PERAIRAN
Proses-proses, dari awal pembentukan sampai pengelolaan dari suatu kawasan konservasi,
pada dasarnya mengikuti 10 langkah sebagai berikut:
1) Survei lapang (REA, Resource and Ecological Assessment);
2) Analisis ancaman/peluang;
3) Seleksi dan rekomendasi;
4) Konsultasi masyarakat;
5) Penetapan & penataan batas;
6) Zonasi;
7) Rencana pengelolaan;
8) Badan pengelola;
9) Monitoring sukses/kegagalan;
10) Pengelolaan adaptif.
Proses terbentuknya kawasan selalu dimulai dari survei lapang, sebagai klarifikasi atau
identifikasi kelayakan suatu wilayah dicalonkan sebagai kawasan konservasi (perairan). Survei lapang
ini akan melibatkan ahli biologi, ekologi dan sosial, untuk melakukan penilaian sumberdaya dan
ekologi (resource & ecological assessment). Survei intensif untuk mempersiapkan Kawasan
Konservasi Perairan di Indonesia, pertama kali dilakukan antara tahun 1980 – 1982, oleh IUCN/WWF
Program bersama Departemen Kehutanan. Hasil survei dilaporkan dalam bentuk Marine Data Atlas
dan rekomendasi calon Kawasan Konservasi Perairan, seperti yang disajikan pada Tabel 7.3.
Terkait dengan zonasi, suatu kawasan konservasi bisa dibedakan dalam dua tipe, ialah:
kawasan tanpa pemanfaatan dan kawasan dimana sebagian wilayah di dalamnya bisa dimanfaatkan
secara terbatas. Pada kasus yang pertama, kawasan konservasi dikatakan hanya mempunyai satu
zona, sedangkan kawasan kedua paling tidak ada dua wilayah yang berbeda, zona dimana segala
bentuk pemanfaatan dilarang dan sebagian lagi dimana pemanfaatan terbatas masih
memmungkinkan untuk dilakukan.
Zona bisa didefinisikan sebagai suatu wilayah fungsional tertentu dengan batas wilayah yang
jelas dan mempunyai tujuan tertentu yang diimplementasikan melalui aturan atau ketentuan
tertentu. Sebagai contoh, wilayah larang-ambil yang sudah kita diskusikan pada bab sebelumnya,
ialah suatu wilayah yang mempunyai tujuan fungsional untuk merpebaiki habitat dan stok ikan,
dengan aturan pelarangan untuk melakukan kegiatan pengambilan (ekstraktif). Zonasi bisa
didefinisikan sebagai usaha (termasuk teknik rekayasa) untuk membagi suatu wilayah pada kawasan
konservasi menjadi beberapa zona fungsional yang berbeda.
Istilah zonasi banyak digunakan dalam sistem penataan ruang, seperti ketentuan pada
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Undang-Undang Nomor 27 tahun
2007 juga membahas zonasi khususnya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.
Perairan laut kita dibagi paling tidak menjadi 3 (tiga) wilayah administrasi yang berbeda, ialah:
wilayah Administrasi Kabupaten/Kotamadya sampai batas 4 mil pertama dari pantai, wilayah
kewenangan propinsi antara 4 – 12 mil dari pantai, dan wilayah kewenangan nasional yang berada
diluar wilayah 12 mil dari pantai. Contoh lain dari zonasi ialah Keputusan Menteri Pertanian Nomor
392/Kpts/IK.120/4/99 tentang jalur-jalur penangkapan ikan – istilah jalur pada keputusan ini
mempunyai pengertian yang hampir sama dengan zona. Melalui ketentuan tersebut, wilayah
penangkapan ikan di laut dibagi menjadi 4 (empat) jalur, ialah:
• Jalur Ia, ialah perairan pantai yang diukur dari permukaan air laut pada saat surut yang
terendah sampai dengan 3 (tiga) mil laut;
• Jalur Ib, ialah perairan pantai di luar 3 (tiga) mil laut sampai dengan 6 (enam) mil laut;
• Jalur II, ialah meliputi perairan di luar Jalur Ia dan Ib, sampai dengan 12 (dua belas) mil laut
ke arah laut dan
• Jalur III, ialah meliputi perairan di luar Jalur Penangkapan Ikan II sampai dengan batas terluar
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI);
Penentuan zonasi atau jalur-jalur penangkapan ikan ini bertujuan untuk mengatur kegiatan
penangkapan ikan oleh berbagai jenis alat tangkap yang berbeda, agar tidak terjadi tumpang tindih,
dan untuk menjaga kelestarian stok sumber daya ikan. Dengan demikian, dalam zonasi, paling tidak
ada tiga hal dasar, ialah: wilayah dengan batas yang jelas, tujuan dibentuknya zonasi, dan aturan
dalam satu zona.
