DISUSUN OLEH:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2018
I. Latar Belakang Hak Privasi dan Constitutional Review Pasal a quo
Hak atas privasi (privacy rights) merupakan suatu hak asasi manusia. Kenyataan
ini tercerminkan oleh keberadaan hak privasi sebagai salah satu hak yang diakui
di dalam International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR), suatu
perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diratifikasi
sebagian besar negara di dunia. Sebagai hak asasi manusia “negatif”, maka
negara-negara yang mengakui hak tersebut harus melindunginya dengan cara
tidak mengganggu gugat hak tersebut.1 Indonesia pun sudah menerima konsep
ini bahkan sebelum meratifikasi ICCPR pada tahun 2005, yakni melalui konten
dari Pasal 28 UUD 1945 yang membahas tentang HAM, khususnya Pasal 28G.
Salah satu manifestasi dari hak privasi adalah bahwa setiap orang memiliki
hak agar apa yang ia sebut, tulis, atau sampaikan secara privat, atau tidak
terbuka untuk umum, tidak dapat diketahui oleh pihak lain tanpa persetujuannya
secara tidak sah.2 Namun, kedudukan hak privasi dan perlindungannya sebagai
suatu kepentingan hukum sering kali berselisih dengan kepentingan hukum lain.
Ambil contoh proses penegakan hukum pidana. Hukum pidana merupakan ranah
dimana kepentingan umum dilindungi oleh negara melalui pemeriksaan dan
penyidikan yang dapat membuat terang terjadinya suatu tindak pidana, agar
pelaku tindak pidana tersebut dapat diadili. Proses ini melibatkan alat bukti yang
berfungsi untuk memperjelas suatu tindak pidana, agar pemidanaan dilakukan
dengan dasar yang jelas dan hak tersangka/terdakwa tidak dilanggar. Dengan
perkembangan teknologi, hukum pun melakukan penyesuaian, dan perluasan arti
“alat bukti” sudah diterima bahwa ia mencakup alat bukti elektronik. Pandangan
ini diperkuat oleh dilegislasikannya UU ITE.3
Pada praktiknya, sering kali alat bukti elektronik yang digunakan merupakan
rekaman dari percakapan terdakwa yang didapatkan tanpa sepengetahuan
terdakwa terkait, atau dikenal dengan penyadapan atau wiretapping.
Dikhawatirkan bahwa praktik seperti ini merupakan pelanggaran hak privasi
terdakwa meskipun dilakukan dengan dasar hukum. Di Indonesia, dasar hukum
1 J.P. Sterba, "From Liberty to Welfare" dalam Ethics: The Big Questions, Massachusetts: Blackwell,
1998, hlm. 21
2 Sinta Dewi Rosadi, Cyber Law Aspek Data Privasi Menurut Hukum Internasional, Regional, dan
Perihal ini lah yang menjadi pertimbangan Setya Novanto, mantan ketua DPR RI
yang pada saat itu menjadi terdakwa kasus korupsi, untuk mengajukan sebagai
pemohon constitutional review terhadap kedua dasar hukum di atas ke
Mahkamah Konstitusi (MK). Ia merasa dirugikan karena telah dipanggil untuk
proses penyeledikan berdasarkan alat bukti elektronik dalam bentuk rekaman,
yang menurutnya didapatkan secara tidak sah. Namun, penyidik pada saat itu
mendasari tindakannya berdasarkan Pasal a quo. Permohonan ini pun diputus
oleh MK melalui Putusan Nomor 20/PPU-XIV/2016. Sebagai interpreter of
constitution dan secara tidak langsung menjadi interpreter atas undang-undang,
MK melalui putusan ini telah mengganti pengertian terhadap Pasal a quo.
Artinya, privasi seseorang tidak boleh dilanggar kecuali melalui suatu proses
hukum yang adil dan demi tujuan penegakan hukum. Oleh karena itu, Pasal a
quo sekarang telah memiliki arti bahwa alat bukti elektronik dalam konteks
pidana harus didapatkan secara sah, yakni dengan tidak melanggar hak privasi
pihak terkait. Secara teoretis, salah satu bentuk pelanggaran paling dasar atas
hak privasi adalah informasi yang dikemukakan seseorang secara tidak terbuka
yang didapatkan tanpa sepengetahuan atau persetujuan orang tersebut. 4 Doktrin
yang menggarisbawahi persetujuan atau “consent” ini dikenal sebagai Consent
Doctrine.5
Tetapi, menurut Penulis menarik untuk melihat dissenting opinion dari Hakim
Konstitusi Suhartoyo. Beliau tidak setuju bahwa Pasal a quo harus diubah
dengan sedemikian dengan mengutip pasal lain dalam UU ITE, yakni Pasal 31
ayat (1) tentang larangan penyadapan. Menurut beliau, dengan adanya pasal ini,
maka terkesan tidak perlu untuk membatasi Pasal a quo, karena bisa dilakukan
interpretasi dengan mempertimbangkan keberadaan pasal lain dalam peraturan
perundang-undangan yang sama.
Buku
J.P. Sterba. 1998. "From Liberty to Welfare" dalam Ethics: The Big Questions.
Massachusetts: Blackwell.
Maskun. 2017. Kejahatan Siber (Cyber Crime) Suatu Pengantar. Jakarta: Prenada
Media.
Sinta Dewi Rosadi. 2016. Cyber Law Aspek Data Privasi Menurut Hukum
Internasional, Regional, dan Nasional. Bandung: Refika Aditama
Artikel Jurnal
Ferdinand Zeni, 1950. “Wiretapping—The Right of Privacy versus the Public Interest”
dalam Journal of Criminal Law and Criminology 40.