Anda di halaman 1dari 7

Issues of Global Aquatic Environments

Issues of Global Aquatic Environments

Straweed (Straw Seaweed) Bioplastik Rumput Laut (Eucheuma cottonii)


Wujud Solusi Terhadap Issues of Global Aquatic Environments

Diajukan Untuk Mengikuti Lomba Essay

Universitas Halu Oleo


Tahun 2019

TIM :

Shalawatun Amaliah Fatimah NIM. Q1B1 16 049


Azizul Citra Artati NIM. Q1B1 16 039
Straweed (Straw Seaweed) Bioplastik Rumput Laut (Eucheuma cottonii)
Wujud Solusi terhadap Issues of Global Aquatic Environments

Peradaban industri dunia berjalan beriringan dengan peningkatan


populasi penduduk yang terus bertambah setiap tahunnya, peningkatan tersebut
berbanding lurus dengan semakin praktisnya kehidupan manusia ditandai dengan
penggunaan wadah praktis yang terbuat dari material berbasis fosil yang
menghasilkan polimer (plastik). Plastik menjadi menjadi solusi praktis yang
ditawarkan sekaligus menjadi pemeran utama bagi sektor industri makanan dan
minuman sebagai kemasan dan peralatan sekali pakai, ditawarkan dengan
karakteristik yang ringan, mudah ditemukan, murah dan efisien. Plastik menjadi
isu dunia terhangat hingga saat ini, dampak penggunaannya mulai meresahkan
dunia karena mengakibatkan penumpukkan sampah plastik yang terus bertambah
setiap harinya.
Penelitian yang dilakukan oleh Jambeck et al. (2015) menunjukkan
bahwa diantara 192 negara di dunia yang telah dianalisa, lima negara bertanggung
jawab atas lebih dari 50% keseluruhan sampah plastik di lautan. Semua negara
berada di kawasan Asia Timur, yaitu China, Indonesia, Vietnam, Filipina, dan
Thailand yang menghasilkan 75% sampah yang berasal dari daratan (McKinsey,
2015). Indonesia berada pada peringkat kedua dibawah China. Indonesia
memiliki polusi sampah pesisir sebesar 187,2 juta yang tinggal dalam jarak 50 km
dari pesisir dan setiap tahunnya menghasilkan 3,22 juta ton sampah yang tak
terkelola dengan baik. Lingkungan dan kebiasaan masyarakat memakai dan
membuang sampah plastik ke perairan menempatkan negara Indonesia pada
kondisi yang memprihatinkan.
Indonesia sendiri merupakan salah satu wilayah yang memiliki kawasan
perairan laut yang lebih luas dibandingkan dengan kawasan daratannya. Wilayah
perairan laut di Indonesia membentang hingga 70% dari total seluruh kawasannya
dengan luas total wilayah Indonesia adalah 7,81 juta km2 yang terdiri dari 2,01
juta km2 daratan, 3,25 juta km2 lautan dan 2,55 juta km2 Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE), dengan luas perairan lebih besar dari pada luas daratan (KKP, 2016).
Perairan laut yang luas tersebut menjadi tantangan tersendiri dalam mengelola
berbagai permasalahan, mulai dari permasalahan ilegal fishing, pemburuan hiu
hingga masalah serius sebagai salah satu negara penyumbang sampah terbesar ke
perairan laut. Sampah yang dihasilkan akan menjadi senjata utama yang
mengancam keberlangsungan ekosistem laut yang menyimpan jutaan potensi
kehidupan berbagai spesies flora dan fauna laut yang berperan penting pada rantai
ekosistem lingkungan hidup.
Limbah plastik menjadi polemik yang membentang dan mengambang
dipermukaan perairan laut yang semakin hari meluas dan menjadi gambaran nyata
krisis sampah laut. Sampah plastik menghalangi transfer oksigen dan sinar
matahari untuk melakukan fotosintetis. Bagian teburuk dari sampah plastik yang
telah tenggelam ke dalam lautan membutuhkan waktu yang lama untuk
terdegradasi. Namun, plastik yang telah melewati proses degradasi tidak akan
hilang seketika melainkan akan menjadi butiran kecil atau yang disebut dengan
mikroplastik.
Menurut Cordova, peneliti di Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI,
dari 76 juta plastik yang manusia gunakan, hanya dua persen yang didaur ulang.
Sementara 32 persen sisanya masuk ke ekosistem. Mikroplastik merupakan zat
plastik berukuran sangat kecil, bahkan tak lebih dari beberapa mikron, mulai
