Anda di halaman 1dari 9

IUU FISHING

(Illegal,Unrepoted,and Regulated Fishing)

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang didominasi oleh lautan, potensi kelautan dan
perikanan di Indonesia sudah tidak perlu diragukan lagi
Namun, kamu tentunya juga sering mendengar adanya tindakan penangkapan ikan secara
ilegal di perairan Indonesia. Kegiatan ilegal ini tidak semata-mata menjadi persoalan Indonesia,
tetapi juga menjadi persoalan lintas negara karena para pelaku dan kegiatannya lintas negara, dan
oleh karena itu pula, penanganan persoalan ini harus dilakukan secara lintas negara, terutama
melalui kerja sama bilateral. Meskipun telah terjalin bentuk-bentuk kerja sama bilateral antara
Indonesia dengan beberapa negara tetangga dan juga kerja sama secara regional dalam
mengamankan perairan kawasan, namun hal itu belum dapat mengatasi persoalan illegal fishing
di perairan Indonesia.
IUU Fishing adalah sebutan khusus bagi tindakan penangkapan ikan secara ilegal dan tidak
sesuai aturan, yang merupakan singkatan dari Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU)
Fishing. Tak tanggung-tanggung, pada tahun 2008 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
menetapkan IUU Fishing sebagai salah satu dari tujuh kejahatan maritim di dunia bersama
dengan pembajakan dan perampokan bersenjata, terorisme, perdagangan gelap senjata,
narkotika, penyelundupan dan perdagangan orang melalui laut, dan pengrusakan lingkungan
laut.
terdapat 3 kategori penangkapan ikan yang termasuk dalam IUU Fishing ini, yaitu:
Illegal Fishing → Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh orang atau kapal asing di
perairan suatu negara tanpa adanya izin dari negara tersebut atau bertentangan dengan
perundang-undangan yang berlaku.

Tak hanya bagi negara, tindakan illegal fishing juga mengancam kepentingan nelayan dan pembudi daya ikan,
iklim industri dan usaha perikanan nasional. Berbagai peraturan pun telah dibuat oleh pemerintah. Namun,
illegal fishing terus terjadi hingga sekarang.

Secara umum, illegal fishing yang sering terjadi di Indonesia dapat diidentifikasi menjadi empat jenis atau
modus, yakni

 Penangkapan ikan tanpa izin,


 Penangkapan ikan dengan menggunakan izin palsu,
 Penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang,
 Penangkapan terhadap jenis atau spesies yang tidak sesuai izin.

Karena melimpahnya sumber daya perikanan di perairan laut Indonesia ternyata telah menarik
perhatian pihak asing untuk juga dapat menikmatinya secara ilegal melalui kegiatan illegal
fishing. Kegiatan illegal fishing tersebut dilakukan oleh nelayan-nelayan asing dari negara-
negara tetangga di kawasan yang memasuki perairan Indonesia secara illegal.
Ekonomi Kelautan
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang tiga perempat wilayahnya berupa laut dengan
kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) dan jasa-jasa lingkungan kelautan (potensi pembangunan)
yang sangat besar, yang sampai sekarang belum didayagunakan secara optimal. Sangat logis bila
pemerintah ‘Kabinet Kerja Jilid 2’ bakal lebih mengoptimalkan sektor-sektor ekonomi maritim
(kelautan) sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru untuk mensejahterakan seluruh rakyat
indoensia secara adil dan berkelanjutan.

Ada 11 sektor ekonomi kelautan yang bisa dikembangkan yakni: (1) perikanan tangkap, (2)
perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan,
(5) ESDM, (6) pariwisata bahari, (7) perhubungan laut, (8) industri dan jasa maritim, (9)
kehutanan pesisir (coastal forestry), (10) sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, dan (11) SDA
kelautan non-konvensional. Total nilai ekonomi kesebelas sektor itu sekitar 1,4 triliun dolar
AS/tahun, hampir 1,4 PDB Indonesia saat ini atau 8 kali APBN 2020. Sementara, potensi
lapangan kerja yang bisa diciptakan sekitar 45 juta orang.

Dari 11 sektor ekonomi maritim di atas, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
bertangggung jawab langsung atas pemanfaatan dan pengelolaan sektor perikanan tangkap,
perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi perairan, dan
sebagian SDA kelautan non-konvensional. Sedangkan, untuk sektor-sektor ekonomi maritim
lainnya, KKP berperan sebagai pendukung kementerian lain yang menjadi penanggung jawab
terhadap masing-masing sektor.

Potensi total nilai ekonomi sektor perikanan tangkap diperkirakan sekitar US$ 20 miliar/tahun,
sektor perikanan budidaya US$ 210 miliar/tahun, sektor pengolahan hasil perikanan dan seafood
US$ 100 miliar/tahun, sektor industri bioteknologi perairan US$ 180 miliar/tahun, dan sektor
SDA dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) non-konvensional sebesar US$ 200
miliar/tahun.

Tantangan Pembangunan KP
Sayangnya, hampir lima tahun umur ‘Kabinet Kerja Jilid 1’, capaian sektor-sektor maritim masih
jauh dari harapan. Hingga kini pemerintah belum memiliki roadmap dan blueprint pembangunan
kemaritiman nasional yang komprehensif, terintegrasi, dan operasional. Tugas dan fungsi pokok
Kemenko Maritim untuk mengarahkan, mengkoordinasikan, memecahkan kebuntuan (debotle
necking), menghasilkan inovasi (terobosan), dan mengakselerasi pembangunan kemaritiman
belum berjalan optimal.

Hanya dalam lima tahun, Menko Maritim dijabat oleh 3 orang yang berbeda. Akibatnya,
kementerian di bawah koordinasi Kemenko Maritim nampak berjalan sendiri-sendiri. Perang
opini dan konflik acap kali menyeruak di ruang publik antara Menko Maritim vs Menteri KKP,
Menteri LHK vs Menteri KKP, Menteri Perindustrian vs Menteri KKP, Menko Maritim vs
Mentri ESDM, dan Menteri KKP dengan sejumlah Kepala Daerah yang memiliki wilayah
perairan laut, termasuk terakhir Gubernur Provinsi Maluku yang menyatakan ‘perang’ dengan
Menteri KKP.

Perihal pemberantasan IUU (Illegal, Unregulated, and Unreported) fishing oleh kapal ikan asing
dan konservasi, pemerintah c.q. KKP sudah di jalan yang benar dan mesti kita lanjutkan.
Sayangnya, aspek daya saing, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan nelayan, pembudidaya
ikan, pengolah dan pedagang, dan stakeholders KP (Kelautan dan Perikanan) lainnya kurang
mendapat perhatian, bahkan cenderung dihambat.

Dalam lima tahuan terakhir, pembangunan sektor KP seolah identik dengan penenggelaman dan
pembakaran kapal ikan asing, moratorium kapal ikan berukuran besar dan modern, larangan alat
tangkap aktif seperti pukat hela dan pukat tarik (cantrang) yang selama ini digunakan oleh
mayoritas nelayan, larangan kapal pegangkut ikan kerapu hidup, dan larangan menjual lobster
dan kepiting di bawah ukuran tertentu. Ibarat sebuah mobil, pembangunan kelautan sekarang
terlalu banyak ’remnya’, tetapi sedikit sekali ’gas’ nya.

Sektor perikanan budidaya yang memiliki potensi ekonomi terbesar diantara sebelas sektor
ekonomi maritim Indonesia, dipandang ‘sebelah mata’. Karena, KKP menganggap bahwa pakan
yang digunakan dalam budidaya ikan dan udang berasal dari ikan rucah maupun tepung ikan,
yang dapat mengancam kelestarian ikan di laut.

Bahkan, di awal masa baktinya (Oktober 2014 – 2015) KKP mewacanakan akan melarang
pembudidayaan udang vannamei. Dengan alasan, jenis udang ini bukan spesies asli, tapi dari
Amerika Latin. Padahal, semua negara utama penghasil udang budidaya (pesaing Indonesia),
mulai dari Thailand, Vietnam, India, China sampai Ekuador itu lebih dari 80 % total produksi
udang budidayanya berupa udang vannamei yang bisa dibudidayakan dengan kepadatan tinggi.

Harus dicatat, bahwa stok ikan di perairan laut maupun perairan umum darat (sungai, danau, dan
bendungan) itu sifatnya density-dependent stock. Artinya, kelimpahan stok ikan di laut dan
perairan umum darat itu, ada batas maksimumnya yang bergantung pada kepadatan ikan di
dalam suatu perairan alam (laut atau darat). Jadi, kalau kita tidak menangkap ikan (moratorium)
terus menerus, tidak berarti stok ikannya akan terus meningkat (melimpah), tanpa batas.

Dan, batas alam itu namanya Potensi Produksi Lestari Maksimum (Maximum Sustainable Yield
= MSY). Total MSY laut dunia itu antara 90 – 100 juta ton/tahun (FAO, 2018), sedangkan MSY
laut Indonesia diperkirakan sekitar 16 juta ton/tahun (LIPI, Ditjen. Perikanan, dan IPB, 1981).
Oleh karena itu, untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat terhadap berbagai jenis ikan,
udang, kekerangan, teripang, rumput laut, dan biota perairan lainnya, tumpuan kita hanya pada
sektor perikanan budidaya.
Selama lima tahun terakhir, sinergi KKP dengan Kementerian/Lembaga pemerintah lain,
Pemerintah Daerah, nelayan, pembudidaya, dan pengusaha pun sangat buruk. Saling curiga,
semua pengusaha perikanan tangkap dituduh jahat, nelayan dicap tidak jujur, karena melakukan
‘mark-down’ ukuran kapal ikan, dan stigma negatif lainnya yang dituduhkan KKP kepada
stakeholders KP. Faktanya, nelayan, pengusaha, dan stakeholders KP lainnya yang baik dan
sukses itu jauh lebih banyak ketimbang yang ‘nakal’.

Sedikitnya 20 jabatan Eselon-2 sudah dua tahun dijabat oleh Pelaksana Tugas (Plt), Dirjen.
PSDKP hampir tiga tahun dijabat oleh Plt. Laporan keuangan KKP dua tahun berturut-turut
(2017 dan 2018) dinyatakan ‘disclaimer’ oleh BPK. Sejak 2015 KKP hanya mampu
membelanjakan dana APBNnya tidak lebih dari 75 persen dari yang KKP usulkan (anggarkan).
Ini jelas bukan penghematan, tetapi jelas menunjukkan kelemahan perencanaan pembangunan
dan keuangan.

Badan Litbang dan Badan Pengembangan SDM (Sumber Daya Manusia) digabung menjadi satu
eselon satu. Padahal, sejarah dan fakta empiris membuktikan, bahwa tidak ada sektor
pembangunan yang maju dan mampu berkontribusi maksimal bagi kemajuan dan kesejahteraan
bangsanya, bila karya hasil litbang (inovasi) dan kualitas SDM-nya rendah.

Akibatnya, rata-rata pertumbuhan ekonomi sektor kelautan dan perikanan menurun dari periode
pemerintahan sebelumnya; nelayan semakin susah akibat proses perizinan yang sangat lama dan
mahal; nilai ekspor menurun, sebaliknya impor ikan melonjak; serta pabrik-pabrik pengolahan
ikan (seafood) di seluruh kawasan industri perikanan seperti Belawan, Muara Baru, Cilacap,
Benoa, Bitung, dan Ambon menderita mati suri kekurangan bahan baku. Empat belas pabrik
surimi di Pantura kolaps akibat ketiadaan bahan baku. Karena larangan penggunaan cantrang
secara mendadak (sudden death).

Akibat Permen KP nomor 57/2014 Jo. Permen KP nomor 32/2016 tentang larangan kapal angkut
untuk kerapu hidup, membatasi muat kerapu hidup hanya dari 1 checkpoint loading per trip,
memisahkan SIPI kerapu budidaya dengan kerapu alam, dan membatasi ukuran kapal angkut
ikan maksimal 500 GT adalah 90 % usaha budidaya kerapu tutup, harga jual kerapu turun rata-
rata 25 persen, dan usaha pembenihan kerapu masyarakat 75 persen gulung tikar. Sementara itu,
implikasi dari Permen KP nomor 1/2015 Jo. Permen KP nomor 56/2016 tentang larangan
penangkapan dan perdagangan lobster dan kepiting pada ukuran tertentu adalah usaha budidaya
dan ekspor kepiting soka tutup, usaha budidaya lobster dan kepiting bangkrut, dan
penyelundupan benih lobster semakin masif, lebih dari 50 juta ekor/tahun (Koto, 2019).

Untuk memperbaiki kebijakan KP yang keliru di atas, Presiden pun akhirnya menerbitkan Inpres
nomor 7/2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional. Yang intinya
adalah menginstruksikan Menteri KP supaya merevisi semua peraturan dan perundangan yang
menghambat investasi dan bisnis di sektor KP, dan yang berdampak negatif terhadap
kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat KP lainnya.

Selain itu, memerintahkan seluruh Menteri/Kepala Lembaga Pemerintahan yang terkait agar
mendukung Menteri KP dalam menjalankan Inpres tersebut. Malangnya, pelaksanaan Inpres
tersebut tidak diimplementasikan secara serius dan maksimal.

Semua dampak negatif akibat kebijakan pembangunan KP yang tidak tepat itu telah
menimbulkan gelombang demonstrasi nelayan, pembudidaya ikan, industri pengolahan dan
pemasaran dimana-mana, dari awal 2015 sampai menjelang Pilpres 17 April 2019. Iklim
investasi dan kemudahan berbisnis sektor KP pun memburuk.

Perikanan Berkelanjutan
Maka, sesuai dengan Tupoksi (Tugas dan Fungsi Pokok)-nya, ke depan kebijakan dan program
pembangunan sektor KP harus mampu: (1) mengatasi sejumlah permasalahan internal sektor KP;
(2) berkontribusi signifikan memecahkan permasalahan bangsa (nasional); dan (3) meningkatkan
pendayagunaan potensi pembangunan KP untuk mewujudkan Indonesia yang maju, adil-
makmur, dan berdaulat, paling lama pada 2045.

Untuk itu, seluruh kebijakan dan pembangunan KP harus berpedoman pada prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan berbasis pada inovasi Iptek,
khususnya generasi Iptek di era Industri 4.0. Dalam konteks sektor KP, pembangunan perikanan
berkelanjutan adalah suatu paradigma pembangunan perikanan yang mampu menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang cukup (optimal) untuk mensejahterakan seluruh pelaku usaha dan
stakeholders secara berkeadilan, dan pada saat yang sama mampu memelihara kelestarian
sumber daya hayati beserta ekosistem perairannya, sehingga pembangunan perikanan dapat
berlangsung secara berkelanjutan.

Menurut cara produksinya, perikanan meliputi perikanan tangkap; perikanan budidaya; dan
ekstraksi (pengambilan) senyawa bioaktif (bioactive compounds) seperti fucoidan, terodoxin,
chitosan, omega-3, colagen, dan squalence dari biota perairan sebagai bahan baku (raw
materials) untuk industri makanan dan minuman sehat (functional foods), farmasi, kosmetika,
film, pewarna, biofuel, dan beragam jenis industri lainnya.

Berdasarkan pada uraian di atas, maka kita harus merevisi dan meluruskan sejumlah kebijakan
dan program pembangunan KP ‘Kabinet Kerja Jilid-1’, dan secara simultan mengembangkan
sejumlah kebijakan dan program pembangunan baru (terobosan) berbasis inovasi untuk
mewujudkan pembangunan kelautan dan perikanan berkelanjutan.
Perikanan Tangkap
Di bidang perikanan tangkap, upaya pemberantasan IIU fishing terutama oleh nelayan asing,
yang telah dilaksanakan sejak berdirinya KKP (September 1999) dan telah menunjukkan
keberhasilannya, harus dilanjutkan dan lebih disempurnakan. Demikian juga halnya program
untuk menjaga daya dukung, kualitas, dan kelestarian sumber daya hayati beserta ekosistem
perairan.

Dalam lima tahun kedepan, kita harus mengembangkan sekitar 10.000 unit armada kapal ikan
modern dengan ukuran kapal di atas 100 GT dan alat tangkap yang produktif, efisien, dan ramah
lingkungan, seperti tuna longline, purse seiners, pukat ikan, pukat udang, dan squid jiggling.
Untuk memanen sumber daya ikan di wilayah-wilayah perairan yang selama ini menjadi ajang
pencurian ikan oleh nelayan asing.

