Anda di halaman 1dari 48

77

BAB III

PENYADAPAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA

DAN BEBERAPA NEGARA

A. Pengantar.

Tindakan penyadapan tidak hanya di kenal di Indonesia, dalam

sejarahnya yang sudah Penulis bahas dalam bab sebelumnya dinyatakan

bahwa kasus mengenai penyadapan pertama kali ada di negara Amerika

Serikat serta beberapa Negara lain. Di Indonesia kewenangan

penyadapan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

dimiliki oleh aparat penegak hukum di berbagai instansi. Serta masih

banyaknya penafsiran yang berbeda mengenai alat bukti hasil

penyadapan yang dapat digunakan dalam persidangan.

Pada bab ini Penulis akan membagi dalam 3 (tiga) bagian yaitu

Pengantar, kewenangan penyadapan di Indonesia dan kegunaannya

dalam peradilan pidana serta kewenangan penyadapan di Negara lain dan

kegunaannya dalam peradilan pidana.

77
78

B. Kewenangan Penyadapan di Indonesia dan Kegunaannya

dalam Peradilan Pidana.

1. Kewenangan Penyadapan Di Indonesia.

a. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Latar belakang dibentuknya KPK dapat di lihat dalam

penjelasan umum Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan

Korupsi bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia dianggap

sudah meluas sehingga tidak dapat lagi di golongkan

sebagai kejahatan biasa tetapi bisa di kategorikan kejahatan

luar biasa (Extraordinary Crime). Penegakan hukum

terhadap tindak pidana korupsi selama ini banyak

mengalami hambatan sehingga pada saat itu bisa dianggap

darurat korupsi sehingga dengan menyimpang asas yang

berlaku umum dari Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 8 Tahun 1982 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana, dibuatlah Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan

Korupsi.1

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa tujuan

pembentukan KPK adalah untuk mengoptimalkan

pemberantasan tindak pidana korupsi yang sulit diharapkan

1
Penjelasan umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
79

terwujudnya jika masih terus mengandalkan lembaga

penegak hukum yang telah ada. Hal ini disebabkan karena

pada kenyataannya aparat penegak hukum itu sendiri

seringkali justru terlibat dalam praktik korupsi atas perkara

yang mereka tangani. 2

Menurut pandangan pembuat Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi situasi darurat yang terjadi adalah

situasi darurat korupsi. Dari dasar tersebut KPK diberi

kewenangan yang luar biasa dibandingkan kewenangan

aparat penegak hukum lainnya, dimana berdasarkan Pasal

12 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan

Korupsi yaitu pemberian kewenangan untuk melakukan

tindakan intersepsi dan merekam pembicaraan dalam

rangka tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. 3

KPK diberikan wewenang penuh untuk melakukan

penyadapan dan merekam pembicaraan yang terjadi antara

pelaku tindak pidana korupsi dengan orang yang terlibat

dalam tindak pidana korupsi tersebut. Kewenangan KPK

untuk melakukan penyadapan tidak mengharuskan ada izin

pihak lain di luar KPK seperti pengadilan atau lembaga lain,

2
Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek
Internasional, (Bandung: Mandar Maju, 2004), hlm. 26-29.
3
Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi, (Yogyakarta: UII Press, 2016), hlm. 200.
80

karena memang telah diamanatkan oleh undang-undang

dan dasar hukumnya sudah dengan jelas diatur (diatur

dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Korupsi). Kewenangan KPK

untuk melakukan penyadapan tidaklah melanggar konstitusi,

hal ini dikatakan oleh Mahkamah Konstitusi. Mekanisme

penyadapan yang dilakukan oleh KPK berdasarkan

Standard Operating Procedure (SOP) yang ketat dan diaudit

secara berkala oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika.

Standard Operating Procedure (SOP) KPK hanya

mensyaratkan persetujuan pimpinan untuk melakukan

penyadapan.4

KPK mempunyai legalitas melakukan tindakan

penyadapan hanya bersandar kepada Pasal 12 ayat (1)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002

Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, sedangkan

legalitas hukum acara atau tata cara tindakan intersepsi

hanya melaui peraturan menteri. Pengaturan tata cara

tindakan intersepsi diatur dalam Peraturan Menteri

Komunikasi dan Informasi Nomor:

4
Ibid., hlm. 202.
81

11/PERM.KOMINFO/02/2006 tanggal 22 Februari 2006

Tentang Teknis Intersepsi Terhadap Informasi.5

Tentunya tindakan penyadapan atau intersepsi yang

dilakukan oleh KPK harus dapat menganut asas Legitimate

Aim yaitu tindakan penyadapan ini harus dilakukan dengan

tujuan yang sah terhadap individu yang diduga terkait

dengan suatu peristiwa pidana korupsi baik dalam tahapan

proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Dan

tindakan penyadapan itu sendiri harus ada pembatasan

yang diatur dalam undang-undang, dimana tindakan

penyadapan tersebut dapat dilakukan apabila tidak ada jalan

lain dalam mencari dan menemukan peristiwa yang diduga

sebagai tindak pidana.6

b. Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Polri diberi kewenangan untuk melakukan tindakan

penyadapan terhadap tindak pidana psikotropika, korupsi,

terorisme, perdagangan orang, pencucian uang, informasi

dan teknologi. Kewenangan tersebut diatur dalam beberapa

peraturan perundang-undangan yaitu:

1). Pasal 55 huruf c Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika

yang menyebutkan bahwa penyidik POLRI dapat

5
Ibid., hlm 201.
6
Reda Manthovani, Penyadapan VS Privasi (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer,
2015), hlm. 112.
82

melakukan tindakan penyadapan melalui telepon dan

atau alat komunikasi elektronika lainnya terhadap

orang yang dicurigai atau diduga keras melakukan

pembicaraan yang berkaitan atau berhubungan

dengan tindak pidana psikotropika dengan jangka

waktu melakukan penyadapan paling lama 30 (tiga

puluh) hari.7

2). Pasal 26 Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi dimana dalam penjelasannya

disebutkan bahwa penyidik berwenang untuk

melakukan intersepsi atau penyadapan.8

3). Pasal 41 dan 42 Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang

Telekomunikasi disebutkan bahwa penyelenggara

jasa telekomunikasi diberi wewenang untuk merekam

informasi yang dikirim atau diterima oleh pengguna

jasa telekomunikasi, berdasarkan permintaan tertulis

dari Jaksa Agung atau Kapolri atau penyidik untuk

7
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 Tentang
Psikotropika.,Pasal 55.
8
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi., Pasal 26.
83

kepentingan penyidikan tindak pidana tertentu sesuai

undang-undang.9

4). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15

Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme Menjadi Undang-Undang, pasal 31

menyebutkan bahwa Berdasarkan bukti permulaan

yang cukup penyidik berhak melakukan tindakan

penyadapan melalui telepon atau alat komunikasi lain

yang diduga digunakan untuk mempersiapkan,

merencanakan, dan melakukan tindak pidana

terorisme. Dan tindakan penyadapan tersebut hanya

dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan

Negeri untuk jangka waktu paling lama 1 (satu)

tahun.10 Dan hasil dari tindakan penyadapan tersebut

harus dilaporkan atau dipertanggungjawabkan

kepada atasan penyidik.

