PENDAHULUAN
Sejarah plastik di muka bumi ini diawali oleh Alexander Parkes yang pertama kali
memperkenalkan plastik pada sebuah eksibisi internasional di London, Inggris pada tahun
1862. Plastik temuan Parkes disebut Parkesine ini dibuat dari bahan organik dari selulosa.
Parkes mengatakan bahwa temuannya ini mempunyai karakteristik mirip karet, namun
dengan harga yang lebih murah. Ia juga menemukan bahwa Parkesine ini bisa dibuat
transparan dan mampu dibuat dalam berbagai bentuk. Sayangnya, temuannya ini tidak bisa
dimasyarakatkan karena mahalnya bahan baku yang digunakan. Kemudian pada tahun 1907
bahan sintetis pertama buatan manusia ditemukan oleh seorang ahli kimia dari New York,
Leo Baekeland. Dirinya mengembangkan resin cair yang diberi nama Bakelite. Material baru
ini tidak terbakar, tidak meleleh dan tidak mencair di dalam larutan asam cuka. Dengan
demikian, sekali bahan ini terbentuk, tidak akan bisa berubah. Bakelite ini bisa ditambahkan
ke berbagai material lainnya seperti kayu lunak.
Pada tahun 1933, Ralph Wiley, seorang pekerja lab di perusahaan kimia Dow, secara
tidak sengaja menemukan plastik jenis lain yaitu Polyvinylidene Chloride atau populer
dengan sebutan Saran. Saran pertama kali digunakan untuk peralatan militer, namun
belakangan diketahui bahwa bahan ini cocok digunakan sebagai pembungkus makanan.
Saran dapat melekat di hampir setiap perabotan seperti mangkok, piring, panci, dan bahkan di
lapisan saran sendiri. Tidak heran jika saran digunakan untuk menyimpan makanan agar
kesegaran makanan tersebut terjaga. Kemudian di tahun yang sama, dua orang ahli kimia
organik bernama E.W. Fawcett dan R.O. Gibson yang bekerja di Imperial Chemical
Industries Research Laboratory menemukan Polyethylene. Temuan mereka ini mempunyai
dampak yang amat besar bagi dunia. Karena bahan ini ringan serta tipis, pada masa Perang
Dunia II bahan ini digunakan sebagai pelapis untuk kabel bawah air dan sebagai isolasi untuk
radar. Pada tahun 1940 penggunaan polyethylene sebagai bahan isolasi mampu mengurangi
berat radar sebesar 600 pounds atau sekitar 270 kg. Setelah perang berakhir, plastik inilah
yang menjadi semakin populer, dan saat ini digunakan untuk membuat botol minuman,
jerigen, tas belanja atau tas kresek, dan kontainer untuk menyimpan makanan.
Berawal dari pembungkus roti, penggunaan plastik secara massal dimulai pada tahun
1974 ketika perusahaan-perusahaan ritel raksasa di Amerika Serikat seperti Sears, Jordan
Marsh, yang mulai menggunakan kantong plastik sebagai alternatif kantong kertas. Pada
tahun 1977 kantong plastik mulai dipergunakan di toko-toko kelontong di Amerika Serikat
dan Kanada.
Plastik merupakan material yang baru secara luas dikembangkan dan digunakan sejak
abad ke-20 yang berkembang secara luar biasa penggunaannya dari hanya beberapa ratus ton
pada tahun 1930-an, menjadi 150 juta ton/tahun pada tahun 1990-an dan 220 juta ton/tahun
pada tahun 2005. Saat ini penggunaan material plastik di negara-negara Eropa Barat
mencapai 60 kg/orang/tahun, di Amerika Serikat mencapai 80 kg/orang/tahun, sementara di
India hanya 2 kg/orang/tahun.
Benda ini juga merupakan bahan yang mudah terbakar sehingga meningkatkan risiko
kebakaran. Asap hasil pembakaran produk berbahan dasar produk ini sangat berbahaya
karena mengandung gas-gas beracun seperti karbon monoksida (CO) dan hidrogen sianida
(HCN), hal tersebut juga dapat menyebabkan pencemaran udara. Benda yang sulit diurai oleh
mikroorganisme ini ketika dibuang ke tanah akan membuat penurunan populasi fauna tanah
karena disebabkan menurunnya mineral, baik organik maupun anorganik di dalam tanah.
