Anda di halaman 1dari 14

ARGUMENTUM, VOL. 13 No.

2, Juni 2014

131

PELAYARAN NIAGA INDONESIA DALAM KAITANNYA


DENGAN ASAS CABOTAGE
Bambang Suyatno
- Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jenderal Sudirman Lumajang Jl. Mahakam No. 7 Lumajang
ABSTRAK
Di kalangan pelaku usaha bidang pelayaran masih terdapat
anggapan keliru yang memandang bahwa penerapan asas
cabotage dalam pelayaran domestik bertentangan dengan
prinsip liberalisasi perdagangan. Padahal, asas ini berlaku
global dan diterapkan oleh negara-negara maju, seperti
Amerika Serikat. Sejak dikeluarkannya UU No. l7/2008,
asas cabotage yang tertuang dalam Pasal 8 yang
menyebutkan kegiatan angkutan laut di dalam negeri
dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional, dengan
menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki
oleh awak berkewarganegaraan Indonesia, memberikan
dampak positif bagi pelaku pelayaran kendati
penerapannya cukup problematik.
Kata kunci : Pelayaran Indonesia, Domestik, Asas Cabotage
A. PENDAHULUAN
A.1. Latar Belakang
Asas cabotage merupakan salah satu dari asas yang
terdapat dalam hukum laut (maritime law), terutama hukum
pengangkutan laut. Asas ini mengandung arti bahwa
penyelenggaraan pelayaran dalam negeri adalah sepenuhnya hak
negara pantai. Negara pantai berhak melarang kapal-kapal laut
asing berlayar dan berdagang sepanjang pantai dalam wilayah
perairan negara pantai yang bersangkutan. Asas ini sering
diartikan juga sebagai pelayaran niaga nasional dari satu
pelabuhan ke pelabuhan yang lain dalam wilayah suatu negara.
Penerapan asas cabotage ini didukung oleh ketentuan
Hukum Laut Internasional, berkaitan dengan kedaulatan dan
yuridiksi yang dimiliki oleh suatu negara pantai atas wilayah

132

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

lautnya. Oleh karena itu, kapal asing tidak boleh berada atau
memasuki wilayah perairan suatu negara tanpa izin dan alasan
yang sah.
Pada saat ini, di kalangan pelaku usaha di bidang pelayaran
masih terdapat anggapan keliru yang memandang bahwa
penerapan asas cabotage dalam pelayaran domestik
bertentangan dengan prinsip liberalisasi perdagangan. Padahal,
asas ini berlaku global dan diterapkan oleh negara-negara maju,
seperti Amerika Serikat yang dikenal sebagai pelopor liberalisasi
perdagangan. Anggapan yang keliru itu membuat pelaku usaha
pelayaran domestik sering mendapat perlakuan yang kurang adil,
terutama dari perusahaan-perusahaan pelayaran asing.
Sebagai acuan pelaksanaan asas cabotage, diterbitkan SK
Menhub No. 71/2005 mengenai peta jalan pelaksanaan asas
cabotage angkutan laut dalam negeri untuk 14 komoditas utama.
Komoditas itu, yakni minyak dan gas bumi, barang umum, batu
bara, kayu olah-olahan primer, beras, minyak kelapa sawit,
pupuk, semen, bahan galian tambang logam dan non logam, bijibijian hasil pertanian, muatan cair dan bahan kimia, serta produk
pertanian.
Sesuai dengan kapasitas armada nasional yang tersedia,
seluruh barang atau muatan antar pelabuhan di dalam negeri
dapat diangkut perusahaan pelayaran nasional dengan
menggunakan kapal berbendera Merah-Putih selambatlambatnya 1 Januari 2011. Asas cabotage ini kembali ditegaskan
dalam UU No. 17/2008 tentang Pelayaran. Sejak dikeluarkannya
UU No. l7 /2008, asas cabotage yang tertuang dalam Pasal 8 yang
menyebutkan kegiatan angkutan laut di dalam negeri dilakukan
oleh perusahaan angkutan laut nasional, dengan menggunakan
kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak
berkewarganegaraan Indonesia, memberikan dampak positif bagi
pelaku pelayaran kendati penerapannya cukup problematik. Hal
ini dapat dilihat dari angka pengadaan kapal nasional yang
cenderung naik dalam 4 tahun terakhir.
Data Departemen Perhubungan mengungkapkan, jumlah
armada niaga nasional sampai triwulan I/2009 mencapai 8.378
unit atau bertambah 2.346 unit (38,83%) dibandingkan dengan

