Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Keris Papua (Anthurium kris)


1. Klasifikasi

Regnum : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Super Divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Ordo : Alismatales

Famili : Araceae

Genus : Anthurium

Spesies : Anthurium kris (ebook Anthurium Bunga 2007)

Gambar 1. Tanaman Keris Papua (Anthurium kris)


2. Morfologi

Tanaman Anthurium adalah tanaman hias yang termasuk dalam

family Araceae. Tanaman anthurium dibedakan menjadi dua jenis, yaitu

anthurium daun dan anthurium bunga. Tanaman anthurium banyak

digemari karena bentuk daunnya yang indah, unik dan bermacam-

macam. Tanaman anthurium mempunyai perakaran yang banyak dan

berwarna putih, serta pertumbuhannya menyebar ke segala arah. Oleh

karena itu, tanaman ini membutuhkan media tanam yang porous

(Anonim, 2016).

Tanaman anthurium mempunyai batang yang tidak terlihat karena

terbenam didalam tanah atau media tanam. Jika sudah dewasa, batang

anthurium akan berkembang dan membesar menjadi bonggol. Batang

anthurium berbuku-buku, tidak berkayu dan cenderung berair. Jika

tanaman sudah tua, akan banyak daun bagian bawah yang rontok dan

batang akan terlihat di atas permukaan tanah. Tanaman anthurium

adalah tanaman evergreen yang tidak mengenal fase dormansi.

Tanaman ini biasanya hidup secara epifit dengan menempel di tanaman

lain, atau bias juga hidup secara terrestrial di dasar hutan (Anonim,

2016).

Tanaman anthurium memiliki bunga berumah satu, yaitu dalam

satu bunga terdapat sel gamet betina dan sel gamet jantan. Bunga

anthurium ini terdiri dari tangkai, mahkota dan tongkol, kemudian

semua bunga ini menjadi satu kesatuan membentuk layaknya ekor.


Bunga jantan ditandai dengan keberadaan benang sari sedangkan bunga

betina ditandai dengan lendirnya. Putik dan tepung sari menempel di

tongkol (Anonim, 2016).

Tanaman anthurium memiliki buah yang berbentuk bulat dan

menempel di tongkol. Buah anthurium muda berwarna hijau dan buah

matangnya berwarna merah. Biji anthurium yang sudah masak akan

lepas dari tongkol dan digunakan untuk perbanyakan tanaman. Bibit

anthurium yang dihasilkan dari perbanyakan biji pada umumnya

memiliki sifat berbeda dari tetuanya (Anonim, 2016).

B. Sitotoksik

1. Definisi Sitotoksik

Toksikologi merupakan kajian mengenai mekanisme efek

berbahaya (efek toksik) dari suatu bahan kimia terhadap makhluk

hidup. Toksin mempunyai arti sebagai zat yang berpotensi memberikan

efek berbahaya terhadap organism tertentu (Frank CL.Toksikologi

Dasar 1995).

Faktor yang menentukan sifat toksik dari suatu senyawa adalah

dosis,konsentrasi racun di reseptor, sifat senyawa tersebut, paparan

terhadap organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan (Priyanto, 2009).

Toksisitas merupakan sifat relatif dari suatu bahan kimia yang

dapat menimbulkan efek berbahaya. Pada umumnya, efek farmakologis

timbul apabila terjadi interaksi antara zat kimia dengan organisme

hidup (Priyanto, 2009).


Uji toksisitas merupakan suatu uji untuk menentukan potensial

suatu senyawa sebagai racun, mengenali kondisi biologis setelah efek

toksik tersebut timbul dan mengenali karakteristik efek tersebut

(Priyanto, 2009).

Menurut Weil (1952), terdapat lima pedoman pada uji toksisitas, yaitu:

1. Menggunakan satu atau lebih spesies yang secara kualitatif

memperlakukan suatu bahan mirip dengan manusia.

2. Menggunakan beberapa jumlah dosis, dengan alas an pemberian

dosis yang berbeda dapat menimbulkan tingkat efek yang berbeda.

3. Efek yang ditimbulkan pada tingkat dosis yang lebih tinggi

bermanfaat untuk menggambarkan mekanisme kerjanya.

4. Uji stastitika untuk uji ini dilakukan hanya pada satuan

eksperimental yang secara matematika telah berada diantara dosis

dan kelompok kontrol.

5. Efek yang diperoleh melalui suatu jalur pemberian kepada hewan uji

tidak semerta-merta dapat diterapkan kepada manusia, namun harus

melalui uji lainnya.

C. Metode BSLT

Brine Shimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu metode uji

toksisitas yang banyak digunakan dalam penelusuran senyawa bioaktif

yang toksik dari bahan alam. Metode ini menunjukkan aktifasi

farmakologis yang luas, tidak spesifik dan dimanifestasikan sebagai


toksisitas senyawa terhadap larva udang (Artemia SalinaLeach) (Anonim,

2011).

Metode BSLT menggunakan larva udang (Artemia salina Leach)

sebagai hewan coba. Artemia salina Leach merupakan organisme yang

mempunyai kepekaan cukup tinggi terhadap toksik. Hasil uji toksisitas

dengan metode ini telah terbukti memiliki kolerasi positif dengan daya

sitotoksik senyawa antikanker. Jika pada uji toksisitas menunjukkan LC 50

dibawah 1000 ppm berarti bahan tersebut memiliki potensi sebagai

antikanker (Wibowo, 2009).

Metode BSLT ini dapat dilakukan dengan cepat, murah, mudah dan

cukup reproduksibel sehingga dapat digunakan sebagai bioassay Guided

Isolation yaitu isolasi komponen kimia berdasarkan aktifitas yang

ditunjukkan oleh bioessay tersebut. Dengan mengetahui aktifitas dari suatu

kelompok komponen kimia (fraksi), dapat dilakukan isolasi senyawa

sehingga diperoleh senyawa tunggal aktif (Fajarningsih et al., 2006).

D. Larva udang (Artemia salina Leach)


1. Klasifikasi

Regnum : Arthopoda

Divisi : Crustaceae

Subdivisi : Branchiopoda

Ordo : Anostraca

Famili : Artemiidae

Genus : Artemia
Species : Artemia salina (Emslie, 2003).

Gambar 2. Artemia salina Leach

2. Artemia salina Leach

Artemia salina Leach atau sering disebut brine shrimp adalah

sejenis udang-udangan primitif yang sudah dikenal cukup lama dan

oleh Linnaeus pada tahun 1778 yang diberi nama Cancer salinus,

kemudian oleh Leach diubah menjadi Artemia salina pada tahun 1819.

Artemia salina Leach. Hewan ini hidup planktonik di perairan yang

berkadar garam tinggi (antara 15-300 per mil). Suhu yang berkisar

antara 25-300C, oksigen terlarut sekitar 3 mg/L, dan pH antara 7,3 8,4.

Sebagai plankton, Artemia salina Leach. tidak dapat mempertahankan

diri terhadap musuh-musuhnya, karena tidak mempunyai cara maupun

alat untuk mempertahankan diri. Satu-satunya kondisi yang

menguntungkan dari alam adalah lingkungan hidup yang berkadar

garam tinggi, karena pada kondisi tersebut pemangsanya pada

umumnya sudah tidak dapat hidup lagi (Mudjiman, 1995).

Artemia salina Leach. merupakan salah satu komponen penyusun

ekosistem laut yang keberadaan sangat penting untuk perputaran energi

dalam rantai makanan, selain itu Artemia salina Leach. juga dapat
digunakan dalam uji laboratorium untuk mendeteksi toksisitas suatu

senyawa dari ekstrak tumbuhan (Kanwar, 2007).

3. Perkembangan dan Siklus Hidup

Daur hidup pertumbuhan Artemia salina terdiri atas 3 tahap yaitu

kista, napuli dan dewasa. Tahap napuli adalah tahap uang digunakan

sebagai larva uji untuk uji toksistas dengan menggunakan metode

BSLT. Kadar salinitas air garam yang digunakan untuk pembiakan

sebesar 32 ppt, ini memenuhi kriteria kadar penetasan telur udang

menjadi kista antara 5 ppt hingga 70 ppt, ketika dalam kondisi kadar

garam yang lebih dari 70 ppt maka telur udang tidak akan menetas

sedangkan kondisi kurang dari 5 ppt akan hidup dalam waktu singkat.

Telur udang ketika dalam kondisi kering akan berbentuk pipih

sedangkan ketika berada di dalam air laut telur berubah menjadi bulat

dengan cara menyerap air laut yang ada di sekelilingnya.

Perubahan telur Artemia salina saat kondisi basah dan kering

menjadi bahan uji yang cukup menarik dan praktis ditinjau dari praktis

dalam penyimpanan dengan jangka lama serta mudah perawatan. Selain

itu tingkat sensitifitasnya terhadap konsisi lingkungan cukup tinggi

(Nunes et al, 2006).

Telur larva yang sudah berbentuk bulat akan menentas kurang lebih

48 jam akan menentas dan berenang disebut napuli. Tahap napuli

merupakan tahap kedua dari proses kehidupan dari Artemia salina yang

hanya memiliki hanya memiliki 1 mata (fotoreseptor). Bentuk napuli


yang ada diliteratur identik dengan napuli yang digunakan untuk uji.

Napuli ini akan tumbuh dan mengembangkan dua mata, tapi mata awal

tetap, sehingga tiga mata. Napuli yang phototactic, sementara orang

dewasa tidak. Mereka berenang melalui kolom air (fototaksis)

menggunakan antena. Rahang yang digunakan untuk menyaring air dan

fitoplankton (Mioara, 2011).

4. Perilaku Artemia salina Leach.


Artemia salina Leach. bersifat fototaksis positif yang berarti

menyukai cahaya, di alam hal tersebut dibuktikan dengan adanya

gerakan tubuh menuju ke permukaan karena sinar matahari sebagai

sumber cahaya secara alami, dimana akan selalu di permukaan saat

siang hari dan tenggelam pada malam hari. Intensitas cahaya yang

terlalu tinggi dapat pula mengakibatkan respon fototaksis negatif

sehingga ia akan menjauhi cahaya. Artemia salina Leach. yang baru

menetas mempunyai perilaku geotaksis positif, hal ini terjadi ketika

nauplius tenggelam ke bawah setelah menetas akibat efek gravitasi.

Gerakan phyllopodia mendorong makanan bergerak ke anterior

(lokomosi). Gerakan anggota tubuhnya untuk mendorongnya menuju

arah sumber makanan (Emslie, 2003).


E. Simplisia

Simplisia adalah suatu bahan alami yang belum mengalami

pengolahan apapun selain pengeringan dan dapat digunakan sebagai obat

tradisional. Simplisia dapat digolongkan sebagai simplisia hewani dan

simplisia tumbuhan.
Jenis simplisia tumbuhan sangat beragam bergantung jenis dan

bagian tumbuhan yang dimanfaatkan seperti daun, bunga, buah, biji,

rimpang, batang dan akar.

Terdapat beberapa parameter standar umum untuk simplisia yang

baik, yaitu:

a) Memiliki 3 kriteria mutu suatu bahan yaitu kebenaran jenis

(identifikasi), kemurnian (bebas dari bahaya kimia, biologis, dan

bahaya fisik) dan aturan penstabilan (wadah, penyimpanan dan

transportasi). Bahaya kimia adalah bahan kimia yang tidak boleh

digunakan pada simplisia. Bahaya biologis adalah bahaya dari

bakteri yang dapat menyebabkan penyakit. Bahaya fisik adalah

benda-benda yang apabila tertelan dapat menimbulkan luka

misalnya pecahan gelas, kerikil, dan jarum pentul.

b) Memenuhi 3 kriteria paradigma obat pada umumnya yaitu

Quality-Safety-Efficacy (Mutu-Aman-Manfaat).

c) Mempunyai spesifikasi kimia yaitu informasi mengenai jenis

dan kadar dari senyawa yang terkandung di dalamnya.

Tahapan-tahapan dalam pembuatan simplisia adalah sebagai berikut:

a) Pengumpulan bahan baku Pemilihan bahan baku simplisia dapat

berupa buah, biji, daun muda, daun tua, ranting, akar, umbi, dan

rimpang bergantung keperluan peneliti.

b) Sortasi basah
Sortasi basah merupakan proses untuk mengurangi bahan

kontaminasi yang menempel pada bahan simplisia sebelum

proses pengeringan.

c) Pencucian

Pencucian dilakukan menggunakan air mengalir agar air bekas

cucian langsung terbuang dan tidak mengkontaminasi ulang

bahan yang telah dicuci.

d) Perajangan

Perajangan dilakukan bertujuan untuk memudahkan

pengeringan. Perajangan dapat dilakukan dengan menggunakan

pisau ataupun mesin rajang.

e) Pengeringan

Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kandungan air pada

simplisia. Pengeringan biasanya dilakukan pada suhu 3090C.

f) Sortasi kering

Tahap ini bertujuan untuk memisahkan benda yang tidak

digunakan dan mengurangi kontaminasi yang ada setelah

pengeringan. Setelah melalui proses di atas, simplisia

dimasukkan ke dalam wadah tertutup dan diletakkan di tempat

yang memiliki suhu kamar 15-30 C.

F. Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa

aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam

golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Dengan

diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah

pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Dirjen POM, 2000).

Metode Ekstraksi yang dipakai untuk penelitian ini adalah Maserasi.


Daun Keris Papua (Anthurium kris)
(Anthurium
Maserasi adalah proses kris) simplisia dengan menggunakan
pengekstrakan

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada

temperatur ruangan (kamar). Cairan penyari akan menembus dinding sel


Simplisia Daun Keris Papua (Anthurium kris)
dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif yang akan

larut, karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di


Ekstraksi Maserasi
dalam sel dan di luar sel maka larutan terpekat didesak keluar.

Ekstrak Kental

Uji Fitokimia Uji Toksisitas

UjiUji
Steroid, Terpenoid dan saponin
Uji
Alkaloid Flavonoid Metode BSLT

G. Kerangka Teori

Larva Hidup Larva Mati


Ada Tidak ada
Gambar 3. Skema Uji Toksisitan Ekstrak Daun Keris Papua Dengan
Metode BSLT

H. Kerangka Konsep

Variabel bebas Variabel terikat


Ekstrak DaunUji
Keris
Sitotoksik
Papua (Anthurium
Ekstrak Daun
kris)
Keris Papua (Anthurium kris)denga
Gambar 4. Kerangka Konsep

I. Definisi Operasional Variabel


No Variabel Definisi Cara ukur Skala ukur Hasil ukur
1 Konsentra Konsentrasi V1M1=V2M2 Numerik 500 ppm
si ekstrak larutan uji 250 ppm
etanol dalam ppm (1 125 ppm
daun g/mL) 50 ppm
Anthurium 25 ppm
kris 12,5 ppm
Air Laut
2 Persentase Hasil Jumlah Numerik Persentase
Mortalitas perhitungan larva kematian
larva total larva mati larva
Artemia yang mati dibagi
salina dibagi jumlah
Leach dengan larva
jumlah larva awal
awal dikali dikali
100% untuk 100%
tiap replikasi

3 LC50 Konsentrasi Konsentrasi Kategorik LC50 kurang


suatu zat suatu zat dari
yang yang 1000 ppm
diberikan diberikan termasuk
dalam 24 jam dalam 24 senyawa
pada hewan jam pada toksik. LC50
coba yang hewan coba lebih dari
dapat yang dapat 1000 ppm
membunuh membunuh senyawa
50% hewan 50% hewan tidak toksik.
coba tersebut. coba
tersebut.

Tabel 1. Definisi operasional

Anda mungkin juga menyukai