Anda di halaman 1dari 4

Latar Belakang

Di era modern ini, perkembangan industri, teknologi dan populasi penduduk sangat berpengaruh
dalam peningkatan penggunaan plastik. Plastik merupakan produk polimer sintetis yang terbuat dari bahan-
bahan petrokimia termasuk dalam sumber daya alam yang tak dapat diperbaharui. Berdasarkan data dari
Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2008, produk sampah plastik di Indonesia sebesar 5,4 juta ton/tahun.
Jumlah sampah plastik tersebut merupakan 14 persen dari total produksi sampah di Indonesia. Sampah plastik
menjadi masalah bagi lingkungan karena plastik membutuhkan waktu yang lama untuk terurai. Salah satu cara
yang tepat untuk mengatasi masalah ini adalah pencarian bahan baku plastik alternatif yang dapat diperbaharui
dan dapat di degradasi oleh tanah, yaitu plastik biodegradable. Bahan baku pembuatan plastik biodegradable
terdapat di dalam tanaman, yaitu serat. Penggunaan serat yang terdapat pada tanaman eceng gondok.
Eceng gondok (Eichornia crassipes) adalah tanaman yang tumbuh di perairan seperti
danau, sungai dan rawa rawa. Eceng gondok mempunyai sifat-sifat yang baik antara lain
dapat menyerap logam-logam berat, senyawa sulfida, selain itu mengandung protein lebih
dari 11,5% dan mengandung selulosa yang lebih tinggi besar dari non selulosanya seperti
lignin, abu, lemak, dan zat-zat lain. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara tahun 2008 Eceng gondok segar memiliki
kandungan kimia sebesar : bahan organik 36,59%, C organik 21,23%, N total 0,28 %, P total
0,0011 % dan K total 0,016 %. Dilihat dari kandungan kimia yang dimiliki eceng gondok
untuk mempercepat proses pembuatan eceng gondok dapat digunakan atau ditambahkan
aktivatitaor berupa EM4 maupun mikroorganisme lokal (MOL) yang mudah didapatkan dan
tidak mengeluarkan banyak biaya.

HAJAMA., N. 2014. “STUDI PEMANFAATAN ECENG GONDOK SEBAGAI BAHAN


PEMBUATAN PUPUK KOMPOS DENGAN MENGGUNAKAN AKTIVATOR EM4
DAN MOL SERTA PROSPEK PENGEMBANGANNYA”

Eceng gondok (Eichornia crassipes) merupakan tumbuhan air yang hidup di rawarawa, danau, waduk
dan sungai yang alirannya tenang. Enceng gondok berkembang biak dengan sangat cepat, baik secara vegetatif
maupun generatif. Perkembangbiakan dengan cara vegetatif dapat melipat ganda dalam waktu 7-10 hari.
Hasil penelitian Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Sumatera Utara di Danau Toba (2003) melaporkan
bahwa satu batang enceng gondok dalam waktu 52 hari mampu berkembang seluas 1 ha, atau dalam waktu 1
tahun mampu menutup area seluas 7 ha. Pertumbuhan enceng gondok dalam waktu 6 bulan pada areal 1 ha
dapat mencapai bobot basah sebesar 125 ton (Farida, 2012). Pertumbuhan eceng gondok yang sangat cepat
menimbulkan berbagai masalah, seperti mempercepat proses pendangkalan sungai.
Farida. 2012. Pemanfaatan Serat Eceng Gondok dan Kitosan Sebagai Bahan Baku untuk Pembuatan Poly
Lactic Acid Sebagai Kemasan Ramah Lingkungan. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sumatera Utara.
Plastik ramah lingkungan atau dikenal dengan istilah bioplastik (biodegradable plastic) merupakan
plastik yang dapat diuraikan oleh jamur atau mikroorganisme di dalam tanah sehingga akan mengurangi dampak
negatif yang ditimbulkan oleh plastik sintetik. Bahan dasar pembuatan plastik biodegradable adalah
tanaman yang memilki kandungan senyawa pati atau selulosa. Kecepatan biodegradasi bio- plastik tergantung
pada temperatur (50-70C), kelembaban, jumlah dan jenis mikroba. Degra-dasi berlangsung cepat hanya jika
ketiga persyaratan tersebut tersedia.
Semua polimer alam bersifat biodegra- dable, tetapi terdapat kelemahannya yaitu polimer alam
memiliki sifat mekanik yang relatif rendah, brittle, dan mudah rusak akibat pengaruh termal (Selpiana, dkk.,
2015). Maka dari itu diperlukan bahan pendukung sebagai upaya memperkuat sifat kimia fisik bioplastik
ini, seperti penambahan kitosan dan gliserol. Kitosan dengan sifat hidrofiliknya dapat membuat meningkatkan
ketahanan plastik terhadap air, sedangkan gliserol digunakan sebagai plasticizer untuk memperbaiki beberapa
sifat polimer segi mekanik diantaranya, fleksibilitas dan kerekatannya.
Selpiana, dkk. 2015. Pembuatan Plastik Biodegradable dari Tepung Nasi Aking. Jurnal Teknik Kimia.
Universitas Sriwijaya.
Tri Kurnia Dewi(*), Amelia Noviasari, Faramitasari. PEMANFAATAN
SELULOSA ECENG GONDOK (Eichornia
Crassipes) SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN PLASTIK
BIODEGRADABLE
Eceng gondok memiliki karakteristik serat salah satunya memiliki massa jeniis
sebesar 0,25 g/cm3, Sifat putih (Whiteness) sebesar 22,2 %, Kekuatan tarik (tensile
strength)sebesar 18-33 Mpa.

Gani, A., A.K.M, Rahman. 2002. Journal Of Biological Science, 2(8) : 558-559.

Kemampuan
lebah hutan dalam memanfaatkan produk tumbuhan yang berupa polen dan nektar
akan membuat kehidupannya menjadi lebih prooduktif. Produk lebah hutan sampai saat
ini masih berupa 1). madu (honey), 2). Roti lebah (bee bread) dan 3). Lilin lebah (bee
waxs). Menurut Junus, Minarti dan Cholis (2015), menyebutkan bahwa produk lebah
hutan dapat diambil dengan rentang waktu 33 hari sekali atau sepuluh kali dalam satu
tahun.
Sejalan dengan itu lilin lebah madu, kemungkinan besar akan mempunyai
penampilan yang sesuai dengan proporsi produk dalam sisiran madu. Selain dari pada
itu setiap pohon yang ditempati oleh lebah hutan mempunyai jumlah koloni yang tidak
sama. Ketidak samaan dari jumlah koloni setiap pohon juga akan menampilkan
produksi lilin yang tidak sama. Oleh karena itu penampilan lilin lebah hutan perlu di
dekati secara rinci.

Mochammad Junus, Sri Minarti, Nur Cholis. Fakultas Peternakan Universitas


Brawijaya, Malang-Indonesia
Plastik merupakan kemasan makanan yang sangat populer dan menjadi
pilihan bagi konsumen. Sejak ditemukan oleh seorang peneliti dari Amerika
Serikat pada tahun 1968 yang bernama John Wesley Hyatt, plastik menjadi
pilihan bagi dunia industry dan berkembang secara luar biasa penggunaannya dari
hanya beberapa ratus ton pada tahun 1930-an, menjadi 220 juta ton/tahun pada
tahun 2005 (Kadir, 2012). Plastik mempunyai karakteristik mudah dibentuk, tahan
lama (durable), dan dapat mengikuti trend permintaan pasar. Plastik telah mampu
menggeser kedudukan bahan-bahan tradisional dimana permintaan dari tahun ke
tahunnya selalu menunjukkan peningkatan.
Kelebihan dari kemasan plastik yang ringan, fleksibel, multiguna, kuat,
tidak berkarat, dapat diberi warna dan harganya yang murah seakan membutakan
masyarakat tentang dampak yang ditimbulkan, seperti terjadinya perpindahan zat-
zat penyusun dari plastik ke dalam makanan, terutama jika makanan tersebut tidak
cocok dengan plastik yang mengemasnya. Zat-zat penyusun tersebut cukup tinggi
potensinya untuk menimbulkan penyakit kanker pada manusia (Koswara, 2006).
Data statistik persampahan domestik Indonesia menyebutkan jenis sampah
plastik menduduki peringkat kedua sebesar 5.4 juta ton per tahun atau 14 persen
dari total produksi sampah. Dengan demikian, plastik telah mampu menggeser
sampah jenis kertas yang tadinya di peringkat kedua menjadi peringkat ketiga
dengan jumlah 3.6 juta ton per tahun atau 9 persen dari jumlah total produksi
sampah (Indonesia Solid Waste Association, 2013)
Beberapa syarat yang diperlukan untuk lilinsebagai bahan pelapis antara lain: tidak
mempengaruhi bau dan rasa buah yang dilapisi, mudah kering, tidak mudah pecah, mengkilap dan
licin, tidak menghasilkan permukaan yang tebal, murah harganya, dan tidak beracun (Furness, 1997).
Furness, C., 1997. How to Make Beeswax Candles.
British Bee Publ. Geddington, UK.
Salah satu sumber lilin yang diduga memenuhi syarat tersebut adalah lilin lebah (beeswax).
Lilin lebah merupakan salah satu lilin yang sifat kimianya stabil dengan titik lebur berkisar 61-69 oC,
berat jenis pada 20 oC sekitar 0,96, tidaklarut dalam air dan sedikit larut dalam alkohol dingin.
Pelepasan tutup madu menghasilkan 0,450,91 kg lilin lebah per 43,5 kg madu terekstraksi
(Sihombing, 1997).
Styrofoam merupakan salah satu pilihan yang paling popular untuk digunakan sebagai pengemas
barang-barang yang rentan rusak maupun makanan sekalipun. Styrofoam sebagai kemasan
makanan, sebaiknya penggunaannya bukan sekedar sebagai bungkus tetapi perlu diperhatikan
keamanannya, karena fungsi dari kemasan makanan yaitu untuk kesehatan, pengawetan dan
kemudahan. Menurut beberapa penelitian telah diketahui bahwa styrofoam berbahaya bagi
kesehatan. Menurut Mulyanto (2013), bahaya styrofoam berasal dari butiran-butiran styrene, yang
diproses dengan menggunakan benzana. Benzana inilah yang termasuk zat yang dapat menimbulkan
banyak penyakit (Mulyanto, 2013).
Selain itu, Styrofoam juga terbukti tidak ramah lingkungan, karena tidak dapat diuraikan
sama sekali. Bahkan pada proses produksinya sendiri menghasilkan limbah yang tidak sedikit
sehingga dikategorikan sebagai penghasil limbah berbahaya ke-5 terbesar di dunia oleh EPA
(Enviromental Protection Agency). Bahaya yang dapat ditimbulkan oleh Styrofoam ini terhadap
kesehatan dan lingkungan, maka perlu dicari solusi agar penggunaannya dapat diminimalisir atau
dihentikan sama sekali.
Peranan kemasan suatu produk saat ini tidak hanya sebatas melindungi produk tersebut,
tetapi juga menjadi salah satu strategi dagang yang dilakukan oleh para produsen produk makanan
tersebut. Sekarang kemasan sudah menjadi salah satu ujung tombak pemasaran yang langsung
berhadapan dengan konsumen. Di era modern seperti sekarang ini bukan hanya bentuk dan model
kemasan yang menarik saja tetapi disesuaikan dengan mobilitas konsumen yang semakin padat
terlebih masyarakat perkotaan yang kesehariannya dipenuhi kegiatan dan juga kemacetan lalu
lintas, sehingga bukan hanya kemasan yang menarik menurut produsen saja tetapi disesuaikan
dengan kebutuhan dan selera konsumen yang sangat membutuhkan makanan yang praktis, mudah
dipanaskan, dan dapat dimakan dimana saja.
Wadah styrofoam dapat ditemukan sebagai kemasan makanan beku, hidangan siap saji,
bahkan dapat dibuat sebagai piring, garpu, kemasan kopi dan sendok plastik. namun Styrofoam
diketahui memiliki kekurangan, yakni dapat mengeluarkan zat styrene dan bersifat karsinogenik jika
menjadi kemasan makanan panas apalagi bila dipanaskan mengunakan microwave, karena zat
styrene ini bisa menimbulkan kerusakan otak, mengganggu sistem reproduksi, hingga sistem syaraf
dan kanker.
Sihombing, D.T.H., 1997. Ilmu Ternak Lebah Madu. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai