Anda di halaman 1dari 30

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Era modernisasi pada saat ini membawa dampak yang cukup

signifikan dalam perubahan di setiap sendi kehidupan berbangsa dan

bernegara. Perkembangan teknologi yang semakin pesat beriringan

dengan bentuk-bentuk kejahatan yang juga mengikuti perkembangan

jaman dan bertransformasi dalam bidang teknologi dan ilmu

pengetahuan.1 Cara-cara lama bentuk kejahatan sudah mulai ditinggalkan

dan mulai bertransformasi kedalam bentuk yang baru, hal ini dapat dilihat

dengan semakin banyaknya kejahatan-kejahatan yang menggunakan alat

elektronik seperti kejahatan dunia maya (cyber crime), tindak pidana

pencucian uang (money laundring), tindak pidana korupsi dan tindak

pidana lainnya.2

Dengan semakin pesatnya kejahatan dengan menggunakan

fasilitas teknologi informasi dan telekomunikasi maka diperlukan regulasi

https://didiindra.wordpress.com /2010/ 02 / 16/ legalitas – penyadapan –


1

serta -implementasi - dalam-penyelesian-kasus-pidana / diakses tgl 19 february


2017.
2
Ibid.
2

yang dapat memberi jawaban atas segala permasalahan hukum yang

timbul akibat penyalahgunaan teknologi informasi dan telekomunikasi di

atas. Peraturan perundang-undangan di Indonesia telah mengatur

mengenai penggunaan teknologi informasi dan telekomunikasi, yaitu

dengan terbentuknya Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang

Telekomunikasi dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun demikian, dalam

pelaksanaannya masih terdapat masalah dikarenakan adanya perbedaan

antara peraturan yang satu dengan peraturan lainnya ataupun diantara

peraturan tersebut tidak sejalan, sehingga menimbulkan tafsir hukum yang

berbeda-beda dari para penegak hukum di Indonesia. 3

Salah satu penggunaan kemajuan teknologi informasi dan

telekomunikasi adalah tindakan penyadapan. Penyadapan adalah

merupakan salah satu teknik untuk mendapatkan informasi dalam upaya

pengungkapan kasus dan sebagai dasar menetapkan langkah

penyelidikan berikutnya. Dalam mengungkap tindak pidana korupsi Komisi

Pemberantasan Korupsi (untuk selanjutnya cukup disebut KPK) sebagian

besar didukung oleh hasil penyadapan. Banyak kontroversi mengenai

tindakan penyadapan ini diantaranya berpendapat bahwa rekaman hasil

penyadapan tidak dapat menjadi alat bukti, namun informasi dalam

rekaman hasil penyadapan tersebut terbukti sangat efektif untuk dapat

3
Adami Chazawi, dan Ardi Ferdian, Tindak Pidana Informasi dan Transaksi
Elektronik (Jakarta: MNC, 2017) hlm. 3.
3

memperoleh alat bukti sehingga mampu mengungkap adanya tindak

pidana korupsi. Penyadapan ini oleh sebagian pihak dianggap sebagai

sebuah pelanggaran hukum, bahkan justru dianggap sebagai

pelanggaran Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut HAM) karena

orang merasa dizalimi dengan adanya penyadapan KPK tersebut.

Pemerintah berupaya untuk membuat RPP (Rancangan Peraturan

Pemerintah) tentang Pelaksanaan Penyadapan KPK sebagai upaya

agar kewenangan penyadapan KPK tersebut tidak dianggap melanggar

hukum dan HAM.4

Argumentasi bahwa penyadapan merupakan pelanggaran Hak

Asasi Manusia menjadi alasan kelompok yang tidak setuju pada tindakan

penyadapan. Berbeda halnya dengan kelompok yang mendukung

penyadapan melihat tindakan tersebut justru merupakan tindakan

antisipasi kejahatan. Penyadapan atau intersepsi merupakan salah satu

upaya penegak hukum yang istimewa dalam usaha menemukan bukti-

bukti yang cukup guna proses penyidikan. Dikatakan sebagai salah satu

upaya yang istimewa karena upaya tersebut tidak dapat dilakukan serta

merta dan secara rutin sebagai tindakan aparat penegak hukum. Sangat

berbeda jika dibandingkan dengan penangkapan, penahanan, interograsi,

penggeledahan, dan lain sebagainya, penyadapan membutuhkan

kecermatan sebelum melakukannya. 5

4
Sudiman Sidabukke, Tinjauan Kewenangan penyadapan oleh KPK dalam
perspektif Hak Asasi Manusia. (Makalah), Hlm.1.
5
Hwian Kristianto, Tindakan Penyadapan di tinjau dari Prespektif Hukum Pidana
(Jurnal hukum PRIORIS Vol. 5 No.2 tahun 2016) hlm. 90.
4

Berbicara mengenai asas hak asasi manusia maka terdapat hak

privasi seseorang yang dilanggar dengan adanya tindakan penyadapan.

