Anda di halaman 1dari 17

Jurnal Hukum Pro Justitia, Juli 2006, Volume 24 No.

DEL-IK FORMIL 1 MATERIIL, SIFAT MELAWAN HIJKUM


FORMIL/ MATERIIL DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Kajian Teori Hukum Pidana
terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi RI Perkara Nomor 003/PUU-
IV/2006
Oleh •

RB Budi Prastowo•
ABSTRAK

Harus diakui bahwa saat ini sarana Hukum Pidana merupakan sarana yang paling
menonjol dalam upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Fungsiona/isasi
Hukum Pidana dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dilakukan mela/ui
tahap regu/asi, aplikasi dan eksekusi. Tulisan ini mencoba menelaah dari sudut
pandang teori Hukum Pidana tentang permasalahan-permasa/ahan yang dihadapi
pada tahap regulasi dan aplikasi Hukum Pidana sebagai salah satu sarana dalam
pembeåantasan Tindak Pidana Korupsi. Tiga permasalahan utama yaitu tentang:
[1] delik formil dan delik materiil, [2] sifat melawan hukum formi/ dan sifat
melawan hukum materiil, dan [3] pettanggungjawaban pidana akan menjadi
pokok telaah dalam tulisan ini.
A. Pendahuluan Dosen Fakultas Hukum Universitas
Katolik Parahyangan, untuk matakuliah
Terminologi delik formil dan delik Pengantar llmu Hukum dan matakuliah
materiil, demikian juga terminologi Hukum Pidana.
sifat melawan hukum formil dan terkait, keterangan ahli, maupun
sifat mealwan hukum materiil dalam pertimbangan hukum
merupakan beberapa terminologi hakim konstitusi. Hal itu menjadi
yang dipermasalahkan dalam perkara lebih menarik perhatian
MK-RI Nomor 003/PUU-lV/2006 masyarakat hukum setelah dalam
tentang putusannya MK-RI mengabulkan
Permohonan Pengujian UU RI sebagian permohonan pemohon
Nomor 31 Tahun 1999 tentang kh u s u s nya yang menyatakan
Pemberantasan Tindak Pidana bahwa frasa dalam Penjelasan
Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan I-JU RI Nomor 20 Tahun Pasal 2 ayat(l) UU PTPK yang
2001 tentang Perubahan atas UU RI merumuskan pengertian sifat
Nomor 31 Tahun 1 999 tentang melawan hukum (materiil, pen)
Pemberantasan Tindak Pidana dinyatakan bertentangan dengan
Korupsi (selanjutnya akan disebut UUD 1945 dan dinyatakan tidak
UU PTPK, pen) terhadap Undang- memiliki kekuatan hukum
Undang Dasar Negara RI Tahun mengikat.
1945 (selanjutnya disebut UUD
1945, pen). Pembahasan tentang Permasalahan tersebut
beberapa terminologi tersebut sebenarnya berakar dari rumusan
dilakukan baik dalam permohonan tindak pidana korupsi dalam UU
pemohon, keterangan pihak-pihak PTPK khususnya Pasal 2 ayat (1)

212
Jurnal Hukum Pro Justitia, Juli 2006, Volume 24 No.3

dan Penjelasannya serta Pasal 3 dan menyalahgunakan kewenang-


Penjelasannya. Selengkapnya an, kesempatan atau sarana
rumusan dalam UU yang ada padanya karena
PTPK tersebut adalah sebagai berikut jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan
- Pasal 2 ayat (1) : "Setiap orang pidana penjara seumur hidup
yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya
atau pidana penjara paling
diri sendiri atau singkat 1 tahun dan paling
lama 20 tahun dan denda
orang Iain atau suatu paling sedikit limapuluhjuta
kotporasi yang dapat rupiah dan paling banyak satu
merugikan keuangan milyar rupiah. "
negara atau - Penjelasan Pasal 3 : 'Kata
perekonomian negara, "dapat" dalam ketentuan
dipidana dengan pidana tersebut diartikan sama
dengan Penjelasan Pasal 2. '
penjara seumurhidup
- Penjelasan Pasal 2 ayat (1) : "Yang Akar permasalahan dalam
dimaksud dengan "secara melawan rumusan tindak pidana korupsi
hukum" dalam pasal ini mencakup tersebut dan penjelasannya
perbuatan melawan hukum dalam adalah rumusan unsur "dapat"
atti formil maupun dalam arti dalam Pasal 2 ayat (1) dan
materiil, yakni meskipun perbuatan Pasal 3, rumusan unsur
tersebut tidak diatur dalam "melawan hukum" dan
peraturan perundangundangan, penafsiran otentiknya dalam
namun apabila perbuatan tersebut Pasal 2 ayat (1) dan penjelasan
dianggap tercela, karena tidak dan penafsiran otentik u n s u r
sesuai dengan rasa keadilan atau " m e l a wa n h u k u m
norma-norma kehidupan dalam sebagaimana dirumuskan
masyarakat, maka perbuatan dalam Penjelasan. Secara
tersebut dapat dipidana. Dalam mendasar sebenarnya dapat
Ketentuan ini kata "dapat" sebelum dipermasalahkan tentang
frasa "merugikan keuangan atau dicantumkannya unsur
perekonomian negara" "melawan hukum" itu sendiri
menunjukkan bahwa tindak pidana dalam rumusan Pasal 2 ayat (1)
kor ups i merupakan delik formil, UU PT PK. Permasalahan
yaitu adanya tindak pidana korupsi yang kemudian memicu
cukup dipenuhinya unsur-unsur diskursus jelas merupakan
perbuatan yang dirumuskan, bukan permasalahan asas-asas hukum
dengan timbulnya akibat. " pidana, sehingga untuk
memahaminya secara utuh
- Pasal 3 : "Setiap orang yang diperlukan pemahaman tentang
dengan tujuan menguntungkan asas-asas hukum pidana secara
diri sendiri atau orang Iain atau utuh. Permasalahan yang
suatu korporasi, menyangkut delik formil dan
delik materiil karena rumusan
213
Jurnal Hukum Pro Justitia, Juli 2006, Volume 24 No.3