Kawasan konservasi dibedakan dari kawasan lain di luarnya karena adanya aturan
pemanfaatan yang lebih ketat di dalam kawasan. Jenis aktifitas yang diatur bisa dibedakan menjadi 4
(empat) kategori, ialah: (1) penelitian non-ekstraktif, (2) penelitian ekstraktif, (3) kunjungan non-
ekstraktif, dan (4) kunjungan ekstraktif. Penelitian non-ekstraktif bisa dikatakan sebagai semua
aktifitas penelitian observatif dan pengukuran lainnya yang tidak menyebabkan kerusakan spesies
atau habitat pada kawasan. Penelitian ekstraktif, sebaliknya, bisa mengambil atau membawa keluar
objek penelitian dalam jumlah atau kisaran yang tidak menyebabkan perubahan nyata pada
kawasan. Kunjungan non-ekstraktif biasa dilakukan melalui kegiatan eko-wisata atau pendidikan.
Pada kegiatan ini, jumlah kunjungan ke dalam kawasan relatif lebih besar dibandingkan dengan pada
penelitian non-ekstraktif maupun ekstraktif. Kunjungan ekstraktif ialah aktifitas dengan tujuan untuk
mengambil (terutama sumber daya) dari dalam kawasan – menangkap ikan di dalam kawasan ialah
termasuk salah satu kegiatan ekstraktif yang paling umum pada Kawasan Konservasi Perairan. Suatu
kawasan konservasi tertentu hanya memungkinkan untuk melakukan aktifitas 1 dan 2 secara
terbatas. Beberapa jenis kawasan mengijinkan kegiatan 1 secara bebas, tapi kegiatan 3 memerlukan
ijin khusus. Sedangkan kawasan lainnya lebih difokuskan untuk menerima kegiatan 3 yang lebih
banyak dibandingkan dengan kegiatan 4. Bisa juga, semua aktifitas dari 1 – 4 bisa dilakukan (dengan
ijin), namun masing-masing sudah ditentukan pada zona tertentu di dalam kawasan. Untuk tujuan
ini, zonasi dalam kawasan konservasi menjadi sangat penting dan vital dalam menerima kompromi
antara kepentingan perlindungan keanekaragaman hayati dan kebutuhan masyarakat untuk
memanfaatkan kawasan konservasi.
Tabel 8.1 menyajikan 3 (tiga) zona yang berbeda dari suatu kawasan konservasi. Setiap
aktifitas pada masing-masing zona bisa diidentifikasi ke dalam salah satu ketentuan berikut: tidak
diijinkan, perlu ijin, atau tidak diperbolehkan. Ada aktifitas tertentu yang tidak diijinkan untuk
dilakukan pada salah satu zona, sementara kegiatan tersebut diperbolehkan untuk dilakukan pada
zona yang lain. Pada zona tertentu, suatu kegiatan memerlukan ijin dari pengelola. Ijin diberikan
sampai batas frekuensi kegiatan tidak memberikan dampak perubahan pada kawasan. Ketika
frekeunsi atau intensitas suatu kegiatan sudah berdampak pada perubahan kawasan, pengajuan ijin
baru akan dihentikan dan status kegiatan menjadi tidak diijinkan. Sebagai contoh, menyelam di
Pulau Sipadan memerlukan ijin khusus dari pengelola kawasan. Ijin pada awalnya diberikan setelah
menyelam memenuhi beberapa aturan dasar tertentu – penyelam ialah “certified diver” sampai
tingkat advance-open water dan mempunyai pengalaman menyelam lebih dari 20 jam. Ketika jumlah
penyelam mencapai jumlah 200 orang per hari, ijin dihentikan dan kegiatan tambahan penyelaman
tidak mendapat ijin.
Pada Tabel 8.1, Zona – A ialah wilayah dengan tingkat perlindungan tertinggi dibandingkan
dua zona lainnya. Pada zona ini, kegiatan penelitian non-ekstraktif, penelitian ekstraktif dan
kunjungan non-ekstraktif (seperti wisata) memerlukan ijin. Artinya, ketiga kegiatan tersebut bisa
diijinkan atau tidak diijinkan. Sedangkan aktifitas ekstraktif tidak diijinkan untuk dilakukan. Pada
Tabel 8.1 Tiga jenis zona yang sering terdapat di dalam suatu kawasan konservasi, masing-masing
dengan jenis kegiatan yang diperbolehkan, perlu ijin dan/atau dilarang dilakukan.
Tidak diijinkan
Tidak diijinkan
Tidak diijinkan
Dipebolehkan
Dipebolehkan
Dipebolehkan
No Aktifitas Perlu Ijin
Perlu Ijin
Perlu Ijin
Zona –A Zona – B Zona – C
1 Penelitian non-
X X X
ekstraktif
2 Penelitian ekstraktif X X X
3 Kunjungan non-ekstrak-
X X X
tif
4 Kunjungan ekstraktif X X X
Berbagai zona pada Kawasan Konservasi Perairan bisa dipahami melalui model sederhana di
atas. Pertama, zonasi mencakup pembagian wilayah dalam suatu kawasan bagi peruntukkan yang
berbeda. Artinya, setiap zona mempunyai ciri walayah dengan batas yang jelas, dan peruntukkan
fungsional dari wilayah tersebut. Kedua, setiap zona mempunyai aturan pembatasan, limitations.
Setiap aktifitas di dalam suatu zona akan termasuk dalam ketentuan boleh, perlu ijin atau dilarang
untuk dilakukan. Sesuai dengan aturan pengelolaan, masing-masing zona sering diberi nama
tersendiri yang mencirikan status pengelolaan zona tersebut. Sebutan zona inti ditujukan bagi
wilayah di dalam kawasan dengan perlindungan tertinggi – zona ini sering disebut dengan istilah
“no-take, no-go”. Sedangkan zona pemanfaatan terbatas ialah wilayah dimana tingkat perlindungan
relatif rendah, dibandingkan zona inti. Suatu zona diantara keduanya biasa disebut dengan istilah
zona penyangga, buffer zone. Zona penyangga bisa disebut sebagai wilayah cadangan untuk
melindungi zona inti dari pengaruh aktifitas manusia.
