Interprestasi Modern Makna Penyalahgunaan Wewenang Dalam TPPK
Interprestasi Modern Makna Penyalahgunaan Wewenang Dalam TPPK
A’an Efendi
Fakultas Hukum Universitas Jember
Jl. Kalimantan 37 Kampus Tegalboto Kotak Pos 9 Jember 68121
Email: aan_efendi.fh@unej.ac.id
Naskah diterima: 10 Februari 2019; revisi: 18 Desember 2019; disetujui 26 Desember 2019
http://dx.doi.org/10.29123/jy.v12i3.380
B. Rumusan Masalah
2. Interpretasi
Modern
paling penting dalam interpretasi modern adalah dikategorikan sebagai ‘memperoleh’ menurut the
kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur yang Company Securities (Insider Trading) Act 1985.
membentuk konteks tersebut. Interpretasi modern The House of Lords menjawab pertanyaan ini
memaknai kata-kata berdasarkan dua konteks, secara afirmatif atas dasar bahwa dalam konteks
yaitu masalah bahasa yang berlaku untuk semua pembahasan undang-undang, Parlemen pasti
komunikasi linguistik, dan masalah hukum yang bermaksud memberi makna yang luas pada kata
mempertimbangkan masalah-masalah khusus ‘memperoleh’ yang pada dasarnya sama dengan
dari interpretasi yang muncul dari sifat teknis
‘menerima.’ Dari putusan the House of Lords
undang-undang (McLeod, 1996:278). ini ada satu pelajaran yang dapat dipetik, bahwa
makna dalam kamus tidak selamanya dapat
Menurut pandangan interpretasi modern
menjadi rujukan dalam memutus suatu perkara
undang-undang adalah suatu tindakan yang
hukum.
memiliki tujuan, dan hakim menafsirkan
undang-undang untuk melaksanakan tujuan Dalam melakukan analisis konteks
tersebut (Brannon, 2018:11). Dalam melakukan mengenai bahasa dalam interpretasi modern
interpretasi modern kata-kata dalam undang- terdapat 4 (empat) prinsip, yaitu: prinsip the
undang harus dibaca dalam seluruh konteksnya noscitur a sociis, prinsip ejusdem generis, prinsip
dan dalam gramatikalnya, serta dalam the expressio unius exclusio alterius, dan prinsip
pemahaman umum, sesuai dengan maksud peringkat (the rank principle) (McLeod,
undang-undang, tujuan undang-undang, dan 1996:279-
maksud dari badan pembentuk undang-undang. 283). Prinsip pertama adalah prinsip the noscitur
Interpretasi modern mensyaratkan memeriksa a sociis yang makna leksikalnya adalah suatu hal
makna kata yang digunakan dalam undang- diketahui dari associated-nya (a thing is known
undang, konteks ketentuan dalam undang- by it’s associates). Dalam perkara Foster v.
undang, maksud dan tujuan undang-undang, dan Diphwys Casson State Co (1887), undang-
maksud dari pembentuk undang-undang (Li & undang yang relevan menyatakan bahwa bahan
Piccolo, 2007:3). peledak bisa dibawa ke tambang hanya jika
bahan peledak itu terisi dalam ‘peti atau tabung.’
Ada dua pokok bahasan dalam interpretasi
Pertanyaan untuk pengadilan adalah apakah tas
modern, yaitu analisis konteks mengenai
kain boleh untuk tempat bahan peledak.
masalah bahasa, dan analisis konteks mengenai
Pengadilan menyatakan bahwa dalam konteks,
masalah hukum. Mengenai analisis konteks
apa yang termasuk di dalam pengertian tempat
masalah bahasa, McLeod (1996:279)
untuk bahan peledak itu adalah wadah dengan
menyatakan bahwa pengadilan sering
kekuatan dan soliditas yang sama dengan
bergantung pada kamus untuk mencari makna
‘tabung,’ dan tas kain tidak sesuai dengan
suatu kata dibandingkan dengan menggunakan
undang-undang.