mengancam kesehatan lingkungan serta biota laut di perairan Indonesia.
Mikroplastik sendiri berasal dari polimer beserta zat turunannya seperti
polystyrene. Selain polimer, zat ini ternyata juga berasal dari kantong plastik yang
biasa kita gunakan, yang secara perlahan-lahan hancur tapi tidak terurai (P2O
LIPI, 2017).
Masalah pencemaran oleh sampah plastik dapat merusak kesehatan
manusia bahkan membunuh flora dan fauna yang berada di darat dan di lautan
secara tidak langsung. Plastik yang terkubur mengandung bahan kimia berbahaya
kemudian menjadi racun (toksin) yang diserap oleh tanah. Kematian berbagai
jenis fauna telah banyak tercatat dan hampir sebagian besar dialami oleh fauna
perairan, dikarenakan keberadaan plastik di alam yang terlihat menyerupai
makanan. Seekor Paus Sperma (Physeter macrocephalus) terdampar di Pulau
Kapota, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara sepanjang 9,5 meter dalam
keadaan mati. Lembaga World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia
merincikan fakta bahwa terdapat seberat 5,9 kg sampah plastik yang ditemukan di
dalam perut bangkai paus ini (BBC News, 2018).
World Economic Forum dan Ellen MacArthur Foundation (2016),
memperkirakan bahwa pada tahun 2050 akan ada lebih banyak plastik ketimbang
ikan (berdasarkan berat). Plastik menjadi jenis sampah dominan yang ditemukan
di perairan yang sebagian besar berupa kemasan dan peralatan makanan dan
minuman. Sedotan (straw) yang digunakan sebagai alat bantu untuk minum
dengan penggunaan sekali pakai termasuk kedalam jenis sampah platik yang
banyak ditemukan.
Menurut data yang dikumpulkan oleh Divers Clean Action, pemakaian
sedotan di Indonesia setiap harinya mencapai 93.244.847 batang. Sedotan-sedotan
tersebut datang dari restoran, minuman kemasan, dan sumber lainnya (packed
straw). Jumlah sedotan sebanyak itu jika direntangkan akan mencapai jarak
16.784 km, atau sama dengan dengan jarak yang ditempuh dari Jakarta ke kota
Meksiko. Dihitung per minggu, pemakaian sedotan akan mencapai 117.449 km,
atau hampir tiga kali keliling bumi. Jarak satu keliling Bumi adalah 40.075 km.
Tantangan dan isu-isu dunia mengenai sampah plastik di lingkungan
perairan (Issues of Global Aquatic Environments) laut yang dihadapi saat ini
sangat berat, namun bukan berarti tidak bisa untuk teratasi. Pemerintah tengah
menangani tantangan sampah laut dengan berbagai program, seperti World
Cleanup Day (WCD) pada 2018 dan program lainnya dalam bidang sains dan
penelitian (research). Sebagai jawaban atas isu dunia mengenai sampah plastik
khususnya berupa sedotan (straw) maka dilakukan terobosan inovasi dibidang
perikanan dengan mengedepankan pemanfaatan potensi sumber daya hayati
perikanan yang melimpah.
Straweed (straw seaweed) bioplastik rumput laut (Eucheuma cottonii)
merupakan suatu bentuk dukungan peduli lingkungan (environmental care) atas
besarnya pencemaran yang terjadi diwilayah perairan (aquatic environments) oleh
sampah plastik berupa sedotan. Gagasan inovasi ini menjadi pilihan yang efektif
dan efisien dengan mengedepankan pemanfaatan potensi rumput laut, mampu
meningkatkan nilai ekonimis dari rumput laut dan menghasilkan sedotan ramah
lingkungan yang langsung dapat dimakan (edible straw) sehingga tidak
menghasilkan sampah (zero waste).
Bioplastik dikenal sebagai jenis plastik yang ramah lingkungan karena
diproduksi dari bahan-bahan alami yang dapat membentuk lembaran film yang
memiliki kemampuan dapat terdegradasi secara alami oleh mikroorganisme.
Bioplastik terbuat dari bahan alami misalnya, polisakarida, protein, lemak atau
kombinasi dari beberapa bahan (komposit), dengan atau tanpa penambahan
pemlastis misalnya gliserol, sorbitol, sukrosa dan bahan lainnya (Cerqueira et al.,
2011). Polisakarida yang dapat dibuat bioplastik salah satunya adalah hasil
ekstraksi karagenan rumput laut jenis Eucheuma cottonii. Bahan baku rumput laut