Setiap orang memiliki hak untuk menyimpan atau membatasi informasi

agar tidak diketahui dan disebarluaskan kepada orang lain. Penghargaan

atas privasi dalam komunitas informatika yang meng-global sangat

berbeda dalam tampilan fisiknya. Kepentingan-kepentingan atas privasi

data dan informasi menjadi sangat penting disaat tumbuhnya semangat

dari pihak-pihak yang memiliki data dan informasi pribadi untuk dijaga

kerahasiaannya.6

Dalam rangka pemberantasan korupsi, maka undang-undang

memberi kewenangan kepada KPK untuk melakukan penyadapan,

sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang No. 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

menyatakan bahwa : 7

”Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan


penuntutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf c,
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang: a. melakukan
penyadapan dan merekam pembicaraan”.

Kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan yang diberikan

oleh Undang-Undang 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi (untuk selanjutnya cukup disebut UU KPK), tidak

menjelaskan dengan rinci mekanisme dan batasan mengenai

pelaksanaan penyadapan tersebut. Hal tersebut berbeda dengan

6
Shinta Dewi, Cyberlaw Perlindungan Privasi Atas Informasi Pribadi dalam E-
Commerce menurut Hukum Internasional. (Bandung: Widya Padjajaran, 2009), hlm. 34.
7
Ibid., Hlm. 3.
5

penyadapan yang dilakukan dalam kasus terorisme yang oleh Pasal 31

PERPPU No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme sebagaimana telah disahkan sebagai Undang-Undang No.15

Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme telah diatur secara rinci pelaksanaannya sebagai berikut:8

(1) Berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana


dimaksud dalam pasal 26 ayat (4), penyidik berhak :
a. membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui
pos atau jasa pengiriman lainnya yang mempunyai
hubungan dengan perkara tindak pidana terorisme yang
sedang diperiksa;
b. menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat
komunikasi lain yang diduga digunakan untuk
mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak
pidana terorisme.
(2) Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b, hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan
Negeri untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
harus dilaporkan atau dipertanggungjawabkan kepada atasan
penyidik.

Dalam pemberitaan di media Tempo pada tanggal 30 Desember

2016 disebutkan bahwa Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI menetapkan

Direktur Data dan Informasi Bakamla Laksamana Pertama TNI Bambang

Udoyo sebagai tersangka. Dia diduga terlibat dalam kasus suap proyek

satelit di Bakamla. Hal itu terungkap setelah Puspom TNI berkoordinasi

dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Kasus suap Bakamla berawal

dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap Deputi

8
Ibid.
6

Informasi Hukum dan Kerja Sama Bakamla, Eko Susilo Hadi pada 14

Desember 2016. Dalam pengembangan, Laksamana Pertama (Laksma)

Bambang Udoyo sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam proyek

pengadaan surveillance system di Bakamla diduga ikut menerima suap. 9

Penyadapan tak ubahnya pisau bermata dua : memiliki sifat baik

dan buruk sekaligus. Pisau yang tajam bisa dipakai untuk mengiris

sayuran, sekaligus bisa dipakai untuk melukai manusia. 10 Penyadapan

rawan disalahgunakan terlebih ketika aturan hukum yang melandasinya

tidak sesuai dengan prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Karena itu, tindakan penyadapan juga membutuhkan moralitas agar

intersepsi sesuai dengan peruntukannya.11

Di Indonesia ada dua bentuk tindakan penyadapan. Pertama,

penyadapan untuk kegiatan penegakan hukum terutama dalam

penanganan tindak pidana khusus seperti narkotika, psikotropika, korupsi,

terorisme, perdagangan orang, dan pencucian uang. Kedua, penyadapan

untuk kepentingan intelijen dalam rangka melindungi keamanan dan

kedaulatan nasional. Kedua bentuk tindakan penyadapan tersebut bertitik

tolak adanya tindak pidana yang luar biasa sehingga mengharuskan

dilakukan tindakan penyadapan .12

9
https://m.tempo.co/read/news/2016/12/30/063831454/suap-bakamla-puspom-
tni-tetapkan-laksma-bambang-tersangka di akses tgl 14 Februari 2017
10
Pernyataan dari Joseph Raz, The Rule of Law and Its Virtue in the Authority of
Law (1979) yang dikutip oleh Reda Mathovani dalam bukunya, Penyadapan vs. Privasi
(Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2015),hlm 5.
11
Reda Mathovani, Penyadapan vs. Privasi (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer,
2015), hlm 7.
12
Ibid, hlm 237.
7

Menyadap menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang penulis

akses dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI adalah

mendengarkan (merekam) informasi (rahasia, pembicaraan) orang lain

dengan sengaja tanpa sepengetahuan orangnya. Sedangkan arti

merekam adalah memindahkan suara (gambar, tulisan) ke dalam pita

kaset, piringan, dan sebagainya. Mengacu pada definisi di atas dapat kita

ketahui bahwa menyadap lebih luas dari makna merekam. Menyadap

dilakukan salah satunya dengan jalan merekam namun secara diam-diam

(tanpa sepengetahuan orang yang disadap). Sedangkan dalam merekam,

bisa saja orang atau obyek yang direkam itu tahu bahwa dirinya

direkam.13

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik telah mengatur secara tegas mengenai larangan penyadapan

yang dilakukan selain untuk kepentingan penegakan hukum atas

permintaan kepolisian, kejaksaan dan penegak hukum lainnya. Pasal 31

ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik secara jelas dan tegas menyatakan bahwa:

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan


hukum melakukan intersepsi (penyadapan) atas transmisi informasi
elektronik dan atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik
dari, ke, dan di dalam suatu komputer dan/atau sistem elektronik
tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan
apapun maupun yang menyebabkan adanya perubahan,
penghilangan dan ataupun penghentian informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik yang sedang ditransmisikan”

13
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/menyadap, diakses tgl 18 februari 2017.
8

“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2)


tidak berlaku terhadap intersepsi atau penyadapan yang
dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan
kepolisian, kejaksaan, atau institusi lainnya yang
kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang”.14

KUHAP belum mengatur setidaknya secara tegas mengenai alat

bukti elektronik yang sah, akan tetapi perkembangan peraturan

perundang-undangan setelah KUHAP menunjukkan adanya kebutuhan

untuk mengatur alat bukti elektronik. 15

Dalam pemeriksaan perkara tindak pidana, alat bukti mempunyai

peranan penting untuk menentukan seseorang yang diduga melakukan

tindak pidana baik di tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai

pada tingkat pemeriksaan perkara di pengadilan. Hal ini penting untuk

mendapatkan jaminan kepastian hukum, karena berdasarkan alat bukti

tersebut dapat diketahui kesalahan terdakwa. Dalam KUHAP diatur

dengan tegas mengenai alat bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli,

surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Sedangkan dalam Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan

MIliter mengatur alat bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli,

keterangan terdakwa, surat dan petunjuk.

Tindakan penyadapan pengaturannya dalam beberapa peraturan

perundang-undangan masih perlu dipelajari dan dianalisis sehingga dapat

14
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2016 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
LN Tahun 2016 No,251, TLN No. 4843, Pasal 31 ayat (2), (3).
15
Josua Sitompul, Cyberspace Cybercrimes Cyberlaw, Tinjauan Aspek Hukum
Pidana, (Jakarta: Tatanusa, 2012), hlm.270.
9

benar-benar dipahami apakah peraturan perundang-undangan tersebut

sudah sesuai dengan dengan pasal 172 Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang mengatur mengenai alat bukti

dan pasal 71 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan

Militer yang mengatur tentang kewenangan penyidik Militer.

Bertolak pangkal dari permasalahan tersebut diatas maka penulis

sangat tertarik dan perlu membahasnya lebih mendalam melalui skripsi

yang berjudul “ ANALISIS YURIDIS ATURAN PENYADAPAN

DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1997

TENTANG PERADILAN MILITER ”.

B. Rumusan Masalah

Di era modern sekarang seiring dengan berkembangnya ilmu

teknologi yang semakin canggih dikaitkan dengan tindakan penyadapan

yang dilakukan oleh aparat penegak hukum didalam melakukan

penyidikan suatu tindak pidana dikaitkan juga dengan Undang-Undang

Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, oleh karena itu penulis

sangat tertarik untuk membahasnya dalam penelitian ini, dengan

mengemukakan beberapa permasalahan sebagai berikut :

a. Bagaimana pelaksanaan kewenangan penyidik Militer dalam

melakukan penyadapan apabila dalam kasus tertentu

membutuhkan penyadapan ?

b. Bagaimana kedudukan alat bukti penyadapan dalam Hukum

Acara Pidana Militer ?


10

c. Bagaimana aturan tindakan penyadapan menurut rancangan

peraturan perundang-undangan nasional ke depan ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan yang diajukan, penelitian ini

bertujuan untuk :

1. Memberikan gambaran tentang pemberian kewenangan bagi

penyidik Militer untuk melakukan penyadapan sesuai undang-

undang nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

2. Memberikan gambaran tentang alat bukti penyadapan

dikaitkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31

Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

3. Memberikan gambaran mengenai aturan tindakan

penyadapan menurut rancangan peraturan perundang-undangan

nasional kedepan.

D. Kegunaan Penelitian

Diharapkan penelitian ini mempunyai kegunaan sebagai berikut:

1. Kegunaan Teoritis atau akademis,

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan

pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum,

khususnya hukum pidana.

2. Kegunaan Praktis

Penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai referensi

bagi lembaga legislatif dalam menyusun suatu peraturan


11

perundang-undangan dan bagi aparat penegak hukum ataupun

praktisi hukum dapat digunakan dalam penegakkan hukum di

Lingkungan Peradilan khususnya lingkungan Peradilan Militer.

E. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian hukum yang digunakan adalah tipe penelitian

hukum normatif. Penelitian hukum normatif terdiri atas penelitian

terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi

hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum. 16

Metode penelitian normatif ini dilakukan dengan cara

menarik asas hukum yang ada pada hukum positif tertulis. Selain

itu dilakukan penelitian terhadap pengertian dasar sistematik

hukum mengenai peristiwa hukum atau hubungan hukum yang

terjadi dalam masyarakat dikaitkan dengan Undang-Undang yang

berlaku untuk peristiwa hukum tersebut. Kemudian dilakukan taraf

sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan

bahan-bahan kepustakaan untuk mencari informasi dan membuat

kesimpulan dan permasalahan yang diteliti. 17

Berbeda dengan penelitian sosial, pendekatan kasus dalam

penelitian bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma

atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Terutama

16
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 14.
17
Amirrudin dan Zainal Azikin, Pengantar Metode Penilitian Hukum, (Jakarta,
Rajawali pers, 2004), hlm. 31
12

mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang

dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang

menjadi fokus penelitian. Jelas kasus-kasus yang telah terjadi

bermakna empiris, namun dalam suatu penelitian normatif, kasus-

kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap

dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam

praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya untuk bahan

masukan dalam eksplanasi hukum. 18

Dalam penelitian ini menggunakan teori-teori hukum dan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang diperlukan

untuk mendukung pembahasan tentang aturan penyadapan

dikaitkan dengan undang-undang nomor 31 tahun 1997 tentang

peradilan militer.

2. Sifat Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan bersifat deskriptif analistis,

dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang

manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, yaitu untuk

mendapatkan gambaran dan memberikan penjelasan mengenai

ketentuan-ketentuan yang ada dalam teori hukum tentang

pengaturan penyadapan dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

18
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang,
Bayumedia, 2005), hlm. 11.
13

3. Data

a. Sumber Data

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan

data sekunder yang mempunyai ruang lingkup sangat luas,

sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian,

buku-buku, dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh

Pemerintah, hasil penelitian yang bersifat laporan, putusan-

putusan pengadilan yang berkaitan dengan isu hukum yang

dihadapi dan seterusnya.19 Data sekunder ini diperoleh dari

sumber yang telah dikumpulkan melalui studi dokumen

terkait dengan obyek penulisan skripsi ini, baik melalui

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan tersier.

1) Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan

hukum yang mengikat.20 Terdiri dari perundang-

undangan yang terkait dengan topik permasalahan

ini, antara lain :

a) Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke empat.

b) Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan

Hukum Pidana. LN Nomor Tahun 1946, TLN

19
Ibid, hlm. 12.
20
Ibid, hlm. 13.
14

Nomor 3851 jo Undang-Undang tentang

menyataan berlakunya Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum

Pidana untuk seluruh Wilayah Republik

Indonesia dan mengubah Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (LN Nomor 127 Tahun

1958, TLN Nomor 1660) sebagaimana telah

beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 1999 tentang

Perubahan dan Penambahan beberapa pasal

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

berkaitan dengan kejahatan terhadap

keamanan negara. LN Tahun 1999 Nomor 74,

TLN Nomor 3850.

c) Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

undang Hukum Acara Pidana.

d) Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. LN

Tahun 1997 Nomor 10, TLN Nomor 3671.

e) Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan


15

Militer. LN Tahun 1997 Nomor 84, TLN Nomor

3045.

f) Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. LN Tahun 2001 Nomor

134. TLN Nomor 4150.

g) Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana yang telah diubah oleh Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang telah ditetapkan sebagai undang-

undang oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Menjadi Undang-Undang. LN Tahun 2002

Nomor 137, TLN Nomor 4250.


16

h) Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. LN

Tahun 2003 Nomor 49, TLN Nomor 4288.

i) Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Perdagangan orang. LN Tahun

2007 Nomor 58, TLN Nomor 4720.

j) Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah

diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik. LN Tahun 2008 Nomor

586, TLN Nomor 4843.

k) Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. LN

Tahun 2009 Nomor 143, TLN Nomor 5062.

l) Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen

Negara, LN Tahun 2011 Nomor 105, TLN

Nomor 5249.
17

m) Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

n) Peraturan Menteri Komunikasi dan

Informasi Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Teknis Penyadapan Terhadap Informasi.

o) Peraturan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2010

tentang Tata Cara Penyadapan Pada Pusat

Pemantauan Kepolisian Negara Republik

Indonesia.

2). Bahan Hukum Sekunder

Memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer seperti rancangan undang – undang,

hasil – hasil penelitian, hasil karya dari kalangan

hukum dan seterusnya. bahan hukum sekunder yang

digunakan dalam penelitian ini adalah

mempergunakan berbagai referensi yang dihasilkan

oleh pakar-pakar dalam bidang pidana dan uraian

yang di ungkapkan oleh pakar tersebut dianggap

relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam

tulisan ini.21

21
Ibid, hlm. 14.
18

3). Bahan Hukum Tertier, yakni bahan yang

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan sekunder.22 bahan hukum

tersier yang digunakan adalah Kamus Bahasa

Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, Kamus Hukum,

buku-buku yang berkaitan.

b. Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan Bahan atau Data Bahan – bahan

hukum yang diperoleh, merupakan bahan – bahan hukum

yang dianalisis secara kualitatif normatif, yaitu menganalisis

hasil penelitian kepustakaan yang terkumpul dan dituangkan

dalam bentuk uraian logis dan sistematis, untuk memperoleh

kejelasan penyelesaian masalah. Adapun prosedur

pengumpulan dan pengolahan data yang dilakukan adalah

dengan cara sebagai berikut :

1) Penelitian Kepustakaan (Library Research).

Untuk mendapatkan data dan informasi

mengenai suatu masalah, dalam pelaksanaan

kegiatan penelitian ini melalui studi dokumen

terhadap data sekunder. Untuk data sekunder pada

penelitian hukum dapat dibatasi pada penggunaan

22
Ibid, hlm. 14.
19

studi dokumen atau bahan pustaka saja. 23

Metode kepustakaan ini dilakukan dengan cara

mengunjungi berbagai kepustakaan, seperti

Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Sekolah Tinggi

Hukum Militer, Toko Buku, untuk membaca, menelaah

dan mempelajari literatur serta sumber lain yang

berkaitan dengan materi yang akan dibahas dalam

skripsi ini dengan maksud untuk mendapatkan bahan

teoritis.

2) Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian ini dilakukan untuk mendukung data

sekunder, dengan cara sebagai berikut :

a) Wawancara dilaksanakan kepada Letkol

Sus Tri Achmad., S.H., M.H. Hakim Pengadilan

Militer II-08 Jakarta, Kolonel Chk Santosa.,

S.H., M.H. Kaodmil II-08 Jakarta, Dr. Reda

Manthovani., S.H., LLM. Kajari Jakarta Barat,

Mayor Cpm Irianto., S.H. Kasi idik Pomdam

Jaya.

b) Dokumentasi

Dokumentasi adalah mencari data

mengenai hal yang relevan dengan

23
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.cit.,hlm. 66.
20

permasalahan yang diteliti, surat kabar,

majalah, Koran, notulen rapat, dan sebagainya.

Dokumentasi digunakan untuk mendapatkan

data tentang kasus-kasus penyadapan.