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

133

kondisi pada periode yang sama 4 tahun yang lalu sebanyak 6.041
unit. Selain itu, terjadi pergeseran pengisian pangsa muatan
dalam negeri dari sebelumnya didominasi asing menjadi dikuasai
kapal berbendera nasional meskipun untuk komoditas tertentu,
masih dikuasai asing.
Terbitnya Undang-Undang Pelayaran memang kian
memperkuat Inpres No. 5/2005. Subtansi kedua regulasi itu
adalah bagaimana mengamankan pelayaran dalam negeri dari
serbuan asing dengan menggerakkan sejumlah sektor penting,
diantaranya perdagangan. Untuk mendukung kebijakan itu,
Presiden meminta agar muatan pelayaran antar pelabuhan di
dalam negeri diangkut dengan kapal berbendera Indonesia dan
dioperasionalkan oleh perusahaan pelayaran nasional.
Tumpang tindihnya regulasi antar instansi berdampak buruk
terhadap implementasi asas cabotage, seperti kepemilikan asing
dalam investasi di Indonesia. Disisi lain, terjadi pengurangan
volume muatan dan uang tambang internasional yang signifikan
akibat krisis ekonomi global, sehingga pasar domestik makin
menarik bagi pelayaran berbendera asing.
Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) INSA Johnson W Sutjipto
mengakui pengusaha pelayaran kesulitan dalam memenuhi target
penerapan asas cabotage secara penuh karena adanya kendala
serius berupa lemahnya dukungan dari sektor usaha lainnya, juga
menggambarkan betapa sulitnya pelayaran mendapatkan
pendanaan dari perbankan dalam negeri untuk mengadakan kapal
baru atau bekas, apalagi sampai kepada meminta bunga rendah.
Oleh karena itu, penerapan asas cabotage pada komoditas
migas dan offshore masih memerlukan kemauan politik
pemerintah yang kuat, terutama dalam mengintervensi pemilik
komoditas agar memberikan kontrak sewa kapal jangka panjang
kepada operator.
A.2. Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai
berikut: Bagaimana penerapan hukum kerugian di laut yang
dihadapi oleh pelaku usaha pelayaran niaga nasional dalam usaha
memenuhi asas Cabotage sesuai Undang-Undang Pelayaran?

134

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

A.3. Metode Penelitian


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian hukum normatif, dengan pendekatan
perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep
(conceptual approach), pendekatan historis (historical approach),
pendekatan perbandingan (comparative approach) untuk
mengetahui penerapan hukum kerugian di laut yang dihadapi oleh
pelaku usaha pelayaran niaga nasional dalam usaha memenuhi
asas Cabotage sesuai Undang-Undang Pelayaran.
B. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Kapal Bendera Indonesia tidak dapat dimiliki oleh
perusahaan asing karena Indonesia menganut sistem closed
registry dan menurut Pasal 158 Ayat (2) UU RI No. 17 Tahun
2008 tentang pelayaran, kapal yang dapat didaftarkan di
Indonesia yaitu:
a. Kapal dengan ukuran tonase kotor sekurang-kurangnya GT 7
(tujuh Gross Tonnage);
b. Kapal milik warga negara Indonesia atau badan hukum yang
didirikan berdasarkan badan hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia;
c. Kapal milik badan usaha Indonesia yang merupakan usaha
patungan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh warga
negara Indonesia.
Dan dalam persyaratan untuk mendapatkan izin usaha
angkutan laut untuk perusahaan nasional secara umum dapat
dilihat pada Pasal 29 UU RI Tahun 2008 tentang pelayaran yaitu:
(1) Untuk mendapatkan izin usaha angkutan laut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) badan usaha wajib memiliki,
kapal berbendera Indonesia dengan ukuran sekurangkurangnya GT 175 (seratus tujuh puluh lima Gross Tonnage).
(2) Orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan
usaha dapat melakukan kerja sama dengan perusahaan
angkutan laut asing atau badan hukum asing atau warga
negara asing dalam bentuk usaha patungan (joint venture)
dengan membentuk perusahaan angkutan laut yang memiliki

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

135

kapal berbendera Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) unit


kapal dengan ukuran GT 5000 (lima ribu Gross Tonnage) dan
diawaki oleh awak berkewarganegaraan Indonesia.
Sedangkan kapal berbendera Asing dapat dimiliki oleh
perusahaan Indonesia, hal ini harus sesuai dengan peraturan atau
hukum tentang pelayaran dari negara berbendera kapal tersebut.
Sebagian negara seperti contoh Panama atau Liberia (yang
menjalankan open registry atau flag of convenience)
memperbolehkan tetapi sebagian sama sekali tidak di
perbolehkan. Dan semua kapal asing harus mengunakan PPKA
untuk beroperasi di Indonesia dan diharuskan sesuai dengan
Pasal 5 ayat 2 KM 33 TAHUN 2001, yang berbunyi sebagai berikut:
Penggunaan kapal asing untuk angkutan laut dalam negeri
sebagaimana dimaksud pada pasal 4 ayat (1), sebelum
dioperasikan oleh perusahaan angkutan laut nasional
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja wajib di
laporkan dan di terima Direktur Jenderal Perhubungan
menurut contoh keputusan iniKapal asing yang tidak
memenuhi syarat bendera (dispensasi) dan tidak memenuhi
persyaratan PPKA ini dilarang beroperasi di wilayah perairan
Indonesia dan tidak diberikan pelayanan di pelabuhan
Indonesia.
Dan untuk waktu penggunaan kapal asing terdapat perbedaan
yaitu:
1. Berdasarkan Pasal 341 UU No. 17/2008 tentang pelayaran
(UU Pelayaran) disebutkan bahwa kapal asing pada saat ini
masih melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri tetap
dapat melakukannya kegiatannya paling lama 3 tahun
terhitung sejak tanggal berlakunya UU ini yaitu tanggal 7 mei
2008;
2. Sedangkan berdasarkan Pasal 3 (1) g,h,i KM71 Tahun 2005
batas waktunya paling lambat adalah 1 Januari 2011.
Dengan perbedaan tersebut, timbul suatu pertanyaan batas
waktu manakah yang berlaku dalam penerapan asas cabotage:
Pertama yang harus diperhatikan adalah, jangka waktu yang di
atur dalam UU no 17/2008 hanya untuk kapal asing yang sudah
beroperasi/melayani kegiatan angkutan dalam negeri sebelum

136

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

UU no 17/2008 itu berlaku. Tetapi setelah berlakunya UU no


17/2008 (tanggal 7 Mei 20080, apabila kapal asing yang baru mau
beroperasi/melayani kegiatan angkutan dalam negeri maka
berlaku ketentuan Pasal 8 dan Pasal 284 UU No. 17/2008 yaitu
berupa larangan bagi kapal asing untuk melakukan kegiatan
angkutan dalam negeri.
Berdasarkan Pasal 353 UU No.17/2008 disebutkan bahwa
pada saat berlakunya UU Pelayaran ini segala peraturan
pelaksaan UU No. 21 Tahun 1992 (UU Pelayaran Lama)
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau
belum diganti yang baru berdasarkan UU No.17/2008. Dalam hal
ini KM 71 Tahun 2008 yang merupakan peraturan pelaksanaan
UU No .21/1992 (UU Pelayaran Lama) tetap berlaku hanya
mengenai aturan-aturan yang tidak bertentangan dengan UU No
17/2008.
Masalah ini menjadi dilema untuk semua stakeholder tetapi
sesuai penjelasan dari Dephup Pasal 341 UU 17/2008 harus
dilihat sebagai nafas dan bukan celah dalam melaksanakan
implementasi asas cabotage. Dalam pengertian UU atau KM yang
bertentangan dengan UU nomor 17/2008 perlu di perhatikan
bahwa, sesuai Pasal 353 UU No.17/2008 dinyatakan sebagai
berikut Pada saat Undang-undang berlaku semua peraturan
pelaksanaan UU No 21/1992 ini tentang pelayaran dinyatakan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum di ganti
dengan yang baru berdasarkan UU ini dengan demikian semua
peraturan penjelasan sebelumnya tetap berlaku asalkan tidak
bertentangan dengan UU No. 17/2008 dan jika bertentangan
harus mengacu kepada UU No 17/2008. Dan sanksi atas
pelanggaran cabotage diancam dengan ancaman pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 284 UU nomor 17 tahun 2008,
yaitu: Setiap orang yang mengoperasikan kapal asing untuk
menggangkut penumpang dan/atau barang antar pulau atau
antar pelabuhan di wilayah pelabuhan perairan Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (a) di pidana dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak RP
6oo.ooo.ooo (enam ratus juta rupiah).

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

137

Selain sanksi pidana, pelangaran asas cabotage juga dapat


dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal
59 UU 17 Tahun 2008, berupa:
a. Peringatan;
b. Denda administratif;
c. Pembekuan izin atau pembekuan sertifikat;
d. Pencabutan izin atau sertifikat.
Dalam penerapan hukum kerugian di laut yang dihadapi
oleh pelaku usaha pelayaran niaga nasional dijelaskan dalam
KUHD (Kitab Undang-undang Hukum Dagang) ditegaskan bahwa
kerugian di laut adalah kerugian akibat adanya tubrukan kapal,
kapal karam, kapal kandas, penemuan barang dilaut dan avarai.
Tubrukan kapal adalah suatau bencana di laut yang menjadi
sumber dari kerugian yang timbul pada salah satu pihak atau
kedua belah pihak yang menjadi perbuatan hukum sebagaimana
di maksud dalam Pasal 1313 KUHD.
Sedangkan yang dimaksud avarai adalah sejenis kerugian
di laut yang bersumber kepada perbuatan manusia misalnya
pembajakan kapal MT SINAR KUDUS di Somalia. Sedangkan
sumber yang berasal dari kekuatan alam ialah: angin taufan,
hujan lebat, gelombang besar, dan lain-lain. Avarai adalah salah
satu dari kelompok hukum kerugian dilaut, yaitu peraturan tertua
yang dikenal dengan nama Lex Rhodia de Jactu yang kalau di
terjemahkan artinya pembuangan barang-barang di laut demi
keselamatan kapal beserta muatannya. Asas Avarai adalah bila
mana untuk keselamatan kapal dan muatannya, terpaksa
dilakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan kerugian
atau mengakibatkan dikeluarkannya ongkos-ongkos tersebut
yang dibebankan kepada pemilik kapal, pemilik barang, dan
pengangkut barang. Unsur-unsur tentang avarai menurut Pasal
696 adalah sebagai berikut:
a. Ongkos-ongkos luar biasa yang di keluarkan bagi kapal dan
muatan nya secara bersama-sama atau sendiri-sendiri.
b. Semua kerugian yang menimpa pada kapal dan muatannya.
Ongkos-ongkos luar biasa ini merupakan resiko bagi si
pemilik kapal, si pemilik barang muatan dan si pengangkut. Untuk
menghilangkan akibat resiko ini perlu sekali adanya asuransi.