maupun pati dikategorikan kedalam kategori plastik hydrocolloid (Hollingworth,
2010).
Mengapa rumput laut? rumput laut jenis alga merah Eucheuma cottonii
atau yang dikenal dengan Kappaphycus alvarezii digunakan sebagai solusi
alternatif ramah lingkungan yang berpotensi besar di Indonesia, selain itu dikenal
mampu menyerap kardon dioksiada (CO2), tumbuh dengan mudah tanpa
penggunaan pupuk, mengandung banyak nutrisi untuk dikonsumsi. Menurut data
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP, 2015), produksi rumput laut nasional
meningkat setiap tahunnya, pada tahun 2014 mencapai 10,2 juta ton, tiga kali lipat
meningkat dari produksi rumput laut pada tahun 2010 yang berkisar diangka 3,9
juta ton. Di Indonesia rumput laut karaginofit (rumput laut penghasil koloid
karaginan) didominasi oleh Eucheuma cottonii yang merupakan jenis rumput laut
dengan kandungan karaginan yang tinggi (Kappa carageenin dan Lota
carageenin).
Karaginan merupakan senyawa polisakarida galaktosa. Senyawa-senyawa
polisakarida yang mudah terhidrolisis dalam larutan yang bersifat asam dan stabil
dalam suasana basa. Karaginan juga merupakan senyawa hidrokoloid yang terdiri
atas ester kalium, natrium, magnesium dan kalium sulfat dengan galaktosa 3,6
anhidrogalaktosa kopolimer (Fatmawati et al., 2014). Industri makanan,
kosmetika, dan farmasi memerlukan “carrageenen” yang terkandung dalam
Eucheuma untuk dijadikan sebagai bahan campuran. Karaginan sangat penting
peranannya sebagai stabilizer (penstabil), thickener (bahan pengentalan),
pembentuk gel, pengemulsi pensuspensi, pengikat, protectif (pelindung), film
former (mengikat suatu bahan), syneresis inhibitor (mencengah terjadinya
pelepasan air) dan flocculating agent (mengikat bahan-bahan). Sifat ini banyak
dimanfaatkan dalam industri (Winarno, 1996).
Karagenan atau carrageenen diperoleh dari hasil ekstraksi Eucheuma
cottonii yang dilarukan menggunakan penambahan aquades dan NaOH 0,1 N
dengan pH 9 selama 1 jam pada suhu 90oC. Direndam lalu disaring dan
dikeringkan pada suhu 70oC selama 1 jam yang kemudian dihaluskan dan menjadi
bubuk karagenan. Bioplastik diproduksi dari bubuk karagenan ditambahakan
aquades dan gliserin sebagai plasticizer yang merupakan bahan jenis karbohidrat
yang didapatkan dari tumbuhan atau hewan. Campuran dipanaskan kemudian
dicetak membentuk tabung sedotan (straw) dan dikeringkan pada suhu 50oC
selama 8 jam, didinginkan 15 menit pada suhu ruang, hingga dapat digunakan.
Straweed didesain berbentuk tabung lurus (straight) yang berfungsi
sebagai pentransfer minuman dari wadah tertentu ke mulut dengan metode
pengisapan sehingga dapat lebih praktis dan nyaman pada saat minum. Pada
umumnya bentuk dari straweed mirip dengan sedotan komersial yang sering
ditemui, dengan dimensi panjang 21 cm dan ukuran diameter 0,7-1 cm dengan
berbagai warna menarik namun tetap transparan yang tekstur fisiknya sama
dengan plastik dengan permukaan yang halus. Straweed dapat bertahan hingga 24
jam setelah kontak dengan air, sehingga pengguna tidak perlu cemas akan
mencemari lingkungan dan tidak berbahaya karena sifatnya yang biodegredeble.
Rumput laut sebagai potensi unggulan yang telah dipasarkan secara
internasional, namun masih banyak dalam bentuk mentah tanpa pengolahan.
Sehingga dengan adanya inovasi pembuatan sedotan (straw) berbahan dasar
rumput laut dapat menjadi produk diersifikadi rumput laut dan dapat menambah
nilai ekonomis dari segi pemasarannya, dari sisi sosial yaitu turut serta membantu
petani rumput laut di Indonesia meningkatkan mata pencaharian mereka. Dengan
adanya straweed bioplastik Eucheuma cottonii ini diharapkan dapat menjadi
solusi terhadap permasalahan lingkungan dunia di perairan laut akibat cemaran
sampah pastik sedotan dengan memproduksi sedotan ramah lingkungan yang
sekaligus dapat langsung dikonsumsi (edible).
DAFTAR PUSTAKA

BBC News Indonesia, 2018. Paus di Wakatobi Telan 115 Gelas Plastik dan
Sandal Jepit. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46284830.
Diakses pada tanggal 12 Februari 2019.

Cerqueira M. A., Bourbon A. I., Pinheiro A. C., Martins J. T., Souza B. W. S.,
Teixeira J. A., Vicente A. A., 2011. Galactomannans Use in The
Development of Edible Films/Coatings for Food Applications. Trends in
Food Science and Technology. 22(12):662-671.

Fatmawati D., Abidin M. R.P., Achmad R., 2014. Studi Kinetika Pembentukan
Karaginan dari Rumput Laut. Jurnal Teknik Pomits. 3(1):27-32.

Hollingworth C. S., 2010. Food Hydrocolloids: Characteristic, Properties and


Stractures, Food Science and Tecnology. In food Hydrocolloid Edible
Films and Coating. Nova Science Publishers, Inc. New York.

Ilmiati I., dan Satriawan M. B., 2017. Uji Ketahanan Air Bioplastik dari Limbah
Ampas Sagu dengan Penambahan Variasi Konsentrasi Gelatin. Prosiding
Seminar Nasional. ISSN 2443-1109. 3(1).

Jambeck J. R., Roland G., Chris W., Theodore R. S., Miriam P., Anthony A.,
Ramani N., Kara L. L. 2015. Plastic waste inputs from land into the
ocean, Science. Researc Science. Vol. 347 Issue 6223.

Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), 2015. Komoditas Rumput Laut Kian
Strategis. Nomor : 025/PDSI/HM.420/IV/2015. Siaran Pers

Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), 2016. Laporan Kinerja Kementrian


Kelautan dan Perikanan Tahun 2015. Kementrian Kelautan dan
Perikanan. Jakarta.

McKinsey, 2015. Stemming the Tide: Land Based Strategies for a Plastic Free
Ocean. McKinsey & Company and Ocean Conservancy. United States of
America (USA).

Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI),


2017. Mikroplastik, Ancaman Tersembunyi bagi Tubuh dan Lingkungan.
http://www.oseanografi.lipi.go.id/shownews/131. Diakses pada tanggal
12 Februari 2019.

Winarno, F.G., 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar


Harapan. Jakarta.

World Economic Forum, Ellen Mac Arthur Foundation, dan McKinsey &
Company, 2016. The new plastics economy: Rethinking the future of
plastics.

Anda mungkin juga menyukai