Zona pemanfaatan
No Aktifitas/Zona
Zona rimba
zona lain
zona inti
1 Penelitian penunjang pengelolaan ijin ya ya ya
2 Penelitian penunjang pengembangan ijin ijin ya Ya
3 Penelitian penunjang pemanfaatan ijin ijin ya ya
4 Pengembangan penunjang pemanfaatan ijin ijin ya ya
5 Kegiatan penunjang budidaya ijin ijin ya ya
6 Kegiatan pendidikan ijin ya ya ya
7 Kegiatan Ilmu pengetahuan ijin ya ya ya
8 Pembinaan habitat tidak ijin ya ya
9 Pembinaan populasi satwa tidak ijin ya ya
10 Wisata alam terbatas tidak ijin ya ya
11 Wisata alam & rekreasi tidak tidak ya ya
12 Pemukiman nelayan tidak tidak tidak ijin(?)
13 Ekstraksi (menangkap ikan) tidak tidak tidak ijin(?)
14 Aktifitas perahu lewat (pass) ijin(?) ya ya ya
15 Aktifitas budidaya terbatas tidak tidak tidak ijin(?)
Semua ketentuan zonasi pada UU No. 5 tahun 1990 dan PP No. 68 tahun 1998 diterapkan
paling tidak pada masing-masing kawasan taman nasional di Indonesia. Sampai saat ini, jumlah
taman nasional di Indonesia mencapai 40 unit. Dari jumlah tersebut 9 unit diantaranya mempunyai
wilayah laut, ialah:
• Taman Nasional Ujung Kulon – Jawa Barat;
• Taman Nasional Kepulauan Seribu – DKI Jakarta;
• Taman Nasional Karimun Jawa – Jawa Tengah;
• Taman Nasional Bali Barat – Bali;
• Taman Nasional Komodo – Nusa Tenggara Timur;
• Taman Nasional Bunaken – Sulawesi Utara;
• Taman Nasional Taka Bonerate – Sulawesi Selatan;
• Taman Nasional Wakatobi – Sulawesi Tenggara;
• Taman Nasional Teluk Cendrawasih – Papua
Gambar 8.1 Wilayah darat dan perairan aut Taman Nasional Komodo yang terbagi dalam 10 zona
berbeda – zona: inti, rimba daratan, rimba perairan, pemanfaatan wisata daratan,
pemanfaatan wisata bahari, pemanfaatan tradisional daratan, pemanfaatan
tradisional bahari, pemukiman masyarakat tradisional, pemanfaatan khusus penelitian
dan pendidikan, dan zona pemanfaatan khusus bahari (Sumber: SK DitJen PHKA No.
65/Kpts/DJ-V/2001).
Status suatu kegiatan di seluruh zona Taman Nasional hanya terdiri dari dua kategori, ialah:
boleh dilakukan tapi harus dengan ijin dan persyaratan tertentu, dan kegiatan yang dilarang
dilakukan pada zona tertentu. Kategori dan status kegiatan disajikan pada Tabel 8.3. Pada dasarnya,
semua kegiatan di dalam kawasan harus mendapat ijin dari pengelola kawasan. Pengelola, melalui
petugas yang ditunjuk, akan menentukan apakah jenis kegiatan tersebut boleh dilakukan atau
dilarang. Seorang nelayan, baik yang bermukim di dalam kawasan atau nelayan dari sekitar kawasan,
harus melapor ke dalam salah satu pos yang terdapat di dalam kawasan. Petugas akan mencatat asal
nelayan, jenis dan lokasi kegiatan yang akan dilakukan. Pada saat yang sama petugas akan
menjelaskan aturan yang berlaku pada zona yang akan menjadi kegiatan nelayan.
Tabel 8.3 Kategori dan status kagiatan (boleh dengan ijin atau dilarang dilakukan) pada masing-
masing zona di dalam kawasan Taman Nasional Komodo
penelitian, pendidikan
Zona pemukiman ma-
Zona Rimba Daratan
Zona pemanfaatan -
syarakat tradisional
Zona pemanfaatan
Zona pemanfaatan
Zona pemanfaatan
Zona pemanfaatan
Zona pemanfaatan
Zona rimba bahari
tradisional bahari
pariwisata bahari
tradisional darat
Pariwisata darat
khusus bahari
No Aktifitas/Zona
zona inti
1 Pendidikan Ijin Ijin Ijin Ijin Ijin Ijin Ijin Ijin Ijin Ijin
2 Penelitian ilmiah Ijin Ijin Ijin Ijin Ijin Ijin Ijin Ijin Ijin Ijin
3 Wisata alam terba tas Tidak Ijin Ijin Ijin Ijin Ijin Ijin Ijin Ijin Ijin
4 Wisata alam inte nsif Tidak Tidak Tidak ijin ijin ijin ijin ijin ijin ijin
5 Penduduk lokal - ambil kayu Tidak Tidak - Tidak - Ijin - Ijin Tidak -
6 Nelayan lokal - ambil ikan Tidak - Tidak - Tidak - Ijin - Tidak Ijin
