Anda di halaman 1dari 3

Polimer Sintetis di Lingkungan

Sayyidah Salsabila
XII MIPA 4 / 35
ABSTRAK
“Peningkatan populasi manusia menyebabkan permintaan pangan selalu bertambah.
Disamping itu, kompleksnya kebutuhan dan peningkatan pola hidup masyarakat memacu
perkembangan berbagai industri” (Suhadi, 2010). Namun, dari aktivitas tersebut efek yang
dihasilkan juga semakin mengkhawatirkan, salah satunya adalah sampah yang dihasilkan sangat
banyak sekali.
Indonesia masih banyak menggunakan plastik yang merupakan salah satu bahan yang
digunakan untuk kemasan sekali pakai. Namun sayangnya, penyimpanan sampah plastik di
Indonesia belum tertangani dengan baik. Sampah plastik merupakan salah satu penyebab utama
pencemaran lingkungan, baik pencemaran darat maupun laut. Masalah ini disebabkan sifat
sampah plastik yang tidak mudah terurai dan akan bertahan hingga ratusan tahun jika terurai
secara alami.

Penggunaan plastik
Studi Travis P. Wagner (2017) memperkirakan masyarakat global membuang 5 triliun kantong
plastik setiap tahun. Padahal, kita hanya menggunakan kantong plastik rata-rata 12 menit sebelum
membuangnya. Di Indonesia, kantong plastik masih menjadi barang konsumsi sehari-hari.

Menurut data dari studi Making Oceans Plastic Free (2017), Indonesia menggunakan rata-rata
182,7 miliar kantong plastik setiap tahun. Dari jumlah tersebut, total berat sampah kantong plastik di
Indonesia adalah 1.278.900 ton per tahun. Menurut penelitian Jenna R. Jambeck dkk (2015), Indonesia
merupakan penghasil sampah plastik terbesar kedua di lautan setelah China. Setidaknya 16 persen
sampah plastik di lautan berasal dari Indonesia. Menurut penelitian oleh Gabriella F. Schirinzi et al
(2017) menemukan bahwa mikroplastik pada makanan laut dan minuman memiliki efek toksik pada sel
manusia

Dampak penggunaan polimer terhadap lingkungan


Dalam kehidupan sehari kita banyak menggunakan polimer mulai dari barang barang
kecil seperti plastik pembungkus makananan hingga alat alat rumah tangga, penggunaan polimer
dapat mengakibatkan dampak buruk bagi lingkungan seperti mencemari lingkungan karena sulit
terurai. Polimer juga dapat menyebabkan masalah kesehatan. Asap dari pembakaran plastik
mengandung senyawa dioksin yang dapat menyebabkan kanker jika terhirup dalam jumlah
banyak.
Pencemaran makanan dengan pewarna plastik (polimer sintetik) berbahaya bagi
kesehatan. Cat polimer, dalam hal ini plastik hitam, dapat terurai saat terkena panas (misalnya
saat menggoreng), terurai menjadi bentuk radikal. Zat beracun yang dapat bereaksi dengan cepat,
seperti oksigen dan makanan.

Cara Penanggulangan
1. Gunakan kemasan makanan berbahan polimer sintetik yang lebih aman, yakni. mereka
dengan foodgrade. Plastik yang tergolong foodgrade tidak bereaksi dengan bahan
makanan
2. Senyawa organik yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme tidak boleh dibakar,
karena asapnya berbahaya bagi kesehatan. Sampah komposit organik dapat diolah dengan
cara dipecah menjadi bentuk yang lebih kecil kemudian ditimbun, atau dapat didaur
ulang sebagai campuran bahan pakaian.
3. Gunakan kembali dan daur ulang penggunaan bahan polimer sintetik untuk kebutuhan
sehari-hari.
4. Kurangi penggunaan plastik sekali pakai, seperti pada saat berbelanja upayakan
membawa kantong belanja dan tidak menggunakan alat makan sekal pakai