4. Analisa Data

Selanjutnya dari masalah tersebut diolah dengan metode

deduktif, yaitu menganalisa masalah yang bersifat umum kemudian

disimpulkan sesuai dengan permasalahan yang ada. Dengan

demikian dapat dijadikan landasan untuk menarik kesimpulan dan

saran-saran.24 Metode Analisis Data Setelah bahan kajian masalah

yang dibutuhkan terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah

menganalisis dengan jalan mengaitkan masalah yang diperoleh

dengan peraturan-peraturan yang berlaku, sehingga didapatkan

suatu bahan kajian masalah dengan metode deduktif. Metode

deduktif adalah pola berpikir yang berawal dari fakta-fakta yang

bersifat umum kemudian dibahas berdasarkan hukum secara

khusus dalam teori dan prakteknya untuk diteliti sehingga analisis

tersebut dapat dilaporkan dan disusun dalam bentuk skripsi. 25

5. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan dapat digunakan dengan dua pola

pikir, yaitu deduktif dan induktif. Dalam skripsi ini Penulis

menggunakan metode penarikan kesimpulan secara deduktif yaitu

24
Elfrida Gultom, dkk., Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Hukum, (Jakarta:
Universitas Mpu Tantular, 2007), hlm.52.
25
Ibid.
21

metode menarik kesimpulan yang bersifat khusus dari pernyatan-

pernyataan yang sifatnya umum.26 Metode ini dilakukan dengan

cara menganalisis pengertian atau teori-teori umum, antara lain

mengenai aturan tindakan penyadapan dikaitkan dengan undang-

undang nomor 31 tahun 1997 tentang peradilan militer.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual

1. Kerangka Teori

Teori hukum adalah cabang ilmu hukum yang membahas

atau menganalisa, tidak sekedar menjelaskan atau menjawab

pertanyaan atau permasalahan secara kritis ilmu hukum maupun

hukum positif dengan menggunakan metode interdisipliner. Jadi

tidak hanya menggunakan metode sintesis saja. 27

a. Teori Sui Generis

Ilmu Hukum sebagai ilmu normatif memiliki cara kerja

yang khas sui generis. Sui generis digunakan dan

diperkenalkan dalam ilmu hukum oleh D.H.M. Meuwissen

dalam tulisan yang berjudul “Rechtwetenschap” dalam Van

Apeldoorn’s Inleiding tot de studie vant het Nederlandse

Recht, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1985. Sui generis

26
Dhani Rahmawan, Metode Penelitan Hukum, (Jakarta: Diktat Perkuliahan FH
Usakti), hlm. 16.
27
Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, (Jakarta:Cahaya Atma Pustaka, 2014),
hlm. 87.
22

dalam peristilahan ilmu hukum artinya ilmu hukum

merupakan ilmu jenis sendiri. 28

Dalam suatu sistem tertutup, semua bidang atau

cabang ilmu dapat juga mengklaim sui generis yaitu dalam

hal cara kerja yang khas dan sistem ilmiah yang berbeda

karena objek perhatian yang berbeda pula. Jadi sebenarnya

bukan hanya ilmu hukum yang memiliki karakter sui generis

tersebut. Hanya saja dalam ilmu hukum kerakter sui generis

digunakan untuk menunjukkan bahwa dalam ilmu hukum

jangan pernah dilupakan atau dikesampingkan karakter

normatifnya, yakni pada satu sisi ilmu hukum memiliki sifat

empiris analistik, namun di sisi lain sebagai ilmu praktis

normatif. Ilmu hukum mengarahkan refleksinya pada

pemecahan masalah-masalah konkret dan potensial dalam

masyarakat. Berbeda dari hakikat ilmu hukum empiris

sebagai bagian dari ilmu sosial yang mempelajari untuk

meramalkan dan mengendalikan proses sosial. Dengan

karakter tersebut memang agak sulit untuk memasukkan

ilmu hukum dalam satu kecabangan dalam pohon ilmu. 29

28
Valerine, J.L.K, Metode Penelitian Hukum Kumpulan bacaan untuk Program S-
2 & S-3, (Program Pasca Sarjana FHUI, 2012), hlm. 50.
29
Ibid.
23

Karakter sui generis menujukkan bahwa ilmu hukum

tidak dapat mengesampingkan karakteristik normatifnya, hal

ini dijelaskan oleh J.W. Haris sebagai berikut: 30

“ In one sense as has been said, legal system means


a system of rules constituting the present law. In another
sense it means a historic congeries of rules, principles,
policies, doctrines, and maxim, forming part of an official
tradition. Legal science, as we shall see employ the concept
in either if these sense, depending on whether it is exercising
a descriptive or critical function. There is a third sense in
which the expression is used by social discourse, as a
relatively vague way of referring to complex institutional
structures”.31

Dengan adanya teori sui generis ini lebih

menekankan mengenai kekhususan dari ilmu hukum.

tentunya hal ini juga yang dipunyai mengenai aturan

mengenai penyadapan. Dalam sejarahnya penyadapan ada

di Indonesia dikarenakan adanya tindak pidana yang luar

biasa (extra ordinary crime) sehingga perlunya pembentukan

suatu undang-undang khusus untuk dapat memberantasnya

diantaranya diatur mengenai tindakan penyadapan.

Tentunya dengan aturan yang sudah ada harus juga

30
Johnny Ibrahim, Loc.Cit., hlm. 49.
31
Terjemahan bebas: Dalam satu pengetian seperti yang telah dikatakan, sistem
hukum berarti sebuah sistem peraturan yang mengatur hukum sekarang. Dalam
pengertian lain ini berarti kumpulan peraturan, prinsip, kebijakan, doktrin dan pepatah
bersejarah, yang merupakan bagian dari tradisi resmi. Ilmu hukum sebagaimana
seharusnya kita lihat menggunakan konsep itu jika masuk akal, tergantung pada apakah
ia menjalankan fungsi deskriptif atau kritis. Ada pengertian ketiga dimana ungkapan
tersebut digunakan oleh wacana social, sebagai cara yang relative samar untuk merujuk
ke struktur kelembagaan yang kompleks.
24

diterapkan asas “Lex specialis derogat legi generali” untuk

dapat lebih mewujudkan keadilan dalam penerapannya.

b. Teori Pembuktian

Teori pembuktian merupakan:

“Pendapat ahli yang mengkaji dan menganalisis


tentang cara-cara untuk meyakinkan hakim tentang
kebenaran dalil-dalil yang disampaikan oleh pihak
penggugat, tergugat maupun terdakwa sesuai dengan tujuan
yang dikehendaki oleh mereka”. 32

Teori pembuktian yang dalam bahasa Inggris, disebut

evidence theory, sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut

dengan ewijstheorie mempunyai tujuan atau fungsi yang

sangat penting di dalam proses peradilan. Ada empat fungsi

teori pembuktian, yang meliputi: 33

1) Fungsi deskriptif, yaitu teori pembuktian

memberikan penjelasan tentang seberapa baik di

dalam menangkap fenomena-fenomena yang terjadi

dalam suatu perkara;

2) Fungsi normatif, bahwa teori pembuktian

bertujuan menyediakan ukuran-ukuran normative

yang berkaitan dengan pembuktian sebagaimana

yang terdapat dalam peraturan-peraturan perundang-

undangan;

32
H. Salim HS, dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2016), hlm. 217.
33
Ibid.
25

3) Fungsi evaluatif, bahwa teori pembuktian

bertujuan untuk memberikan penilaian, apakah

membenarkan atau mengkritisi terhadap setiap alat

bukti;

4) Fungsi regulatif.

Pembuktian memegang peranan yang sangat

penting dalam proses pemeriksaan sidang

pengadilan, karena dengan pembuktian inilah nasib

terdakwa ditentukan, dan hanya dengan pembuktian

suatu perbuatan pidana dapat dijatuhi hukuman

pidana. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang

berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara

yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan

kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

Pembuktian juga merupakan ketentuan yang

mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-

undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan

kesalahan yang didakwakan. 34

Tentunya teori ini dikaitkan dengan penggunaan alat

bukti hasil penyadapan di dalam penulisan skripsi ini dimana

alat bukti sangat memegang peranan penting dalam

menentukan seseorang bersalah atau tidak.

34
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Penyidikan dan penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 273.
26

2. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual atau konsepsional merupakan

kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep

khusus yang akan diteliti.35

Oleh karena itu untuk memudahkan dalam memahami

tulisan ini dan terjadi persepsi yang sama, maka dalam penelitian

ini akan dikemukakan pengertian-pengertian sebagai berikut :

a. Penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan,

merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan atau

mencatat transmisi informasi elektronik dan atau dokumen

elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan

jaringan kabel, maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran

elektromagnetis, atau radio frekuensi. 36

b. Menyadap adalah mendengarkan (merekam)

informasi (rahasia, pembicaraan) orang lain dengan sengaja

tanpa sepengetahuan orangnya. Sedangkan arti merekam

adalah memindahkan suara (gambar, tulisan) ke dalam pita

kaset, piringan, dan sebagainya. 37

c. Penyadapan secara sah atau Lawful Interception

adalah suatu cara penyadapan dengan menempatkan posisi

penyadap di dalam penyelenggara jaringan telekomunikasi

35
Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Hukum Empiris, (Jakarta: Ind
Hill.Co, 1990) hlm.67.
36
UU No 11 Tahun 2008, Op.Cit., Penjelasan pasal 31 angka 1
37
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/menyadap, merekam, diakses tgl 18 februari
2017.
27

sedemikian rupa sehingga penyadapan memenuhi syarat

tertentu yang dianggap sah secara hukum.38

d. Sistem pembuktian bertujuan untuk mengetahui

bagaimana cara meletakkan hasil pembuktian terhadap

perkara yang sedang diperiksa. Hasil dan kekuatan

pembuktian yang bagaimana yang dapat dianggap cukup

memadai membuktikan kesalahan terdakwa.39

e. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi

penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang

dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang

didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan

ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan

undang-undang yang boleh dipergunakan hakim

membuktikan kesalahan yang didakwakan. 40

f. Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang berbunyi sebagai

berikut :

Alat bukti yang sah adalah :


a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa. 41

38
Sudiman Sidabukke, loc.cit.
39
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), (Jakarta:
Sinar Grafika, 2006), hlm. 276-277.
40
Ibid, hlm. 273.
41
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana, LN Tahun 1981 No, 76, TLN No. 3209, Pasal 184 ayat (1).
28

g. Pasal 172 ayat (1) Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan MIliter

yang berbunyi sebagai berikut:

Alat bukti yang sah ialah:


a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. keterangan terdakwa;
d. surat;
e. petunjuk.42

h. Pasal 177 ayat (1),(2) Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer

yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau


keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara
satu dan yang lain maupun dengan tindak pidana itu
sendiri, menandakan bahwa sudah terjadi suatu tindak
pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat diperoleh dari:
a. keterangan saksi;
b. keterangan terdakwa; dan/atau
c. surat.43

i. Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

yang disebut penyidik adalah Atasan yang Berhak

Menghukum, Pejabat Polisi Militer Tertentu dan Oditur yang

diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang ini untuk

melakukan penyidikan.44

42
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer, LN Tahun 1997 No. 84, TLN No. 3713, Pasal 172 ayat (1).
43
Ibid., Pasal 177 ayat (1), (2).
44
UU No 31 Tahun 1997, Op.Cit., Pasal 1 ke-11.
29

G. Sistematika Penulisan

Ruang lingkup dalam skripsi ini dibatasi pada aturan tindakan

penyadapan yang berlaku serta kewenangan penyidik militer serta alat

bukti hasil penyadapan dalam sistemperadilan militer. Untuk memudahkan

pembahasannya Penulis membagi menjadi 5 (Lima) bab dan sub-sub bab

yang akan menjelaskan terperinci masalah tersebut sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang

masalah, pokok permasalahan, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, kerangka teori, kerangka

konsepsional dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PENYADAPAN

Bab ini membahas secara umum mengenai

penyadapan, sejarah penyadapan, landasan filosofis,

yuridis dan sosiologis peraturan perundang-undangan

yang mengatur tentang penyadapan, dan bentuk-

bentuk penyadapan di Indonesia.

BAB III : PENYADAPAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA

DI INDONESIA DAN BEBERAPA NEGARA

Bab ini menganalisa tentang kewenangan

penyidik KPK, Polri dan kejaksaan dalam melakukan

penyadapan dan penggunaan alat bukti penyadapan

di peradilan pidana, kewenangan penegak hukum


30

dalam melakukan tindakan penyadapan di Negara

lain dan penggunaan alat bukti penyadapan di

peradilan pidana di negara lain.

BAB IV : ANALISIS KEWENANGAN PENYIDIK MILITER

DALAM MELAKUKAN PENYADAPAN DAN ALAT

BUKTI HASIL PENYADAPAN DALAM SISTEM

PERADILAN MILITER.

Bab ini membahas mengenai analisa mengenai

kewenangan penyidik militer dalam melakukan

tindakan penyadapan, analisa alat bukti penyadapan

dalam system peradilan militer dan analisis tindakan

penyadapan dalam rancangan peraturan perundang-

undangan di Indonesia.

BAB V : PENUTUP

Bab ini merupakan kesimpulan dari Bab-bab

sebelumnya dan merupakan saran yang bermanfaat

bagi para pihak.

Anda mungkin juga menyukai