Bahan yang sulit diuraikan tentu membuat sampah plastik memberikan dampak yang negatif
bagi lingkungan. Plastik yang tidak dapat terurai akan termakan oleh binatang maupun
tanaman sehingga akan mengganggu susunan rantai makanan dan juga dapat mengurangi
kesuburan tanah karena benda ini akan menghalangi jalannya sirkulasi udara sehingga
mengurangi ruang gerak dari biota tanah yang bertugas menyuburkan tanah.
Bahan yang memiliki umur panjang ini tidak hanya akan mencemari tanah, tetapi laut
sekalipun akan tercemari karena limbah benda ini yang banyak dibuang ke sungai sehingga
bermuara ke laut dan mengancam ekosistem di laut. Sedotan, kemasan makanan siap saji,
bungkus deterjen, dan sampah plastik lainnya mengintai hewan-hewan yang berada di laut.
Banyak hewan-hewan di bawah laut yang mengira plastik yang bermuara merupakan
makanan, sehingga mereka memakannya begitu saja padahal ini bahan berbahaya yang tidak
dapat diurai oleh tubuh hewan.
Sampah plastik bukanlah masalah biasa, bahkan sampah jenis ini sudah menjadi
perhatian pemerintah dunia. Beberapa negara sebagai penyumbang sampah plastik terbanyak
di lautan adalah Tiongkok dan Indonesia. Hasil penelitian dari ilmuan kelautan University of
Georgia menyatakan bahwa Tiongkok menghasilkan kurang lebih 11,5 juta ton sampah jenis
ini setiap tahunnya. Sebanyak 8,8 juta ton, sekitar 78% sampah plastik langsung dibuang ke
lautan tanpa diolah terlebih dahulu. Data ststistik menyatakan bahwa masyarakat yang tinggal
di pesisir Tiongkok membuang sampah jenis ini langsung ke lautan sebanyak 33,6 kg.
Setelah selesai dipakai, biasannya kantong-kantong plastik tersebut kita buang begitu
saja. Namun tahukah Anda bahaya yang muncul akibat sampah plastik tersebut? Sampah
plastik membutuhkan waktu yang lama agar terurai. Kantong plastik membutuhkan waktu 10
hingga 12 tahun, botol plastik membutuhkan waktu yang lebih lama yakni butuh 20 tahun,
sedangkan sterofoam membutuhkan waktu 500 tahun untuk bisa hancur secara alami. Akibat
terlalu lamanya waktu penghancuran ini, tentunya dapat menimbulkan permasalah yang
serius bagi lingkungan. Sampah plastik tersebut akan terus bertambah jumlahnya dengan laju
penguraian yang lambat sehingga menimbulkan penumpukkan sampah. Sampah plastik dapat
melepaskan zat kimia yang berbahaya yang dapat mencemari sumber air, baik air tanah
maupun air permukaan yang menimbulkan bahaya bagi makhluk hidup yang meminumnya.
Mengingat air merupakan kebutuhan vital untuk menunjang kelangsungan hidup, apabila
tercemar maka akan menimbulkan masalah yang sangat serius.
Hasilnya, sebagian besar (45%) jenis sampah adalah plastik ‘lunak’ atau soft plastic.
Kemudian hard plastics atau plastik keras (15%) dan besi. Lainnya karet, kayu, busa, baju,
gelas, dan lainnya. Dari sampah plastik itu, terbanyak adalah plastik kemasan (40%) makanan
atau yang berlabel, kemudian sedotan (17%), dan kresek (15%). Sementara dari peta sebaran
sampah, terlihat hampir rata di seluruh pesisir. Makin besar bulatan, maka volumenya makin
besar. Termasuk pantai-pantai terkenal di Bali Selatan seperti Serangan, Kedonganan, Kuta,
Legian, kemudian Bali Utara, dan Bali Barat. Ini adalah bagian dari sejumlah aspek yang
diteliti tentang sampah laut. Penelitian sebelumnya adalah pergerakan sampah dan jenis
sampah yang mendarat di pantai-pantai berhadapan dengan Selat Bali sejak 2014. Kemudian
jenis sampah yang terdampar di Pantai Kuta, karena paling banyak terekspos oleh turis.
Selanjutnya pergerakan sampah berdasar arus. Dengan memanfaatkan data arus dan
pergerakan angin di Selat Bali saat musim hujan, salah satu peneliti Andhita Triwahyuni
memperlihatkan hasil modeling, sampah yang terbawa dari Selat Bali berlayar dan mendarat
ke pesisir Barat dan Selatan Bali. Volume sampah di antara pulau Bali dan Jawa akan
berkurang, terdistribusikan ke hilir.