Revitalisasi pelabuhan perikanan dan bangun pelabuhan perikanan baru yang dilengkapi dengan
kawasan industri perikanan terpadu sebagai tempat pendaratan dan penjualan ikan hasil tangkap
armada kepal ikan modern tersebut. Kebijakan dan program ini selain akan mengusir kapal-
kapal ikan asing dari wilayah perairan NKRI, juga bakal membangkitan kawasan-kawasan
industri KP sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa, khususnya di wilayah
terdepan, terpencil, dan tertinggal.

Kapal ikan dan nelayan yang mengoperasikan armada kapal ikan modern ini terutama berasal
dari wilayah-wilayah perairan NKRI yang telah overfishing, seperti perairan Pantura, sebagian
Selat Malaka, dan Pantai Selatan Sulawesi. Sebaiknya, armada kapal ikan modern ini juga
dimiliki oleh para nelayan nasional berbasis Koperasi atau lembaga usaha bersama lain yang
cocok, bekerjasama dengan korporasi besar yang memiliki industri pengolahan hasil perikanan
untuk memasok pasar dalam negeri maupun ekspor.

Kapal-kapal ikan tradisional yang jumlahnya mencapai 60 persen dari total kapal ikan nasional
(sekitar 620.000 unit kapal), harus secara bertahap dimodernisasi dengan teknologi mutakhir
yang tepat guna. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan produktivitas, pendapatan, dan
kesejahteraan nelayan. Nelayan tradisional juga harus dimitra-kerjakan dengan industri-industri
pengolahan hasil perikanan secara saling menguntungkan seperti halnya untuk nelayan modern
di atas.

Kebijakan yang menghambat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan nelayan harus


dihentikan. Contohnya, moratorium kapal ikan di atas 200 GT, moratorium pukat hela dan pukat
tarik termasuk cantrang, kapal pengangkut ikan dan suplai perbekalan melaut untuk usaha
penangkapan ikan lebih dari 10 kapal penangkap ikan (a group fishing), dan lainnya.
Yang harus dilakukan ke depan bukanlah moratorium, tetapi pengendalian dan penataan melalui
pembatasan kuota penangkapan ikan tidak melebihi MSY, penjarangan ukuran mata jaring,
pelarangan aktivitas penangkapan ikan pada waktu-waktu tertentu (closed seasons), pelarangan
penangkapan ikan di daerah-daerah tertentu seperti daerah pemijahan dan asuhan ikan (closed
areas), dan teknik pengelolaan (management measures) perikanan tangkap lainnya.

Selain itu, setiap unit usaha perikanan tangkap harus memenuhi skala ekonomi (economy of
scale) nya supaya pendapatannya mensejahetrakan nelayan, yakni minimal 300 dolar AS (Rp 4,2
juta)/nelayan/bulan. Nelayan mesti dilatih dan dibimbing untuk menerapkan Best Handling
Practices, mulai ikan naik palkah kapal sampai di pelabuhan perikanan/tempat pendaratan ikan
dengan sarana produksi yang mendukung.

Termasuk Sistem Logistik Perkanan Nasional (storage, transportation, and distribution) yang
sudah terbangun sejak 2002 harus terus direvitalisasi dan dikembangkan. Demikian juga halnya,
untuk transportasi mendatangakan sarana produksi perikanan tangkap dan perbekalan melaut dari
pabrik-pabrik produsen ke pelabuhan perikanan dan pemukiman nelayan.

Mengingat seluruh nelayan di dunia, termasuk di Indonesia tidak bisa melaut setahun penuh.
Kurang lebih 4 bulan dalam setahun, nelayan tidak bisa melaut lantaran cuaca buruk atau musim
paceklik ikan. Maka, pemerintah berkewajiban untuk menyediakan matapencaharian substitusi
(alternatif) selama masa 4 bulan tersebut.

