Anda di halaman 1dari 5

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 20/PPU-

XIV/2016 TENTANG ALAT BUKTI ELEKTRONIK

DISUSUN OLEH:

MUHAMMAD NUR MAHATMANTA 110110140321

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

2018
I. Latar Belakang Hak Privasi dan Constitutional Review Pasal a quo

Hak atas privasi (privacy rights) merupakan suatu hak asasi manusia. Kenyataan
ini tercerminkan oleh keberadaan hak privasi sebagai salah satu hak yang diakui
di dalam International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR), suatu
perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diratifikasi
sebagian besar negara di dunia. Sebagai hak asasi manusia “negatif”, maka
negara-negara yang mengakui hak tersebut harus melindunginya dengan cara
tidak mengganggu gugat hak tersebut.1 Indonesia pun sudah menerima konsep
ini bahkan sebelum meratifikasi ICCPR pada tahun 2005, yakni melalui konten
dari Pasal 28 UUD 1945 yang membahas tentang HAM, khususnya Pasal 28G.

Salah satu manifestasi dari hak privasi adalah bahwa setiap orang memiliki
hak agar apa yang ia sebut, tulis, atau sampaikan secara privat, atau tidak
terbuka untuk umum, tidak dapat diketahui oleh pihak lain tanpa persetujuannya
secara tidak sah.2 Namun, kedudukan hak privasi dan perlindungannya sebagai
suatu kepentingan hukum sering kali berselisih dengan kepentingan hukum lain.
Ambil contoh proses penegakan hukum pidana. Hukum pidana merupakan ranah
dimana kepentingan umum dilindungi oleh negara melalui pemeriksaan dan
penyidikan yang dapat membuat terang terjadinya suatu tindak pidana, agar
pelaku tindak pidana tersebut dapat diadili. Proses ini melibatkan alat bukti yang
berfungsi untuk memperjelas suatu tindak pidana, agar pemidanaan dilakukan
dengan dasar yang jelas dan hak tersangka/terdakwa tidak dilanggar. Dengan
perkembangan teknologi, hukum pun melakukan penyesuaian, dan perluasan arti
“alat bukti” sudah diterima bahwa ia mencakup alat bukti elektronik. Pandangan
ini diperkuat oleh dilegislasikannya UU ITE.3

Pada praktiknya, sering kali alat bukti elektronik yang digunakan merupakan
rekaman dari percakapan terdakwa yang didapatkan tanpa sepengetahuan
terdakwa terkait, atau dikenal dengan penyadapan atau wiretapping.
Dikhawatirkan bahwa praktik seperti ini merupakan pelanggaran hak privasi
terdakwa meskipun dilakukan dengan dasar hukum. Di Indonesia, dasar hukum

1 J.P. Sterba, "From Liberty to Welfare" dalam Ethics: The Big Questions, Massachusetts: Blackwell,
1998, hlm. 21
2 Sinta Dewi Rosadi, Cyber Law Aspek Data Privasi Menurut Hukum Internasional, Regional, dan

Nasional, Bandung: Refika Aditama, 2016, hlm. 12


3 Maskun, Kejahatan Siber (Cyber Crime) Suatu Pengantar, Jakarta: Prenada Media, 2017, hlm. 74
tersebut mengacu pada Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Pasal 26A
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(UU Tipikor) (Pasal a quo) jika terkait pembuktian suatu tindak pidana korupsi.

II. Putusan Nomor 20/PPU-XIV/2016

Perihal ini lah yang menjadi pertimbangan Setya Novanto, mantan ketua DPR RI
yang pada saat itu menjadi terdakwa kasus korupsi, untuk mengajukan sebagai
pemohon constitutional review terhadap kedua dasar hukum di atas ke
Mahkamah Konstitusi (MK). Ia merasa dirugikan karena telah dipanggil untuk
proses penyeledikan berdasarkan alat bukti elektronik dalam bentuk rekaman,
yang menurutnya didapatkan secara tidak sah. Namun, penyidik pada saat itu
mendasari tindakannya berdasarkan Pasal a quo. Permohonan ini pun diputus
oleh MK melalui Putusan Nomor 20/PPU-XIV/2016. Sebagai interpreter of
constitution dan secara tidak langsung menjadi interpreter atas undang-undang,
MK melalui putusan ini telah mengganti pengertian terhadap Pasal a quo.