interpretasi undang- undang. Dalam Attorney-
General’s Reference No. 1 of 1998, Majelis Prinsip kedua adalah prinsip ejusdem
Tinggi (the House of Lords) pada Parlemen generis. Secara harfiah berarti jenis atau
Inggris harus memutuskan apakah seseorang kelompok yang sama. Berdasarkan prinsip ini
yang menerima informasi tetapi ia tidak ketika undang-undang memuat daftar khusus
berusaha untuk memperolehnya yang diikuti istilah umum, istilah umum tersebut
harus diinterpretasi secara terbatas hanya pada
benda dengan jenis atau kelompok yang sama ini berasal dari kata Latin yang berarti pada
sebagaimana yang ada di dalam daftar. subjek (pokok bahasan) yang sama. Berdasarkan
Misalnya, undang-undang mengatur daftar alat prinsip ini bahwa undang-undang yang
transportasi yang digerakkan tenaga manusia berhubungan dengan subjek yang sama harus
terdiri atas sepeda roda dua, sepeda roda tiga, diinterpretasi secara konsisten. Misal, Fair
sepeda roda satu, dan alat transportasi lainnya. Housing Act melarang diskriminasi atas dasar
Sepeda motor tidak termasuk alat transportasi preferensi gender. Fair Employment Act juga
lainnya seperti yang dimaksud dalam undang- menggunakan istilah preferensi gender. Istilah
undang. tersebut (preferensi gender) harus diinterpretasi
secara konsisten dalam dua undang-undang
Prinsip selanjutnya adalah prinsip the
tersebut, kecuali masing-masing undang-undang
expressio unius exclusio alterius yang harfiahnya
memberikan definisi yang berbeda dengan jelas.
berarti menetapkan yang satu meniadakan yang
lain. Berdasarkan prinsip ini jika undang-undang Analisis konteks mengenai hukum
memuat daftar apa yang dicakup, segala sesuatu bermakna berarti setiap kata, frasa, bagian, sub-
yang lain tidak termasuk di dalamnya. Misalnya, bagian, pasal, dan ayat dalam undang-undang
jika undang-undang mengatur daftar seniman harus ditafsirkan dalam konteks seluruh undang-
pembuat tembikar, pembuat barang seni dari undang. Untuk memahami hal tersebut harus
kaca, pelukis, penyair, penulis, dan pemahat, melihat dengan saksama anatomi undang-undang
tetapi tidak mencantumkan penenun, maka yang ditafsirkan.
penenun tidak tercakup dalam undang-undang.
Menurut McLeod (1996:285) bagian
Hanya pekerjaan yang terdaftar saja yang
pertama yang harus dilihat dari undang-undang
tercakup. Semua pekerjaan lain tidak tercakup.
adalah preambles yang di situ memuat
Prinsip terakhir adalah prinsip peringkat. penjelasan mengapa undang-undang dibuat.
Berdasarkan prinsip ini di mana serangkaian Undang- undang di Indonesia tidak terdapat
item dari peringkat tertentu diikuti kata bagian yang disebut preambles ini. Namun
residunya, maka kata residu itu dianggap tidak demikian, apabila dicermati yang dimaksud
dimaksudkan untuk masuk dalam item dari preambles ini dalam undang-undang Indonesia
peringkat yang berbeda. Dalam Casher v. adalah merupakan konsiderans ‘Menimbang’ di
Holmes (1831) diberikan gambaran tentang mana di situ dituangkan alasan dibuatnya
prinsip tersebut, bahwa ketentuan yang undang-undang (Marzuki, 2005:118). Setelah
mengenakan bea cukai tembaga, kuningan, menelaah dengan saksama bagian konsiderans
timah, dan semua logam lain yang tidak ‘Menimbang,’ maka untuk melakukan
disebutkan dikatakan tidak berlaku untuk perak interpretasi modern harus melihat bagian-bagian
dan emas. Pada era yang lebih modern, frasa selanjutnya dari undang- undang yang
‘petugas atau pemeriksa pengadilan’ dalam RSC diinterpretasi.
Ord.39.r.4(a) dikatakan tidak berlaku untuk
Undang-undang meliputi bab-bab yang
hakim.
terdiri atas pasal-pasal, dan setiap pasal terdiri
Selain empat prinsip tersebut, ada satu atas ayat-ayat, yang kemudian ayat-ayat itu
prinsip lagi sebagaimana dikemukakan Putman memuat beberapa butir atau angka atau huruf.
(1998:57) yaitu prinsip pari materia. Prinsip
Untuk Bab I yang merupakan ketentuan umum oleh badan atau pejabat yang berwenang
memuat pengertian dan di situ tidak ada ayat, karena terjadinya pelanggaran norma-norma
tetapi angka 1 dan seterusnya. hukum administrasi, misalnya pemegang izin
membuang limbah melanggar syarat izin yang
Bab dalam undang-undang memuat
telah ditetapkan.
pengaturan mengenai hal tertentu yang kemudian
dijabarkan dalam pasal-pasal. Misalnya, untuk
mengetahui apakah yang dimaksud uang paksa 3. Penyalahgunaan Wewenang
dalam Pasal 87 ayat (3) Undang-Undang Nomor Penyalahgunaan wewenang (abuse
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan of power) atau yang dalam konsep hukum
Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah adalah administrasi Prancis disebut détournement de
salah jenis sanksi yang dikenal dalam hukum pouvoir adalah salah satu jenis ketidaksahan
administrasi, maka harus dianalisis di bab mana yang menyebabkan keputusan badan atau pejabat
Pasal 87 itu dimuat. Pasal 87 terdapat pada pemerintahan dapat dibatalkan (Auby,
Bab XIII yang berjudul Penyelesaian Sengketa 1970:549). Penyalahgunaan wewenang
Lingkungan, yang selanjutnya Bab ini dibagi terjadi ketika badan atau pejabat pemerintahan
menjadi 3 (tiga) Bagian, dan Pasal 87 ayat (3) menggunakan wewenangnya untuk tujuan yang
berada pada Bagian Ketiga tentang Penyelesaian menyimpang atau berbeda dari maksud
Sengketa Lingkungan Hidup Melalui diberikannya wewenang (Efendi & Poernomo,
Pengadilan. Selanjutnya harus juga dilihat 2017:127).
pengertian sengketa lingkungan pada
Ketentuan Umum pada Bab I. Sengketa Penyalahgunaan wewenang adalah
lingkungan berdasarkan Pasal 1 angka 25 adalah tindakan yang cacat oleh badan atau pejabat
perselisihan antara dua pihak atau lebih, yang pemerintahan, yaitu mereka melaksanakan
timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau wewenangnya untuk mencapai tujuan yang
telah berdampak pada lingkungan hidup. berbeda dari tujuan yang seharusnya diberikan
wewenang tersebut (Parchomiuk, 2018:456).
Dari menganalisis Bab III mengenai
Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Bagian Menurut Schwartz (2006:216), tindakan
Ketiga mengenai Penyelesaian Sengketa badan atau pejabat pemerintahan dikategorikan
Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan, dan sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang
pengertian sengketa lingkungan menurut Pasal jika:
1 angka 25, maka dapat ditafsirkan bahwa uang
1. Badan atau pejabat pemerintahan
paksa dalam Pasal 87 ayat (3) bukan uang paksa tersebut melakukan tindakan dalam
sebagaimana dikenal dalam hukum administrasi. ruang lingkup wewenangnya,
mengikuti prosedur dengan tepat,
Uang paksa yang dimaksud Pasal 87 ayat (3) dan mematuhi ketentuan undang-
itu berada pada ruang lingkup gugatan sengketa undang serta regulasi yang mengatur
lingkungan di pengadilan, yang berarti uang tindakannya, tetapi ia menggunakan
wewenangnya untuk tujuan lain dari
paksa itu penjatuhannya dilakukan oleh hakim. tujuan diberikannya wewenang itu.
Uang paksa yang dikenal dalam hukum 2. Penyalahgunaan wewenang
administrasi tidak dijatuhkan oleh hakim adalah ketika badan atau pejabat
pemerintahan menggunakan
tetapi ditetapkan wewenangnya untuk tujuan yang
dilarang, yaitu tujuan lain dari
yang dimaksudkan oleh pembentuk 4. Tindak Pidana Korupsi
undang-undang.
3. Badan atau pejabat pemerintahan Kata ‘korupsi’ dari bahasa lama Prancis
melakukan tindakan bukan untuk
corropt yang berarti tidak sehat, korup, atau
tujuan kepentingan umum, tetapi
untuk tujuan personal atau pribadi. kasar, dan secara langsung dari kata Latin
corruptus yang berarti merusak. Secara kiasan
Penyalahgunaan wewenang oleh badan artinya korup, membujuk, menyuap
atau pejabat pemerintahan merupakan (www.etymonline.com). Korupsi berarti
penyimpangan asas dalam hukum administrasi, kebobrokan, penyimpangan, noda, gangguan
yaitu asas spesialitas atau specialiteitsbeginsel. integritas, kebajikan atau prinsip moral,
Menurut asas ini organ pemerintahan harus khususnya nilai kewajiban pejabat publik karena
menggunakan wewenangnya untuk mengambil penyuapan (Garner, 2004:371).
keputusan tidak untuk tujuan lain selain tujuan
yang dikehendaki dari diberikannya wewenang Korupsi tidak memiliki definisi tunggal
tersebut (Seerden & Stroink, 2002:168). tetapi sangat beragam. Korupsi didefinisikan
dengan cara yang berbeda, dan tiap definisi
Penyalahgunaan wewenang melibatkan 3 kurang dalam beberapa aspek. Selama beberapa
(tiga) unsur utama, yaitu: (1) met opzet (dengan tahun, pertanyaan mengenai definisi korupsi
sengaja); (2) mengalihkan tujuan wewenang; dan memikat proporsi yang besar dengan
(3) ada interest pribadi yang negatif (Hadjon, menghabiskan waktu pada diskusi saat pertemuan
2015:60). Dengan demikian, penyalahgunaan atau konferensi tentang korupsi (Tanzi, 1998:8).
wewenang terjadi dengan kesengajaan bukan
kealpaan atau kelalaian, yaitu dengan sengaja Mengenai definisi korupsi, Conseil de
mengalihkan tujuan wewenang sehingga L’europe (1999:1) dalam penjelasan laporannya
menyimpang dari tujuan diberikannya mengenai Criminal Law Convention on
wewenang tersebut. Tindakan mengalihkan Corruption menjelaskan:
tujuan wewenang tersebut dilandasi kepentingan Terlepas dari sejarah panjang dan
pribadi yang negatif, misalnya untuk penyebaran fenomena korupsi di
masyarakat saat ini, tampaknya sulit
memperoleh keuntungan pribadi atau untuk
untuk sampai pada definisi yang sama dan
orang lain. dikatakan dengan tepat, ‘tidak ada definisi
korupsi yang akan diterima secara merata
Tindakan penyalahgunaan wewenang di setiap negara.’ Definisi yang mungkin
menjadi dasar pembatalan keputusan badan telah dibahas selama beberapa tahun di
pelbagai forum yang berbeda tetapi tidak
atau pejabat pemerintahan oleh pengadilan. mungkin bagi komunitas internasional
Pembatalan itu ketika faktanya badan atau untuk menyepakati definisi yang sama.
pejabat pemerintahan dengan sengaja Sebaliknya, forum internasional lebih
memilih berkonsentrasi pada definisi
menggunakan wewenangnya untuk tujuan selain bentuk-bentuk korupsi tertentu.
dari tujuan diberikannya wewenang
tersebut (Auby, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
1970:549). Pembatalan itu dapat disertakan melawan Korupsi (the United Nations
ganti kerugian jika keputusan yang dibatalkan Convention Against Corruption) yang diterima
menimbulkan kerugian bagi orang yang terkena Majelis Umum PBB pada Oktober 2003 juga
keputusan tersebut. tidak memberikan definisi korupsi. Definisi
khusus tentang tindak pidana korupsi diserahkan dan di mana mungkin hanya ada keuntungan
kepada yurisdiksi masing-masing negara yang bagi perusahaan, tidak untuk individu pekerja.
terikat oleh konvensi (Anti-Corruption Resource
Johnson & Sharma (Wouters, Ryngaert, &
Centre, 2017:1).
Cloot, 2013:34) membuat daftar jenis korupsi
Beberapa organisasi internasional maupun yang tidak lengkap tetapi dapat memberikan
badan lainnya memberikan batasan pengertian gambaran luasnya fenomena korupsi, yaitu:
korupsi sebagai berikut: 1. Penyuapan dan gratifikasi.
1. Transparansi Internasional. Korupsi 2. Kleptokrasi (mencuri dan
melibatkan pelaku dari pihak pejabat memprivatisasi dana publik).
di sektor publik, baik itu politisi 3. Penyelewengan (penggelapan dan
maupun pegawai negeri sipil, di penyalahgunaan dana publik).
mana mereka secara tidak patut dan 4. Tidak melaksanakan tugas atau
melanggar hukum memperkaya kewajiban (kronisme).
diri mereka sendiri, atau siapa saja 5. Menjajakan pengaruh (mendukung
yang dekat dengan mereka, dengan makelar dan konflik kepentingan).
menyalahgunakan kekuasaan publik 6. Menerima hadiah yang salah (uang
yang dipercayakan kepada mereka. ‘cepat’).
2. Bank Pembangunan Asia. Korupsi 7. Melindungi pelayanan publik yang
melibatkan perilaku dari pihak buruk.
pejabat di sektor publik dan swasta, 8. Penyalahgunaan wewenang.
di mana mereka secara tidak patut 9. Memanipulasi peraturan.
dan melanggar hukum memperkaya 10. Malpraktik pemilihan (membeli suara).
diri mereka sendiri dan/atau pihak 11. Rent-seeking (pejabat publik secara
lain yang memiliki hubungan melawan hukum memungut biaya
dengan mereka, atau mendorong untuk pelayanan setelah membuat
orang untuk melakukannya, dengan kekurangan buatan).
menyalahgunakan kedudukan yang 12. Klientelisme dan patronase (politisi
dipercayakan kepada mereka. memberikan keuntungan sebagai
3. Komisi Independen Korea melawan imbal jasa kepada pihak yang
Korupsi. Korupsi adalah setiap mendukungnya).
pejabat publik yang terlibat dalam 13. Kontribusi kampanye ilegal
penyalahgunaan kedudukan atau (memberikan hadiah yang tidak diatur
wewenang dengan melanggar hukum untuk mempengaruhi kebijakan dan
sehubungan dengan tugas-tugas peraturan).
resmi mereka untuk tujuan mencari
keuntungan untuk dirinya sendiri Di Indonesia, berdasarkan UU PTPK
atau pihak ketiga (OECD, 2008:23). juga tidak ditemukan definisi korupsi dalam
ketentuan umum pada Pasal 1 maupun dalam
Menurut Bank Dunia yang dimaksud
penjelasan umum dan penjelasan pasal-pasalnya.
dengan korupsi adalah menggunakan jabatan
UU PTPK membagi tindak pidana menjadi dua,
publik untuk memperoleh keuntungan ekonomi
yaitu tindak pidana korupsi dan tindak pidana
bagi individu (Bhargava, 2005:1). Definisi
lain yang berhubungan dengan tindak pidana
korupsi dari Bank Dunia ini yang kemudian
korupsi. Tindak pidana korupsi diatur dalam Bab
diterima umum. Menurut Fleming &
II terdiri atas tindak pidana korupsi berdasarkan
Zyglidopoulos (2009:5-6), definisi ini tidak
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5-16. Tindak pidana lain
mudah untuk diterapkan terhadap korupsi
yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi
perusahaan, di mana tidak ada pejabat publik
diatur dalam Bab III dari Pasal 21-24.
yang terlibat di dalamnya
II. METODE PTPK untuk ditemukan kekurangannya
kemudian diberikan
Penelitian ini adalah penelitian hukum
doktrinal dan penelitian yang berorientasi
pembaruan (reform oriented research).
Penelitian hukum doktrinal digunakan untuk
memberikan penjelasan terperinci mengenai
bagian yang sulit untuk dipahami dari suatu
aturan hukum tertentu (Hutchinson, 2008:1068),
yang dalam penelitian ini mengenai makna
menyalahgunakan wewenang dalam Pasal 3 UU
PTPK, serta hubungannya dengan konsep
penyalahgunaan wewenang dalam hukum
administrasi.
IV. KESIMPULAN
V. SARAN
DAFTAR ACUAN
Buku
Jurnal
Sumber lainnya