5). Pasal 31 Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana

Perdagangan Orang disebutkan bahwa dengan bukti

9
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang
Telekomunikasi, Pasal 41 dan 42.
10
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang,Pasal 31.
84

permulaan yang cukup, penyidik berwenang

melakukan tindakan penyadapan telepon atau alat

komunikasi lain yang diduga digunakan untuk

mempersiapkan, merencanakan dan melakukan

tindak pidana perdagangan orang atas ijin dari Ketua

Pengadilan dengan jangka waktu paling lama 1 (satu)

tahun.11

6). Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang

Informasi dan Transaksi Elektronika disebutkan

bahwa tindakan intersepsi atau penyadapan dapat

dilakukan atau diijinkan dalam rangka penegakan

hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan atau

institusi lainnya yang ditetapkan oleh undang-

undang.12

Dari dasar beberapa peraturan perundang-undangan

diatas Polri telah menetapkan sebuah peraturan sebagai

pedoman bagi penyidik Polri dalam melakukan tindakan

penyadapan yang diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 5

Tahun 2010 Tentang Tata Cara Penyadapan pada Pusat

11
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak
Pidana Perdagangan Orang, Pasal 31.
12
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronika, Pasal 31.
85

Pemantauan Polri yang disahkan pada tanggal 25 Februari

2010 dengan prosedur dan mekanisme sebagai berikut: 13

1). Penyadapan dilakukan dengan menjaga

prinsip:

a) Perlindungan hak asasi manusia

berdasarkan Standar Operasi Prosedur

(SOP).

b) Penyadapan yang dilakukan harus

sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan (legalitas).

c) Bahwa kegiatan penyadapan dilakukan

semata-mata untuk menjamin tegaknya

hukum dan keadilan (Kepastian Hukum).

d) Bahwa kepentingan konsumen

pengguna jasa telekomunikasi tidak

terganggu akibat adanya penyadapan

(perlindungan konsumen).

e) Adanya keturutsertaan menteri yang

membidangi urusan telekomunikasi dan

informatika, penyedia jasa dan penyedia

jaringan telekomunikasi dalam operasi

penyadapan (partisipasi).

13
Peraturan Kapolri Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Penyadapan pada
Pusat Pemantauan Polri.
86

f) Bahwa tindakan penyadapan bersifat

rahasia dan hanya dapat dilakukan oleh

penyidik secara proporsional dan

relevan dengan memperhatikan

keamanan sumber data atau informasi

yang diperoleh dalam mengungkap

suatu tindak pidana (kerahasiaan).

2). Kabareskrim Polri ditunjuk oleh Kapolri sebagai

pejabat yang memberikan ijin dimulainya

operasi penyadapan dan sekaligus bertindak

sebagai pengawas operasi penyadapan

tersebut.

3). Permintaan dimulainya operasi penyadapan

diajukan oleh penyelidik/penyidik kepada

Kabareskrim untuk tingkat Mabes Polri atau

melalui Kapolda kepada Kabareskrim untuk

tingkat kewilayahan.

4). Setelah menerima permintaan tersebut,

Kabareskrim menimbang apakah permintaan

tersebut layak atau tidak layak dilakukan suatu

operasi penyadapan. Paling lambat 3 (tiga) hari

penyelidik/penyidik menerima pemberitahuan


87

tertulis terkait status kelayakan permintaan

yang diajukan.

5). Apabila dinilai layak, maka Kabareskrim

mengajukan permohonan ijin intersepsi kepada

Ketua Pengadilan Negeri tempat operasi

penyadapan akan dilakukan.

6). Operasi penyadapan dilakukan oleh Pusat

Pemantauan (monitoring centre) Biro

Pembinaan Operasional Bareskrim Polri.

7). Pada kondisi yang mendesak, penyidik dapat

secara langsung mengajukan permintaan

penyadapan kepada Pusat Pemantauan

(monitoring centre) Polri dengan tembusan

kepada Kabareskrim. Permintaan tersebut

harus dilampiri surat pernyataan atasan

penyidik di bawah sumpah yang menyatakan

bahwa orang yang menjadi target betul-betul

orang yang diduga terlibat dalam suatu tindak

pidana.

8). Operasi penyadapan dilakukan paling lama 30

(tiga puluh) hari dan dapat diajukan kembali

apabila informasi yang didapatkan dirasa

belum mencukupi.
88

9). Aturan dan prosedur ini juga berlaku terhadapn

penyadapan yang dilakukan oleh penyidik di

luar Polri.

10). Operasi penyadapan berakhir apabila:

a) Penyelidik dan/atau penyidik melalui

atasan penyidik menyatakan bahwa

operasi penyadapan yang dilaksanakan

dianggap sudah cukup, disertai surat

keterangan atau pernyataan.

b) Penyelidik dan/atau penyidik melalui

atasan penyidik meminta dan membuat

pernyataan secara tertulis kepada

Kalakhar Pusat Pemantauan (Monitoring

Centre) Polri untuk tidak melanjutkan

operasi penyadapan.

c) Operasi penyadapan yang dilakukan

dengan pertimbangan sangat perlu dan

mendesak, tidak dikabulkan oleh

Kabareskrim Polri disertai alasannya;

dan

d) Habis masa berlakunya dan tidak

diperpanjang.
89

11). Produk hasil penyadapan bersifat rahasia dan

dapat digunakan sebagai alat bukti sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

12). Penyelidik, penyidik dan anggota Pusat

Pemantauan Polri dilarang, baik dengan

sengaja aupun tidak, menjual,

memperdagangkan, mengalihkan, mentransfer

dan/atau menyebarkan produk hasil

penyadapan, baik secara tertulis, lisan maupun

menggunakan komunikasi elektronik kepada

pihak manapun.

Peraturan Kapolri di atas berupaya untuk menyatukan

tata cara tindakan penyadapan yang dilakukan oleh aparat

Polri dengan otorisasi pelaksanaan tindakan penyadapan

oleh pengadilan ditegaskan dalam peraturan tersebut

sehingga aparat Polri yang melakukan tindakan penyadapan

harus mengajukan permohonan ijin kepada pengadilan

walaupun ijin tersebut tidak diatur dalam undang-undang

yang mengatur pemberantasan tindak pidana psikotropika

dan jangka waktu tindakan penyadapan berdasarkan

peraturan Kapolri tersebut diseragamkan menjadi 30 (tiga

puluh) hari.
90

c. Kejaksaan Republik Indonesia.

Kejaksaan diberikan wewenang untuk melakukan

tindakan penyadapan yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan sebagai berikut:

1). Pasal 41 dan 42 Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang

Telekomunikasi yang memberikan kewenangan

kepada Jaksa Agung guna kepentingan peyidikan

tindak pidana-tindak pidana tertentu sesuai undang-

undang untuk meminta kepada penyelenggara jasa

telekomunikasi merekam informasi yang dikirim atau

diterima oleh pengguna jasa telekomunikasi. 14

2). Penjelasan pasal 26 Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan

bahwa memberikan kewenangan bagi aparat penyidik

tindak pidana korupsi untuk melakukan tindakan

penyadapan.15

3). Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi

dan Transaksi Elektronika yang menyebutkan bahwa

14
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang
Telekomunikasi, Pasal 41 dan 42.
15
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penjelasan Pasal 26.
91

memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk

mengijinkan tindakan penyadapan yang dilakukan

dalam rangka penegakan hukum. 16

Dari ketiga Undang-Undang diatas, dalam Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat ditentukan

secara tegas bahwa aparat Kejaksaan mempunyai

wewenang untuk melakukan tindakan penyadapan untuk

tindak pidana korupsi, sedangkan kedua Undang-Undang

lainnya hanya menyebutkan tindakan penyadapan dapat

dilakukan untuk kepentingan penyidikan sesuai undang-

undang yang berlaku dalam rangka penegakan hukum. 17

Dari ketiga unsur diatas juga dapat dilihat adanya

ketidaktegasan dua undang-undang diatas yang dapat

menimbulkan keraguan bagi aparat kejaksaan untuk

melakukan tindakan penyadapan guna kepentingan

penegakan hukum. Sehingga disini Kejaksaan tidak dapat

memaksimalkan peralatan penyadapan dan hasilnya dapat

dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan.

16
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronika, Pasal 31.
17
Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 198.
92

2. Kegunaan Hasil Penyadapan dalam Peradilan Pidana di

Indonesia

a. Sistem Pembuktian Di Indonesia.

Dalam hukum pembuktian, rekaman pembicaraan

adalah real evidence atau physical evidence. Pada dasarnya

barang bukti adalah benda yang digunakan untuk melakukan

suatu tindak pidana atau benda yang diperoleh dari suatu

tindak pidana atau benda yang menunjukkan telah terjadinya

suatu tindak pidana. Dengan demikian, rekaman

pembicaraan dapat dijadikan bukti sebagai barang yang

menunjukkan telah terjadi suatu tindak pidana asalkan

memenuhi kaidah hukum pembuktian pidana yang dikenal

dengan bewijsvoering, yaitu penguraian cara bagaimana

menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di pengadilan.18

Dalam mengungkap terjadinya suatu tindak pidana

haruslah didukung dengan alat-alat bukti yang didapatkan di

tempat kejadian perkara (TKP). Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana Pasal 184 ayat (1), menentukan

bahwa alat-alat bukti yang sah terdiri dari: a. keterangan

saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan

terdakwa. Alat-alat bukti ini dipakai untuk mengungkap

kebenaran suatu tindak pidana yang diduga telah terjadi.

18
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP,
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2008), hlm. 277.
93

Ketentuan mengenai alat bukti di atas merupakan ketentuan

hukum acara pidana yang bersifat memaksa, artinya semua

jenis alat bukti yang telah diatur dalam Pasal 184 KUHAP

tersebut tidak dapat ditambah atau dikurangi.19

Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya

seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian

keyakinan hakim. Keyakinan hakim lah yang menentukan

keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik

dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah

dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan

hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang

pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu

diabaikan oleh hakim, dan langsung menarik keyakinan dari

keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem ini

mengandung kelemahan, karena hakim dapat saja

menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata

atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti

yang cukup. Sebaliknya, hakim leluasa membebaskan

terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya walaupun

kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat

bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas

kesalahan terdakwa. Sistem ini seolah-olah menyerahkan

19
Ibid.
94

sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim

semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud

kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini. 20

Menurut Andi Hamzah, sistem ini dianut oleh

peradilan jury di Perancis. Praktek peradilan juri di Perancis

membuat pertimbangan berdasarkan metode ini dan

mengakibatkan banyaknya putusan bebas yang aneh.21

Sistem pembuktian yang dianut dalam sistem

pembuktian di Indonesia adalah sistem pembuktian negatif

yaitu hakim hanya boleh menjatuhkan hukuman dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti dan satu keyakinan

hakim, sistem ini sejalan dengan yang dianut dalam pasal

183 KUHAP yang juga merupakan batas minimum

pembuktian yang dijadikan patokan penerapan standard

terbukti secara sah dan meyakinkan (beyond a reasonable

doubt).22

Dalam pembuktian di persidangan tercapainya batas

minimum pembuktian namun mengandung cacat materiil

yang disebabkan antara lain oleh keterangan palsu, tidak

relevan, keterangan bohong, keterangan tidak jelas

sumbernya, lemahnya alat bukti yang satu dengan alat bukti

20
Ibid., hlm. 797.
21
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, ( Jakarta: CV. Sapta Artha
Jaya, 1996), hlm. 260.
22
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 188
ayat (2)
95

yang lain, tidak bersentuhan dan bertalian, masing-masing

alat bukti berdiri sendiri dan dokumen palsu. Dengan

demikian maka pembuktian sebagai dasar perkara pidana

dapat didasarkan pada petunjuk-petunjuk, hal itu

dikarenakan setiap kejahatan khususnya tindak pidana

korupsi dilakukan dengan terencana, terorganisir dan

melibatkan banyak jaringan yang kemudian akan

menghilangkan jejak perbuatannya. Maka dengan demikian

Penyadapan dijadikan alat bukti petunjuk dengan tujuan

agar kejahatan yang disembunyikan itu dapat terungkap.23

Menurut T. Nasrullah bahwa pembuktian bersalah

atau tidaknya terdakwa dinyatakan disidang pengadilan

berdasarkan alat bukti dan barang bukti yang dihadirkan

disidang tersebut, namun proses pembuktian itu sendiri telah

dimulai sejak saat diketahuinya atau terjadinya suatu

peristiwa.24

Pembuktian merupakan bagian yang paling penting

dari seluruh proses beracara dalam hukum pidana, dimana

hakim akan melihat kebenaran materiil dari suatu peristiwa

pidana, kemudian memberi putusan tentang bersalah atau

tidaknya terdakwa. “Membuktikan” mengandung maksud dari

usaha-usaha untuk menyatakan kebenaran dari suatu

23
Andi Hamzah., Op.Cit. hlm. 270.
24
Kuliah Pertama T. Nasrullah terhadap Mahasiswa FHUI tentang Hukum
Pembuktian pada tanggal 7 Maret 2002, FH UI.
96

peristiwa, sehingga kebenaran peristiwa tersebut dapat

diterima oloeh akal kita. Namun untuk membuktikan

kebenaran tersebut harus menurut ketentuan-ketentuan

yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara

yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan

kesalahan terdakwa.25

b. Alat Bukti Penyadapan Di Indonesia.

Apabila melihat ketentuan Pasal 184 KUHAP, maka

hasil penyadapan bukan merupakan salah satu dari alat

bukti yang diakui secara sah oleh hukum. Namun hasil

penyadapan atau rekaman pembicaraan ini dikategorikan

sebagai alat bukti petunjuk. Pengkategorian hasil

penyadapan atau rekaman pembicaraan yang dilakukan

oleh penyidik kedalam ‘alat bukti petunjuk’ sesuai dengan

ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20

Tahun 2001 tentang perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi Pasal 26A. Dalam Pasal 26A ini ditentukan

bahwa:26

“Alat bukti yang sah dalam petunjuk sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Kitab Undang-

25
Martiman Prodhohamidjojo, Seri Pemerataan Keadilan 10, Sistem Pembuktian
dan Alat-alat Bukti,(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 11.
26
Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Pasal 26A.
97

Undang hukum Acara Pidana (KUHAP), khusus untuk


tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:
a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang
diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang
serupa dengan itu; dan b. Dokumen, yakni
setiap rekaman data/informasi yang dapat
dilihat, dibaca dan/atau didengar dengan atau
tanpa bantuan suatu sarana, baik tertuang di
atas kertas, benda fisik apapun selain kertas,
maupun yang terekam secara elektronik, yang
berupa tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau
perforasi yang memiliki makna.”

Dari bunyi ketentuan Pasal 26A UU No. 20 tahun

2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka hasil

penyadapan atau rekaman sebagai alat bukti diakui

keberadaannya secara sah. Pengajuan alat bukti hasil

penyadapan atau rekaman yang diajukan oleh Penyidik

menggunakan dasar hukum:

1). KUHAP, dalam Pasal 184 ayat (1) disebutkan,

alat-alat bukti yang sah adalah: (a). Keterangan saksi;

(b). keterangan ahli; (c). surat; (d). petunjuk; (e).

Keterangan terdakwa.

2). UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan

Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.


98

3). UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi

pemberantasan Korupsi (KPK).

Pengajuan alat bukti rekaman sebagai hasil

penyadapan digunakan oleh KPK untuk membuktikan

peristiwa-peristiwa atau fakta-fakta yang berkenaan dengan

kasus tindak pidana korupsi di sidang pengadilan.

Penggunaan alat bukti rekaman suara yang dilakukan oleh

penuntut umum adalah untuk menunjukkan kepada hakim

bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang

disangkakan kepadanya. Rekaman suara merupakan hasil

penyadapan yang dijadikan sebagai alat bukti petunjuk. 27

Pembuktian suatu tindak pidana telah diatur secara

tegas dalam sistem hukum pidana formil (KUHAP). Sistem

ini mengatur suatu proses terjadi dan bekerjanya alat bukti

untuk selanjutnya dilakukan suatu persesuaian, dengan

perbuatan materil yang dilakukan terdakwa, untuk pada

akhirnya ditarik kesimpulan mengenai terbukti tidaknya

terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan

kepadanya. Mengenai hal ini dalam Pasal 183 KUHAP

disebutkan:28

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada


seseorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh

27
Diana Napitupulu, KPK In Action, (Depok: Raih Asa Sukses, 2010), hlm. 60.
28
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana.
99

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar


terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”.

Kalau dibandingkan bunyi pasal 183 KUHAP dengan

pasal 294 HIR, hampir bersamaan bunyi dan maksud yang

terkandung di dalamnya, dalam pasal 294 HIR dinyatakan

bahwa: “Tidak akan dijatuhkan hukuman kepada

seorangpun jika hakim tidak yakin kesalahan terdakwa

dengan upaya bukti menurut undang-undang bahwa benar

telah terjadi perbuatan pidana dan bahwa tertuduhlah yang

salah melakukan perbuatan itu”. 29

Dari bunyi pasal ini, maka alat bukti rekaman suara

sebagai hasil penyadapan yang dikategorikan sebagai alat

bukti petunjuk belum dapat untuk dapat dijadikan dasar oleh

hakim untuk mengambil suatu kesimpulan bahwa terdakwa

telah melakukan suatu tindak pidana korupsi. Oleh

karenanya, masih diperlukan satu alat bukti lagi untuk

mendukung keyakinan hakim dalam mengambil keputusan.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia alat bukti

petunjuk memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan

alat bukti lain, namun demikian alat bukti petunjuk tidak

dapat berdiri sendiri dalam membuktikan kesalahan dari

terdakwa. Oleh karena itu, rekaman suara yang merupakan

29
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 280.
100

hasil penyadapan bisa juga dikategorikan sebagai informasi

dan/atau dokumen elektronik bisa dikategorikan sebagai

perluasan dari alat bukti surat. Dengan mengkategorikan

rekaman suara sebagai alat bukti petunjuk dan alat bukti

surat maka ketentuan Pasal 183 KUHAP sudah terpenuhi

sehingga hakim dapat mengambil keputusan bersalah

tidaknya terdakwa dalam melakukan tindak pidana korupsi.

Rekaman pembicaraan atau hasil penyadapan dari penyidik

mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan Undang-

undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,

karena hasil penyadapan tersebut merupakan bagian dari

informasi elektronik, sehingga hasil penyadapan merupakan

salah satu alat bukti yang sah secara hukum dan juga

karena hasil penyadapan merupakan perluasan dari

ketentuan alat bukti sesuai hukum acara yang berlaku,

dalam hal ini Pasal 184 KUHAP, khususnya sebagai alat

bukti petunjuk.30

Ketentuan mengenai alat bukti di atas merupakan

ketentuan hukum acara pidana yang bersifat memaksa

(dwingen recht), artinya semua jenis alat bukti yang telah

diatur dalam pasal tersebut tidak dapat ditambah atau

dikurangi. Apabila dilihat dari ketentuan Pasal 184 ayat (1) di

30
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (Perdata dan Pidana), (Jakarta: Citra
Aditya Bakti, 2006), hlm. 181.
101

atas, hasil penyadapan bukan merupakan salah satu dari

alat bukti yang diakui sah secara hukum. Sementara itu,

pada Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

ditegaskan bahwa hasil rekaman termasuk alat bukti

petunjuk. Di samping itu, Pasal 5 ayat (1) dan (2) undang-

undang tentang. ITE menyatakan bahwa informasi elektronik

dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya

merupakan alat bukti yang sah sebagai perluasan dari alat

bukti yang sah sesuai menurut hukum acara yang berlaku di

Indonesia. Dengan demikian, terdapat berbagai ketentuan

hukum yang menimbulkan tafsir hukum berbeda-beda

diantara para penegak hukum di Indonesia mengenai

keabsahan hasil penyadapan oleh KPK menjadi suatu alat

bukti pada proses peradilan pidana, termasuk dalam tindak

pidana korupsi dan tindak pidana penyuapan dianggap

sebagai tindak pidana luar biasa (extra ordinary cases), di

satu sisi tindakan penyadapan yang dilakukan KPK

dianggap melanggar hak individu seseorang, namun di sisi

lain dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi

sangat diperlukan upaya pembuktian yang mendukung

diantaranya menjadikan hasil penyadapan itu sebagai alat


102

bukti dalam proses peradilan pidana tersebut, sehingga

adanya kesenjangan antara ketentuan hukum yang ada (das

sollen) dengan kenyataan di masyarakat (das sein).31

Kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk serupa sifat

dan kekuatannya dengan alat bukti lain, hanya mempunyai

sifat kekuatan pembuktian secara bebas, yaitu:32

1). Hakim tidak terikat atas kebenaran

persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, oleh

karena itu hakim bebas menilai dan mempergunakan

sebagai upaya pembuktian.

2). Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri

sendiri dalam membuktikan kesalahan terdakwa, dia

tetap terikat kepada prinsip batas minimum

pembuktian. Oleh karena itu agar petunjuk

mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup,

harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat

bukti lain.

Dengan melihat kondisi pengaturan alat bukti di

Indonesia, alat bukti elektronik sifatnya masih parsial, karena

alat bukti elektronik masih parsial karena alat bukti elektronik

hanya dapat digunakan sebagai bahan pembuktian dalam

tindak pidana tertentu. Perluasan alat bukti sebagaimana

31
Ibid.
32
Ibid., hlm. 317.
103

dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP)

terhadap data elektronik/digital yang diamanatkan oleh

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 juga belum bisa

menjawab apakah memang data elektronik/digital itu bisa

diterima sebagai alat bukti yang sah di persidangan dan

yang bisa disimpulkan adalah bahwa data digital/elektronik

bukan merupakan sebuah alat bukti yang berdiri sendiri,

tetapi baru merupakan bukti permulaan yang harus didukung

oleh keterangan ahli yang mengerti betul dan memang

sudah dalam lingkup tugas dan ilmunya ia memberikan

keterangan tersebut.33

Ahli berdasarkan analisisnya menurut ilmu yang

dimilikinya dapat menjamin bahwa sistem elektronik yang

digunakan untuk membuat, meneruskan, mengirim,

menerima atau menyimpan data/dokumen elektronik/digital

adalah sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang. Ahli

juga harus menjamin bahwa dokumen elektronik tersebut

tetap dalam keadaan seperti pada waktu dibuat tanpa ada

perubahan apa pun ketika diterima oleh pihak yang lain,

bahwa dokumen tersebut berasal dari orang yang

membuatnya dan tidak dapat diingkari oleh pembuatnya.

Artinya tidak begitu saja dapat diajukan data

33
A.R. Sujono dan Bony Daniel, Komentar & Pembahasan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Cetakan Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika,
2011), hlm. 174.
104

elektronik/digital sebagai alat bukti karena prinsip keaslian

dan keautentikan dari data elektroni/digital tersebut harus

ada yang menjamin. Penegasan bahwa data

elektronik/digital ini sebagai bukti permulaan sengat tegas

disebutkan dalam Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

yang berbunyi: “Bukti permulaan yang cukup dianggap telah

ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua)

alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau

data yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan baik

secara biasa maupun elektronik atau optik.34

Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah

ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi,

dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal

pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum

yang dilaksanakan melalui sistem elektronik. Yang dimaksud

dengan sistem elektronik adalah sistem komputer dalam arti

luas, yang tidak hanya mencakup perangkat keras dan

perangkat lunak komputer, tetapi juga mencakup jaringan

telekomunikasi dan/atau sistem komunikasi elektronik.

Perangkat lunak atau program komputer adalah sekumpulan

instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode,

34
Timothy B. B. Lasut, alat bukti hasil penyadapan dalam penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana narkotika, (Jakarta: skripsi, 2013).
105

skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan

dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan

mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi

khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk

persiapan dalam merancang instruksi tersebut. Pasal 95

KUHAP menyebutkan bahwa proses penyidikan,

penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tidak

menunda atau menghalangi penyerahan barang sitaan

menurut ketentuan batas waktu sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 90 dan Pasal 91. Hasil yang diperoleh dari

teknik penyadapan dalam penyelidikan dan penyidikan

tindak pidana tertentu, sebagai alat bukti permulaan patut

diduga telah terjadi suatu tindak pidana sangatlah membantu

penegak hukum dalam upaya memberantas tindak pidana

tertentu yang secara terorganisasi melakukan kejahatannya,

bahkan kegiatan para pelaku melampaui batas negara

dengan memanfaatkan teknologi informasi elektronik. Oleh

karena itu penegak hukum perlu meningkatkan kerjasama

antar instansi pemerintah maupun dengan pemerintah

negara lain baik secara bilateral, regional, maupun

internasional untuk meningkatkan kemampuan sumber daya

manusia dan kerjasama di bidang teknologi informasi

elektronik guna mencegah dan memberantas tindak pidana


106

yang sangat merugikan bagi bangsa dan negara Republik

Indonesia.35

C. Kewenangan Penyadapan Di Beberapa Negara dan

Kegunaannya Dalam Peradilan Pidana.

1. Kewenangan Penyadapan Di Beberapa Negara.

a. Amerika Serikat

Di Amerika Serikat tindakan penyadapan diatur dalam

tiga Undang-Undang utama yaitu Title III of the Omnibus

Safe Streets and Crime Control Act 1968, The Foreign

Intelligence Survelilance Act (FISA) of 1978, dan The Pen

Registers and Trap and Trace Devices chapter of Title 18.

Dalam ketiga Undang-Undang tersebut sudah diatur sejak

dipersyaratkan dari otoritas atau keharusan adanya perintah

Pengadilan yang sekaligus berperan untuk melakukan

pengawasan terhadap tindakan penyadapan. 36

Perintah Pengadilan diatas dimintakan dalam bentuk

permohonan berdasarkan Section 1804 (a) FISA, dimana

Undang-Undang tersebut mengatur bahwa masing-masing

permohonan harus dibuat oleh petugas federal secara

tertulis dan tersumpah dan selanjutnya diotorisasi oleh The

Act General dan selanjutnya diajukan kepada Hakim.

Apabila memenuhi ketentuan tersebut maka hasil dari

35
Ibid.
36
Reda Manthovani, Op.Cit., hlm. 148.
107

tindakan penyadapan tersebut dapat diterima sebagai alat

bukti di Pengadilan. 37

Ketiga undang-undang tersebut diatas juga

mensyaratkan adanya warrants (surat perintah) dalam

melakukan tindakan penyadapan, sehingga apabila tidak

memiliki warrants maka alat bukti hasil penyadapan tersebut

tidak dapat diterima di Pengadilan, dalam hal ini adalah in-

admissible alat bukti penyadapan di Pengadilan. Hal ini

dapat dilihat pada Article 18 USC Section 2515, alat bukti

hasil tindakan penyadapan yang tidak sah tidak dapat

diterima di pengadilan. 38

Sehubungan dengan adanya peristiwa 911 pada

tahun 2001 dan perkembangan teknologi komunikasi,

dimana kongres Amerika Serikat berupaya untuk

menyatukan dan memperkuat Amerika Serikat dengan

memberikan alat yang dibutuhkan untuk melakukan

penyadapan dan menghancurkan tindakan terorisme. Salah

satu yang kontroversial dengan memberlakukan The Patriot

Act. Pada Section 217, The Patriot Act memuat ketentuan

baru dalam Title III yang memperbolehkan aparat penegak

hukum atau aparat penyidik untuk melakukan tindakan

37
Ibid., hlm. 151.

38
Ibid., hlm. 153.
108

penyadapan tanpa perintah pengadilan terhadap komunikasi

dari penyalahgunaan sistem komunikasi seperti komputer

yang digunakan oleh perdagangan asing atau antar negara

atau komputer yang digunakan oleh Pemerintah Federal

atau Lembaga Keuangan. Pada Section 203 The Patriot Act

juga memperkenalkan peraturan baru dalam Title III yang

memperbolehkan aparat penyidik untuk berbagi konten hasil

komunikasi yang dilakukan dari hasil tindakan penyadapan

termasuk intelijen asing dengan penegak hukum federal lain,

intelijen, imigrasi, dan bidang pertahanan keamanan. 39

Terkait tindakan penyadapan di Amerika Serikat, Rob

Strang mengatakan bahwa dalam praktek setiap tindakan

penyadapan baik untuk kepentingan umum maupun untuk

kepentingan intelijen, hasilnya dapat digunakan sebagai alat

bukti di pengadilan sepanjang tindakan penyadapan tersebut

dilakukan secara sah, yaitu setelah mendapat ijin dari

pengadilan atau warrant.40

b. Australia.

Kegiatan penyadapan di Australia dilakukan sebagai

tindakan eksekutif, dimulai pada tahun 1950 dengan

peraturan Perdana Menteri yang mengatur pelaksanaan

kekuasaan eksekutif. Peraturan tersebut memberikan

39
Ibid., hlm. 167.
40
Ibid., hlm. 169.
109

otorisasi tindakan penyadapan hanya dalam kaitan dengan

kasus-kasus tindak pidana yang berkaitan dengan spionase,

sabotase dan subversif. 41

Undang-Undang yang mengatur mengenai

penyadapan pada tahun 1960 dengan diberlakukannya The

Telephonic Communications (Interception) Act 1960 (The

1960 Act). Undang-Undang ini menetapkan kegiatan

tindakan penyadapan terhadap komunikasi, adapun cara

penyadapan dibagi menjadi: penyadapan yang dilakukan

oleh petugas pada departemen umum kantor pos, baik untuk

alasan teknis ataupun melacak panggilan telepon yang tidak

sah seperti panggilan telepon yang mengganggu dan

penyadapan yang dilakukan berdasarkan surat perintah

(warrants) yang dikeluarkan oleh The Attorney General untuk

instansi intelijen dengan tujuan keamanan nasional dan oleh

Director General of Security dalam keadaan darurat dengan

jangka waktu pendek.42

The 1960 Act digantikan oleh The

Telecommunications (Interception) Act 1979 (The

Interception Act) yang menciptakan suatu “Commonwealth

Monopoly of Legal Telephone Interception” sebuah struktur

bagi kekuasaan untuk didelegasikan kepada otoritas yang

41
Ibid., hlm. 171.
42
Ibid., hlm. 172
110

berwenang pada level Negara bagian. Berdasarkan the

interception Act, lembaga penegak hukum seperti Australian

Federal Polish dan Polisi Negara Bagian di ijinkan untuk

melakukan tindakan penyadapan terhadap komunikasi

telepon dalam situasi tertentu.43

Dalam melakukan tindakan penyadapan Australian

Federal Polish dan Polisi Negara Bagian harus

mendapatkan surat perintah (warrants) dari Eligible Judges

and Nominated Aministrative Appeals Tribunal Members

(Hakim yang memenuhi syarat atau seorang anggota hakim

yang diusulkan pada Administrative Appeals Tribunal).

Hakim yang memenuhi syarat disini adalah hakim yang ada

di pengadilan yang dibentuk oleh parlemen Australia yang

diusulkan oleh The Attorney General dan dideklarasikan

sebagai hakim yang memenuhi syarat.44

Berdasarkan The Interception Act hanya the

Australian Federal Polish dan Polisi Negara Bagian yang

diperbolehkan melakukan tindakan penyadapan tanpa

warrants dengan syarat:45

1). Petugas atau petugas lain dari kepolisian

adalah pihak dari penyadapan terhadap komunikasi

atau orang yang sedang berkomunikasi mengetahui

43
Ibid.
44
Ibid., hlm. 177.
45
Ibid., hlm. 178.
111

dan menyetujui telekomunikasinya disadap /

diintersepsi.

2). Terdapat alasan yang kuat atas kecurigaan

bahwa pihak lain yang sedang berkomunikasi telah

melakukan suatu tindakan yang menyebabkan

kehilangan nyawa, luka yang serius, atau kerusakan

yang serius terhadap properti atau orang yang

mengetahui dan menyetujui diintersepsi diduga

menerima komunikasi dari orang yang telah

menyebabkan atau dapat menyebabkan kehilangan

nyawa, luka yang serius atau kerusakan yang serius

terhadap properti.

3). Kebutuhan melakukan penyadapn yang

mendesak yang tidak dapat segera membuat

permohonan warrants.

c. Belanda

Legislasi yang mengatur penyadapan di Belanda

mempedomani Council Resolution tanggal 17 Januari 1995

tentang Lawful Interception of Telecomunication

196/1329/01. Resolusi tersebut meminta Negara-negara

anggota European Union (EU) untuk membentuk legislasi

yang mewajibkan persyaratan dapat disadap/ di intersepsi

terhadap penyelenggara telekomunikasi. Dari resolusi EU


112

tersebut di amandemen menjadi Telecomunication Facilities

Act (wet op de telecomunicatie voor zicningen) menjadi

Mobile Telecomunications Act (wet van 16 juni 1994 (mobile

telecomunicatie) staadsblad 1994 No. 628). Kemudian

diterapkan Dutch Telecomunications Act (Telekomunicatie

Wet) tahun 1998 (disingkat DTA) menggantikan

Telecomunication Facilities Act, yang menyebutkan

penyadapan untuk kepentingan penegakan hukum dilakukan

hanya terhadap kejahatan yang serius dan kejahatan yang

ancaman pidananya diatas 4 tahun, sedangkan penyadapan

untuk kepentingan intelijen adalah penyadapan yang

dilakukan terhadap permasalahan yang berkaitan dengan

perbatasan Negara serta kemanan dan pertahanan

Negara.46

Pada tahun 2000 pemerintah Belanda

memberlakukan undang-undang tentang upaya paksa

khusus (wet bijzondere opsporings bevoegdheden), yang

mengatur beberapa kewenangan upaya paksa yang baru

dan memperluas lingkup kewenangan intersepsi komunikasi

yang meliputi beberapa bentuk communications

investigations, misalnya penyadapan yang menggunakan

sarana media bantu yaitu pos, telegraphy, telephony,

46
Ibid., hlm. 188.
113

internet dan direct communications seperti interception post,

wiretapping, oral interception serta pengambilan data

komunikasi yang tersimpan seperti surat, alat penjawab

telepon dan email yang datanya tersimpan di komputer. 47

Pemerintah Belanda juga membagi tindakan

penyadapan untuk kepentingan penegakan hukum dan

untuk kepentingan intelijen. Tindakan penyadapan untuk

kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan terhadap

adanya dugaan tindak pidana yang diancam sanksi 4

(empat) tahun keatas, atau kejahatan yang serius,

sedangkan tindakan penyadapan untuk kepentingan intelijen

dilakukan untuk kejahatan di perbatasan maupun yang

berkaitan dengan kedaulatan dan keamanan nasional. 48

d. Inggris

Pengaturan tindakan penyadapan di Inggris di atur

dalam Regulation of Investigatory Power Act (RIPA) yang

mengatur tindakan penyadapan terhadap pos dan

telekomunikasi dan akusisi data komunikasi pada Part I,

sedangkan pada Part II mengatur tentang Surveillance dan

penyamaran Intelijen yang dapat terjadi overlapping dalam

kedua hal tersebut. RIPA juga mengatur tindakan

penyadapan tanpa otoritas yang sah terhadap komunikasi

47
Ibid., hlm. 190.
48
Ibid., hlm. 194.
114

yang sedang berlangsung baik melalui public postal system,

a public telecommunication system atau a private

telecommunication system.49

RIPA menciptakan suatu sistem yang mengeluarkan

surat perintah oleh eksekutif sebagai syarat tindakan

penyadapan terhadap komunikasi yang sah. Ada dua jenis

surat perintah tindakan penyadapan yang dikeluarkan, yang

pertama dikenal dengan normal warrants yang dikeluarkan

oleh The Secretary of State dan memerlukan satu nama atau

menggambarkan seseorang sebagai subyek yang akan

disadap atau suatu tempat dimana penyadapan akan

dilakukan. Jenis surat perintah yang lain adalah sertificated

warrants yang dikeluarkan oleh The Secretary of State dan

hanya dimohonkan untuk komunikasi eksternal yang dikirim

atau diterima diluar Inggris. 50

Seluruh warrants baik normal warrants maupun

certificated warrants berlaku selama periode tiga bulan

apabila diperlukan atas dasar pertimbangan yang sama,

warrants tersebut dapat diperpanjang. Perpanjangan

warrants atas dasar kejahatan yang serius juga berlaku

selama periode 3 bulan. Perpanjangan atas dasar

keamanan nasional atau perekonomian nasional berlaku

49
Ibid., hlm. 195.
50
Ibid., hlm. 199.
115

selama periode enam bulan. Warrants yang dikeluarkan

dalam keadaan mendesak berlaku hanya lima hari kerja dan

dapat diperpanjang oleh The Secretary of State. Warrants

dapat dibatalkan terlebih dahulu apabila mereka dipandang

tidak proporsional dan penting atas dasar pengeluaran

warrants mereka sebelumnya.51

Berdasarkan section 3 RIPA mengatur beberapa

situasi dimana penyadapan dapat dilakukan secara sah

tanpa warrants terlebih dahulu, situasi tersebut, meliputi:52

1). Terdapat alasan yang meyakinkan bahwa baik

pengirim dan penerima komunikasi telah menyetujui

tindakan penyadapan tersebut.

2). Baik pengirim maupun penerima komunikasi

telah setuju penyadapan yang mana otorisasi tersebut

lebih ke arah Surveillance daripada penyadapan.

Surveillance dapat muncul misalnya ketika seorang

penculik sedang menelpon saudara dari tawanan itu

dan polisi menginginkan merekam panggilan tersebut

dalam rangka untuk mengidentifikasi atau melacak

pencuri.

3). Penyadapan dilakukan dalam kaitan ketentuan

atau pelayanan operasi. Misalnya kantor pos

51
Ibid., hlm. 200.
52
Ibid., hlm. 201.
116

memerlukan untuk membuka kotak pos untuk

menentukan alamat dari pengirim oleh karena si

penerima alamatnya tidak dikenal.

e. Perancis

Pengaturan tindakan penyadapan untuk kepentingan

penegakan hukum di Perancis diatur berdasarkan Art.100

Code Procedural Penal yang berbunyi sebagai berikut:

“en matiere crimenelle et en matiere correctionelle, sis


i la piene encourue est egale ou superiure a deux ans
d’emprisonement, le juge d’instruction peut, lorsque
les necessities de l’information l’exigent, prescrire
l’interseption, l’enregistrement et la transcription de
correspondences emises par la voie des
telecommunication. Ces operations sont effectuees
sous son authorite et son controle. La decision
d’interception est ecrite”. 53

Les interceptions de securite dilakukan atas

permintaan Dinas Intelijen Kementrian Pertahanan,

Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Kepabeanan yang

diotorisasi oleh Perdana Menteri atau Kepala Administrasi

yang ditugaskan untuk menilai permintaan ini. Tindakan

penyadapan untuk keamanan nasional diatur dalam la loi du

10/7/1991 (art. 3 et 4).54

53
Terjemahan bebas: Pada bidang kejahatan dan correctionnel (di Indonesia
lingkup kejahatan) yang ancaman pidananya sama atau lebih dari 2 tahun penjara, Juge
d”instruction apabila memerlukan informasi yang sulit, dapat memerintahkan tindakan
penyadapan, perekaman, menyalin/mengcopy hubungan korespondensi yang
dipancarkan melalui jalur komunikasi elektronik. Operasi ini dilakukan dibawah kendali
dan otoritasnya. Keputusan untuk melakukan penyadapan adalah tertulis.
54
Ibid., hlm. 209.
117

Pengaturan penyadapan di Perancis dibatasi hanya

untuk tindak pidana yang diancam pidana penjara 2 tahun

keatas, juge d’instruction (hakim penyidik) apabila

membutuhkan informasi yang sulit, dapat melakukan

perekaman dan penyalinan hubungan korespondensi yang

diatur pada art. 100 KUHAP Perancis dalam penjelasannya

yang meyebutkan istilah les ecoutes telephoniques sebagai

salah satu tehnik dari penyadapan telepon. Dengan

demikian penyadapan di Perancis tidak hanya terbatas pada

jalur komunikasi akan tetapi juga teknik perekaman yang

menggunakan perekaman secara magnetic juga dapat

mencegat jalur jaringan komunikasi. 55

Tindakan penyadapan di Perancis dalam tahap

penyelidikan diberikan jangka waktu selama 14 (empat

belas) hari dan dapat diperpanjang dengan persyaratan dan

waktu yang sama, (Art. 706-95 CPP) permohonan di ajukan

oleh Procureur de la Republique dan di otorisasi oleh juge

des la libertes et de la detention. Sedangkan untuk tahap

penyidikan otorisasi diberikan ijin oleh Juge d’instruction,

selama kurun waktu 4 (empat) bulan lamanya dan dapat

55
Ibid., hlm. 210.
118

diperpanjang dengan persayaratan dan waktu yang sama

(Art. 100-2).56

2. Kegunaan Hasil Penyadapan di Beberapa Negara.

a. Amerika Serikat

Di Amerika Serikat tindakan penyadapan (intersepsi)

diatur dalam tiga Undang-Undang utama yaitu Title III Of the

Omnibus Safe Streets and Crime Control Act 1968, The

Foreign Intelligence Surveillance Act (FISA) of 1978, dan

The Pen Register And Trap and Trace Devices chapter of

Title 18.57

Ketiga Undang-Undang di atas mewajibkan adanya

warrants (surat perintah) dalam melakukan tindakan

penyadapan dan konsekuensinya apabila tidak memiliki

warrants maka alat bukti tersebut tidak dapat diterima di

Pengadilan dengan menyatakan in-admissible-nya alat bukti

hasil tindakan penyadapan di Pengadilan. Hal ini dapat

dilihat dalam Article 18 USC Section 2515, dimana alat bukti

hasil perolehan tindakan penyadapan yang tidak sah akan

dikecualikan atau dipergunakan, yang berbunyi sebagai

berikut:58

“when the wiretrap law is violated because no wiretrap


permission was obtained from a court, “no part of the content
of such communication (illegally obtained) and no evidence

56
Ibid.
57
Reda Manthovani, Op.Cit., hlm. 249.
58
Ibid.
119

derived therefrom may be received in evidence in any trial,


hearing, or other proceeding in or before any court, grand
jury, department, officer, agency, regulatory body, legislative
commite or other authority of the United State”. 59

b. Australia.

Di Australia alat bukiti hasil penyadapan diatur

berdasarkan the Telecommunications (Interception) Act

1979. Dalam undang-undang tersebut telah diatur dua jenis

warrants melakukan tindakan penyadapan, yaitu

“telecommunications service warrants” dan “named person

warrants”. Yang pertama dikeluarkan dalam kaitannya

dengan jasa telekomunikasi yang sudah diidentifikasi

tertentu, yang kedua dikeluarkan dalam kaitannya dengan

segala jasa telekomunikasi atau sepertinya telah digunakan

oleh individu tertentu. Kedua jenis warrants tersebut

dikeluarkan baik untuk satu atau dua tujuan disebut National

Security and Law Inforcement.60

Warrants untuk kepentingan penegakan hukum hanya

untuk penyidikan terhadap pelanggaran kelas pertama dan

kedua. Pelanggaran pertama meliputi pembunuhan,

penculikan, narkotika dan tindakan terorisme. Pelanggaran

59
Terjemahan bebas: Ketika undang-undang tindakan penyadapan dilanggar
karena tidak ada ijin dilakukannya tindakan penyadapan dari pengadilan, tidak ada satu
bagianpun dari isi percakapan tersebut (didapat secara illegal) dan tidak adanya bukti
yang berasal dari tindakan semacam itu dapat diterima sebagai bukti di setiap
pengadilan, proses hukum lainnya atau didepan persidangan, para juri, kementrian,
aparat, intitusi, badan pengatur badan legislasi atau otoritas lainnya di Amerika Serikat.
60
Reda Manthovani, Op.Cit., hlm. 252.
120

kedua meliputi kerugian kehidupan perseorangan, luka

tubuh yang serius, pembakaran rumah, peredaran obat

terlarang, penipuan yang serius, penyuapan, korupsi,

pencucian uang, kejahatan elektronika, dan sebagainya.

Akan tetapi dalam banyak kasus diperlukan persyaratan

batasan pelanggaran yang dapat dipidana seumur hidup

atau 7 tahun penjara. Dalam hal ini meliputi kejahatan

tambahan kelas kedua.61

c. Belanda.

Sistem hukum Belanda mengatur tindakan

penyadapan dalam Dutch Telecomunications Act tahun

1998. Dalam aturan mengenai tindakan penyadapan

tersebut telah diatur tentang siapa pemohon dan siapa yang

berwenang memberikan otorisasi. Pemberian otorisasi

dilakukan oleh hakim sebelum dilakukannya tindakan

penyadapan tersebut berupa warrant atau surat perintah

untuk melakukan tindakan penyadapan. Dalam legislasi di

atas, Belanda telah memberikan perlindungan privasi bagi

warga negaranya dari tindakan penyadapan yang dilakukan

terutama dalam tindakan penyadapan yang dilakukan untuk

kepentingan penegakan hukum. 62

61
Ibid.
62
Ibid., hlm. 254.
121

Apabila tindakan penyadapan tersebut diambil tidak

secara sah maka hasil dari tindakan penyadapan tersebut

dapat dikecualikan dan tidak dapat dipergunakan dalam

proses persidangan. Hal tersebut diatur dalam pasal 359a

Wetboek van Strafvoordering (KUHAP Belanda). Pasal

tersebut telah mengatur tentang alat bukti yang diambil

secara sah atau penggeledahan, penyitaan dan penyadapan

illegal akam memiliki konsekuensi serupa berupa: The Court

may mitigate the sentence in proportion with the seriousness

of the irregularity provided that the harm caused by the

irregularity can compensated; (pengadilan dapat mengurangi

hukuman secara proporsional dengan keseriusan

penyimpangan ketentuan bahwa kerugian yang disebabkan

oleh penyimpangan dapat dikompensasi); The Court may

exlude the evidence; (pengadilan dapat mengecualikan alat

bukti); The Case may be dismissed if the irregularity caused

by obtaining the evidence illegally would led to a trial that

would be in conflict with the principle of proper criminal

procedure. (Kasus dapat diberhentikan jika penyimpangan

yang disebabkan oleh memperoleh bukti secara illegal akan

menyebabkan sidang yang akan bertentangan dengan

prinsip hukum acara pidana yang tepat).63

63
Ibid., hlm. 255.
122

d. Inggris.

Di Inggris tindakan penyadapan diatur dalam

Regulation of Investigatory Power Act (RIPA). Ada dua jenis

surat perintah penyadapan, yang pertama dikenal dengan

normal warrants yang memerlukan satu nama atau

menggambarkan seseorang subyek yang disadap atau

suatu tempat dimana penyadapan dilakukan. Yang kedua

dikenal dengan certificated warrants yang dikeluarkan oleh

The Secretary of State dan hanya dimohonkan untuk

komunikasi eksternal yang dikirim atau diterima di luar

Inggris.64

Hasil dari tindakan penyadapan tidak dapat

digunakan sebagai alat bukti di Inggris, namun terdapat

pengecualian apabila jaksa penuntut umum telah

memastikan bahwa proses penananganan perkara yang

menggunakan tindakan penyadapan telah dilakukan secara

seimbang atau apabila jaksa mengkonsultasikan tentang

hasil tindakan penyadapan tersebut kepada hakim di

persidangan dan baik hakim maupun jaksa menyepakati

adanya pengecualian untuk membuka hasil tindakan

penyadapan tersebut dan menggunakannya di pengadilan

64
Ibid., hlm. 257.
123

untuk kepentingan pembuktian. Hal ini diatur dalam Section

17. 18 RIPA.65

e. Perancis.

Pengaturan penyadapan di Perancis sejak awal

sudah dibatasi hanya untuk tindak pidana yang diancam

pidana penjara 2 tahun ke atas, juge d’instruction (hakim

penyidik) apabila membutuhkan informasi yang sulit dapat

melakukan perekaman dan penyalinan hubungan

korespodensi yang diatur pada art. 100 KUHAP Perancis

dalam penjelasannya menyebutkan istilah Les ecoutes

telephoniques sebagai salah satu tehnik dari intersepsi

telepon, yaitu:66

“Les ecoutes telephoniques se definissent comme


une technique consistant a interpose, au moyen d’une
derivativation sur la ligne d’un abonne, un procede
magnetique d’enregistrement et de conversation”.67

Tindakan penyadapan di Perancis dalam tahap

penyelidikan diberikan jangka waktu selama 14 hari dan

dapat diperpanjang dengan persayaratan dan waktu yang

sama, permohonan diajukan oleh Proccureur de la

Republique dan diotorisasi oleh juge des la Libertes et de la

detention. Sedangkan untuk tahap penyidikan otoritas

65
Ibid,. hlm. 259.
66
Ibid., hlm. 261.
67
Terjemahan bebas: intersepsi telepon didefinisikan sebagai sebuah teknik/cara
yang konsisten untuk menempatkan suatu metode perekaman percakapan telepon
berbayar (berlangganan), perekaman magnetic, dan perekaman percakapan.
124

diberikan ijin oleh juge d’instruction, selama kurun waktu 4

bulan lamanya dan dapat diperpanjang dengan persyaratan

dan waktu yang sama.68

Dari beberapa penjelasan diatas dapat dijelaskan

secara singkat bahwa dalam sistem di Perancis permohonan

melakukan tindakan panyadapan atau intersepsi kepada

pengadilan harus jelas untuk tindak pidana apa, dan

hasilnya sebagai alat bukti harus digunakan sesuai

permohonan dan tidak bisa digunakan untuk proses

persidangan yang menyangkut tindak pidana lain. Selain itu

dalam hukum acara pidana Perancis juga mengatur tentang

perolehan alat bukti yang sah. Artinya apabila dalam

memperoleh alat bukti dilakukan dengan cara yang tidak sah

maka alat bukti tersebut akan dianggap in-admissible atau

tidak dapat diterima di pengadilan untuk dijadikan alat bukti.

68
Reda Manthovani, Op.Cit., hlm. 262.

Anda mungkin juga menyukai