Anda di halaman 1dari 23

HUKUM PENGANGKUTAN

“HUKUM PELAYARAN BAGIAN II”


ANGGOTA

1 Irsyad Fikri

2 Lailly Siti Awaliyah

3 Roni Marzuki Nasution


HUKUM PELAYARAN BAGIAN II:
1. SEJARAH LAHIRNYA HUKUM PELAYARAN INDONESIA
2. UNSUR UMUM UU NO. 17/2008 TENTANG PELAYARAN DAN PERATURAN PELAKSANAANNYA
3. ANGKUTAN DI PERAIRAN
4. HIPOTEK DAN PIUTANG-PELAYARAN YANG DIDAHULUKAN
5. PROSEDUR DAN SYARAT-SYARAT PEMBEBANAN HIPOTEK KAPAL LAUT
6. SIFAT PERJANJIAN HIPOTEK KAPAL LAUT
7. HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA PEMBERI DAN PENERIMA HIPOTEK
8. JANGKA WAKTU BERLAKU HIPOTEK KAPAL LAUT
9. HAPUSNYA HIPOTEK KAPAL LAUT
10. PENCORETAN (ROYA) AKTA HIPOTEK KAPAL LAUT
11. KESELAMATAN DAN KEAMANAN PELAYARAN
12. KELAIK LAUTAN KAPAL
13. KENAVIGASIAN
1. SEJARAH LAHIRNYA HUKUM PELAYARAN INDONESIA
Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dianugerahi sebagai negara kepulauan yang
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah mulai melakukan pengantian secara bert
terdiri atas beribu pulau, sepanjang garis khatulistiwa, di antara dua benua dan dua sam
udera sehingga mempunyai posisi dan peranan penting dan strategis dalam hubungan a ahap, peraturan pelayaran peninggalan kolonial Belanda dengan lahirnya Peratur
ntarbangsa. an Pemerintah Nomor 61 Tahun 1954 tentang penetapan peraturan muatan kapal
Posisi strategis Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dimanfaatkan secara maksi laut jo peraturan pemerintah Nomor 12 Tahun 1962 tentang perusahaan muatan
mal sebagai modal dasar pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-U kapal laut jo Peraturan pemerintah Nomor 5 Tahun 1964 tentang penyelenggaraa
ndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mewujudkan Indonesia yang
aman, damai, adil, dan demokratis, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. n dan penetapan angkutan laut jo peraturan pemerintah Nomor 2 Tahun 1969 ten
tang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut (Lembaran Negara Tah
Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional dan perwujudan Wawasan Nusantar
a, perlu disusun sistem transportasi nasional yang efektif dan efisien, dalam menunjang un 1969 Nomor 2,Tambahan Lembaran Negara Nomor 2881) sebagaimana telah
dan sekaligus menggerakkan dinamika pembangunan, meningkatkan mobilitas manusia, diubahdengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1985 (Lembaran Negara T
barang, dan jasa, membantu terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinam
is, serta mendukung pengembangan wilayah dan lebih memantapkan perkembangan ke ahun 1985 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3292) jo peraturan p
hidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, turut mendukung pertahanan dan ke emerintah nomor 17 tahun 1988 jo Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No
amanan, serta peningkatan hubungan internasional.
mor 82 Tahun1999 tentang Angkutan di Perairan (Lembaran Negara Republik Ind
Angkutan laut yang mempunyai karakteristik pengangkutan secara nasional dan menjan onesia Tahun 1999 Nomor 187, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
gkau seluruh wilayah melalui perairan perlu dikembangkan potensi dan ditingkatkan pera
nannya sebagai penghubung antarwilayah, baik nasional maupun internasional termasuk Nomor 3907) jo Peraturan pemerintah Nomor 20 tahun 2010 (Lembaran Negara
lintas batas, karena digunakan sebagai sarana untuk menunjang, mendorong, dan meng Tahun 2010 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5208) tentang angku
gerakkan pembangunan nasional dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat serta
menjadi perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia. tan diperairan Semua ini dimaksudkan untuk dapat menunjang terwujudnya Waw
asan Nusantara.
Sebelum berlakunya produk hukum Nasional, hukum pelayaran diindonesia mengadopsi
peraturan pelayaran peninggalan colonial belanda antara lain: Penyempurnaan dimaksud diperlukan untuk menata kembali penyelenggaraan d
an pengusahaan angkutan laut dan kegiatan usaha penunjangnya, agar dapat m
Indische Scheepvaartswet, Staatsblad Tahun 1936 Nomor 700, Loodsdienst Ordonnantie
enciptakan kepastian dan ketertiban usaha,tersedianya jasa angkutan laut yang n
, Staatsblad Tahun 1927 Nomor 62, Scheepmeetings Ordonnantie, Staatsblad Tahun 192
yaman, aman, lancar, tertib dengan biaya yang terjangkau, serta sesuai dengan k
7 Nomor 210, Binnenscheepen Ordonnantie, Staatsblad Tahun 1927 Nomor 289, Zeebrie
ebutuhan masyarakat, bangsa,dan Negara.
ven en Scheepspassen Ordonnantie, Staatsblad Tahun 1935 Nomor 492, Scheepen Or
donnantie, Staatsblad Tahun 1935 Nomor 66, Bakengeld Ordonnantie, Staatsblad Tahun
1935 Nomor 468, dan Bedrijfsr eglementerings ordonnantie, Staatsblad Tahun 1934 Nom
or 86.
Undang-Undang tentang Pelayaran yang memuat empat unsur utama yakni angkutan di perairan, kepelabuhanan,
keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan maritim dapat diuraikan sebagai berikut:
A. Pengaturan untuk bidang angkutan di perairan memuat prinsip pelaksanaan asas cabotage dengan cara
pemberdayaan angkutan laut nasional yang memberikan iklim kondusif guna memajukan industri angkutan di
perairan, antara lain adanya kemudahan di bidang perpajakan, dan permodalan dalam pengadaan kapal serta
adanya kontrak jangka panjang untuk angkutan;
B. Dalam rangka pemberdayaan industri angkutan laut nasional, dalam Undang-Undang ini diatur pula mengenai
hipotek kapal. Pengaturan ini merupakan salah satu upaya untuk meyakinkan kreditor bahwa kapal Indonesia
dapat dijadikan agunan berdasarkan peraturan perundang-undangan, sehingga diharapkan perusahaan
angkutan laut nasional akan mudah memperoleh dana untuk pengembangan armadanya;
C. pengaturan untuk bidang kepelabuhanan memuat ketentuan mengenai penghapusan monopoli dalam
penyelenggaraan pelabuhan, pemisahan antara fungsi regulator dan operator serta memberikan peran serta
pemerintah daerah dan swasta secara proporsional di dalam penyelenggaraan kepelabuhanan;
D. pengaturan untuk bidang keselamatan dan keamanan pelayaran memuat ketentuan yang mengantisipasi
kemajuan teknologi dengan mengacu pada konvensi internasional yang cenderung menggunakan peralatan
mutakhir pada sarana dan prasarana keselamatan pelayaran, di samping mengakomodasi ketentuan mengenai
sistem keamanan pelayaran yang termuat dalam "International Ship and Port Facility Security Code"; dan
E. pengaturan untuk bidang perlindungan lingkungan maritim memuat ketentuan mengenai pencegahan dan
penanggulangan pencemaran lingkungan laut yang bersumber dari pengoperasian kapal dan sarana sejenisnya
dengan mengakomodasikan ketentuan internasional terkait seperti "International Convention for the
Prevention of Pollution from Ships".
Asas hukum adalah jantungnya peraturan hukum karena ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya peraturan hukum atau ia adalah
sebagai ratio legisnya peraturan hukum, demikianlah ungkapan Soetjipto Rahardjo. Dari pernyataan tersebut kiranya dapatlah dimengerti arti
pentingnya dari suatu asas hukum. Arti penting tersebut diantaranya ialah mengarahkan, atau memberikan arah pada hukum. Karenanya penting
untuk disampaikan mengenai asas-asas yang digunakan dalam UU Pelayaran. Asas-asas tersebut diatur pada pasal 2 UU Pelayaran, yang menyatakan:
Pelayaran diselenggarakan berdasarkan:
1. Asas manfaat;
2. Asas usaha bersama dan kekeluargaan;
3. Asas persaingan sehat;
4. Asas adil dan merata tanpa diskriminasi;
5. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan;
6. Asas kepentingan umum;
7. Asas keterpaduan;
8. Asas tegaknya hukum;
9. Asas kemandirian;
10. Asas berwawasan lingkungan hidup;
11. Asas kedaulatan negara; dan
12. Asas kebangsaan.

Pelayaran diselenggarakan dengan tujuan:


a. Memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui perairan dengan mengutamakan dan melindungi angkutan di perairan dalam
rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional;
b. Membina jiwa kebaharian;
c. Menjunjung kedaulatan negara;
d. Menciptakan daya saing dengan mengembangkan industri angkutan perairan nasional;
e. Menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional;
f. Memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara; dan
g. Meningkatkan ketahanan nasional.
2. UNSUR UMUM UU NO. 17/2008 TENTANG PELAYARAN DA
N PERATURAN PELAKSANAANNYA
Sedangkan Unsur terpenting yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan
hukum pelayaran, khususnya angkutan diperairan, baik angkutan laut, maupun angkutan s
ungai, danau dan penyebrangan, tidak lain adalah kepelabuhanan. Rincian pengertian das
ar dari kepelabuhanan maupun hal yang terkait didalamnya meliputi Pasal 1 Angka 14 sam
pai dengan Pasal 1 Angka 31.
Adapun Konsep dasar hukum pelayaran yang bersifat operasional dalam UU No.17/2008
meliputi Pasal 1 Angka 32 sampai dengan Pasal 1 Angka 60.
3. ANGKUTAN DI PERAIRAN
1. Mekanisme Angkatan Laut
Istilah pelayaran maupun ruang lingkup pengertiannya, sering berubah-ubah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Adapun yang dimaksud sebagai Perairan Indonesia Menurut pasal 1 angka 2 undang-undang nomor 17 tahun 2008 jo PP No. 20/2010 adalah laut teritorial Indonesia
beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya. Sedangkan Angkutan di Perairan menurut pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 17 tahun 2008 adalah ke
giatan mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal.
Dalam Pasal 1 UU No. 17 Tahun 2008, diatur juga mengenai jenis penangkutan laut/ perairan meliputi Pasal 1 Angka 4, Pasal 1 Angka 5 dan Pasal 1 Angka 8.
Dalam PP No. 20/2010 diatur juga mengenai jenis-jenis angkutan diperairan meliputi Pasal 1 Angka 2 sampai dengan Pasal 1 Angka 8.
2. Mekanisme Angkutan Sungai dan Danau
Sebagai bagian dari angkutan di perairan, angkutan sungai dan danau diatur dalam pasal 18 UU No 17 Tahun 2008
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan sungai dan danau, tertuang dalam Pasal 19 UU No 17 Tahun 2008
3. Mekanisme angkutan penyebrangan
Ketentuan mengenai tata laksana angkutan penyebrangan, diatur dalam Pasal 21 UU No 17 Tahun 2008
Adapun yang menjadi ciri/ karateristik angkutan penyebrangan, dapat dilacak dalam rumusan ketentuan Pasal 22 UU No 17 Tahun 2008
4. Angkutan di Perairan untuk Daerah masih Tertinggal dan/atau Wilayah Terpencil
Untuk mewujudkan pemerataan, maka hukum pelayaran juga memperhatikan daerah tertinggal dan terpencil sebagimana ditegaskan dalam pasal 24 UU No 17 Tahu
n 2008
Adapun tata cara pelaksanaan pelayaran perintis, diatur dalam Pasal 25 UU No 17 Tahun 2008
5. Perizinan Angkutan
Untuk melaksanakan pelayaran/ angkutan di perairan harus memenuhi rangkaian persyaratan dalam bentuk perizinan dari pihak yang berwenang sebagai mana diatu
r dalam UU No 17 Tahun 2008 Pasal 27 sampai dengan Pasal 29.
6. Usaha Jasa Terkait dengan Angkutan di Perairan
Dunia pelayaran sebagai salah satu hajat hidup orang banyak, merupakan kegiatan yang sangat lekat dengan usaha perniagaan. Karena untuk penyelenggaraan usaha pelayaran baik yang dikelola oleh badan
usaha milik negara maupun swasta tentulah membutuhkan investasi modal yang relatif besar. Karena itu mekanisme usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan, tertuang dalam pasal 31 sampai pasal 33
UU No 17 tahun 2008.

7. Trayek dalam Pelayaran


Dalam Pasal 1 Angka 6 UU No.17/2008 menegaskah bahwa : “Trayek adalah rute atau lintasan pelayanan angkutan dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya.”
Untuk pelayanan angkutan sungai dan danau dalam trayek tetap dan teratur, dilakukan dalam jaringan trayek. Jaringan trayek terdiri dari  :
Trayek utama, yaitu menghubungkan antar pelabuhan sungai dan danau yang berfungsi sebagai pusat penyebaran;
Trayek cabang, yaitu menghubungkan antara pelabuhan sungai dan danau yang berfungsi sebagai pusat penyebaran dengan yang bukan berfungsi sebagai pusat penyebaran atau antar pelabuhan sungai
dan danau yang bukan berfungsi sebagai pusat penyebaran.

8. Pertimbangan Penetapan Jaringan


Penetapan jaringan trayek angkutan sungai dan danau dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
Tatanan kepelabuhanan nasional;
Adanya demand (kebutuhan angkutan);
Rencana dan/atau ketersediaan pelabuhan sungai dan danau;
Ketersediaan kapal sungai dan danau (supply) sesuai dengan spesifikasi teknis kapal dan spesifikasi pelabuhan pada trayek yang akan dilayani;
Potensi perekonomian daerah.

9. Penetapan Trayek
Penetapan trayek dilakukan dengan hirarki sebagai berikut:
a. Trayek tetap dan teratur untuk pelayanan angkutan dalam kabupaten/kota, ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
b. Trayek tetap dan teratur untuk pelayanan angkutan antar kabupaten/kota dalam propinsi, ditetapkan oleh Gubernur.
c. Trayek tetap dan teratur untuk pelayanan angkutan lintas batas antar Negara dan antar propinsi, ditetapkan oleh Gubernur tempat domisili perusahaan / pemilik kapal sebagai tugas Dekonsentrasi.

10. Ciri-ciri Pelayanan


A. Trayek Utama
Pelayanan angkutan dalam trayek utama diselenggarakan dengan memenuhi ciri-ciri sebagai berikut :
Mempunyai jadwal tetap, sebagaimana tercantum dalam jadwal perjalanan pada persetujuan operasi angkutan sungai dan danau;
Melayani angkutan antar pelabuhan sungai dan danau yang berfungsi sebagai pusat penyebaran dengan ciri-ciri melakukan pelayanan ulang alik secara tetap;
Dilayani oleh kapal yang memenuhi persyaratan teknis / kelaikan, baik untuk pelayanan ekonomi dan/atau untuk pelayanan non ekonomi.
B. Trayek Cabang
Pelayanan angkutan dengan trayek cabang diselenggarakan dengan memenuhi ciri-ciri sebagai berikut :
Mempunyai jadwal tetap, sebagaimana tercantum dalam jadwal perjalanan pada persetujuan operasi angkutan sungai dan danau;
Melayani angkutan antar pelabuhan sungai dan danau yang berfungsi sebagai pusat penyebaran dengan yang bukan berfungsi sebagai pusat penyebaran atau antar pelabuhan sungai dan danau yang bukan
berfungsi sebagai pusat penyebaran, dengan ciri-ciri melakukan pelayanan ulang alik secara tetap;
Dilayani oleh kapal yang memenuhi persyaratan teknis / kelaikan, baik untuk pelayanan ekonomi dan/atau untuk pelayanan non ekonomi.
11. Tata Cara Pengangkutan
A. Menaikkan dan menurunkan penumpang, barang dan/atau hewan, dilakukan ditempat yang telah ditentukan :
1) Pelabuhan;
2) Persinggahan.
B. Menaikkan dan menurunkan penumpang, barang dan/atau hewan dilakukan secara tertib dan teratur, sesuai dengan ketentuan tata cara pemuatan di kapal.
Dalam menaikkan dan menurunkan penumpang, barang dan/atau hewan kapal harus dalam keadaan berhenti penuh sehingga tidak membahayakan penumpang, barang dan/atau
hewan yang diangkut.

12. Trayek Tidak Tetap dan Tidak Teratur


Pengangkutan penumpang, barang dan/atau hewan dengan trayek tidak tetap dan tidak teratur, dilaksanakan berdasarkan sewa/charter.
Pengangkutan penumpang, barang dan/atau hewan dengan trayek tidak tetap dan tidak teratur tidak dibatasi trayeknya. Termasuk dalam trayek tidak tetap dan tidak teratur untuk
angkutan penumpang adalah angkutan wisata.

13. Ciri-ciri Pelayanan Trayek Tidak Tetap dan Tidak Teratur


Pengangkutan penumpang, barang dan/atau hewan dengan trayek tidak tetap dan tidak teratur, diselenggarakan dengan ciri-ciri sebagai berikut  :
A. Pelayanan angkutan dari dan ke tempat tujuan;
B. Tidak berjadwal;
C. Penyewaan/charter dapat dilakukan dengan maupun tanpa awak kapal.

14. Keagenan dalam Pelayaran


D. Keagenan Kapal
Definisi keagenan adalah hubungan berkekuatan secara hukum yang terjadi bilamana dua pihak bersepakat membuat perjanjian, dimana salah satu pihak
dinamakan agen (Agent) setuju untuk mewakili pihak lainnya yang dinamakan pemilik (Principal) dengan syarat bahwa pemilik tetap mempunyai hak untuk mengawasi agennya
mengenai kewenangan yang dipercayakan kepadanya.

B. Pengertian Agen Kapal


Apabila suatu kapal berlabuh di suatu pelabuhan maka kapal tersebut memerlukan pelayanan dan mempunyai berbagai keperluan yang harus dipenuhi. Untuk memenuhi berbagai
kebutuhan tersebut perusahaan pelayaran yang tidak mempunyai cabang disuatu pelabuhan akan menunjuk perusahaan pelayaran lain yang berada di pelabuhan tersebut sebagai
agen.

C. Jenis-jenis Agen
Secara garis besar ada 3 jenis agen yaitu : General Agent, Sub Agent atau Agen dan Cabang Agen.
D. Pihak-pihak Terkait
Pihak - pihak atau instansi terkait dalam proses keagenan kapal diantaranya adalah:
1. Kantor Syahbandar Dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) setempat
2. Direktorat Jendral Bea dan Cukai (DJBC) setempat
3. Kantor Kesehatan Pelabuhan
4. Kantor Imigrasi
5. Vessel Traffic Service (VTS)

E. Prosedur Pengurusan Clearance In / Out


Document For In / Out Clearance
a. Sebelum kapal tiba di pelabuhan, agen menyiapkan dokumen-dokumen sebagai berikut.
1. PKKA (Pemberitahuan Keagenan Kapal Asing)
2. PPKB (Permohonan Pelayaran Kapal dan Barang)
3. RKSP (Rencana Kedatangan Sarana Pengangkut)
4. Memorandum pemeriksaan dokumen kapal
5. Letter of Appointment dari owners / kapal
6. Master Cable
7. ISSC (International Ship Security Certificate) dari kapal
8. Ship Particulars dari owners / kapal
9. Crew List dari kapal
10. Manifest dan copy B.L.
Dokumen yang disiapkan pada saat kapal tiba di pelabuhan :
1. Crew List
2. Crew Personal Effect
3. Voyage Memo
4. Ammunition List atau Dangerous Cargo List
5. Store List dan Provision List
Dokumen yang disiapkan pada saat keberangkatan kapal :
1. Sailing Declaration dari karantina dan Quarantine Clearance
2. Cargo Manifest dan copy B.L.
3. Port Clearanace Out (SIB)
4. Immigration Clearance
5. Custom Clearance
F. Gambaran Proses In / Out
Sebelum kapal tiba, Agen pelayaran membuat Pemberitahuan Kedatangan Kapal (PKK) yang ditujukan kepada;  KSOP, IMIGRASI, KANTOR KESEHATAN PELABUHAN, VTS DAN PENYEDIA
JASA PELABUHAN. Setelah kapal tiba di ANCHORAGE AREA (labuh) agen mengambil original dokumen ke kapal untuk dilakukan memorandum di KSOP.
Yang kemudian agen mengajukan permohonan Olah Gerak / Izin sandar ke KSOP, Permohonan Clearance in ke IMIGRASI dan KKP. Setelah izin olah gerak dikeluarkan maka kapal dapat
disandarkan oleh pihak agen untuk melaksanakan kegiatan bongkar/muat yang sebelum nya telah mengajukan permohonan bongkar/muat ke DJBC setempat. setelah proses bongkar
muat selesai pihak agen kemudian mengajukan permohonan izin berlayar ke KSOP dan clearance out ke imigrasi dan KKP. Setelah semua izin dikeluarkan maka agen dapat
memberangkatkan kapal tersebut untuk melanjutkan perjalanan menuju pelabuhan singgah selanjutnya.

15. Tarif Angkutan dan Usaha Jasa Terkait


Sebagai usaha perniagaan/ bisnis, maka dunia pelayaran untuk angkutan penumpang maupun barang, umumnya mengenakan tarif bagi para penggunanya. Keuntungan dari hal
tersebut, selain untuk menutupi biaya operasional usaha pelayaran, juga untuk meningkatkan pelayanan dan lain-lain, hal tersebut diatur dalam UU No.17 Tahun 2008 Pasal 35
sampai dengan Pasal 37.

16. Kewajiban dan Tanggung Jawab Pengangkut


Sebagai konsekuensi dari usaha jasa perniagaan yang mengenakan tarif/ pembayaran kepada para penggunanya, maka penyelenggara usaha angkutan diperairan mempunyai
kewajiban sebagaimana diatur dalam pasal 38 UU No 17 Tahun 2008.
A. Tanggungjawab pengangkut
Dalam hukum pengangkutan terdapat tiga prinsip atau ajaran dalam menentukan tanggung jawab pengangkut, yaitu sebagai berikut :
1) Prinsip tanggungjawab atas dasar kesalahan (the based on fault atau liability based on fault principle);
2) Prinsip tanggungjawab atas dasar praduga (rebuttable presumption of liability principle);
3) Prinsip tanggungjawab mutlak (no fault, atau strict liability, absolute liability principle).
4. HIPOTEK DAN PIUTANG-PELAYARAN YANG DIDAHULUKA
N
1. Hipotek dan Ruang Lingkupnya
A. Pengertian Hipotek
Sebagai sebuah kegiatan bisnis, usaha pelayaran tentu akan terus dikembangkan dengan berbagai upaya. Salah satu diantaranya adalah akses pembiayaan dari ber
bagai lembaga keuangan dengan jaminan hipotek. Lembaga tersebut dalam dunia pelayaran semakin menarik pasca penghapusan sebagian ketentuan mengenai hip
otek dalam KUH perdata telah dihapus melalui dengan berlakunya UU No 4 Tahun 1996
B. Subjek Dan Objek Hipotek Kapal Laut
Ada dua pihak yang terkait dalam perjanjian pembebanan hipotek kapal laut, yaitu pemberi hipotek (Hypotheekgever) dan penerima hipotek. Pemberi hipotek adalah
mereka yang sebagai jaminan memberikan suatu hak kebendaan/zakelijke recht (hipotek), atas bendanya yang tidak bergerak, biasanya mereka mengadakan suatu
utang yang terikat pada hipotek, tetapi hipotek atas beban pihak ketiga. Penerima hipotek disebut juga hypotheekbank, hypotheekhouder atauhypotheeknemer. Hypot
hekhouder atau hypotheeknemer, yaitu pihak yang menerima hipotek, pihak yang meminjamkan uang di bawah ikatan hipotek. Biasanya yang menerima hipotek ini a
dalah lembaga perbankan dan lembaga keuangan non bank.
5. PROSEDUR DAN SYARAT-SYARAT PEMBEBANAN HIPOTE
K KAPAL LAUT
Kapal laut tidak hanya berfungsi sebagai alat transfortasi laut, namun kapal tersebut dapat dijadikan jaminan hutang. Kapal yang dapat dijadikan jamina
n adalah:
1.    Kapal yang sudah didaftar; dan
2.    Dilakukan dengan membuat akta hipotek di tempat mana kapal semula didaftar.
Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan hipotek kapal laut adalah:
1. Kapal yang dibebani hipotek harus jelas tercantum dalam akta hipotek;
2. Perjanjian antara kreditur dan debitur ditunjukkan dengan perjanjian kredit (yang merupakan syarat-syarat pembuat akta hipotek);
3. Nilai kredit, yang merupakan nilai keseluruhan yang diterima berdasarkan barang yang dijamin (misalnya tanah, rumah dan kapal);
4. Nilai hipotek dikhususkan pada nilai kapal (pada bank dilakukan oleh Appresor);
5. Pemasangan hipotek seyogyanya sesuai dengan nilai kapal dan dapat dilakukan dengan mata uang apa saja sesuai peratuaran perundang-undang
an yang berlaku.
6. SIFAT PERJANJIAN HIPOTEK KAPAL LAUT

Pada prinsipnya, sifat perjanjian dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu perjan
jian pokok dan perjanjian accessoir. Perjanjian pokok merupakan perjanjian
untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank. Sedangkan perjanjian accessoi
r merupakan perjanjian tambahan. Perjanjian pembebanan hipotek kapal lau
t merupakan perjanjian accessoir atau tambahan. Keberadaan perjanjian hip
otek kapal ini adalah tergantung pada perjanjian pokoknya.
7. HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA PEMBERI DAN PENERIM
A HIPOTEK
Sejak terjadinya pembebanan hipotek kapal laut, maka sejak saat itulah timbul akibat bagi kedua belah pihak. Akibat hukum itu tim
bul hak dan kewajiban kedua belah pihak.
1.    Hak pemberi hipotek:
a.    Tetap menguasai bendanya;
b.    Mempergunakan bendanya;
c.    Melakukan tindakan penguasaan asal tidak merugikan pemegang hipotek;
d.   Berhak menerima uang pinjaman.

2.    Kewajiban pemegang hipotek:


a.    Membayar pokok beserta bunga pinjaman uang dari jaminan hipotek;
b.    Membayar denda atas keterlambatan melakukan pembayaran pokok pinjaman dan bunga;

3.    Hak pemegan hipotek:


a.    Memperoleh penggantian daripadanya untuk pelunasan piutangnya jika debitur wanprestasi;
b.    Memindahkan piutangnya, karena hipotek bersifat accesoir, maka dengan berpindahnya hutang pokok maka hipotek ikut berp
indah.
8. JANGKA WAKTU BERLAKU HIPOTEK KAPAL LAUT

Jangka waktu berlakunya hipotek kapal laut tergantung pada substansi perjanjian pokok at
au perjanjian kredit yang dibuat antara debitur (pemilik kapal) dengan bank (kreditur). Menu
rut jangka waktu, perjanjian kredit dapat digolongkan menjadi 3 macam, yaitu: kredit jangka
pendek,jangka menengah, dan jangka panjang (UU No. 7 Th. 1992 jo. UU No. 10 Th. 1998
tentang perbankan).
Perjanjian kredit dengan menggunakan hipotek kapal laut adalah kredit yang jangka waktu
nya selama 3 tahun ke atas. Karena untuk membiayai sebuah kapal atau biaya rehabilitasin
ya memerlukan biaya yang besar. Sehingga para nasabah ini memilih kredit yang jangka w
aktunya panjang, yaitu 3 tahun ke atas.
9. HAPUSNYA HIPOTEK KAPAL LAUT

Hapusnya hipotek adalah tidak berlaku lagi hipotek yang dibebankan atas kapal laut. Di dalam pasal 1
209 KUHPerdata diatur tentang hapusnya hipotek. Hapusnya hipotek karena 3 hal, yaitu:
1.      Hapusnya perikatan pokok;
2.      Pelepasan hipotek itu oleh kreditur; dan
3.      Pengaturan urutan tingkat oleh pengadilan.
Di dalam 3.4.1.2 NBW diatur juga tentang hapusnya hipotek. Hapusnya hipotek menurut ketentuan ini
adalah karena:
1.      Hapusnya hak menjadi landasan lahirnya hak terbatas;
2.      Jangka waktunya berakhir atau telah terpenuhinya syarat batal;
3.      Dilepaskan dengan sukarela oleh yang mempunyai hak;
4.      Dihentikan sebelum jangka waktu berakhir, bila kewenangan itu diberikan haknya kepada peme
gang hak terbatas atau kepada keduanya;
5.      Karena percampuran.
10. PENCORETAN (ROYA) AKTA HIPOTEK KAPAL LAUT

1. Pencoretan (Roya) Atas Akta Hipotek


Roya atas akta hipotek kapal laut erat kaitannya dengan pelunasan kredit oleh debitur. Apabila kredit sudah dibaya
r/lunas, kreditur (bank atau lembaga keuangan non bank) mengajukan surat permohonan untuk dilakukan roya kep
ada pejabat pendaftar dan pencatat balik nama kapal yang menerbitkan akta hipotek tersebut. Misalnya, yang me
mbuat akta hipotek tersebut adalah pejabat pendaftar dan pencatat baliknama kapal yang berkedudukan di Matara
m, maka tempat royanya pun pada pejabat pendaftar dan pencatat balik nama kapal yang berkedudukan di Matara
m, maka tempat royanya pun pada pejabat pendaftar dan pencatat balik nama kapal yang berkedudukan di Matara
m. Surat permohonan tersebut harus dilampirkan dengan grosse akta hipotek asli. Pelaksanaan roya adalah:
1.      Membuat catatan roya pada grosse akte hipotek asli; dan
2.      Membuat catatan roya pada daftar induk.

2. Piutang-Pelayaran yang Didahulukan


Dalam konsep teoritis dipahami bahwa jaminan hipotek berkudukan sebagai jaminan preperent (Jaminan yang di d
ahulukan pelunasannya dari pada jaminan hutang lainnya). Mekanisme hal tersebut diatur di dalam Pasal 65 dan 6
6 UU No 17 Tahun 2008.
11. KESELAMATAN DAN KEAMANAN PELAYARAN

1. Umum
Untuk menjadi layanan publik yang berkualitas, usaha pelayaran terselenggara dengan menjadikan prioritas utama dan p
ertama pada aspek keselamatan dan keamanan pelayaran. Mekanisme mengenai hal tersebut, diatur dalam Pasal 116 U
U No 17 Tahun 2008.

2. Keselamatan dan Keamanan Angkutan Perairan


Selain kapal, instrumen apapun sebagai bagian dari angkutan di perairan, wajib mewujudkan aspek keselamatan dan kea
manan angkutan perairan. Mekanisme hal tersebut diatur dalam Pasal 117 sampai dengan Pasal 119 UU No 17 Tahun 20
08.

3. Keselamatan dan Keamanan Pelabuhan


Tidak hanya dalam kawasan perairan yang dilintasi, operasional pelayaran juga wajib mewujudkan aspek kelematan dan
keamanan pelabuhan. Mekanisme hal ini diatur dalam Pasal 120 sampai dengan Pasal 122 UU No 17 Tahun 2008.

4. Perlindungan Lingkungan Maritim


Dalam operasional pelayaran semua pihak yang terkait didalamnya, wajib mewujudkan perlindungan lingkungan maritim.
Mekanisme hal ini diatur dalam Pasal 123 UU No 17 Tahun 2008.
12. KELAIK LAUTAN KAPAL

1. Keselamatan Kapal
2. Pencegahan Pencemaran dari Kapal
3. Pengawakan Kapal
4. Garis Muat Kapal dan Pemuatan
5. Kesejahteraan Awak Kapal dan Kesehatan Penumpang
6. Status Hukum Kapal
7. Manajemen Keselamatan dan Pencegahan Pencemaran dari Kapal
8. Manajemen Keamanan Kapal
9. Sanksi Administratif
13. KENAVIGASIAN

1. Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran


2. Telekomunikasi-Pelayaran
3. Hidrografi dan Meteorologi
4. Alur dan Perlintasan
5. Pengerukan dan Reklamasi
6. Pemanduan
7. Kerangka Kapal
8. Salvage dan Pekerjaan Bawah Air
9. Sanksi Administratif
THANKS

Anda mungkin juga menyukai