7 Membangun rumah - p. asli Tidak Tidak - Tidak - Tidak - Ijin Tidak -
8 memperbaiki rumah - p. asli Tidak Tidak - Tidak - Tidak - Ijin Tidak -
Pendidikan, latihan,
9
rehabilitasi Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ijin Ijin
Menangkap ikan - alat ramah
10 l. Tidak - Tidak - Tidak - Tidak - Tidak Ijin
Pengembangan fasilitas
12 wisata Tidak Tidak Tidak Ijin Ijin Ijin Ijin Ijin Tidak -
13 Membangun Jetty Tidak - - - Ijin - Ijin - Tidak -
Membangun rumah –
14 pendatang Tidak Tidak - Tidak - Tidak - Tidak Tidak -
Seperti kita ketahui, berdasarkan ketentuan dalam IUCN, kawasan konservasi dibedakan
dalam 6 (enam) kategori. Hasil evaluasi yang dilakukan pada tahun 1994, Taman Nasional di
Indonesia termasuk dalam kategori II (National Park). Sebagai komitmen dari CBD (UU No. 5 tahun
1994), Pemerintah Indonesia secara berkala akan melaporkan perkembangan kawasan konservasi di
Indonesia. Laporan tersebut dibuat dan disampaikan oleh beberapa kementerian secara koordinatif
Tabel 8.4 Tipe pemanfaatan dan jenis perijinan terkait dengan konservasi dan pemenfaatan
kawasan dalam zona yang berbeda (Sumber: dianalisis dari G. Kelleher, 1999)
Tipe Pemanfaatan Kawasan Tipe Perijinan Dalam Kawasan
No-go, tidak boleh ada kunjungan ke dalam Allowed, bisa dilakukan tanpa membutuhkan ijin
kawasan khusus oleh pengelola kawasan;
No-take, wilayah larang-ambil – tipe kunjungan Allowed, subject to permit with unlimited
ke dalam kawasan tanpa kegiatan pengambilan availability – bisa dilakukan dengan ijin dan
(ekstraktif) hampir semua permohonan ijin akan dipenuhi;
Restricted take, pemanfaatan terbatas – kegiatan Allowed, subject to permit with limited
pengambilan (ekstraktif) yang terbatas, seperti availability – bisa dilakukan dengan ijin yang
menangkap ikan untuk kebutuhan keluarga terbatas
(bukan perikanan komersial)
Prohibited – tidak diijinkan/dilarang
Restricted construction, pembangunan terbatas,
seperti jetty atau fasilitas wisata (akomodasi,
restaurant)
Tabel 8.5 Luas wilayah di dalam kawasan Taman Nasional Komodo yang termasuk dalam kategori II
menurut IUCN (Sumber: dianalisis dari SK DitJen PHKA No. 65/Kpts/DJ-V/2001 tanggal 30
Mei 2001)
%-
Zona dalam Taman Nasional Kategori Luas %- No- Zona-
kumulati No-go
Komodo IUCN (ha) Luas take Ekstraktif
f
Inti II 31.257 17,1 17,1 X X
Rimba daratan II 23.529 12,8 29,9 X
Rimba bahari II 34.612 18,9 48,8 X
Pemanfaatan wisata daratan II 11.161 6,1 54,9 X
Pemanfaatan wisata bahari II 1.658 0,9 55,8 X
Pemanfaatan Khusus
II 1.146 0,6 56,4 X
Penelitian dan Pendidikan
Pemanfaatan Tradisional
VI 1.112 0,6 57,0 X
Daratan
Pemanfaatan tradisional
VI 15.878 8,7 65,7 X
bahari
Pemukiman Masyarakat
VI 374 0,2 65.9 X
Tradisional
Pemanfaatan Khusus Pelagis VI 62.568 34,1 100.0 X
TOTAL 183.295 100,0
Tabel 8.6 Kategori dan status kagiatan (boleh dengan ijin atau dilarang dilakukan) pada masing-
masing zona di dalam kawasan Kawasan Konservasi Perairan
perikanan
Zona pemanfaatan
berkelanjutan
No Aktifitas/Zona
zona lain
zona inti
Zona
Alder J., N. A., Sloan, & H. Uktolseya (1994). "Advances in Marine Protected Area Management in
Indonesia: 1988 - 1993." Ocean & Coastal Management 25: 63-75.
Kelleher, G., & A. Phillips (1999). Guidelines for Marine Protected Areas. Gland, Switzerland and
Cambridge, UK., IUCN: XX IV+107pp.
Peraturan Menteri kehutanan No. P.56/Menhut-II/2006, tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional.
PHKA (2001). Buku 1 Rencana Pengelolaan. Rencana Pengelolaan 25 Tahun Taman Nasional
Komodo. W. S. Ramono, N.B. Wawandono, & J. Subijanto. Jakarta, PHKA. V.1: 92.
Ringkasan: