Anda di halaman 1dari 8

NAMA : RAMLI USMAN

NIM : 710522004
KELAS :A
FAKULTAS : HUKUM
MATA KUIAH : PENEMUAN HUKUM

Penemuan Hukum Oleh Hakim Terhadap Tindak Pidana Gratifikasi Token Listrik
Dalam Undang Undang Nomor. 20 Tahun 2001

Penemuan hukum diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim,

atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan hukum

umum pada peristiwa hukum konkret.1 Achmad Ali menyatakan hakim diberikan

kebebasan yang sebebas-bebasnya untuk melakukan penemuan Hukum, dalam arti

kata bukan sekedar penerapan undang-undang oleh hakim, tetapi juga mencakup

memperluas dan membentuk peraturan dalam putusan hakim. Untuk mencapai

keadilan yang setinggitingginya, hakim bahkan boleh menyimpang dari undang-

undang demi kemanfaatan masyarakat.2

Achmad Ali membedakan penemuan hukum, yaitu penemuan hukum metode

interpretasi dan penemuan hukum dengan metode konstruksi. Interpretasi adalah

penafsiran yang dilakukan hakim masih berpegang pada teks undang-undang,

sedangkan pada konstruksi seorang hakim menggunakan penalaran logisnya untuk

mengembangkan lebih lanjut suatu teks" undang-undang, di mana hakim tidak lagi

1
Sudikno Mertukusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta: 2004 hl.37
2
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Gunung Agung Jakarta : 2002. Edisi kedua. hl.138

1
berpegang pada bunyi teks, tetapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum

sebagai suatu sistem. Ada beberapa jenis metode penemuan hukum, yaitu:3

1. Metode subsumtif, yaitu interpretasi terhadap teks undang-undang dengan


sekedar menerapkan silogisme. Terhadap intepretasi model ini ciri khas
cara berfikir system subsumtif ini adalah memasukkan peristiwanya
dalam peraturan perundang-undangan.
2. Metode interpretasi formal atau disebut juga interpretasi otentik, yakni
penjelasan resmi yang diberikan undang-undang dan terdapat pada teks
undang-undang tersebut.
3. Interpretasi gramatikal, yaitu menafsirkan kata-kata dalam undang-
undang sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa. Dalam
metode ini hakim berusaha menemukan makna kata dengan menelusuri
kata mana yang oleh pembuat undang-undang digunakan dalam mengatur
peristiwa sejenis dan sekaligus menelusuri di tempat mana lainnya dan
dalam hubungan apa pembentuk undang-undang menggunakan kata yang
sama.
4. Interpretasi historis, yakni dengan melihat sejarah dan latar belakang
pembentukan undang-undang agar diketahui secara pasti tujuan
dibentuknya peraturan.
5. Interpretasi sistematis, yaitu metode yang menafsirkan undang-undang
atau peraturan sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-
undangan yang terkait. Hakim harus memahami seluruh bagian dari suatu
peraturan yang mengatur terhadap suatu peristiwa yang terkait, dan tidak
boleh memisah-misahkannya. Demikian juga antara undang-undang yang
satu dengan undang-undang yang lain yang mempunyai hubungan yang
sama dan atau sejenis.
6. Interpretasi sosiologis atau teleologis. Penafsiran ini merupakan
penyesuaian antara peraturan hukum dengan keadaan baru yang
dibutuhkan dalam masyarakat.
7. Interpretasi komparatif membandingkan antara dua atau lebih aturan
hukum terhadap suatu peristiwa tertentu untuk diambil salah satu di
antaranya yang lebih memenuhi rasa keadilan, serta berkemanfaatan, dan
berkepastian hukum.
8. Interpretasi futuris atau disebut juga interpretasi antisipatif, yaitu
pemecahan yang dilakukan dengan menggunakan peraturan-peraturan
yang belum berlaku yang sedang dalam proses pengundangan
(Rancangan Undang-Undang)

3
Ibid

2
9. Interpretasi restriktif, yaitu metode yang sifatnya membatasi, artinya
peraturan perundang-undangan itu tidak bisa diperluas karena sifatnya
yang mutlak dan terbatas.
10. Interpretasi ektensif, yaitu kebalikan dari metode restriktif, yaitu
penafsiran yang bersifat meluas, artinya apa yang disebut dalam undang-
undang itu diperluas maksudnya.