unsur "dapat" mendapat tinjauan melarang terjadinya akibat


yang mendalam dan rinci baik dari tertentu. Dalam delik materiil,
pemohon, pihak yang terkait, ahli, akibat adalah hal yang harus ada
maupun hakim. Sayang sekali (esensial atau konstitutif).
khusus untuk permasalahan Selesainya suatu delik materiil
penafsiran otentik unsur "melawan adalah apabila akibat yang
hukum" pembahasannya dari dilarang dalam rumusan delik
aspek asasasas hukum pidana sudah benar-benar terjadi.
hanya dilakukan secara sumir Apabila pelaku telah selesai
sehingga akar permasalahannya melakukan seluruh (rangkaian)
tidak nampak secara jelas. perbuatan yang diperlukan
Kebingungan terhadap maslah untuk menimbulkan akibat yang
tersebut di blow-up oleh media dilarang akan tetapi karena
massa yang telah suatu hal akibat yang dilarang
mencampuradukkan pengertian tidak terjadi maka belum ada
delik formil dengan sifat melawan delik, paling jauh hanya
hukum formil dan pengertian delik percobaan terhadap delik.
materiil dengan sifat melawan
hukum materiil. Dengan dicantumkannya kata
atau unsur "dapat" dalam Pasal
B. Delik Formil dan Delik Materiil 2 ayat (1) dan Pasal 3 IJU PTPK
Perumusan delik (tindak pidana) maka secara gramatikal jelas
dalam hukum pidana dapat bahwa pembentuk undang-
dibedakan menjadi dua jenis yaitu undang tidak mensyaratkan
delik formil atau delik yang terjadinya/selesainya akibat
dirumuskan secara formil dan delik "merugikan keuangan negara
materiil atau delik yang dirumuskan atau perekonomian negara".
secara materiil. Delik formi l ad a la Kata "dapat" tersebut berarti
h d e l i k ya ng perumusannnya bahwa "merugikan keunagan
lebih menekankan pada perbuatan negara atau perekonomian
yang dilarang, dengan kata lain negara" tidak harus benar-benar
pembentuk undangundang telah terjadi, yang penting
melarang dilakukan perbuatan perbuatan pelaku memiliki
tertentu tanpa mensyaratkan peluang atau kans untuk
terjadinya akibat apapun dari menimbulkan akibat
perbuatan tersebut. Dengan "merugikan keuangan negara
demikian sutau delik formil atau perekonomian negara".
dianggap telah selesai dilakukan Penafsiran tersebut dikuatkan
apabila pelakunya telah oleh penafisran otentik
menyelesaikan (rangkaian) pembentuk U U PTP K yang
perbuatan yang dirumuskan dalam menyatakan . bahwa tindak
rumusan delik. Dalam delik formil, pidana korupsi merupakan delik
akibat bukan suatu hal penting dan formil, yaitu adanya tindak
bukan merupakan syarat selesainya pidana korupsi cukup dengan
delik. Sedangkan delik materiil dipenuhinya unsur-unsur
adalah delik yang perumusannya perbuatan yang dirumuskan,
lebih menekankan pada akibat yang bukan dengan timbulnya
dilarang, dengan kata lain akibat." Penulis setuju dengan
pembentuk undang-undang Hakim MK RI yang

214
Jurnal Hukum Pro Justitia, Juli 2006, Volume 24 No.3

menyatakan bahwa penilaian tidak adanya alasan pemaaf yang


tentang peluang atau kans menghapus kesalahan tersebut.
menimbulkan akibat merugikan Syarat ini merupkan konsekwensi
keuangan negara atau dari dianutnya asas culpabiltas.
perekonomian negara tersebut Semua syarat tersebut bersifat
harus dilakukan oleh ahli. Artinya kumulatif dan harus dipenuhi
bahwa tidak boleh bila setiap (imperatif) dalam setiap
(rangkaian) perbuatan yang sudah pemidanaan.
memenuhi rumusan delik dianggap
atau diasumsikan pasti dapat Dengan penjelasan tersebut maka
menimbulkan akibat merugikan jelas bahwa "melawan hukum"
keuangan negara atau merupakan salah satu unsur mutlak
perekonomian negara. dari suatu delik, artinya selalu
merupakan unsur dari suatu delik.
Sebagaimana dikemukakan di atas Karena Pasal 1 ayat (1) KUHP
bahwa argumen pemerintah, pihak menganut ajaran legalitas formal
yang terkait, ahli dan hakum MK RI (noella poena sine lege) maka
dalam putusan MK RI tersebut "melawan hukum" dalam hal ini
sepanjang tentang delik formal dan diartikan secara sempit sebagai
delik materiil telah mencukupi. Oleh "bertentangan dengan
karena itu tentang hal tersebut tidak perundangundangan". Artinya
akan dibahas lebih lanjut. suatu perbuatan diklasifikasi
sebagai melawan hukum apabila
C. Sifat Melawan Hukum Formil bertentangan dengan perundang-
dan Sifat Melawan Hukum undangan (tertulis). Rumusan
legalitas formal yang sempit
Materiil Dalam ilmu hukum tersebut merupakan anak kandung
pidana, pemidanaan terhadap dari aliran legisme yang diwarisi
suatu perbuatan harus memenuhi dari Code Penal Perancis yang
syaratsyarat pemidanaan. Syarat- bertujuan untuk memberikan
syarat pemidanaan tersebut perlindungan mutlak terhadap
berkaitan dengan penilaian kepastian hukum sebagai reaksi
terhadap aspek perbuatan dari ketidakpastian hukum yang
maupun aspek sikap batin juga mutlak pada masa
pelakunya. Dari aspek perbuatan absolutisme. Dengan rumusan asas
(actus reus) disyaratkan bahwa legalitas formal tersebut maka
perbuatan tersebut harus bersifat apabila ada suatu perbuatan yang
melawan hukum dan tidak ada menurut masyarakat sangat jahat
dan tercela sehingga sangat layak
alasan pembenar yang dipidana, perbuatan tersebut tidak
menghapus sifat melawan dapat dipidana apabila ternyata
hukum perbuatan tersebut. belum ada peru ndang-u nda ngan
Syarat ini merupakan yang merumuskan perbuatan
konsekwensi tersebut sebagai delik.
berlakunya asas legalitas. Sedangkan
dari aspek sikap batin pelakunya Tentang sifat melawan hukum
(mens rea) disyaratkan bahwa pada secara teoretis dalam hukum
pelakunya ada kemampuan pidana terdapat dua ajaran, yaitu
bertanggunjawab, ada kesalahan, dan ajaran sifat melawan hukum

215
Jurnal Hukum Pro Justitia, Juli 2006, Volume 24 No.3

formil dan ajaran sifat melawan memenuhi rumusan delik dalam


hukum materiil. Menurut ajaran sifat perundang-undangan (tertulis).
melawan hukum formal, suatu Dengan kata Iain hukum tidak
perbuatan dikualifikasi sebagai tertulis dapat berfungsi sebagai
melawan hukum apabila bertentangan alasan pembenar. Aja ran ini
dengan perundang-undangan tidak bertentangan dengan asas
(tertulis), demikian juga sifat legalitas dalam Pasal 1 ayat (1)
melawan hukum perbuatan tersebut KUHP karena yang dilarang
hanya bisa dihapus dengan alasan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP
pembenar yang dirumusakan dalam adalah menggunakan hukum
perundangundangan (tertulis). Dalam tidak tertulis sebagai dasar
ajaran sifat melawan hukum formal pemidanaan, sedangkan dalam
untuk mengkualifikasi suatu ajaran sifat mealawan hukum
perbuatan sebagai melawan hukum materiil dalam fungsi yang
maupun untuk menghapuskan sifat negatif hukum tidak tertulis
melawan hukum harus berdasar digunakan sebagai dasar untuk
perundangundangan (tertulis), menghapuskan pidana. Dari
sehingga hukum tidak tertulis sama pendapat para ahli hukum pidana
sekali tidak mendapat tempat dalam dan yurisprudensi dapat
hukum pidana. Sedangkan ajaran sifat disimpulkan bahwa hukum
melwan hukum materiil mengakui pidana Indonesia menganut
hukum tidak tertulis sebagai hukum ajaran sifat melawan hukum
disamping perundang-undangan materiil dalam fungsi yang
(tertulis). Ajaran sifat melawan negatif ini.
hukum materiil dalam fungsinya yang
positif menyatakan bahwa hukum D. Melawan Hukum sebagai
tidak tertulis dapat digunakan sebagai Unsur
dasar untuk mengkualifikasi suatu Delik
perbuatan sebagai melawan hukum,
artinya suatu perbuatan yang menurut Pada bagian sebelumnya telah
masyarakat tidak patut atau dipaparkan bahwa seluruh syarat
bertentangan dengan rasa keadilan pemidanaan merupakan unsur
masyarakat (bertentangan dengan mutlak dari semua delik. Oleh
hukum tidak tertulis) dapat karena itu pemidanaan atas suatu
dinyatakan sebagai perbuatan delik selain harus memenuhi
melawan hukum dan oleh karenanya unsur-unsur tertulis
(apabila memenuhi syarat-syarat (bistandellen) sebagaimana yang
pemidanaan lainnya) dapat dipidana. tercantum dalam rumusan delik
Ajaran ini tidak dianut dalam hukum juga harus memenuhi seluruh
pidana Indonesia karena jelas syarat pemidanaan yang
bertentangan dengan asas legalitas merupakan unsur tidak tertulis
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal (elementen) dari semua delik.
1 ayat (1) KUHP. Sedangkan ajaran Dengan kata Iain seluruh syarat
sifat melawan hukum materiil dalam pemidanaan merupakan unsur
fungsi yang negatif menyatakan semua tindak pidana meskipun
bahwa hukum tidak tertulis dapat tidak dirumuskan sebagai unsur
digunakan sebagai dasar untuk tertulis. Sebagai ilustrasi, oleh
menghapus sifat melawan hukum karena itu unsur lengkap dari
suatu perbuatan yang sudah Delik Pembunuhan dalam Pasal

216
Jurnal Hukum Pro Justitia, Juli 2006, Volume 24 No.3

338 KUHP adalah: sengaja, dirumuskan sebagai unsur tertulis.


merampas, nyawa, orang Iain, Hal ini merupakan pengecualian
melawan hukum, tidak ada alasan saja terhadap prinsip sebagaimana d
pembenar yang menghapus sifat i u ra i ka n d a lam pa rag raf
melawan hukum, kemampuan sebelumnya, dan karena merupakan
bertanggungjawab, dan tidak ada pengecualian maka jurnlahnya tidak
alasan yang menghapus kesalahan. banyak. Biasanya unsur "melawan
Semua unsur (tertulis dan tidak hukum" dirumuskan menjadi unsur
tertulis) dari Pasal 338 KUHP tertulis untuk delik dimana
tersebut harus dipenuhi agar suatu perbuatan yang dilarang sebenarnya
perbuatan dapat dikualifikasi justru boleh dilakukan Oleh orang-
sebagai delik pembunuhan dan dapat orang yang memilki kewenangan
dipidana. melakukan perbuatan tersebut
Latar belakang bahwa berdasarkan hukum. Sebagai
syaratsyarat pemidanaan tersebut ilustrasi, unsur 'mealawan hukum"
tidak dirumuskan sebagai unsur telah dirumuskan sebagai unsur
tertulis adalah kepraktisan tertulis dari Pasal 179 K U H P k a
perumusan, karena apabila semua re n a p e r b u a ta n "membongkar
kuburan" yang dilarang dalam pasal
unsur dirumuskan sebagai unsur tersebut boleh dilakukan oleh
tertulis maka syarat-syarat orang-orang yang memiliki
pemidanaan tersebut harus kewenangan, misalnya petugas
dirumuskan secara berulang-ulang dinas pemakaman atau anggota
dalam semua delik di Buku Il dan keluarga orang yang meninggal
Buku III KUHP sena Undang- dunia. Dengan merumuskan unsur
Undang Pidana di luar KUHP. "melawan hukum" sebagai unsur
Dengan memperhatikan sistematika tertulis pembentuk undang-undang
KUHP yang memilki Buku I tentang bertujuan untuk menjamin agar
Ketentuan Umum maka hal-hal yang orang yang memiliki wewenang
berlaku untuk semua delik cukup berdasarkan hukum tidak dipidana
dirumuskan sekali dalam ketentuan apabila melakukan perbuatan yang
umum atau dalam asas-asas hukum dilarang tersebut.
pidana dan berlaku untuk semua delik
dalam Buku Il, Buku III maupun Dari aspek teori hukum acara dan
undang-undang pidana di luar KUHP. pembuktian, terdapat perbedaan
antara unsur tertulis dan unsur
Dari uraian di atas maka dapat tidak tertulis. Apabila suatu unsur
disimpulkan bahwa "melawan hukum" dirumuskan sebagai unsur tertulis
merupakan unsur dari setiap delik. maka uns ur tersebut harus
Konsisten dengan uraian di atas maka dicantumkan dalam surat dakwaan
seharusnya unsur "melawan hukum" dan beban pembuktiannya ada
tidak perlu dirumuskan sebagai unsur Penuntut Umum. Artinya
tertulis dari semua tindak pidana sama Penuntut Umum wajib
seperti syarat-syarat pemidanaan yang membuktikan bahwa perbuatan
Iainnya yang tidak pernah dirumuskan pelaku berifat melawan hukum
menjadi unsur tertulis. Akan tetapi dan apabila ternyata tidak terbukti
dalam kenyataan kadangkadang bahwa perbuatan bersifat melawan
"melawan hukum" ternyata oleh hukum maka terdakwa diputus
pembentuk undang-undang telah bebas. Sebaliknya apabila suatu

217
Jurnal Hukum Pro Justitia, Juli 2006, Volume 24 No.3

unsur merupakan unsur tidak tertulis korupsi sebagaimana


maka unsur tersebut tidak perlu dirumuskan dalam UU PTPK.
dicantumkan dalam surat dakwaan Dalam UU PTPK unsur
dan oleh karenanya tidak perlu "melawan hukum" telah
dibuktikan. Akan tetapi karena dirumuskan sebagai unsur
merupakan syarat pemidanaan maka tertulis dalam beberapa pasal
unsur-unsur tersebut harus ada, tetapi dan menjadi unsur tidak tertulis
keberadaannya telah disumsikan oleh untuk beberapa pasal lainnya.
hukum. Oleh karena beban Pada pasal seperti Pasal 2 ayat
pembuktian unsur tidak tertulis ada (1) UUPTPK dimana unsur
pada terdakwa / pembela, dalam arti melawan hukum menjadi unsur
pembela terdakwa / pembela yang tertulis maka berlaku ketentuan
harus membuktikan sebaliknya. bahwa Penuntut Umum harus
Apabila terdakwa tidak berhasil mencantumkanya dalam surat
membuktikan bahwa unsur tertulis dakwaan dan beban
tidak terpenuhi, maka diasumsikan pembuktiannya ada Penuntut
oleh hukum bahwa unsur tersebut Umum. Artinya Penuntut
terpenuhi. Sebaliknya apabila Umum wajib membuktikan
terdakwa / pembela berhasil bahwa pelaku melakukan
membuktikan bahwa unsur tidak (rangkaian) perbuatan
tertulis tidak terpenuhi maka "memperkaya diri sendiri atau
terdakwa diputus lepas dari segala orang lain atau suatu korporasi
tuntutan hukum. yang dapat merugikan
keuangan negara atau
perekonomian negara" tersebut
E. Melawan Hukum sebagai secara melawan hukum. Secara
Unsur Tertulis Pasal 2 ayat yuridis pembuktian tindak
(1) IJU pTpK pidana korupsi dalam Pasal 2
Dengan menggunakan landasan ayat (1) UU PTPK
teori dan asas-asas hukum mengharuskan Penuntut Umum
pidana sebagaimana telah untuk membuktikan :
diuraikan di atas, pada bagian a. bahwa pelaku melakukan
ini penulis akan melakukan (rangkaian) perbuatan
analisis terhadap [1] unsur "memperkaya diri sendiri atau
"melawan hukum" sebagai orang lain atau suatu
unsur tertulis dalam tindak korporasi yang dapat
pidana korupsi dalam Pasal 2 merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara";
ayat (1) UU PTPK, dan [21
perumusan penafsiran otentik b. bahwa (rangkaian) perbuatan
"memperkaya diri sendiri atau
unsur "melawan hukum" dalam orang lain atau suatu
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) korporasi yang dapat
UUPTPK. merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara"
Sebagaimana diuraikan di atas
bahwa unsur "melawan hukum" tersebut dilakukan pelaku
harur dengan melanggar
merupakan unsur mutlak untuk
semua tindak pidana demikian perundang-undangan lain
(sifat melawan hukum
juga untuk semua tindak pidana

218
Jurnal Hukum Pro Justitia, Juli 2006, Volume 24 No.3

formal) atau melanggar hukum nyata merugikan keuangan negara


tidak tertulis (sifat melawan atau perekonomian negara, dan
hukum materiil dalam fungsi rumusan yang memiliki ruang
yang positif). lingkup sangat luas sehingga dapat
menjangkau berbagai perbuatan,
Dari aspek beban pembuktian maka maka penulis sepakat dengan
jelas bahwa perumusan unsur pembentuk UU PTPK yang telah
"melawan hukum" sebagai unsur merumuskan unsur 'melawan
tertulis justru memberatkan tugas hukum" sebagai unsur tertulis Pasai
Penuntut Umum. Ditinjau dari 2 ayat (1) UU PTPK. Argumen
keseluruhan politik hukum yang dapat dikemukan terhadap
perumusan UU PTPK maka hal pendapat tersebut adalah bahwa
tersebutjelas tidak dimaksudkan untuk membatasi ruang lingkup
oleh pembentuk UU PTPK, karena Pasai 2 ayat (1) UU PTPK demi
pada beberapa bagian lain perlindungan hak asasi manusia.
pembentuk UU PTPK justru melaku Penuntutan dan pemidanaan
ka n p e n g e c u a l i a berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU
npengecualian yang bertujuan PTPK mensyaratkan pembuktian
mempermudah pemidanaan terhadap adanya unsur melawan hukum.
tindak pidana korupsi. Apabila Adanya unsur melawan hukum
seandainya unsur "melawan hukum" tidak diasumsikan, tapi harus
tidak dirumuskan secara tertulis dibuktikan oleh Penuntut Umum.
maka ia tetap merupakan unsur yaitu Dari sisi hukum acara pidana
unsur tidak tertulis. Dengan menjadi penrumusan unsur "melawan
unsur t ida k tertulis ma ka hukum hukum" sebagai unsur tertulis yang
mengasumsikan bahwa (rangkaian) menyebabkan beban
perbuatan "memperkaya diri sendiri pembuktiannya ada pada Penuntut
atau orang lain atau suatu korporasi U m u m m e r u p a k a n s u a tu
yang dapat merugikan keuangan keseimbangan dalam pembagian
negara atau perekonomian negara" beb a n p e m b u kt i a n , ya ng
selalu bersifat melawan hukum, mencerminkan perlindungan
kecuali dapat dibuktikan sebaliknya terhadap hak-hak asasi tersangka
oleh pelaku atau pembelanya. dan/atau terdakwa.
Dengan kata lain beban pembuktian
tentang sifat melawan hukum dari Selanjutnya pembentuk UU PTPK
(rangkaian) perbuatan "memperkaya telah memberikan penafsiran otentik
diri sendiri atau orang lain atau terdap unsur "melawan hukum"
suatu korporasi yang dapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK
merugikan keuangan negara atau dengan rumusan: "Yang dimaksud
perekonomian dengan "secara melawan hukum"
negara" ada pada pelaku atau dalam pasa/ ini mencakup perbuatan
pembelanya. melawan hukum dalam arti formil
maupun dalam arti materiil, yakni
Dengan memperhatikan bahwa tindak meskipun perbuatan tersebut tidak
pidana korupsi Pasal 2 ayat (1) UU diatur dalam peraturan perundang-
PTPK telah dirumuskan secara formal undangan, namun apabila perbuatan
sehingga menjangkau tersebut dianggap tercela, karena
perbuatanperbuatan yang tidak secara tidak sesuai dengan rasa keadilan
atau normanorma kehidupan dalam

219
Jurnal Hukum Pro Justitia, Juli 2006, Volume 24 No.3

masyarakat, maka perbuatan tersebut hukum dalam hukum pidana


dapat dipidana. Menurut penulis (wederechtelijkheid)".
rumusan penafsiran otentik tersebut
tidak jelas dan berpotensi menimbulkan Menurut penulis penafsiran
kesalahan pemahaman termaksud sebagaimana dilakukan oleh
pembentuk UU PT P K. Secara hakim MK RI tersebut berlebihan
sistematis maksud pembentuk UU PT dan tidak benaL Penafsiran unsur
PK adalah bahwa pelaku melakukan "melawan hukum" dalam Pasal 2
perbuatan yang melanggar perundang- ayat (1) UIJ PT PK tidak dapat
undnagan (tertulis) atau hukum tidak dilakukan sebagai unsur yang
tertulis untuk "memperkaya diri sendiri berdiri sendiri akan tetapi harus
atau orang lain atau suatu korporasi merupakan satu kesatuan dengan
yang dapat merugikan keuangan negara semua unsur dibelakangnya.
atau perekonomian negara". Pnulis yakin dengan penjelasan
Pemidanaan berdasarkan Pasal 2 ayat Pasal 2 ayat (1) UU PTPK tentang
(1) UU PTPK disamping harus pengertian unsur "melawan
memenuhi unsur "melawan hukum" hukum" pembentuk UU PT PK
juga tetap mensyaratkan dipenuhi tidak bermaksud memberlakukan
semua unsur tertulisnya yaitu perbuatan penafsiran Pasal 1365
pelaku "memperkaya diri sendiri atau KUHPerdata dalam bidang hukum
orang lain atau suatu korporasi yang pidana. Dengan penafsiran otenti
dapat merugikan keuangan negara atau tersebut di maksudkan bahwa
perekonomian negara". Akan tetapi pemidanaan terhadap tindak
akibat tidak jelasnya rumusan pidana korupsi berdasarkan Pasal
penjelasan tersebut maka orang dapat 2 ayat (1) UU PT PK selain harus
menafsirkan secara salah seolah-olah melanggar perundang-undangan
seseorang sudah dapat dipidana semata- atau hukum tidak tertulis juga
mata karena melanggar hukum tidak harus memenuhi unsur-unsur
tertulis. Penafsiran demikian atas lainnya. Oleh karena itu secara
rumusan penjelasan tersebut nampak lengkap apabila penafsiran otentik
dari pendapat hakim MK RI dalam unsur "melawan hukum"
putusannya yang menyatakan : disatukan dengan unsur-unsur
"Penjelasan pembentuk undang-undang lainnya, maka pemidanaan
ini sesungguhnya bukan hanya terhadap tindak pidana korupsi
menjelaskan Pasal 2 ayat (1) tentang berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UIJ
unsur melawan hukum, me/ainkan PTPK mensyaratkan dipenuhinya
te/ah me/ahirkan norma baru, yang unsurunsur sebagai berikut: Setiap
memuat digunakannya ukuran-ukuran orang; yang dengan melanggar
tidak tertulis dalam undang-undang perundangundangan tertulis atau
secara formal untuk menentukan dengan melanggarhukum tidak
perbuatan yang dapat dipidana. tertulis; mela kuka n p e rb u a ta
Penjelasan yang demikian telah n memperkaya diri sendiri atau
menyebabkan perbuatan melawan orang lain atau suatu korporasi;
hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) yang yang dapat merugikan keuangan
dikenal dalam hukum perdata yang negara atau perekonomian negara.
dikembangkan sebagai yurisprudensi Meskipun demikian penulis
mengenai perbuatan me/awan hukum setuju dengan pendapat hakim
(onrechtmatigedaad) seolah-olah telah MK RI yamg pada akhirnya
diterima sebagai suatu ukuran melawan menyatakan bahwa penafsiran

220
Jurnal Hukum Pro Justitia, Juli 2006, Volume 24 No.3

otentik unsur "melawan hukum” perbuatan tersebut dapat


tersebut dinyatakan bertentangan dipidana" dinyatakan
dengan UUD 1945 dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945
tidak memiliki kekuatan mengikat. dan kemudian dinyatakan tidak
Argumen yang diajukan adalah demi mempunyai kekuatan hükum
kepastian hükum dan untuk mengikat. Dengan diktum
membatasi ruang lingkup tersebut maka tidak ada lagi
berlakunya rumusan Pasal 2 ayat (1)
UU PTPK. interpretasi atau penafsiran
otentik dari unsur "melawan
Perlu ditambahkan pula bahwa hukum” dalam Pasal 2 ayat (1)
tindak pidana korupsi sebagaimana UU PTPK.
dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1)
UUPT PK menurut hakikatnya harus Secara yuridis sebenarnya putusan
dilakukan dengan suatu sikap batin MK RI tersebut tidak memiliki
berupa kesengajaan (opzet/dolus). dampak penting terhadap
Hal ini sesuai dengan ketentuan pemberlakuan UU PTPK, karena
Pasal 20 United Nations Convention yang dinyatakan tidak mengikat
Against Corruption 2003 yang telah hanya bagian dar i penjelasan.
diratifikasi berdasarkan UU RI Secara yuridis penjelasan hanya
Nomor 7 Tahun 2006. Meskipun merupakan penafsiran atau
dalam rumusan Pasal 2 ayat (1) UU interpretasi pembentuk undang-
PTPK unsur "sengaja" tersebut telah undang terhadap kata,atau istilah,
tidak dirumuskan sebagai unsur atau frasa, atau kalimat yang
tertulis, Penulis berpendapat bahwa digunakan dalam suatu undang-
tindak pidana korupsi sebagaimana undang. Kaidah hukumnya tidak
dirumuskan Pasal 2 ayat (1) UU PT ada pada penjelasan akan tetapi ada
PK harus dilakukan dengan pada batang tubuh yang dijelaskan.
kesengajaan. Memang benar sepanjang
interpretasi otentik itü ada maka ia
F. Tinjauan Dampak Putusan MK RI mengikat karena dibuat oleh
terhadap UU PTPK pembentuk undang-undang. Akan
tetapi apabila interpretasi otentik itü
Dalam diktum putusan MK RI tidak ada maka tidak akan
perkara a quo dinyatakan bahwa berpengaruh terhadap keberlakuan
sepanjang frasa yang berbunyi kaidah dalam batang tubuhnya.
"”Yang dimaksud dengan "secara Dengan kata lain putusan MK RI
melawan hukum” dalam pasa/ ini tersebut tidak mengganggu
mencakup perbuatan melawan berlakunya kaidah dalam batang
hükum dalam arti formil maupun tubuh Pasal 2 ayat (1) UU PTPK.
dalam attı' materiil, yakni meskipun
perbuatan tersebut tidak diatur Dengan putusan MK RI yang
dalam peraturan bersifat final tersebut maka saat ini
perundangundangan, namun apabila tidak ada interpretasi otentik dari
perbuatan tersebut dianggap tercela, pembentuk undang-undang tentang
karena tidak sesuai dengan rasa arti atau makna unsur "melawan
keadilan atau norma-norma hukum" dalam Pasal 2 ayat (1) UU
kehidupan dalam masyarakat, maka PTPK. Tidak hanya unsur "melawan
hukum” yang tidak ada interpretasi

221
Jurnal Hukum Pro Justitia, Juli 2006, Volume 24 No.3

otentiknya, banyak kata, istilah, frasa, tindak pidana sehingga lebih


dan kalimat dalam perundang-undangan memiliki makna pada tataran
kita yang tidak memiliki interpretasi akademis, bukan tentang syarat-
otentik. Apabila dalam penerapannya syarat untuk dijatuhi pidana.
arti atau makna unsur "melawan hukum” Tentang syarat untuk dijatuhi
tersebut dianggap tidak jelas maka harus pidana, sistem hükum pidana
ditafsirkan oleh para praktisi hükum dan kita bertumpu pada dua asas
pada akhirnya harus ditafsirkan oleh pokok yang menjadi fondasi
pengadilan yang memiliki kewenangan bangunan hükum pidana yaitu
otoritatif. Perkembangan interpretasi
tentang unsur "melawan hukum”
asas legalitas dan asas
tersebut pada akhirnya akan culpabilitas. Menurut asas
terkristalisasi dalam yurisprudensi. Saat legalitas suatu perbuatan dapat
ini belum jelas apakah pengadilan akan dipidana apabila memenuhi atau
menafsirkannya dengan menggunakan mencocoki rumusan undang-
ajaran sifat melawan hükum formal atau undang (nulla poena sine lege).
dengan menggunakan ajaran sifat Menurut asas culpabilitas pidana
melawan hükum materiil sebagaimana hanya dapat dijatuhkan apabila
penjelsan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK pada diri pelakunya ada
sebelum dinyatakan tidak berlaku. kesalahan (nulla poena sine
Secara teoretis ajaran manapun yang culpa). Kedua asas tersebut
duanut oleh pengadilan adalah sah
berlaku secara bersama-sama,
dalam proses penemuan hukum.
Interpretasi adalah kewenangan hakim sehingga syaratsyarat yang yang
dalam menerapakan suatu peraturan diderivasi daripadanya berlaku
perundang-undangan, dan kewenangan pula secara kumulatif. Dengan
hakim untuk melakukan interpretasi kata lain sanksi pidana ( dan
adalah suatu ciri penting dari sistem tindakan ) baru dapat dijatuhkan
hükum modern. apabila kedua unsur atau syarat
tersebut terbukti secara sah dan
G. Pertanggungjawaban Pidana meyakinkan, yakni perbuatan
Tindak Pidana Korupsi pelaku bersifat melawan hükum
dan pada diri pelakunya ada
Secara monistis tindak pidana adalah kesalahan atau
kesel uru ha n s ya rat un tuk pertanggungjawaban pidana.
dijatuhkannya pidana, sehingga Dengan demikian tidak setiap
unsur-unsur tindak pidana meliputi
unsur perbuatan melanggar hükum
perbuatan melangar hükum
(actus reus) maupun unsur dengan sendirinya (otomatis)
pertanggungjawaban pidana (mens dapat dijatuhi pidana, karena
rea). Sedangkan secara dualistis untuk dijatuhkannya pidana
suatu perbuatan dikualifikasi sebagai masih diperlukan unsur atau
tindak pidana apabila perbuatan syarat yang kedua yakni unsur
tersebut telah bersifat melanggar kesalahan atau
hükum atau memenuhi rumusan pertanggungjawaban.
undang-undang. Teori monistis dan
dualistis tersebut menganalisis Suatu perbuatan dikualifikasi
tentang apa yang disebut sebagai sebagai perbuatan melawan hükum

222
Jurnal Hukum Pro Justitia, Juli 2006, Volume 24 No.3

apabila perbuatan tersebut mencocoki keuangan negara atau


rumusan undang-undang pidana. perekonomian negara, tidak
Dalam tindak pidana korupsi perbuatan harus membuktikan bahwa
yang dapat dikualifıkasi sebagai kerugian keuangan negara
perbuatan melawan hükum adalah atau perekonomian tersebut
perbuatan yang mencocoki rumusan
perbuatan yang dilarang dalam UU
sudah benar-benar terjadi.
Tındak Pidana Korupsi yakni UU RI b. Tindak pidana korupsi yang
Nomor 31 Tahun 1999 jo UU RI menyerap rumusan
Nomor 20 -rahun 2001 . Beberapa beberapa tindak pidana
perbuatan koruptif yang dirumuskan dalam Buku II
dalam UU Tindak Pidana Korupsi KUHP, yakni Pasal 209, 210,
tersebut dapat dikualifikasi sebagai 387, 388, 415, 416, 417, 418,
berikut : 419, 420, 423, 425, 435
a. Tindak pidana korupsi yang KUHP
murni, merupakan hasil c. Tindak pidana suap
kriminalisasi dari IJU tersebut sebagaimana diatur dalam
yakni sebagaimana Pasal 13 UCJ RI Nomor 31
dirumuskan dalam Pasal 2 dan Tahun 1999 dan tindak pidana
Pasal 3. Kedua jenis tindak penerimaan gratifikasi
pidana korupsi ini sebenarnya sebagaimana dirumuskan
telah dirumuskan dalam UU dalam Pasal 12 B IJU RI Tahun
RI Nomor 3 Tahun 1971, akan 2001.
tetapi sekarang dirumuskan d. Pelanggaran terhadap
menjadi delik formal dimana undangundang lain yang secara
perbuatan korupsi sudah tegas dikualifikasi sebagai
dianggap selesai dengan tindak pidana korupsi.
selesainya perbuatan tanpa e. Percobaan, pembantuan, dan
harus terjadinya akibat yang permukatan jahat untuk
merugikan keuangan negara melakukan butir a s/d d di atas.
atau perekonomian negara. Selain itu RI Nomor 31
Perubahan perumusan dari Tahun 1999 juga mengatur
delik material menjadi delik beberapa tindak pidana lain
formal ini dilatarbelakangi yang berkaitan dengan tindak
kesulitan pembuktian akibat pidana korupsi sebagaimana
kerugian keuangan negara atau dirumuskan dalam Bab III
perekonomian negara dan Pasal 21, 22, 23, dan 24.
pembuktian kausalitasnya.
Dengan rumusan formal Unsur kesalahan atau
tersebut, Penuntut Umum pertanggungjawaban pidana adalah
cukup membuktikan adanya penilaian terhadap sikap batin
perbuatan koruptif pelakunya, bukan pen i l a ia n ter h
sebagaimana dirumuskan adap perbuatannya. Kesalahan
adalah dasar pencelaan terhadap
undangundang yang dapat sikap batin pelakunya. Dalam
(memiliki peluang / kans) hukum pidana seseorang yang
untuk menimbulkan kerugian

223
Jurnal Hukum Pro Justitia, Juli 2006, Volume 24 No.3

dinyatakan "bersalah" berarti ia dapat pasal yang bersangkutan.


dicela secara yuridis atas perbuatan Rumusan perbuatan melawan
melawan hukum yang dilakukannya, hukum dalam UU Tindak Pidana
atau perbuatan melawan hukum yang Korupsi tidak secara tegas
dilakukannya dapat dicelakan menyebut bentuk kesalahan yang
terhadapnya. Unsur kesalahan atau disyaratkan (dolus atau culpa).
pertanggungjawban pidana pelaku ini Akan tetapi dari
hanya relevan apabila telah dapat keseluruhan redaksinya,
dibuktikan bahwa perbuatan pelaku menurut saya, dapat
bersifat melawan hukum. Bukankan disimpulkan bahwa semua
tidak ada gunanya mencari sikap batin perbuatan koruptif yang diatur
sesorang yang perbuatannya tidak dalam UU Tindak Pidana
melanggar hukum (baca: taat pada
hukum) ? Korupsi mensyaratkan adanya
Dalam hukum pidana seseorang dapat bentuk kesalahan berupa
dinyatakan "bersalah" apabila kesengajaan (dolus, opzet).
dipenuhi beberapa unsur kesalahan Dalam hukum pidana
sebagai berikut: [1] ada kemampuan kesengajaan (dolus, opzet)
bertanggunjawab, [2] ada hubungan diberi pengertian sebagai
batin antara pelaku dan perbuatan, dan mengetahui (wetten) dan/atau
[3] tidak ada alasan pemaaf yang menghendaki (willen). Unsur
menghapus kesalahan. Unsur pertama ketiga berkaitan dengan alasan-
berkaitan dengan keadaan jiwa pelaku alasan penghapus pidana yang
pada saat melakukan perbuatan berasal dari keadaan diri
melawan hukum, seseorang yang pelakunya. Apabila ada alasan
mampu menyadari arti dari
perbuatannya dan akibatakibat dari penghapus kesalahan maka
perbuatannya adalah orang yang kesalahan pelaku dimaafkan
mampu bertanggungjawab. Sistem sehingga pelaku tidak dapat
hukum pidana k ita mengasumsikan dipidana, meskipun
bahwa setiap orang mampu perbuatannya terbukti melawan
bertanggungjawab, sehingga dalam hukum. Alasan pemaaf
pemeriksaan di pengadilan Penuntut bersama-sama dengan alasan
Umum tidak perlu membuktikan pembenar disebut sebagai
adanya kemampuan alasan penghapus pida na. Alas
bertanggungjawab pada diri setiap an penghapus pidana ini bisa
terdakwa, sebaliknya tentang berasal dari undang-undang
ketidakmampuan bertanggungjawab
harus dibuktikan oleh terdakwa atau maupun dari luar undang-
penasihat hukumnya. Unsur kedua undang. Sudah barang tentu,
berkaitan dengan bentuk-bentuk dalam pemeriksaan di
hubungan batin antara pelaku dan pengadilan Penuntut Umum
perbuatan, yang secara teknis dalam tidak perlu membuktikan
hukum pidana disebut sebagai bentuk- tentang tidak adanya alasan
bentuk kesalahan, yakni sengaja pemaaf dan alasan pembenar,
(opzet, dolus) dan culpa (alpa). tetapi menjadi tugas penasihat
Bentuk kesalahan yang disyaratkan hukum untuk mencari,
untuk setiap perbuatan melawan memformulasi, mengkonstruksi,
hukum biasanya dirumuskan dalam

224
Jurnal Hukum Pro Justitia, Juli 2006, Volume 24 No.3

dan membuktikan alasan dalam pembuktian kesalahan ini,


penghapus pidana dalam rangka supaya tidak terjebak pada
tugasnya melakukan pembelaan. praktik pelanggaran HAM
sebagaimana pengalaman
Kesalahan atau selamanya berlakunya HIR.
pertanggungjawaban pidana yang
merupakan salah satu syarat Pertanggungjawaban pidana
pemidanaan adlah penilaian bersifat pribadi (persoonlijk)
sehingga orang tidak dapat
terhadap sikap batin pelaku, oleh dipiertanggungjawabkan (baca:
karenanya kesalahan ini dipidana) karena kesalahan orang
merupakan unsur subyektif. Oleh lain. Demikian juga
karena keadaankeadaan yang
merupakan unsur subyektif, apakah memberatkan, meringankan, atau
unsur ini harus ada/dibuktikan dalam menghapus pidana seorang
setiap pemidanaan ? Unsur ini pelaku hanya berlaku bagi pelaku
HARIJS ada/dibuktikan dalam setiap itu sendiri (vide: Pasal 58
pemidanaan karena merupakan salah KUHP). Ketentuan tersebut
satu syarat pemidanaan. Tlada diatur dalam Buku I KUHP yang
Pidana Tanpa Kesalahan merupakan Ketentuan Umum
meruapakan asas yang masih
dipegang teguh dalam sistem hukum Hukum Pidana sehingga
pidana Indonesia, sehingga sampai berdasarkan Pasal 103 KUHP
saat ini dalam hukum pidana berlaku juga untuk hukum
Indonesia tidak dikenal liability pidana di luar KUHP termasuk
without fault baik dalam bentuk untuk UIJ Tindak Pidana
strict liability maupun vicarious Korupsi.
liability. Apakah unsur kesalahan
yang merupakan unsur subyektif UU Tindak Pidan Korupsi dalam
karena merupakan penilaian rumusannya menyebut "setiap
terhadap sikap batin pelaku orang" termasuk korporasi sebagai
tersebutdapat dibuktikan ? Karena subyek tindak pidana korupsi.
harus dibuktikan maka juga HARUS Artinya setiap orang dan/atau
DAPAT dibuktikan. Pembuktian korporasi yang melakukan
unsur keslahan ini d i l a k u k a n d e perbuatan koruptif sebagaimana
n g a n c a r a "mengobyektifkannya" dirumuskan dalam UIJ Tindak
atau "menormatifkannya", artinya Pidana Korupsi tersebut dapat
sikap batin atau kesalahan pelaku dipidana apabila pada dirinya ada
tersebut harus disimpulkan dari unsur kesalahan. Dalam hukum
fakta-fakta dan/atau perbuatan- pidana, pemidanaan tidak hanya
perbuatan obyektií Dengan demikian dapat dijatuhkan kepada orang yang
ukuran kesalahan pelaku tidak ada melakukan sendiri suatu delik, tapi
pada kepala pelaku sendiri, akan pemidanaan juga dapat dijatuhkan
tetapi ada pada kepala orang pada kepada pembuat-pembuat lain.
umumnya yang pada instansi Yang dimaksud pembuat ini adalah
terakhir dilakukan oleh hakim. apa yang disebutkan dalam Pasal 55
Sistem Peradilan Pidana harus dan 56 KUHP. Dengan demikian
menghindari mengandalkan yang dipidana berdasarkan UU
pengakuan tersangka/terdakwa Tindak Pidana Korupsi adalah

225
Jurnal Hukum Pro Justitia, Juli 2006, Volume 24 No.3

pembuat (pelaku, yang dakwaan tidak terbukti [ayat (2)]


menyuruhlakukan, yang turut serta, sebanarnya masih dalam koridor
yang menganjurkan) dan pembantu hukum acara pidana umum.
perbuatan korupsi yang dirumuskan
dalam UU Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Tindak Pidana
tersebut yang pada dirinya ada uns ur Korupsi merumuskan beberapa
kesalahan atau pertanggungjawaban ketentuan hukum acara pidana
pidana. khusus (disebut khusus karena
menyimpang dari yang umum),
Dari aspek hukum acara pidana, antara lain :
pertanyaan menarik yang sering a. Pasal 12 B ayat (1) UU
dikemukakan adalah apakah benar Nomor 20 Tahun 2001
undang-undang Tindak Pidana yang mengatur
Korupsi menggunakan asas pembuktian bahwa
pembuktian terbalik? Dalam hukum gratifikasi yang nilainya
acara pidana umum (baca: KUHAP) RP. 10 juta atau lebih
berlaku asas bahwa Penuntut Umum bukan merupakan suap d i
yang memiliki kewajiban untuk l a k u k a n o l e h pene ri
membuktikan segala hal yang ma gratifikasi.
dimuat dalam surat dakwaan, baik b. Pasal 37 A ayat (1) UU
itu unsur perbuatan melawan Nomor 20 Tahun 2001 yang
hukumnya maupun unsur menyatakan bahwa terdakwa
kesalahannya. wajib memberikan
Ketentuan tersebut merupakan keterangan tentang seluruh
derivasi dari asas praduga tidak harta bendanya dan harta
bersalah. Konsekwensi logis benda istri atau suami, anak,
ketentuan tersebut adalah bahwa dan harta benda setiap orang
tersangka / terdakwa tidak boleh atau korporasi yang diduga
dipaksa unt uk memberikan mempunyai hubungan
keterangan yang dapat merugikan dengan perkara yang
dirinya (self-incremination) dan the didakwakan.
right to remain silent. Namun c. Pasal 37 A ayat (2) UU
demikian hukum acara pidana umum Nomor 20 Tahun 2001
tidak pernah melarang tersangka / yang menyatakan bahwa
terdakwa untuk membuktikan bahwa dalam hal terdakwa tidak
ia tidak melakukan perbuatan dapat membuktikan
melawan hukum yang didakwakan tentang kekayaan yang
dan bahwa ia tidak bersalah.
tidak seimbang dengan
Rumusan Pasal 37 UU Nomor 20
Tahun 2001 yang menyatakan bahwa penghasilannya atau
terdakwa mempunyai hak untuk sumber penambahan
membuktikan bahwa ia tidak kekayaannya, dipakai
melakukan tindak pidana korupsi untuk memperkuat alat
[ayat (1)), dan bahwa pembuktian bukti yang sudah ada
nahwa terdakwa tidak melakukan bahwa terdakwa telah
tindak pidana korupsi digunakan melakukan tindak pidana
sebagai dasar untuk menyatakan korupsi.

226
Jurnal Hukum Pro Justitia, Juli 2006, Volume 24 No.3

d. Pasal 38 B ayat (1) dan ayat (2) adalah karena ada


UU Nomor 20 Tahun 2001 ketidakpercayaan legislatif
berkaitan dengan pidana terhadap KPK. Secara akademis
tambahan berupa perampasan ketentuan ini tidak dapat dicari
barang, yang menyatakan setiap landasan teoretisnya karena
orang yang d i d a kwa waj i b apabila proses penegakan hukum
membuktikan sebaliknya dari penyelidikan, penyidikan,
terhadap harta benda miliknya penuntutan, dan peradilan dilihat
dst. DAN apabila terdakwa sebagai suatu proses, maka setiap
tidak berhasil membuktikan saat harus dibuka kesmpatan
harta bendanya bukan untuk melakukan evaluasi
merupakan hasil dari korupsi, terhadap proses yang telah
harta benda tersebut dianggap dilakukan.
diperoleh juga dari tindak
pidana korupsi. Sistem perumusan ancaman
pidana dalam UU Tindak Pidana
Akan tetapi beberapa ketentuan Korupsi yang menggunakan
hukum acara pidana khusus sistem minimum khusus dan
tersebut tidak menghapuskan maksimum khusus juga
kewajiban Penuntut Umum untuk menyimpang dari sistem
perumusan ancaman pidana
membuktikan surat dakwaannya
dalam KUHP yang hanya
sebagaimana ditegaskan dalam mengenal minimum umum dan
Pasal 37 A ayat (3) UU Nomor 20 maksimum khusus. Perumusan
Tahun 2001 . ancaman pidana pokok penjara
Dengan demikian UU Tłndak Pidana dan denda yang menggunakan
Korupsi tidak sepenuhnya sitem kumalatifdan
menggunakan asas pembuktian alternatifkumulatif juga
terbalik (dalam arti semua beban menyimpang dari sistem
pembuktian ada pada terdakwa), akan perumusan dalam KUHP yang
tetapi memang ada pembalikan beban hanya mengenal sistem alternatif.
pembuktian yang bersifat terbatas. Untuk pidana tambahan, selain
yang dikenal dalam KUHP
Dari aspek hukum acara pidana ditambahkan beberapa jenis
terdapat rumusan yang menarik pidana tambahan sebagaimana
(menurut saya bisa disebut radikal) diatur dalam Pasal 18 UU Nomor
yaitu ketentuan Pasal 40 UU RI 31 Tahun 1999. Meskipun jenis
Nomor 30 Tahun 2002 tentang pidana tambahannya ditambah,
Komisi Pemberantasan Tindak akan tetapi sitem penjatuhannya
Pidana Korupsi (KPK) karena KPK tetap tidak menyimpang dari
tidak diperbolehkan melakukan KUHP yakni bahwa pidana
tindakan penghentian penyidikan dan tambahan bersifat fakultatif
penuntutan tindak pidana korupsi. menambah pidana pokok. Dengan
Akibat dari ketentuan seperti ini bisa demikian pidana tambahan tidak
bersifat positif dan bisa bersifat harus dijatuhkan, dan apabila
negatif. UU KPK tidak memberikan dijatuhkan maka harus
penjelsan tentang latar belakang bersamasama dengan pidana
ketentuan ini, tapi dapat diduga pokok. Pengecualian terhadap
bahwa salah satu latar belakngnya ketentuan tersebut terdapat dalam

227
Jurnal Hukum Pro Justitia, Juli 2006, Volume 24 No.3

Pasal 38 UU Nomor 31 Tahun 1999


yakni hakim dapat menetapkan
perampasan barang yang telah disita
apabila sebelum putusan dijatuhkan
terdakwa meninggal dunia padahal
terdapat bukti yang cukup kuat
bahwa terdakwa melakukan tindak
pidana korupsi.

DAFTAR PUSTAKA •
1. Barda Nawawi Arief,
Masalah
Penegakan Hukum dan
Kebijakan Penanggulangan
Pidana, , Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2001.
2. Gilbert Geis and Robert F
Meier, White Colllar Crime,
The Free Press, London, 1977.
3. Jan Remmelink Hukum
Pidana, , terjemahan,
Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2003.
4. Komisi Pemberantasan
Korupsi,
Identification of Gaps between
Laws / regulations of the
Republic of Indonesia and the
United Nations Convention
Against Corruption, KPK RI,
Jakarta, 2006.
PAF Lamintang Dasar-Dasar
Hukum Pidana Indonesia, ,
Sinar Baru Bandung, 1999.

228

Anda mungkin juga menyukai