PENDAHULUAN
Udang memiliki nilai jual yang tinggi sehingga menjadi salah satu produk
ekspor non migas yang memberi pemasukan cukup besar bagi devisa negara. Pada
tahun 2001 udang vaname mulai masuk ke Indonesia sebagai udang introduksi
pemeliharaan relatif singkat yaitu, sekitar 90-100 hari dan kebutuhan protein
pakan tidak terlalu tinggi yaitu 28-32 % sehingga biaya pakan pada sistem
budidaya intesif maupun supra intensif dapat di minimalisir (Haliman dan Adijaya
dalam Taqwa dkk, 2011). Lebih lanjut dikatakan oleh Burhanuddin dalam Riani
dkk (2012), udang vaname juga memiliki nafsu makan yang tinggi sehingga pakan
Menurut Adiwidjaya dalam Riani dkk (2012), udang vaname juga memiliki
dan memiliki tingkat kelangsungan hidup yang tinggi pada saat pemeliharaan
terutama pada pembesaran. Selain itu udang vaname juga dapat hidup pada
salinitas dengan kisaran toleransi yang cukup luas yaitu mulai dari 0 - 50 ppt
ekspor udang mendorong peningkatan kebutuhan akan benih udang sebagai salah
1
satu input dalam budidaya udang. Salah satu upaya yang dilakukan untuk
hidup larva udang terutama pada stadia kritis yaitu stadia zoea mencapai 90 %
taurin melalui bioenkapsulasi pada pakan alami seperti rotifer dan naupli artemia
berasal dari ekstrak bayam yang diberi nama vitomolt. Penggunaan ekstrak bayam
dalam skala besar. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan
pakan buatan sebagai media aplikasi ekstrak bayam. Berdasarkan uji yang telah
dilakukan terbukti bahwa ekstrak bayam dapat diberikan melalui pakan buatan,
2010).
Selama ini penggunaan ekstrak bayam atau yang lebih dikenal dengan
rajungan dan kerabatnya saja. Belum ada riset-riset penggunaan vitomolt untuk
aplikasikan pada semua jenis crustacea dari filum arthropoda. Sehubungan dengan
2
dengan larutan vitomolt terhadap frekuensi molting, pertumbuhan, dan tingkat
dan tingkat kelangsungan hidup larva udang vaname (L. vannamei) setelah di beri
pakan alami artemia yang diperkaya dengan larutan vitomolt. Kegunaan penelitian
ini adalah sebagai pedoman dan bahan informasi bagi pelaku usaha budidaya
maupun yang tidak menggunakan larutan vitomolt, serta sebagai referensi dan
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Haliman dan Adijaya dalam Firman (2014), secara ilmu taksonomi
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Custracea
Ordo : Decapoda
Famili : Panaidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : L. vannamei
Menurut Haliman dan Adijaya dalam Firman (2014), tubuh udang vaname di
bentuk oleh dua cabang (biramous), yaitu exopodite dan endopodite. Vaname
memiliki tubuh berbuku-buku dan aktifitas berganti kulit luar atau eksoskeleton
modifikasi sehingga dapat digunakan untuk makan, bergerak, dan organ sensor
4
seperti antena dan antenula. Menurut Suyanto dan Mudjiman dalam Zakaria
(2010), tubuh udang yang dilihat dari luar terdiri dari bagian, yaitu bagian depan
yang disebut cephalotorax, karena menyatunya bagian kepala dan dada serta
bagian belakang (perut) yang disebut abdomen dan terdapat ekor (uropod) di
ujungnya.
sepajang Peru bagian Utara, melalui Amerika Tengah dan Selatan sampai
Meksiko bagian Utara, yang mempunyai suhu air normal lebih dari 20oC
sepanjang tahun. Udang vaname hidup di habitat laut tropis. Udang dewasa hidup
dan memijah di laut lepas dan larva akan bermigrasi dan menghabiskan masa
larva sampai post larva di pantai, laguna atau daerah mangrove (Zakaria, 2010).
Stadia nauplius adalah stadia yang pertama setelah telur menetas. Stadia ini
memiliki lima sub stadia (Brown dalam Zakaria, 2010). Larva berukuran antara
0,32 – 0,58 mm, sistem pencernaannya belum sempurna dan masih memiliki
cadangan makanan berupa kuning telur (Haliman dan Adijaya dalam Zakaria,
2010).
Stadia zoea terjadi berkisar antara 15 – 24 jam setelah stadia nauplius. Larva
sudah berukuran antara 1,05 – 3,30 mm (Haliman dan Adijaya dalam Zakaria,
2010). Stadia zoea memiliki tiga sub stadia, yang ditandai dengan tiga kali
molting. Tiga tahap molting atau tiga sub stadia itu disebut dengan zoea I, zoea II,
dan zoea III. Stadia ini, larva sudah dapat makan plankton yang mengapung dalam
5
kolom air. Tubuh akan semakin memanjang dan mempunyai karapaks. Dua mata
majemuk dan uropods juga akan muncul (Brown dalam Zakaria, 2010). Lama
waktu dari stadia ini menuju stadia berikutnya berkisar antara 4-5 hari (Haliman
Stadia mysis memiliki durasi waktu yang sama dengan stadia sebelumnya
dan memiliki tiga sub stadia, yaitu mysis I, mysis II, dan mysis III. Perkembangan
telson dan pleopods. Benih pada stadia ini sudah mampu berenang dan mencari
Saat stadia post larva (PL), benih udang sudah tampak seperti udang dewasa.
Umumnya, perkembangan dari telur menjadi stadia post larva dibutuhkan waktu
berkisar antara 12-15 hari, namun semua itu tergantung dari ketersediaan makanan
dan suhu (Brown dalam Zakaria, 2010). Hitungan stadia yang digunakan sudah
6
berdasarkan hari. PL-1 berarti post larva berumur 1 hari. Saat stadia ini, udang
sudah mulai aktif bergerak lurus ke depan dan sifatnya cenderung karnivora.
sudah masuk dalam stadia antara PL-10 sampai PL-15 yang sudah berukuran rata-
Molting adalah fenomena umum pada semua crustacea dan esensial untuk
kompleks dan event yang bersiklus, puncaknya adalah ecdysis atau pelepasan
eksoskeleton (Chang dan Mykles dalam Fujaya dkk, 2013). Sesungguhnya siklus
molting itu sendiri terdiri atas molt, postmolt, intermolt, dan premolt (Kuballa dan
Elizur dalam Fujaya dkk, 2013). Lebih lanjut dikatakan oleh Fujaya dkk (2013),
pada fase molt terjadi proses pelepasan eksoskeleton lama yang keras, pada fase
post molt terbentuk eksoskeleton baru yang masih lunak dan terjadi penyerapan
pada fase intermolt yang merupakan fase terlama dari siklus molting dimana pada
fase ini terjadi regenerasi otot, penyimpanan energi dalam bentuk glikogen dan
lipid diakumulasi dalam hemolimph dan midgut, pada fase premolt terjadi atrophy
Menurut Lockwood dan Welsh dalam Fujaya (2013), terdapat berbagai faktor
yang mengontrol molting, yaitu faktor eksternal seperti cahaya, temperatur, dan
7
ketersediaan makanan. Sedangkan faktor internal antara lain ukuran tubuh yang
molting. Dua hormone utama yang bertanggung jawab terhadap proses molting
crustacea, yaitu molting stimulating hormon (MSH) atau biasa disebut ekdisteroid
yang diproduksi organ-Y dan molting inhibiting hormon (MIH) yang di produksi
organ-X.
metabolisme protein dalam sel. Stimulant ini pertama kali di perkenalkan oleh
Fujaya dkk (2007) dalam risetnya mengenai produksi kepiting cangkang lunak
Pakan alami adalah pakan yang disediakan secara alami dari alam dan
8
untuk benih ikan atau udang dan ikan hias karena pakan alami sangat mudah
dicerna di dalam tubuh. Selain itu nilai gizi pakan alami sangat lengkap dan sesuai
dengan tubuh ikan, tidak menyebabkan penurunan kualitas air pada wadah
mata rantai budidaya ikan terutama pada fase benih. Kepentingan pakan alami
sebagai sumber makanan ikan dapat dilihat antara lain: nilai nutrisinya yang
relatif tinggi, mudah di budidayakan, memiliki ukuran yang relatif sesuai dengan
bukaan mulut ikan terutama pada stadia benih, memiliki pergerakan yang
berkembang biak dengan cepat dalam waktu yang relatif singkat, sehingga
Artemia merupakan salah satu makanan hidup yang paling banyak digunakan
dalam usaha budidaya hewan crustacea seperti udang, kepiting, dan lain-lain.
hanya dapat digunakan dalam bentuk nauplius, tetapi juga dalam bentuk
(Laurens, 2013). Lebih lanjut dikatakan Laurens (2013), dalam menetaskan kista
artemia ada dua metode yang dapat dilakukan yaitu metode dekapsulasi
9
Untuk meningkatkan mutu pakan alami dapat dilakukan pengkayaan atau
untuk meningkatkan kualitas nutrisi dari pakan tersebut. Peningkatan mutu pakan
alami dapat dilihat dari meningkatkan kelangsungan hidup larva dan benih yang
daya tahan tubuh larva (Laurens, 2013). Lebih lanjut dikatakan oleh Watanabe
arthropoda di pengaruhi oleh 2 faktor utama, yaitu frekuensi molting (waktu antar
molting) dan penambahan pertumbuhan (seberapa besar udang tumbuh setiap kali
molting). Tubuh udang ditutupi oleh karapas yang keras, untuk tumbuh dan
tertarik atau meregang. Karapas baru yang tumbuh pada saat pertama setelah
molting sangat lunak dan makin lama makin mengeras menyesuaikan ukuran
tubuh udang. Frekuensi molting pada L. vannamei menurun seiring dengan makin
besarnya ukuran udang. Pada stadium larva terjadi molting setiap 30 – 40 jam
pada suhu 28oC. Sedangkan juvenil dengan MBW 1-5 gram mengalami molting
setiap 4 - 6 hari, selanjutnya pada MBW 15 gram periode molting terjadi sekitar 2
minggu sekali. Kondisi lingkungan dan makanan merupakan faktor utama yang
10
mempengaruhi frekuensi molting. Kondisi lingkungan disini meliputi suhu dan
oksigen terlarut, dimana suhu yang tinggi dapat meningkatkan frekuensi molting,
(kekurangan oksigen).
Faktor yang berpengaruh dalam pertumbuhan antara lain faktor luar meliputi
makanan, daya tahan terhadap lingkungan buruk, parasit dan penyakit (Priatna
presentase jumlah organisme yang hidup dari jumlah yang dipelihara dalam satu
media kultur. Kematian dapat disebabkan oleh faktor internal seperti mortalitas
alamiah dan penyakit, sedangkan faktor eksternal dipengaruhi oleh kualitas air,
sebagai pendukung kehidupan dan pertumbuhan udang vaname. Kualitas air juga
peningkatan bakteri yang merugikan. Parameter kualitas air yang optimal untuk
11
terlarut berkisar antara 5 – 15 ppm, pH (derajat keasaman) berkisar antara 7 – 9,
(NH4+) berkisar antara 0,2 – 2 ppm, ammonia (NH3) < 0,1 ppm, nitrit (NO2-) <
12
III. METODE PENELITIAN
sampai dengan November 2016. Penelitian bertmpat di Balai Benih Ikan Pantai
Tengah.
Alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian tertera pada Tabel 1 berikut.
13
3.3 Materi Penelitian
diperoleh dari hasil pembenihan di Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) Kampal.
Wadah yang digunakan dalam penelitian ini berupa toples dengan volume
dan dibilas dengan air tawar hingga bersih lalu dikeringkan. Kemudian toples
tersebut diisi air hingga penuh dan didesinfeksi dengan klorin 30 µL/L selama
48 jam. Air laut yang akan digunakan didesinfeksi dengan klorin 30 µL/L dan di
aerasi kuat selama 48 jam. Toples yang telah didesinfeksi kemudian diisi air laut
sebanyak 3 L dan diletakkan di dalam bak fiber ukuran 3 x 1 x 0,5 m3 yang telah
diisi air tawar sebanyak 100 L. Setiap toples diberi satu selang aerasi dan batu
proses penetasan menjadi naupli artemia. Cyst artemia yang di kultur sebanyak
14
4 gr/L menggunakan air laut steril dengan salinitas 30 ppt dan diaerasi selama
sumber cahaya. Cyst yang tidak menetas akan mengendap di dasar wadah
dilakukan sesuai kebutuhan selama masa pemeliharaan larva stadia post larva
dan dimasukkan kedalam media pengkayaan yang terbuat dari botol aqua
Pakan yang telah diperkaya dengan larutan vitomolt sesuai dosis setiap
perlakuan, diberikan kepada organisme uji mulai dari pemeliharaan stadia post
15
per wadah sebanyak 1 ekor. Frekuensi pemberian pakan yaitu sebanyak 4 kali
dalam sehari pada pukul 06.00, 12.00, 18.00, dan 24.00 WITA.
Frekuensi ganti kulit atau molting merupakan jumlah ganti kulit yang
dialami oleh udang vaname dalam populasi perlakuan selama satu hari. Dalam
penelitian ini dikumpulkan informasi mengenai waktu dan intensitas ganti kulit
16
3.5.2 Laju pertumbuhan harian (SGR)
Irissanti, 2015) :
Keterangan:
Keterangan :
17
awal, sehingga diperoleh hasil dalam presentase. Pengamatan kelangsungan
hidup udang vaname dihitung dari stadia post larva (PL 5) hingga PL 20 dengan
Keterangan:
Keterangan:
i = Perlakuan (A,B,C,D)
j = Ulangan (1,2,3,4,5)
Jika terjadi pengaruh nyata dari perlakuan, maka akan dilanjutkan dengan uji
18
3.7 Hipotesis
19
DAFTAR PUSTAKA
Firman, S.W. 2014. Pengaruh Aplikasi Rumput Laut (Gracilaria sp) Sebagai
Bioremediator Terhadap Pertumbuhan dan Sintasan Udang Vaname
(Litopenaeus vannamei). Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
20
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin.
Makassar.
Irissanti, H. 2015. Sintasan dan Pertumbuhan Larva Udang Vaname yang Diberi
Mannanoligosakarida (MOS) dengan Dosis Berbeda Melalui Artemia.
Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Sari, D.N. 2015. Sintasan dan Pertumbuhan Larva Udang Vaname yang Diberi
Probiotik (Pseudoalteromonas) 1 UB dengan Dosis Berbeda Melalui
(Artemia sp). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Taqwa, F.H. Mirna, F. Budy T.E. 2011. Performa Pasca Larvae Udang Vaname
(Litopenaeus vannamei) pada Berbagai Lama Masa Adaptasi
Penurunan Salinitas Rendah dengan Penambahan Natrium, Kalium
dan Kalsium. Prosiding Seminar Nasional ke-II Vol 3. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Diponegoro. Semarang
21
Zakaria, A.S. 2010. Manajemen Pembesaran Udang Vaname (Litopenaeus
vannamei) di Tambak Udang Binaan Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Pamekasan. Praktek Kerja Lapang. Fakultas Kedokteran
Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya.
22