Menurutnya topik plastics on the menu tak bisa ditampik karena sampah yang
terkonsentrasi lama di laut akan menjadi mikroplastik. Ini menjadi masalah baru terkait
keamanan pangan laut. Hal ini sudah dibuktikan oleh peneliti Kanada dan Makassar yang
menemukan cemaran plastik pada satwa laut di perairan Sulawesi.
Dikutip dari koran Kompas (12/06/2017), riset bersama Universitas Hasanuddin dan
University of California Davis (2014 dan 2015) menemukan cemaran plastik mikro di saluran
pencernaan ikan dan kerang yang dijual di tempat pelelangan ikan terbesar di Makassar,
Sulawesi Selatan. Hasil riset dipublikasikan di jurnal ilmiah internasional, Nature, September
2015. Disebutkan sepertiga sampel atau 28 persennya mengandung plastik mikro. Ada 76
ikan yang diteliti kandungan plastik mikronya dari 11 jenis ikan berbeda.
Soal dampak pada satwa laut, Hendrawan bergabung dengan peneliti lain sudah
mempublikasikan jumlah mikroplastik di perairan jalur migrasi Pari Manta yakni Nusa
Penida, Bali dan Taman Nasional Komodo, NTT. Para peneliti adalah Elitza Germanov,
Andrea Marshall, I Gede Hedrawan, dan Neil Loneragan kolaborasi Marine Megafauna
Foundation, Universitas Murdoch, Australia, dan Universitas Udayana, Bali. Sejumlah poster
publikasi temuan mikroplastik ini sudah disebarluaskan.
Pemetaan sumber sampah dari sungai menurutnya belum tergarap karena berpotensi
tinggi pada kontribusi sampah laut. “Seberapa parah sampah dari hulu ini, bagaimana
mencegah?” tanyanya. Pengelolaan sungai tak bisa sektoral karena mengalir lintas daerah.
Jika sistem pengendalian sampah terintegrasi namun masih banyak mendapat sampah
terdampar baru bisa menyebut ini bukan sampah dari Bali.
I Putu Eka Merthawan, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK)
Kabupaten Badung menyatakan daerah pusat pariwisata ini masih darurat sampah laut sejak
November 2017 lalu. Terutama dari pesisir Parerenan sampai Jimbaran sepanjang 8 km
selama musim angin monsoon barat ini. Ia menyebut ini fenomena alam tahunan, ketika
gelombang dan angin kencang membawa sampah dari mana saja termasuk sampah dunia,
Bali bagian Barat, Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Pihaknya mencatat sejak November
sudah mengangkut sedikitnya 6000 ton sampah laut. Sementara sampah dari daratan Badung
hanya 250 ton. “Coba bayangkan beratnya, juga terkendala cuaca dan campur pasir, susah
menyapunya,” lanjut Eka.
Penetapan status darurat bencana sampah laut ini menurutnya penting sebagai
informasi dan peringatan untuk wisatawan. Misalnya jangan heran kalau berenang bersama
sampah. Ia mengelompokkan status sampah menjadi 3, waspada (volume sampah 0-10 ton
per hari), siaga (11-40 ton/hari), dan darurat (di atas 50 ton/hari). “Bukan gagah-gagahan,
kami gentle menyampaikan jika saat ini alam tak bersahabat,” jelasnya. Penelitian terkait
pergerakan sampah dan lainnya menurut Eka pasti berguna tapi pihaknya hanya eksekutor
yang mengurus sampah dari menyiapkan tenaga kebersihan sampai pengangkutan.
Menurutnya penanganan ini harus melibatkan pemerintah provinsi dan pusat. Eka menyebut
sudah menaruh banyak jaring penangkap sampah di sejumlah sungai yang melintas
kabupaten pusat akomodasi ini.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dengan ini penulis menyimpulkan, bahwa penggunaan plastik secara terus menerus
akan membahayakan hewan di laut. Sampah plastik yang setelah kita pakai lalu dibuang
begitu saja akan menumpuk jika sampah tersebut di buang ke sungai yang mengalir sampai
laut. Hal tersebut pastinya akan menggangu bahkan mengancam para hewan yang hidup di
laut. Apalagi telah tercatat bahwa Indonesia adalah pengguna sampah plastik terbanyak di
dunia.
3.3 Penutup
Sekian laporan yang telah penulis buat. Jika ada salah kata ataupun penulisan mohon
dimaafkan, oleh karena itu penulis mohon saran dan kritik yang membangun agar bisa
memperbaiki hal-hal yang masih perlu diperbaiki.