik dengan beberpa metode uji toksisitas (meyer,1982; McLaughlin, 1990).
Organism uji yang digunakan dalam berbagai macam uji hayati. Sifat sitotoksik
diketahui berdasarkan jumlah kematian larva. Suatu ekstrak dinyatakan bersifat
toksik terhadap artemia salina leach apabila mempunyai harga LC50 (konsentrasi
mematikan 50% larva udang) kurang dari 1000 ug/mL setelah waktu kontak
selama 24 jam. Prinsip metode BSLT ini adalah mencari hubungan antara
konsentrasi eksktrak, atau komponen murni dengan kematian larva artemia salina
leach (nauplii) (meyer, 1982; McLaughlin, 1990)
Metode ini digunakan dalam usaha mengisolasi senyawa toksik dari
ekstrak. Pertama kali metode ini dipergunakan untuk menentukan keberadaan
residu insektisida seperti DDT, parathion, dieldrin dan menentukan potensi
senyawa anestesi. Uji sitotoksik menggunakan Brine Shrimp Lethality Test
(BSLT) sering dianalogikan dengan kemampuan suatu bahan obat yang memiliki
efek anti kanker. Metode ini disarankan untuk digunakan pada skrining senyawa
bioaktif bahan alam karena menunjukan adanya kolerasi dengan metode sitotoksik
in vitro yang lainnya.
Keuntungan metode BSLT adalah waktu pelaksanaan cepat, biaya relatif
murah, praktis, tidak memerlukan teknik aseptis, tidak memerlukan perawatan
khusus, menggunakan sampel relatif sedikit, tidak memerlukan serum hewan,
hasil uji berkolerasi baik dengan beberapa metode uji sitotoksik. Prinsip metode
BSLT adalah sifat toksik senyawa bioaktif dari tanaman pada dosis tinggi.
Senyawa yang memiliki bioaktivitas selalu toksik pada dosis tinggi. Maka secara
sederhana dapat diartikan bahwa efek toksik adalah efek farmakologi pada dosis
tinggi. Dari pengertian tersebut, maka kematian hewan sederhana seperti larva
Artemia salina secara in vivo dapat digunakan sebagai suatu alat pemantauan yang
tepat untuk proses skrining dan fraksinasi pada penelitian bioaktif baru dari
sumber alam. Prinsip dari uji BSLT ini adalah mencari hubungan antara
konsentrasi ekstrak, fraksi ekstrak, atau komponen murni dengan kematian larva
Artemia salina (nauplii) (Meyer, 1982).
2.4.

Larva Udang (Artemia Salina Leach)

Artemia salina Leach atau sering disebut brine shrimp adalah sejenis
udang-udangan primitif yang sudah dikenal cukup lama dan oleh Linnaeus pada
tahun 1778 yang diberi nama Cancer salinus, kemudian oleh Leach diubah
menjadi artemia salina pada tahun 1819. Artemia salina Leach hewan ini hidup
planktonik di perairan yang berkadar garam tinggi (antara 15-300 per mil). Suhu
yang berkisar antara 25-30 0C, oksigen terlarut sekitar 3 mg/L, dan pH antara 7,3
8,4. Sebagai plankton, Artemia salina Leach tidak dapat mempertahankan diri
terhadap musuh-musuhnya, karena tidak mempunyai cara maupun alat untuk
mempertahankan diri. Satu-satunya kondisi yang menguntungkan dari alam
adalah lingkungan hidup yang berkadar garam tinggi, karena pada kondisi
tersebut pemangsa pada umumnya sudah tidak dapat hidup lagi. Artemia salina
Leach merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem laut yang keberadaan
sangat penting untuk perputaran energi dalam rantai makanan, selain itu Artemia
salina Leach. juga dapat digunakan dalam uji laboratorium untuk mendeteksi
toksisitas suatu senyawa dari ekstrak tumbuhan (Kanwar, 2007; Mudjiman, 1995).

Gambar 2.2. A. salina Leach. (Abatzopoulos et al., 1996)


2.4.1. Klasifikasi
Kingdom

: Animalia

Philum

: Arthropoda

Kelas

: Crustacea

Sub kelas

: Branchiopoda

Ordo

: Anostraca

Famili

: Artemiidae

Genus

: Artemia

Spesies

: Artemia salina Leach.

(Emslie, 2003; Mudjiman, 1995; Sambali, 1990).

Gambar 2.3.Artemia salina Leach, bentuk nauplii

Gambar 2.4 Anatomi Artemia salina Leach bentuk nauplii.


2.4.2. Morfologi
Artemia Salina Leach diperdagangkan dalam bentuk telur istirahat
yang dinamakan kista. Kista ini merupakan bentuk bulatan-bulatan kecil
kelabu kecoklatan dengan diameter berkisar 200-300 um. Kista berkualitas
baik apabila diinkubasi dalam air berkadar garam 5-70 permil akan
menetes sekitar 18-24 jam. Artemia Salina Leach yang baru menetas
disebut naupilus, berwarna orange, berbentuk bulat lonjong dengan
panjang sekitar 400 mikron, lebar 170 mikron dan berat 0,002 mg.
Naupilus berangsur-angsur mengalami perkembangan dan perubahan
morfologis dengan 15 kali pergantian kulit sehingga menjadi dewasa. Pada
setiap pergantian kulit disebut instar (Meyer, 1982; McLaughlin, 1990).
Ada beberapa tahap penetesan Artemia Salina Leach yaitu tahap hidrasi,
tahap pecah cangkung dan tahap paying atau tahap pengeluaran,. Tahap
hidrasi terjadi penyerapan air sehingga kista yang dilewatkan dalam
bentuk kering tersebut akan menjadi bulat dan aktif bermetabolisme.
Tahap selanjutnya adalah tahap pecah cangkung dan disusul dengan tahap

10

paying yang terjadi beberapa saat sebelum naupilis keluar dari cangkang
(Meyer, 1982; McLaughlin, 1990). Artemia salina Leach dewasa biasanya
berukuran panjangn 1-2 cm yang ditandai adanya tangkai mata yang jelas
terlihat pada kedua sisi bagian kepala antenna sebagai alat sensor, saluran
pencernaan yang terlihat jelas dan11 pasang thorakopoda. Pada Artenia
Salina Leach jantan, antenna berubah menjadi alat penjepit, sepasang penis
terdapat pada bagian belakang tubuh, sedangkan pada Artenia Salina
Leach betina antenna mengalami penyusutan. Sepasang induk telur atau
ovum terdapat dikedua sisi saluran pencernaan, dibelakang thorakopoda.
(Meyer, 1982; McLaughlin, 1990).
2.4.3. Lingkungan Hidup
Artemia salina leach hidup planktonik di perariaran berkadar
garam tinggi 15-30 permil, suhu yang di khemdaki berkisar 25C-30C,
oksigen terlarut sekitar 3 mg/L dan pH antara 7.3-8.4. Artemia salina leach
tidak dapat mempertahankan diri dari pemangsa musuh-musuhnya karena
tidak mempunyai alat atau cara membela diri, salah satu cara untuk
menghindarkan diri dari pemangsa hewan lain dengan berpindah ke
kondisi alam yang lingkungan hidup berkadar garam tinggi. Pada
umumnya pemangsa tidak dapat hidup lagi pada kondisi itu (Meyer, 1982;
McLaughlin, 1990). Makanan Artemia Salina Leach terdiri atas genggang
renik, bakteri cendawan. Dalam pemeliharaan makanan yang diberikan
adalah katul padi, tepung terigu, tepung kedelai dan ragi (Meyer, 1982;
McLaughlin, 1990).
2.4.4. Penetasan Telur Artemia Salina Leach
Telur yang siap menetas berwarna coklat keabu-abuan. Untuk
mediapenetasan dapat digunakan air laut biasa (kadar garam 30 permil).
Tapi untukhasil penetasan yang lebih baik, kita perlu menggunakan air
yang berkadar garam 5 permil. Ini dapat dibuat dengan mengencerkan air
laut dengan air tawar. Sebelum diteteskan telur telur tersebut dicuci
terlebih dahulu, yakni dengan merendam dengan air tawar selama 1 jam,
baru kemudian dimasukan dalam wadah penetesan. Suhu air yang baik
selama proses penetasan adalah antara 25 30 C. sedangkan kadar