138

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

Yang bertujuan menjamin resiko pengusaha dengan cara


mengganti kerugian di laut, sebab tanpa asuransi maka
kelangsungan hidup pengusaha pengangkutan dan pengusaha
kapal dalam keadaan bahaya. Adapun definisi tentang avarai
terdapat dalam pasal 696 yang berbunyi: segala biaya yang luar
biasa yang di keluarkan guna kepentingan sebuah kapal dan
barang-barang yang dimuatnya, baik biaya tadi di keluarkan
bersama-sama atau sendiri-sendiri, serta segala kerugian yang
menimpa kapal dan barang-barang tersebut, yang dalam
bagiannya. Pengertian tentang tubrukan kapal diyatakan dalam
pasal 534 ayat (1) menetapkan bahwa yang dinamakan tubrukan
kapal adalah tabrakan atau penyentuhan antara kapal satu
dengan kapal yang lain. Juga pengertian yang lain mengenai
tubrukan kapal yang dapat di jelaskan sebagai berikut :
1. Cacat pada kapal yang disebabkan karena pembuatannya
atau pemeliharaannya salah, atau pengawasan atas kapal itu
tidak sempurna;
2. Suatu perintah dari nakhoda yang keliru atau pelaksanaanya
yang salah.
Dugaan hukum atas kesalahan dalam tubrukan kapal ada
dua macam, yaitu dugaan menurut undang-undang dan dugaan
yang tidak menurut undang-undang (pasal 1915 ayat (2). Dugaan
menurut UU adalah dugaan berdasarkan suatu ketentuan khusus
dari UU yang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu
atau peristiwa tertentu (pasal 1916 ayat (1) KUHPer). Sedangkan
dugaan yang tidak berdasarkan UU, diserahkan pada
pertimbangan dan pengawasan hakim (pasal l922, kalimat
pertama).
Di dalam KUHD ada dua buah pasal (Pasal 540 dan Pasal 544
a ayat (2) ) yang mengandung dugaan UU (meskipun dalam hal ini
dilarang oleh Traktat Brusel 1910 (Pasal 6) ; yang mana tidak
dibolehkan negara peserta menetapkan dalam undangundangnya bahwa sesuai peristiwa tertentu a priori dianggap
tidak lain dari semula harus membuktikan hasil sebaliknya,
dengan akibat bahwa pihak lain harus membuktikan hal
sebaliknya, yaitu kesalahan pihak lawan.

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

139

a. Pasal 540, apabila setelah tubrukan kapal, salah satu kapal


yang tubrukan tersebut berlayar menuju pelabuhan terdekat,
dan dalam perjalanan tengelam, maka ini dianggap
disebabkan karena tubrukan itu, kecuali dibuktikan
sebaliknya. Ketentuan ini bukan suatu pelangaran pada
'Traktat Brusel itu, sebab dugaan tidak mengenai kesalahan
salah satu kapal, tetapi mengenai hubungan kausal antara
karam kapal dengan tubrukan.
b. Pasal 544 (a) ayat (2), apabila sebuah kapal menubruk pada
benda tetap atau bergerak yang diikat sehingga tidak dapat
bergerak dengan bebas, maka pengusaha kapal bertangung
jawab atas kerugian yang di timbulkan dari padanya, kecuali
bila dibuktikan sebaliknya. Ketentuan ini juga bukan sesuatu
pelangaran Traktat Brusel 1910 tersebut, sebab larangan
dalam Traktat Brusel itu mengenai tubrukan antara kapal
dengan barang lain, seperti yang telah di tentukan dalam
pasal 544 a ayat (2) tersebut di atas. Menurut Pasal 698 ayat
(1), ada dua macam avarai yaitu umum (averij grose) dan
avarai khusus (bijzondere averij). Avarai umum dibebankan
bersama-sama kepada kapal, uang angkut dan muatan.
Sedangkan avarai khusus dibebankan kepada masing-masing
pihak yang mendapat kerugian atau yang mengeluarkan
biaya-biaya luar biasa (Pasal 698 ayat 2 ). Sehingga pengertian
yang sesuai dengan sejarah ialah avarai umum saja. Suatu
kerugian atau pengeluaran biaya luar biasa dapat dimasukan
dalam jenis avarai umum dengan beberapa persyaratan:
1) Penyebab avarai umum adalah suatu peristiwa tidak pasti
(onzeker voorval).
2) Ada unsur keadaan darurat (uit nood) misalnya: adanya
ancaman bahaya tenggelam secara langsung bagi sebuah
kapal yang sedang berlayar dilaut.
3) Adanya unsur kesengajaan untuk menimbulkan kerugian
atau pengeluaran biaya-biaya luar biasa.
4) Adanya tujuan bagi keselamatan beserta muatannya.
Avarai umum diatur dalam Pasal 699 dan avarai khusus
pada Pasal 701. Ketentuan Pasal 699 yang penting diperhatikan
adalah yang memberi katentuan umum. Sedangkan hal penting

140

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

dalam Pasal 701 yang memberi pedoman umum apa yang


dimaksud dengan avarai khusus. Pasal 700 mengatur tentang
kerugian atau pengeluaran biaya-biaya luar biasa pada kapal yang
bersumber pada:
1) Cacat tersembunyi pada kapal;
2) Tidak adany kelaikan laut pada kapal;
3) Kesalahan atau kealpaan nahkoda atau awak kapal.
Meskipun peristiwa sebagai yang diatur dalam pasal 700 ini
menyerupai avarai umum, tetapi karena bersumber dari cacat
tersembunyi pada kapal, tidak adanya kelaiklautan kapal atau
kalau kerugian bersumber kepada kesalahan, kelalaian nahkoda
atau anak buah kapal, maka avarai itu berakibat sebagai avarai
khusus, artinya kerugian itu dibebankan kepada masing-masing
pihak yang tertimpa kerugian atau yang mengeluarkan biayabiaya luar biasa. Menurut UU yangtermasuk dalam kategori
avarai umum adalah:
1) Uang tebusan, uang diberikan kepada musuh atau bajak laut
sebagai uang pembelian kapal beserta muatannya dengan
maksud agar kapal beserta muatannya dibebaskan kembali (
Pasal 699 ayat (1) );
2) Pembuangan barang dilaut, untuk kepentingan kapal dan
muatannya. Hal ini perlu karena kapal yang sedang diancam
gelombang atau angin ribut yang dapat meringankan kapal
supaya kapal tidak tenggelam (Pasal 699);
3) Biaya-biaya luar biasa bagi awak kapal, seperti pemeliharaan,
perawatan awak kapal yang telah berjasa dalam
pempertahankan kapal terhadap ancaman di laut;
4) Ongkos-ongkos kepelabuhan darurat, seperti gaji awak kapal,
uang pandu, selama berada di pelabuhan darurat;
5) Ongkos-ongkos penuntutan kembali kapal bila kapal beserta
muatannya ditahan selama waktu penuntutan, dengan syarat
sesudah penuntutan itu menjadi bebas;
6) Ongkos-ongkos yang di keluarkan sesudah lampaunya bahaya
ancaman di laut, seperti uang tolong,dan lain-lain;
7) Kerugian yang disebabkan didamparkannya kapal dipantai
untuk menghindari rampasan musuhatau dari kemusnahan;

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

141

8) Kerugian dan kerusakan barang yang dipindahkan kapal


penolong ke kapal asalnyabila dalam keadaan darurat.
Avarai umum mempunyai unsur-unsur sebagai:
1) Penyebab.
2) Kesengajaan.
3) Tujuan.
Perkapalan merupakan bagian dari industri maritim yang
menjadi tulang punggung transportasi laut khususnya bagi negara
kepulauan.walaupun transportasi laut merupakan kegiatan
turunan dari sektor perdagangan antar pulau dan antar negara
yang telah terbukti memiliki keungulan komperatif sangat
ekonomis (economis of scale) dalam menunjang perdagangan
internasional sejak 3200 tahun sebelum masehi(mesir).Indonesia
menjadi salah satu wilayah yang paling strategis dalam jalur
pelayaran dunia (mesir telah berhubungan dagang dengan
Indonesia pada 1200 SM).
Namun hal ini tidak menjadikan Indonesia menerima
keuntungan dari kegiatan perdagangan internasional tersebut.
Kesempatan ini justru di ambil oleh negara tetangga singapura
dan malaysia, mereka telah mampu menyediakan sarana
pelabuhan Hub Port bagi armada kapal dunia. Dapat kita
bayangkan besarnya keuntungan yang diperoleh dari dua negara
tersebut karena 71% perdagangan internasoinal menggunakan
transportasi laut (sea borne trade), dimana dalam jumlah berat
adalah berkisar 96% diangkut oleh armada kapal (moda laut). 70%
dari transportasi laut untuk perdagangan internasional melalui
perairan indinesia, artinya 70% dari armada kapal internasional
menyinggahi Hub Port ke dua negara tersebut. Sumber day laut
dijadikan sebagai motor dalam pembangunan nasional dan dapat
menjadi tumpuan untuk mensejahterakan bangsa.
Namun kenyataan saat ini dari sisi transportasi laut, dapat
dilihat
bahwa
armada
kapal
yang
menjadi
alat
mempersatubangsa dalam segi ekonomi Indonesia, masih sangat
tergantung pada armada asing (<50%). Melalui Inpres No 5 tahun
2005 asas cabotage (asas cabotage adalah prinsip hukum yang
dianut oleh sebagian besar negara maritim dunia yang
menyatakan bahwa angkutan di dalam suatu negara hanya dapat

142

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

diangkut oleh kapal yang berbendera dari negara yang


bersangkutan). Pemerintah Indonesia berkomitmen dan
mengambil kebijakan kelautan (ocean polici) yang berpihak
kepada pembangunan ekonomi maritim. Kemudian ini di tindak
lanjuti dengan langkah-langkah konkrit lanjutan menyangkut
industri/ekonomi maritim.
Kebijakan perkapalan, kepelabuhan, transportasi laut dan
antar moda,prioritas kegiatan ekonomi, kebijakan fiskal,
kebijakan investasi, energi, dirgantara, kebijakan pembangunan
daerah, dan kawasan serta tatanan kelembagaan dan kebijakan
pembangunan sumber daya manusia berpendoman pada visi dan
misi maritim (bagian dari kebijakan kelautan). Implementasi
kebijakan kelautan memiliki dinamika dan tantangan, sebagai
contoh: kebijakan pemerintah Thailand untuk merebut pasar
transportasi laut dengan recana membuat kanal di semenanjung
Karena, hal ini akan mengurangi volume transportasi laut yang
melalui Perairan Nusantara Indonesia yang merupakan tantangan
bagi Indonesia selam membangun kekuatan ekonomi maritim
sjalan dengan dinamika perubahan, dan komitmen kuat adalah
kunci untuk membangun ekonomi berdaya saing (comperatif),
menciptakan pasardalam negeri yang dapat berperan dalam
ekonomi global.
Agar dapat bersaing dengan negara lain, Indonesia harus
memiliki tenaga profesional atau sumber daya manusia andal
yang memiliki kompetensi khususnya dibidang tehinik perkapalan
dan pelayaran, agar mampu mendukung pembangunan industri
maritim terutama dalam hal pembangunan armada kapal
nasional, dan menjadi tuan rumah diperairan laut Indonesia.
Selain pendidikan khusus dibidang perkapalan dan pelayaran juga
menciptakan kultur/budaya kemaritiman yang memiliki karakter
dinamis dan sangat di perlukan karena khususnya armada kapal,
memilki sifat ekonomis, seperti : nilai investasi tinggi yang
beresiko tinggi, jangka waktu panjang, serta memperhatikan
faktor keselamatan dan komersial dalam dunia maritim.
C. PENUTUP
C.1. Kesimpulan

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

143

Prosedur yang dilakukan nahkoda bila terjadi adanya


musibah di laut, baik karena faktor ektern maupun faktor intern
haruslah selalu menggunakan prosedur keadaan darurat yang
berlaku. Dari itu maka nahkoda sebelum melakukan pelayaran
haruslah membuat perintah. Pembagian tugas yang jelas kepada
semua awak kapal terhadap tugas masing-masing bila terjadi
musibah di laut. Sehingga bila terjadi musibah di laut diharapkan
semua awak kapal terlibat dalam penanggulangan musibah sesuai
tugas yang diembannya. Dalarn tugas yang jelas tersebut untuk
menghindari kepanikan serta kerugian yang lebih besar dari akibat
yang ditimbulkannya. Dengan pembagian tugas yang jelas pula
diharapkan musibah di laut secepatnya bisa diatasi oleh awak kapal
itu sendiri tanpa harus menunggu bantuan pihak lain. Demikian
juga kepemimpinan nahkoda haruslah tegas dan bertanggung
jawab dalam memberi perintah atau komando, sehingga bila
terjadi suatu musibah kecelakaan di laut maka perintah atau
komando penanggulangan hanya ada seorang saja yaitu nahkoda.
C.2. Saran
Disarankan agar peraturan-peraturan pemerintah dan
aturan pelaksanaan lainnya diangkat ketingkat undang-undang
sehingga aturan pelaksanaan hanya berisikan norma, standar
dan kriteria. Hal ini juga mempermudah implementasi dari UU
No. 32 tahun 2004 tentang peraturan dasar Otonomi Daerah
dimana banyak hal bersangkutan dengan aturan yang telah
dilimpahkan ke daerah. Dengan demikian aturan pelaksanaan dari
Undang-undang No. 17 tahun 2008 tentang pelayaran cukup
diatur dalam 3 (tiga) Peraturan Pemerintah yang berisikan norma,
standar dan kriteria di bidang: (1) Angkutan Laut, (2)
Kepelabuhanan, dan (3) Keselamatan dan Keamanan Maritim.
----DAFTAR PUSTAKA
Buku Materi Penyuluhan Keselamatan Kapal, Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut, Menteri Perhubungan, Jakarta, 2001.
Buku Materi Penyuluhan Keselamatan Kapal, Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut, Menteri Perhubungan, Jakarta, 2010.

144

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

Keputusan Direktur Perhubungan Laut No. PY.66/1/4-03 Tahun


2003 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kelaiklautan
Kapal.
Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 62 Tahun 2002 Tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kantor Administrator Pelabuhan
Tanjung Perak Kelas I Surabaya.
Lasse A.D., Fungsi dan Prestasi Kerja Pandu Bandar Jurnal
Manajemen Transportasi, Volume VIII, No.03 2007.
Pandoyo Toto, Wawasan Nusantara dan Implementasinya dalam
UUD 1945 serta Pembangunan Nasional, Cetakan ke-2, PT.
Rineka Cipta, Jakarta, 1994.
Peraturan-peraturan Bandar (Reden Reglement 1925, STBL 1924
No.500).
Rony Soemitro (1990) Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri,
Balai Pustaka, Jakarta.
Rosyid Mohammad Daniel, Setyawan Dony (2000), Kekuatan
Struktur Kapal, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Santosa Djohari (2004), Pokok-Pokok Hukum Perkapalan, UII Press,
Yogyakarta.
Sinamo, Nomensen. ( 2009 ). Metode Penelitian Hukum. Bumi
Intitama Sejahtera. Jakarta
Soedjono Wiwoho, Pengangkutan Laut dalam Hubungannya
dengan Wawasan Nusantara Seri Hukum Dagang, PT. Bina
Aksara, Jakarta, 1983.
Subagyo Joko, Hukum Laut Indonesia, Cetakan ke-1, PT. Rineka
Cipta, Jakarta, 1993.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang
Pelayaran.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1992 Tentang
Pelayaran.

Anda mungkin juga menyukai