Secara ringkas, MK mengabulkan permohonan untuk sebagian karena


menganggap bahwa Pasal a quo melanggar Pasal 1 ayat (3) dan 28G UUD
1945. Namun, Pasal a quo tidak sepenuhnya bertentangan, karena ia hanya
dinilai bertentangan sepanjang tidak dimaknai bahwa Alat Bukti Elektronik adalah

yang diperoleh menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku


dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan
Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan/atau institusi
penegak hukum lainnya.

Artinya, privasi seseorang tidak boleh dilanggar kecuali melalui suatu proses
hukum yang adil dan demi tujuan penegakan hukum. Oleh karena itu, Pasal a
quo sekarang telah memiliki arti bahwa alat bukti elektronik dalam konteks
pidana harus didapatkan secara sah, yakni dengan tidak melanggar hak privasi
pihak terkait. Secara teoretis, salah satu bentuk pelanggaran paling dasar atas
hak privasi adalah informasi yang dikemukakan seseorang secara tidak terbuka
yang didapatkan tanpa sepengetahuan atau persetujuan orang tersebut. 4 Doktrin
yang menggarisbawahi persetujuan atau “consent” ini dikenal sebagai Consent
Doctrine.5

Pertimbangan MK ini memang sesuai dengan sebagian perkembangan yang


terjadi di kancah akademik di dunia. Di beberapa negara, pengakuan atas
pentingnya informasi elektronik dalam konteks penegakan hukum pidana telah
menemukan titik tengah, yakni dengan tetap diterima informasi tersebut tetapi
harus melalui suatu proses hukum, dengan pertimbangan bahwa proses hukum
(due process) merupakan sesuatu yang secara absolut harus dijunjung tinggi
suatu negara hukum.6 Meskipun demikian, ada beberapa negara yang memiliki
perkembangan lain dan memperbolehkan “penyadapan” atas informasi elektronik
pada kondisi-kondisi genting. Dengan putusan tahun 2016 ini, maka MK secara
implisit mengatakan bahwa hukum Indonesia lebih mengikuti pendekatan yang
pertama.

Dengan pengabulan sebagian, Putusan ini juga tidak menghilangkan


keberadaan alat bukti elektronik dalam konteks hukum perdata. Pasal 5 ayat (1)
dan (2) tidak secara khusus mengatakan bahwa ia hanya berlaku bagi hukum
pidana. Oleh karena itu, alat bukti elektronik pada hukum perdata juga tetap
berlaku, meskipun dengan ketentuan yang sama i.e. harus didapatkan melalui
proses hukum.

Tetapi, menurut Penulis menarik untuk melihat dissenting opinion dari Hakim
Konstitusi Suhartoyo. Beliau tidak setuju bahwa Pasal a quo harus diubah
dengan sedemikian dengan mengutip pasal lain dalam UU ITE, yakni Pasal 31
ayat (1) tentang larangan penyadapan. Menurut beliau, dengan adanya pasal ini,
maka terkesan tidak perlu untuk membatasi Pasal a quo, karena bisa dilakukan
interpretasi dengan mempertimbangkan keberadaan pasal lain dalam peraturan
perundang-undangan yang sama.

4 Sinta Dewi, op cit., hlm. 12


5 Francis Sullivan, “Wiretapping and Eavesdropping: A Review of the Current Law” dalam Hastings
Law Journal 18, 1966, hlm. 65
6 Ferdinand Zeni, “Wiretapping—The Right of Privacy versus the Public Interest” dalam Journal of

Criminal Law and Criminology 40, 1950, hlm. 477, 481


DAFTAR PUSTAKA

Buku

J.P. Sterba. 1998. "From Liberty to Welfare" dalam Ethics: The Big Questions.
Massachusetts: Blackwell.

Maskun. 2017. Kejahatan Siber (Cyber Crime) Suatu Pengantar. Jakarta: Prenada
Media.

Sinta Dewi Rosadi. 2016. Cyber Law Aspek Data Privasi Menurut Hukum
Internasional, Regional, dan Nasional. Bandung: Refika Aditama

Artikel Jurnal

Ferdinand Zeni, 1950. “Wiretapping—The Right of Privacy versus the Public Interest”
dalam Journal of Criminal Law and Criminology 40.

Francis Sullivan, 1966. “Wiretapping and Eavesdropping: A Review of the Current


Law” dalam Hastings Law Journal 18.

Anda mungkin juga menyukai