Kasus Pencemaran Polimer Sintetis di lingkungan


Alarm Pencemaran Plastik

Beberapa hari yang lalu masyarakat Indonesia khususnya pecinta lingkungan dikejutkan
dengan kematian seekor paus minke ( Physeter macrocephalus ) yang berukuran panjang ± 9,5
meter dan lebar ± 4 meter. Berdasarkan hasil evakuasi tim Balai Taman Nasional Wakatobi pada
19 November 2018, ditemukan sampah plastik di dalam perut ikan paus yang beratnya mencapai
5,9 kg. Sampai saat ini diduga kuat kematian paus sperma disebabkan oleh sampah plastik yang
tidak larut dalam tubuh.
Kematian paus sperma hanyalah satu dari sekian banyak contoh kerusakan lingkungan
yang berdampak langsung pada satwa di Indonesia. Kasus lain dengan masalah yang sama terjadi
Juli lalu, kura-kura tersedak plastik, mengakibatkan gangguan pencernaan dan kematian.
Fenomena ini mengingatkan kita pada fakta bahwa lingkungan kita, terutama air, telah
mengalami degradasi hingga tingkat yang sangat memprihatinkan.
Fenomena hewan laut yang mengonsumsi plastik bukanlah suatu kebetulan. Selain
bentuknya yang seperti makanan, plastik secara ilmiah menghasilkan slime berupa lapisan tipis
yang disebut plastispher akibat aktivitas mikroba. Lapisan berlendir ini mengeluarkan senyawa
kimia yang berbau dan berasa enak untuk makanan, membuat plastik menarik untuk dimakan
hewan.
Di sisi lain, keberadaan plastik dalam jumlah besar merupakan perangkap terbaik bagi
paus yang menelan air untuk mencapai plankton. Seekor paus sperma yang mati beberapa hari
lalu menjadi bukti bahwa komposisi plastik di laut semakin meningkat dan mengganggu biota
laut.
Plastik merupakan masalah limbah utama di badan air, termasuk laut, danau, dan sungai,
serta merupakan masalah klasik, terutama di negara berkembang, karena digunakan dalam
jumlah besar tanpa pengelolaan limbah yang berkelanjutan. Plastik itu sendiri adalah polimer
yang sulit yang sistem alam tidak dapat terurai secara alami. Dan yang terburuk adalah plastik
dapat melepaskan senyawa kimia berbahaya seperti PCB, Nonyphelol, Bisphenol A, dan
Phthalates mampu menyerap kotoran seperti PCB, DDT, dan DDE.
Masalah terbesar juga muncul dari jenis plastik yang berukuran kecil atau lebih dikenal
dengan mikroplastik. Ketika mikroplastik yang mengandung senyawa kimia dan polutan
berbahaya masuk ke dalam rantai makanan laut, maka berdampak berbahaya bagi manusia yang
memakan hewan laut tersebut.
Rosa Vivien Ratnawati, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan
Berbahaya (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjelaskan, penumpukan
sampah plastik diperkirakan mencapai 24.500 ton per hari atau 8,96 juta ton per tahun. Data ini
menjadikan Indonesia “pencapaian” sebagai penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia
setelah China.
Menurut Bank Dunia, pertumbuhan TPA dari kota-kota dunia sudah berbahaya dan
menimbulkan masalah lingkungan yang sangat serius di samping Indonesia.
Upaya untuk mengekang polusi plastik harus terus berlanjut. Kematian paus sperma
merupakan alarm berbahaya yang membunyikan perlunya meningkatkan kesadaran dan budaya
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat untuk meminimalkan penggunaan plastik.
Selain itu, dapat dimaklumi bahwa pemerintah akan mengambil kebijakan komitmen
daur ulang yang terintegrasi dan terkendali dari tingkat industri hingga tingkat rumah tangga.
Solusi pembangunan berkelanjutan juga diharapkan dapat meminimalkan kontribusi sampah
plastik buatan manusia terhadap alam dan memulihkan ekosistem yang tercemar dengan
mengintegrasikan revolusi budaya manusia, peraturan pemerintah, dan kontribusi industri untuk
mengurangi plastik di lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai