Anda di halaman 1dari 22

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Udang memiliki nilai jual yang tinggi sehingga menjadi salah satu produk

ekspor non migas yang memberi pemasukan cukup besar bagi devisa negara. Pada

tahun 2001 udang vaname mulai masuk ke Indonesia sebagai udang introduksi

pengganti udang windu (Penaeus monodon) yang mengalami penurunan produksi.

Udang vaname memiliki keunggulan diantaranya tahan terhadap stress, usia

pemeliharaan relatif singkat yaitu, sekitar 90-100 hari dan kebutuhan protein

pakan tidak terlalu tinggi yaitu 28-32 % sehingga biaya pakan pada sistem

budidaya intesif maupun supra intensif dapat di minimalisir (Haliman dan Adijaya

dalam Taqwa dkk, 2011). Lebih lanjut dikatakan oleh Burhanuddin dalam Riani

dkk (2012), udang vaname juga memiliki nafsu makan yang tinggi sehingga pakan

yang diberikan selalu dimanfaatkan dengan baik untuk pertumbuhannya.

Menurut Adiwidjaya dalam Riani dkk (2012), udang vaname juga memiliki

keunggulan lain seperti mampu beradaptasi terhadap lingkungan bersuhu rendah,

dan memiliki tingkat kelangsungan hidup yang tinggi pada saat pemeliharaan

terutama pada pembesaran. Selain itu udang vaname juga dapat hidup pada

salinitas dengan kisaran toleransi yang cukup luas yaitu mulai dari 0 - 50 ppt

(Adiwidjaya dkk, 2008).

Udang vaname (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu produk

perikanan unggulan Indonesia yang terus berkembang. Tingginya permintaan

ekspor udang mendorong peningkatan kebutuhan akan benih udang sebagai salah

1
satu input dalam budidaya udang. Salah satu upaya yang dilakukan untuk

meningkatkan produksi benih udang adalah dengan meningkatkan kelangsungan

hidup larva udang terutama pada stadia kritis yaitu stadia zoea mencapai 90 %

(Elovaara dalam Jusadi dkk, 2011).

Peningkatan kelangsungan hidup pada stadia zoea diantaranya dilakukan

dengan peningkatan kualitas pakan alami melalui pengkayaan (Enrichment).

Pengayaan adalah pemberian nutrient esensial bagi perkembangan larva, seperti

taurin melalui bioenkapsulasi pada pakan alami seperti rotifer dan naupli artemia

(Jusadi dkk, 2011).

Salah satu terobosan penting adalah ditemukannya stimulan moulting yang

berasal dari ekstrak bayam yang diberi nama vitomolt. Penggunaan ekstrak bayam

yang diberikan dengan cara penyuntikan dirasakan kurang efisien dilakukan

dalam skala besar. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan

pakan buatan sebagai media aplikasi ekstrak bayam. Berdasarkan uji yang telah

dilakukan terbukti bahwa ekstrak bayam dapat diberikan melalui pakan buatan,

dan efektif mempercepat molting dan meningkatkan pertumbuhan (Aslamyah dkk,

2010).

Selama ini penggunaan ekstrak bayam atau yang lebih dikenal dengan

stimulant vitomolt pengaplikasiannya hanya dilakukan pada organisme kepiting,

rajungan dan kerabatnya saja. Belum ada riset-riset penggunaan vitomolt untuk

pertumbuhan dan sintasan udang, sementara stimulant vitomolt dapat pula di

aplikasikan pada semua jenis crustacea dari filum arthropoda. Sehubungan dengan

hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang pengkayaan artemia sp

2
dengan larutan vitomolt terhadap frekuensi molting, pertumbuhan, dan tingkat

kelangsungan hidup larva udang vaname (Litopenaeus vannamei).

1.2 Tujuan dan Kegunaan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui frekuensi molting, pertumbuhan

dan tingkat kelangsungan hidup larva udang vaname (L. vannamei) setelah di beri

pakan alami artemia yang diperkaya dengan larutan vitomolt. Kegunaan penelitian

ini adalah sebagai pedoman dan bahan informasi bagi pelaku usaha budidaya

khususnya, pembudidaya udang vaname mengenai perbandingan pertumbuhan

dan kelangsungan hidup udang vaname yang menggunakan larutan vitomolt

maupun yang tidak menggunakan larutan vitomolt, serta sebagai referensi dan

bahan pembanding bagi penelitian-penelitian selanjutnya mengenai teknologi

budidaya yang tepat dalam budidaya udang vaname.

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Morfologi Udang Vaname

Menurut Haliman dan Adijaya dalam Firman (2014), secara ilmu taksonomi

udang vaname diklasifikasikan sebagai berikut.

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Custracea

Ordo : Decapoda

Famili : Panaidae

Genus : Litopenaeus

Spesies : L. vannamei

Gambar 1. Udang vaname (Litopenaeus vannamei) (Sumber: PPKP 2011).

Menurut Haliman dan Adijaya dalam Firman (2014), tubuh udang vaname di

bentuk oleh dua cabang (biramous), yaitu exopodite dan endopodite. Vaname

memiliki tubuh berbuku-buku dan aktifitas berganti kulit luar atau eksoskeleton

secara periodik (molting). Bagian tubuh udang vaname sudah mengalami

modifikasi sehingga dapat digunakan untuk makan, bergerak, dan organ sensor

4
seperti antena dan antenula. Menurut Suyanto dan Mudjiman dalam Zakaria

(2010), tubuh udang yang dilihat dari luar terdiri dari bagian, yaitu bagian depan

yang disebut cephalotorax, karena menyatunya bagian kepala dan dada serta

bagian belakang (perut) yang disebut abdomen dan terdapat ekor (uropod) di

ujungnya.

2.2 Habitat dan Penyebaran Udang Vaname

Di alam populasi udang vaname dapat ditemukan di Pantai Pasifik Barat,

sepajang Peru bagian Utara, melalui Amerika Tengah dan Selatan sampai

Meksiko bagian Utara, yang mempunyai suhu air normal lebih dari 20oC

sepanjang tahun. Udang vaname hidup di habitat laut tropis. Udang dewasa hidup

dan memijah di laut lepas dan larva akan bermigrasi dan menghabiskan masa

larva sampai post larva di pantai, laguna atau daerah mangrove (Zakaria, 2010).

2.3 Siklus Hidup Udang Vaname

Stadia nauplius adalah stadia yang pertama setelah telur menetas. Stadia ini

memiliki lima sub stadia (Brown dalam Zakaria, 2010). Larva berukuran antara

0,32 – 0,58 mm, sistem pencernaannya belum sempurna dan masih memiliki

cadangan makanan berupa kuning telur (Haliman dan Adijaya dalam Zakaria,

2010).

Stadia zoea terjadi berkisar antara 15 – 24 jam setelah stadia nauplius. Larva

sudah berukuran antara 1,05 – 3,30 mm (Haliman dan Adijaya dalam Zakaria,

2010). Stadia zoea memiliki tiga sub stadia, yang ditandai dengan tiga kali

molting. Tiga tahap molting atau tiga sub stadia itu disebut dengan zoea I, zoea II,

dan zoea III. Stadia ini, larva sudah dapat makan plankton yang mengapung dalam

5
kolom air. Tubuh akan semakin memanjang dan mempunyai karapaks. Dua mata

majemuk dan uropods juga akan muncul (Brown dalam Zakaria, 2010). Lama

waktu dari stadia ini menuju stadia berikutnya berkisar antara 4-5 hari (Haliman

dan Adijaya dalam Zakaria, 2010).

Gambar 2. Siklus hidup udang vaname (Litopenaeus vannamei) (Sumber:


Erwinda 2008)

Stadia mysis memiliki durasi waktu yang sama dengan stadia sebelumnya

dan memiliki tiga sub stadia, yaitu mysis I, mysis II, dan mysis III. Perkembangan

tubuhnya dicirikan dengan semakin menyerupai udang dewasa serta terbentuk

telson dan pleopods. Benih pada stadia ini sudah mampu berenang dan mencari

makanan, baik fitoplankton maupun zooplankton (Brown dalam Zakaria, 2010).

Saat stadia post larva (PL), benih udang sudah tampak seperti udang dewasa.

Umumnya, perkembangan dari telur menjadi stadia post larva dibutuhkan waktu

berkisar antara 12-15 hari, namun semua itu tergantung dari ketersediaan makanan

dan suhu (Brown dalam Zakaria, 2010). Hitungan stadia yang digunakan sudah

6
berdasarkan hari. PL-1 berarti post larva berumur 1 hari. Saat stadia ini, udang

sudah mulai aktif bergerak lurus ke depan dan sifatnya cenderung karnivora.

Umumnya, petambak akan melakukan tebar dengan menggunakan udang yang

sudah masuk dalam stadia antara PL-10 sampai PL-15 yang sudah berukuran rata-

rata 10 mm (Haliman dan Adijaya dalam Zakaria, 2010).

2.4 Molting dan Hormon Molting

Molting adalah fenomena umum pada semua crustacea dan esensial untuk

pertumbuhan, metamorphosis, dan reproduksi. Molting adalah proses yang

kompleks dan event yang bersiklus, puncaknya adalah ecdysis atau pelepasan

eksoskeleton (Chang dan Mykles dalam Fujaya dkk, 2013). Sesungguhnya siklus

molting itu sendiri terdiri atas molt, postmolt, intermolt, dan premolt (Kuballa dan

Elizur dalam Fujaya dkk, 2013). Lebih lanjut dikatakan oleh Fujaya dkk (2013),

pada fase molt terjadi proses pelepasan eksoskeleton lama yang keras, pada fase

post molt terbentuk eksoskeleton baru yang masih lunak dan terjadi penyerapan

air untuk merentangkan eksoskeleton tersebut sehingga ukuran hewan menjadi

lebih besar, selanjutnya terjadi mineralisasi hingga pengerasan eksoskeleton baru,

pada fase intermolt yang merupakan fase terlama dari siklus molting dimana pada

fase ini terjadi regenerasi otot, penyimpanan energi dalam bentuk glikogen dan

lipid diakumulasi dalam hemolimph dan midgut, pada fase premolt terjadi atrophy

otot somatic, resorption eksoskeleton lama dan pembentukan eksoskeleton baru

sebagai persiapan untuk dimulainya fase molt.

Menurut Lockwood dan Welsh dalam Fujaya (2013), terdapat berbagai faktor

yang mengontrol molting, yaitu faktor eksternal seperti cahaya, temperatur, dan

7
ketersediaan makanan. Sedangkan faktor internal antara lain ukuran tubuh yang

memerlukan tempat sebagai ruang gerak. Kedua faktor tersebut dapat

mempengaruhi otak dan menstimulasi organ-Y untuk menghasilkan hormon

molting. Dua hormone utama yang bertanggung jawab terhadap proses molting

crustacea, yaitu molting stimulating hormon (MSH) atau biasa disebut ekdisteroid

yang diproduksi organ-Y dan molting inhibiting hormon (MIH) yang di produksi

organ-X.

Vitomolt merupakan stimulant molting yang di ekstrak dari tanaman bayam

(Amaranthacea tricolor) dan digunakan sebagai hormon dalam meningkatkan

molting untuk pertumbuhan crustacea serta arthropoda melalui proses

metabolisme protein dalam sel. Stimulant ini pertama kali di perkenalkan oleh

Fujaya dkk (2007) dalam risetnya mengenai produksi kepiting cangkang lunak

(soft shell crabs). Vitomolt mengandung hormone fitoekdisteroid (Aslamyah dkk,

2010). Menurut Gunamalai dalam Azikin (2013), selain digunakan sebagai

hormone molting pada crustacea dan arthropoda, ekdisteroid juga digunakan

dalam mengatur fungsi fisiologis seperti pertumbuhan, metamorphosis dan

reproduksi. Setelah hormon di sekresi organ-Y menjadi ecdisone, maka dalam

hemolimph hormon ini dikonversi menjadi hormon aktif 20-hidroxyecdisone, oleh

enzim 20-hidroxyecdisone yang terdapat di epidermis organ-Y dan jaringan tubuh

lainnya. Titer 20-hidroxyecdisone dalam sirkulasi bervariasi sepanjang molting.

2.5 Pakan Alami dan Pengkayaan Pakan Alami

Pakan alami adalah pakan yang disediakan secara alami dari alam dan

ketersediaannya dapat di budidayakan oleh manusia. Pakan alami sangat cocok

8
untuk benih ikan atau udang dan ikan hias karena pakan alami sangat mudah

dicerna di dalam tubuh. Selain itu nilai gizi pakan alami sangat lengkap dan sesuai

dengan tubuh ikan, tidak menyebabkan penurunan kualitas air pada wadah

budidaya (Laurens, 2013).

Ketersediaan pakan alami merupakan faktor yang berperan penting dalam

mata rantai budidaya ikan terutama pada fase benih. Kepentingan pakan alami

sebagai sumber makanan ikan dapat dilihat antara lain: nilai nutrisinya yang

relatif tinggi, mudah di budidayakan, memiliki ukuran yang relatif sesuai dengan

bukaan mulut ikan terutama pada stadia benih, memiliki pergerakan yang

memberikan rangsangan pada ikan untuk memangsanya, memiliki kemampuan

berkembang biak dengan cepat dalam waktu yang relatif singkat, sehingga

ketersediaannya dapat terjamin sepanjang waktu, memerlukan biaya usaha yang

relatif murah (Priyamboko dalam Laurens, 2013).

Artemia merupakan salah satu makanan hidup yang paling banyak digunakan

dalam usaha budidaya hewan crustacea seperti udang, kepiting, dan lain-lain.

khususnya dalam pengelolaan pembenihan. Sebagai makanan hidup, artemia tidak

hanya dapat digunakan dalam bentuk nauplius, tetapi juga dalam bentuk

dewasanya. Kandungan protein pada artemia dewasa yang telah dikeringkan

sebesar 60 % lebih unggul dibandingkan pada nauplius hanya sebesar 47 %

(Laurens, 2013). Lebih lanjut dikatakan Laurens (2013), dalam menetaskan kista

artemia ada dua metode yang dapat dilakukan yaitu metode dekapsulasi

(menggunakan larutan hipokhlorit untuk menghilangkan lapisan luar kista) dan

metode non dekapsulasi (tanpa menggunakan larutan hipokhlorit).

9
Untuk meningkatkan mutu pakan alami dapat dilakukan pengkayaan atau

sering pula disebut bioenkapsulasi. Pengkayaan terhadap pakan alami berfungsi

untuk meningkatkan kualitas nutrisi dari pakan tersebut. Peningkatan mutu pakan

alami dapat dilihat dari meningkatkan kelangsungan hidup larva dan benih yang

dipelihara, meningkatkan pertumbuhan larva dan benih ikan serta meningkatkan

daya tahan tubuh larva (Laurens, 2013). Lebih lanjut dikatakan oleh Watanabe

dalam Laurens (2013), pengkayaan zooplankton untuk meningkatkan mutu dan

nutrisinya dilakukan dengan menggunakan teknik omega yeast (ragi omega).

2.6 Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup

Menurut Firman (2014), pertumbuhan pada udang dan semua anggota

arthropoda di pengaruhi oleh 2 faktor utama, yaitu frekuensi molting (waktu antar

molting) dan penambahan pertumbuhan (seberapa besar udang tumbuh setiap kali

molting). Tubuh udang ditutupi oleh karapas yang keras, untuk tumbuh dan

berkembang harus melalui pergantian karapas atau molting. Selama proses

molting berlangsung, terjadi pemecahan kutikula antara karapas dengan

intercalary sclerite, dimana pada bagian cephalothorax dan anterior appendages

tertarik atau meregang. Karapas baru yang tumbuh pada saat pertama setelah

molting sangat lunak dan makin lama makin mengeras menyesuaikan ukuran

tubuh udang. Frekuensi molting pada L. vannamei menurun seiring dengan makin

besarnya ukuran udang. Pada stadium larva terjadi molting setiap 30 – 40 jam

pada suhu 28oC. Sedangkan juvenil dengan MBW 1-5 gram mengalami molting

setiap 4 - 6 hari, selanjutnya pada MBW 15 gram periode molting terjadi sekitar 2

minggu sekali. Kondisi lingkungan dan makanan merupakan faktor utama yang

10
mempengaruhi frekuensi molting. Kondisi lingkungan disini meliputi suhu dan

oksigen terlarut, dimana suhu yang tinggi dapat meningkatkan frekuensi molting,

sedangkan penyerapan oksigen sangat kurang selama proses molting sehingga

menyebabkan udang mengalami stress bahkan kematian akibat hypoxia

(kekurangan oksigen).

Pertumbuhan menunjukan ukuran panjang maupun berat dalam satuan waktu.

Faktor yang berpengaruh dalam pertumbuhan antara lain faktor luar meliputi

musim, iklim, kualitas air, makanan, kepadatan, kompetisi dan pemangsaan.

Sedangkan faktor dalam meliputi genetika, kemampuan untuk memanfaatkan

makanan, daya tahan terhadap lingkungan buruk, parasit dan penyakit (Priatna

dalam Firman, 2014). Tingkat kelangsungan hidup (survival rate) merupakan

presentase jumlah organisme yang hidup dari jumlah yang dipelihara dalam satu

media kultur. Kematian dapat disebabkan oleh faktor internal seperti mortalitas

alamiah dan penyakit, sedangkan faktor eksternal dipengaruhi oleh kualitas air,

penanganan dan predator (Saprillah dalam Firman, 2014).

2.7 Kualitas Air

Menurut Suwoyo dkk (2010), kualitas air mempunyai peranan penting

sebagai pendukung kehidupan dan pertumbuhan udang vaname. Kualitas air juga

mempunyai dampak yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan udang.

Rendahnya kualitas air pada media pemeliharaan dapat mengakibatkan rendahnya

tingkat pertumbuhan, sintasan dan frekuensi ganti kulit (molting), serta

peningkatan bakteri yang merugikan. Parameter kualitas air yang optimal untuk

budidaya udang vaname menurut Whetstone dalam Firman (2014), oksigen

11
terlarut berkisar antara 5 – 15 ppm, pH (derajat keasaman) berkisar antara 7 – 9,

salinitas berkisar antara 5 – 35 ppt, suhu berkisar antara 26 – 29oC, ammonium

(NH4+) berkisar antara 0,2 – 2 ppm, ammonia (NH3) < 0,1 ppm, nitrit (NO2-) <

0,23 ppm, serta nitrat (NO3-) berkisar antara 0,2 – 10 ppm.

12
III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan selama 2 bulan dimulai pada bulan September

sampai dengan November 2016. Penelitian bertmpat di Balai Benih Ikan Pantai

(BBIP) Kampal, Kecamatan Parigi, Kabupaten Parigi Moutong, Propinsi Sulawesi

Tengah.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian tertera pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian.


No Nama Alat Jumlah Kegunaan
1. Timbangan analitik 1 buah Menimbang organisme uji
2. Mistar 1 buah Mengukur panjang organisme uji
3. Refraktometer 1 buah Mengukur salinitas
4. Termometer 1 buah Mengukur suhu perairan
5. pH meter 1 buah Mengukur pH perairan
6. DO meter 1 buah Mengukur oksigen terlarut
7. Pipet tetes 1 buah Mengukur dosis vitomolt
8. Botol aqua 1,5 ml 3 buah Wadah pengkayaan artemia
9. Saringan kasa 120 µ 1 buah Menyaring kista / naupli artemia
10. Bak fiber 1 buah Wadah penempatan toples
11. Toples 5 L 20 buah Wadah pemeliharaan organisme uji
12. Aerator set 7 buah Penyuplai oksigen
13. Kamera digital 1 buah Dokumentasi
14. Alat tulis menulis 1 buah Mencatat data

Bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian tertera pada tabel 2.

Tabel 2. Bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian.


No Nama Bahan Spesifikasi Kegunaan
1. Udang vaname Post Larva 5 Sebagai organisme uji

2. Artemia supreme 4 gr Sebagai pakan


plus.

3. Vitomolt 125 mg Sebagai hormon pengkaya artemia

13
3.3 Materi Penelitian

3.3.1 Organisme uji

Organisme uji yang akan digunakan adalah larva udang vaname

(Litopenaeus vannamei) stadia post larva (PL 5) dengan padat penebaran 1

individu pada masing-masing wadah penelitian. Larva udang vaname tersebut

diperoleh dari hasil pembenihan di Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) Kampal.

3.3.2 Wadah dan media penelitian

Wadah yang digunakan dalam penelitian ini berupa toples dengan volume

5 L sebanyak 20 buah. Toples tersebut dicuci terlebih dahulu dengan deterjen

dan dibilas dengan air tawar hingga bersih lalu dikeringkan. Kemudian toples

tersebut diisi air hingga penuh dan didesinfeksi dengan klorin 30 µL/L selama

48 jam. Air laut yang akan digunakan didesinfeksi dengan klorin 30 µL/L dan di

aerasi kuat selama 48 jam. Toples yang telah didesinfeksi kemudian diisi air laut

sebanyak 3 L dan diletakkan di dalam bak fiber ukuran 3 x 1 x 0,5 m3 yang telah

diisi air tawar sebanyak 100 L. Setiap toples diberi satu selang aerasi dan batu

aerasi yang terhubung dengan instalasi aerasi untuk meningkatkan kadar

oksigen terlarut dalam media pemeliharaan larva udang vaname.

3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Kultur artemia sp

Kultur artemia sp dilakukan di laboratorium Balai Benih Ikan Pantai

Kampal dengan metode dekapsulasi yakni menggunakan larutan hipoklorit

untuk membantu proses penipisan cangkang cyst artemia sehingga mempercepat

proses penetasan menjadi naupli artemia. Cyst artemia yang di kultur sebanyak

14
4 gr/L menggunakan air laut steril dengan salinitas 30 ppt dan diaerasi selama

24 jam. Pemanenan dilakukan dengan terlebih dahulu mematikan aerasi,

kemudian ¾ bagian wadah penetasan ditutup menggunakan plastik berwarna

hitam dan diberi pencahayaan menggunakan lampu TL 60 watt pada bagian

bawah wadah penetasan selama 20 menit hingga naupli artemia mendekati

sumber cahaya. Cyst yang tidak menetas akan mengendap di dasar wadah

penetasan dan cangkang artemia akan mengapung. Selanjutnya naupli artemia

dipanen dengan cara disifon menggunakan selang aerasi. Kultur artemia

dilakukan sesuai kebutuhan selama masa pemeliharaan larva stadia post larva

(PL 5) hingga panen (PL 20).

3.4.2 Pengkayaan artemia dengan vitomolt

Pakan artemia yang telah ditetaskan dari 4 gr kista kemudian di panen

dan dimasukkan kedalam media pengkayaan yang terbuat dari botol aqua

bervolume 1 L kemudian di beri vitomolt sesuai dosis untuk setiap perlakuan,

yaitu A (tanpa vitomolt sebagai kontrol), B (pemberian vitomolt dengan dosis

0,2 mg / 1 L wadah pengkayaan), C (pemberian vitomolt dengan dosis 0,4 mg /

1 L wadah pengkayaan), dan D (pemberian vitomolt dengan dosis 0,6 mg/ 1 L

wadah pengkayaan). Pengkayaan artemia di dalam masing-masing wadah

pengkayaan dilakukan selama 4 jam.

3.4.3 Pemberian pakan dan pemeliharaan organisme uji

Pakan yang telah diperkaya dengan larutan vitomolt sesuai dosis setiap

perlakuan, diberikan kepada organisme uji mulai dari pemeliharaan stadia post

larva (PL 5) hingga PL 20 sebanyak 8 – 10 ekor/larva dengan jumlah individu

15
per wadah sebanyak 1 ekor. Frekuensi pemberian pakan yaitu sebanyak 4 kali

dalam sehari pada pukul 06.00, 12.00, 18.00, dan 24.00 WITA.

3.4.4 Pengukuran kualitas air

Kualitas air dalam penelitian sangat penting untuk menunjang

pertumbuhan organisme uji. Parameter kualitas air yang diamati selama

penelitian meliputi salinitas, suhu, DO dan pH. Pengukuran parameter kualitas

air yang meliputi salinitas, DO dan pH dilakukan dalam seminggu sekali.

Sedangkan suhu media pemeliharaan diukur setiap hari.

3.4.5 Perlakuan dan rancangan penelitian

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4

perlakuan dan masing-masing 5 ulangan, sehingga banyaknya satuan percobaan

adalah 20 unit. Penempatan tiap satuan penelitian dilakukan secara acak,

perlakuan yang dimaksud antara lain sebagai berikut:

Perlakuan A = Tanpa vitomolt (kontrol)

Perlakuan B = Pemberian vitomolt dosis 0,2 mg/1L wadah pengkayaan

Perlakuan C = Pemberian vitomolt dosis 0,4 mg/1L wadah pengkayaan

Perlakuan D = Pemberian vitomolt dosis 0,6 mg/1L wadah pengkayaan

3.5 Peubah yang diamati

3.5.1 Frekuensi molting

Frekuensi ganti kulit atau molting merupakan jumlah ganti kulit yang

dialami oleh udang vaname dalam populasi perlakuan selama satu hari. Dalam

penelitian ini dikumpulkan informasi mengenai waktu dan intensitas ganti kulit

dari stadia post larva (PL 5) hingga PL 20 (Akbar, 2008).

16
3.5.2 Laju pertumbuhan harian (SGR)

Laju pertumbuhan harian atau laju pertumbuhan spesifik (Spesific Growth

Rate/SGR) dihitung pada akhir perlakuan dengan rumus (Huissman dalam

Irissanti, 2015) :

Keterangan:

SGR = Laju pertumbuhan harian (%)

Wt = Bobot rata-rata pada akhir penelitian (mg)

Wo = Bobot rata-rata pada awal penelitian (mg)

t = Periode pemeliharaan (hari)

3.5.3 Pertumbuhan panjang mutlak

Pertumbuhan panjang mutlak dihitung pada akhir perlakuan dengan

rumus (Effendie dalam Irissanti, 2015) :

Keterangan :

L = Pertumbuhan panjang mutlak (mm)

Lt = Panjang rata-rata pada akhir perlakuan (mm)

Lo = Panjang rata-rata pada awal perlakuan (mm)

3.5.4 Pengamatan kelangsungan hidup (SR)

Kelangsungan hidup (Survival Rate) udang vaname diamati setelah

penelitian berakhir. dengan membandingkan antara populasi akhir dan populasi

17
awal, sehingga diperoleh hasil dalam presentase. Pengamatan kelangsungan

hidup udang vaname dihitung dari stadia post larva (PL 5) hingga PL 20 dengan

rumus Effendi dalam Sari (2015):

Keterangan:

SR = Tingkat kelangsungan hidup (%)

Nt = Jumlah udang pada akhir penelitian (ekor)

No = Jumlah udang pada awal penelitian (ekor)

3.6 Analisis Data

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan model

matematik menurut Steel dan Torrie dalam Akbar (2008) adalah:

Keterangan:

Yij =Pengamatan dari perlakuan ke-i ulangan ke-j

µ= Nilai tengah populasi

Ʈi= Galat perlakuan ke-i ulangan ke-j

εij=Galat perlakuan ke-i ulangan ke-j

i = Perlakuan (A,B,C,D)

j = Ulangan (1,2,3,4,5)

Jika terjadi pengaruh nyata dari perlakuan, maka akan dilanjutkan dengan uji

beda nyata terkecil (BNT).

18
3.7 Hipotesis

Pengkayaan artemia sp dengan larutan vitomolt menggunakan dosis 0,6 mg /

1 L wadah pengkayaan dapat mempercepat proses molting serta meningkatkan

pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva udang vaname (L. vannamei).

19
DAFTAR PUSTAKA

Adiwidjaya, D. Supito. Iwan, S. 2008. Penerapan Teknologi Budidaya Udang


Vaname (L. Vannamei) Semi-Intensif Pada Lokasi Tambak Salinitas
Tinggi. Media Budidaya Air Payau Perekayasaan, (7).

Akbar, D. 2008. Upaya Peningkatan Produktivitas Pendederan Lobster Air


Tawar (Cherax quadricarinatus) Pada Berbagai Kepadatan Dalam
Akuarium Dengan Lantai Ganda, Serta Penerapan Sistem Resirkulasi.
Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

Aslamyah, S. Yushinta, F. 2010. Stimulasi Molting dan Pertumbuhan Kepiting


Bakau (Scylla sp) Melalui Aplikasi Pakan Buatan Berbahan Dasar
Limbah Pangan yang Diperkaya dengan Ekstrak Bayam. Jurnal Ilmu
Kelautan. Vol 15 (3) 170-178.

Aslamyah, S. Yushinta, F. 2010. Respon Molting, Pertumbuhan, dan Komposisi


Kimia Tubuh Kepiting Bakau Pada Berbagai Kadar Karbohidrat-
Lemak Pakan Buatan yang Diperkaya dengan Vitomolt. Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Azikin, F. 2013. Pengaruh Berbagai Dosis Vitomolt yang Diberikan Melalui


Pakan Hidup Terhadap Sintasan Larva Rajungan (Portunus
pelagicus) pada Stadia Zoea. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Erwinda, Y.E. 2008. Pembenihan Udang Putih (Penaeus vannamei) Secara


Intensif. Tugas Bioteknologi Hewan. Sekolah Ilmu dan Teknologi
Hayati. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Firman, S.W. 2014. Pengaruh Aplikasi Rumput Laut (Gracilaria sp) Sebagai
Bioremediator Terhadap Pertumbuhan dan Sintasan Udang Vaname
(Litopenaeus vannamei). Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Fujaya, Y. DD, T. Hasnidar. 2013. Pengaruh Siklus Bulan Terhadap Dinamika


Hormon Ecdysteroid Kaitannya dengan Aktivitas Molting Kepiting
Bakau (Scylla olivacea) pada Budidaya Kepitng Cangkang Lunak.

20
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin.
Makassar.

Irissanti, H. 2015. Sintasan dan Pertumbuhan Larva Udang Vaname yang Diberi
Mannanoligosakarida (MOS) dengan Dosis Berbeda Melalui Artemia.
Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

Jusadi, D. Syarifah, R. Ing, M. Julie, E. 2011. Peningkatan Kelangsungan Hidup


dan Perkembangan Larva Udang Putih Melalui Pengayaan Rotifera
dengan Taurin. Jurnal Akuakultur Indonesia 10 (2), 131-136.

Laurens, F.M. 2013. Pengaruh Frekuensi Pemberian Vitomolt Melalui


Pengkayaan Artemia Terhadap Sintasan Larva Rajungan (Portunus
pelagicus) Stadia Megalopa. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

PPKP. 2011. Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Materi


Penyuluhan. Jakarta.

Riani, H. Rita, R. Walim, L. 2012. Efek Pengurangan Pakan Terhadap


Pertumbuhan Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) PL-21 yang
Diberi Bioflok. Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol 3, No 3, 207-211.

Sari, D.N. 2015. Sintasan dan Pertumbuhan Larva Udang Vaname yang Diberi
Probiotik (Pseudoalteromonas) 1 UB dengan Dosis Berbeda Melalui
(Artemia sp). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

Suwoyo, H.S. Markus, M. 2010. Aplikasi Probiotik dengan Konsentrasi Berbeda


pada Pemeliharaan Udang Vaname (Litopenaeus vannamei).
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. Balai Riset Perikanan
Budidaya Air Payau. Maros. Sulawesi Selatan.

Taqwa, F.H. Mirna, F. Budy T.E. 2011. Performa Pasca Larvae Udang Vaname
(Litopenaeus vannamei) pada Berbagai Lama Masa Adaptasi
Penurunan Salinitas Rendah dengan Penambahan Natrium, Kalium
dan Kalsium. Prosiding Seminar Nasional ke-II Vol 3. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Diponegoro. Semarang

21
Zakaria, A.S. 2010. Manajemen Pembesaran Udang Vaname (Litopenaeus
vannamei) di Tambak Udang Binaan Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Pamekasan. Praktek Kerja Lapang. Fakultas Kedokteran
Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya.

22

Anda mungkin juga menyukai