11

oksigennya

harus

lebih

dari

mg/L.untuk

merangsang

proses

penetasannya melalui penetasan tersebut perlu disinari dengan lampu yang


dipasang disamping wadah. Dalam waktu 24-36 jam setelah pemasukan
telur, biasanya telur-telur itu sudah menetas menjadi anak Artemia Salina
Leach yang disebut nauplius (Meyer, 1982; McLaughlin, 1990).
2.4.5. Perkembangan Hidup
Perkembangbiakannya yaitu jenis beseksual dan partenogenetik.
Keduannya dapat terjadi ovovivipar atau ovipar. Pada ovovivipar keluar
dari induknya sudah berupa anak yang dinamakan naupilius, sedangkan
pada ovipar anak yang keluar dari indduknya berupa telur, bercangkang
tebal dinamakan siste. Perkembangbiakan jenis biseksual harus melalui
proses perkawinan antara induk jantan dan induk betina. Pada jenis
phartenogenesis tidak ada perkawinan karena memang tidak ada
jantannya, jadi betina akan beranak dengan sendirinya tanpa perkawinan
(Meyer, 1982; McLaughlin, 1990). (Isnansetyo, Kurniastuty, 1995;
Mudjiman, 1995). Siklus hidup Artemia salina Leach. Dapat dilihat pada
Gambar 2.5 berikut:

Gambar 2.5 Siklus hidup Artemia salina Leach. (Vos et.al., 1980)
2.4.6. Penggunaan Artemia Salina Leach dalam Penelitian
Suatu metode uji hayati yang tepat dan murah untuk skrining
dalam menetukan toksisitas suatu ekstrak tanaman aktif dengan
menggunakan hewan uji Artemia Salina Leach sebelumnya telah
digunakan dalam bermacam-macam uji hayati seperti uji peptisisda,
polutan, mikotoksin, anestesik, komponen seperti morfin, kekarsigonikan
dan toksikan dalam air laut. Uji dengan organisme ini sesuai untuk

12

aktifitas farmakologi dalam ekstrak tanaman bersifat toksik. Penelitian


menggunakan Artemia Salina Leach telah digunakan oleh pusat purdue,
universitas purdue di Lafayette untuk senyawa aktif tanaman senyawa
umum dan tidak spesifik untuk zat antikanker. Namun demikian hubungan
yang signifikan dari sampel yang bersifat toksik terhadap larva Artemia
Salina Leach dapat digunakan uji toksisitas (Meyer, 1982; McLaughlin,
1990).
2.5.

Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut,

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia
yang akan diekstraksi mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa
yang tidak dapat larut, dan mempunyai struktur kimia yang berbeda-beda yang
dapat mempengaruhi kelarutan dan stabilitas senyawa-senyawa tersebut terhadap
suhu, udara, cahaya, dan logam berat (Depkes RI, 2000).
2.5.1 Metode Ekstraksi
1. Cara Dingin
a. Maserasi
Maserasi adalah suatu metode ekstraksi menggunakan pelarut
dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada
temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi
dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan.
Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus
menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan
pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan
seterusnya (Depkes RI, 2000).
b. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru
sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan
pada temperatur ruangan. Prosesnya terdiri dari pengembangan
bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya
(penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh
ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bertahan (Depkes RI,
2000).

13

2. Cara Panas
a. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik
didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang
relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya
dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali
sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Depkes RI,
2000).
b. Soxhlet
Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru
yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi
ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan
adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000).
c. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu)
pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar).
Secara umum dilakukan pada temperatur 40 50oC.
d. Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur
penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih,
temperatur terukur 96-98oC) selama waktu tertentu (15 20 menit)
(Depkes RI, 2000).
e. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama 30oC dengan
temperatur sampai titik didih air (Depkes RI. 2000)

Anda mungkin juga menyukai