Perikanan Budidaya
Di bidang perikanan budidaya, kita harus melaksanakan program revitalisasi, diversifikasi, dan
ekstensifikasi usaha perikanan budidaya di wilayah perairan laut (mariculture), perairan payau
atau tambak (coastal aquaculture), dan perairan darat. Program revitalisasi bertujuan untuk
meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan setiap unit
usaha perikanan budidaya yang ada.

Program diversifikasi mengandung arti mengembangkan usaha perikanan budidaya dengan


spesies baru, seperti udang jerbung, udang rostris, ikan cobia, rajungan, gonggong, teripang,
lobster air tawar, dan invertebrata. Program ini sangat penting untuk memenuhi permintaan
terhadap komoditas dan produk akuakultur yang terus meningkat.

Program ekstensifikasi berarti mengembangkan usaha akuakultur di daerah dan wilayah baru.
Komoditas unggulan untuk program ekstensifikasi di wilayah perairan laut antara lain adalah:
kakap putih, beberapa jenis kerapu, bawal bintang, lobster, teripang, beberapa jenis rumput laut,
dan kerang mutiara.
Komoditas unggulan untuk usaha budidaya di perairan payau (tambak) antara lain meliputi:
udang vannamei, udang windu, ikan bandeng, nila salin, kepiting bakau, kepiting soka, dan
beberapa jenis rumput laut. Komoditas unggulan untuk budidaya di ekosistem perairan tawar
(sungai, danau, bendungan, saluran irigasi, kolam air tawar, sawah alias minapadi, akuarium, dan
wadah lainnya) antara lain adalah: ikan nila, gurame, ikan emas, patin, baung, belida, lele, gabus,
bawal air tawar, dan udang galah.

Supaya produktif, efisien, berdaya saing, dan mensejahterakan secara berkelanjutan, semua
usaha perikanan budidaya, baik melalui program revitalisasi, diversifikasi, maupun ekstensifikasi
harus memenuhi skala ekonominya. Selain itu, menerapkan Best Aquaculture Practices (Cara-
Cara Budidaya Terbaik): (1) penggunaan bibit dan benih unggul (SPF, SPR, fast growing, dan
good taste); (2) penggunaan pakan berkualitas dan cara pemberian pakan yang tepat dan benar;
(3) pengendalian hama dan penyakit; (4) manajemen kualitas air; (5) teknik perkolaman (pond
engineering); (6) teknologi budidaya yang mutakhir dan tepat seperti teknik bioflok dan RAS;
dan (7) biosecurity.

Kemudian, padat penebaran spesies budidaya tidak boleh melebihi daya dukung setiap kolam,
tambak, KJA atau wadah lainnya. Dan, intensitas (laju) pembangunan perikanan budidaya
dalam suatu satuan wilayah (desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, atau satuan ekosistem seperti
DAS) tidak melampaui daya dukung lingkungan wilayah tersebut. Dalam hal ini, intensitas
pembangunan perikanan budidaya ditentukan oleh luas areal usaha budidaya dan padat
penebaran.

Kita juga harus menerapkan manajemen rantai pasok dan nilai secara terpadu, dari hulu
(subsistem produksi), processing and packaging, distribusi, sampai ke pemasaran. Dengan
demikian, pasokan sarana produksi dan pemasaran hasil panen dengan harga yang
menguntungkan akan terjamin stabil, dan industri pengolahan hasil panen budidaya pun terjamin
secara berkelanjutan.

Pengolahan Perikanan
Di bidang industri pengolahan hasil perikanan, dengan mengimplementasikan segenap kebijakan
dan program perikanan tangkap dan perikanan budidaya seperti diatas, maka pasokan bahan
baku akan terjamin keberlanjutannya. Tinggal, kita tingkatkan kualitas, keamanan pangan,
kemasan, dan daya saing produk olahan perikanan kita sesuai dengan dinamika selera konsumen
domestik maupun global.

Kita pun harus terus menerus menghasilkan inovasi produk-produk olahan hasil perikanan sesuai
perkembangan selera konsumen dan pasar dalam negeri maupun global. Industri bioteknologi
perairan, terutama ekstraksi senyawa bioaktif untuk pengembangan industri farmasi, kosmetik,
functional foods, film, pewarna, biofuel, dan beragam industri lainnya mesti terus diperkuat dan
dikembangkan.

Anda mungkin juga menyukai