Memperhatikan uraian tersebut Undang Undang Tindak Pidana Korupsi

Nomor 21 Tahun 2001 Pasal 12B yaitu, pemberian dalam arti yang luas, meliputi

pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket

perjalanan, fasilitas penginapan, perjalalan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan

fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di

luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik maupun tanpa

sarana elektronik.4 Dengan penjelasan pasal tersebut pada frasa kata “fasilitas

lainnya” tidak hanya mengatur dalam bentuk uang dan barang melainkan dalam

bentuk apapun yang diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

dengan maksud dan tujuan sebagai hadiah untuk memperlancar dan mempermudah

suatu hal tertentu.

Sebagaimana fenomena yang terjadi dalam penyelenggaraan Negara

gratifikasi sudah berkembang dalam berbagai modus operandinya seperti gratifikasi

pemberian token listrik. Gratifikasi pemberian token listrik tentu tidak diatur secara

eksplisit pada pada pasal 12B tersebut, akan tetatapi pada penjalasan Pasal 12B

dengan frasa “Frasa Fasilitas Lainnya”, maka gratifikasi pemberian token listrik

4
Andi Mulyono, Tindak Pidana Gratifikasi, Yogyakarta : GENTA publishing, 2017, hl.66

3
terhadap penyelenggara Negera yang betrkaitan dengan jabatan dapat dikategorikan

sebagai salah satu bentuk gratifikasi yang dimaksudkan dalam Pasal 12 B.

Berdasarkan hal tersebut penulis menganalisis bahwa hakim maupun aparat

penegak hukum sebaiknya dapat menerapkan beberapa metode penemuan hukum

dalam menafsirkan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana

Korupsi mengenai Gratifikasi pada Pasal 12B, yakni sebagai berikut:

1. Hakim dapat menggunakan metode penemuan hukum dalam menerapkan

Pasal 12B sebagai gratifikasi dengan metode subsumtif. Hakim dapat

menerapkan pasal tersebut kedalam ghratifikasi token listrik dengan

menggunakan penarikan kesimpulan terhadap peristiwa-peristiwa

gratifikasi yang berhubungan dengan pelayanan dan jabatan serta

kewajibanya untuk mengambil suatu keuntungan.

2. Hakim dapat menerapkan penafsiran formal atau disebut juga penafsiran

otentik tersebut ke dalam Pasal 12B. Sebagaimana penjelasan pasal 12B

menyatakan bahwa gratifikasi dalam arti yang luas tidak hanya bentuk

uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket

perjalanan, fasilitas penginipan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-

cuma, dan fasiltas lainnya. Maka, hakim dapat melakukan penemuan

hukum mengenai gratifikasi pemberian token listrik kedalam pasal 12B

berdasarkan ketentuan yang tertrulis pada penjelasan gratifikasi tersebut.

3. Hakim dapat menggunakan penemuan hukum ke dalam pasal 12B dengan

menggunakan metode interpretasi gramatikal. Sebagaimana teori tentang

4
interpretasi gramatikal yang menyatakan bahwa dalam metode ini hakim

berusaha menemukan makna kata dengan menelusuri kata mana yang oleh

pembuat undang-undang digunakan dalam mengatur peristiwa sejenis.

Unsur penting dari gratifikasi yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan

jabatan selaku penyelenggara negara dan dapat merugikan keuangan

negara. Oleh karena itu, sebaiknya Hakim dapat memaknai gratifikasi

sebagai bagian dari pada gratifikasi yang diatur dalam pasal 12B. karena,

gratifikasi yang berhubungan pemberian token listrik sejenis dengan

tindak pidana gratifikasi yang unsurnya berkaitan dengan jabatan dan

tugas sebagai penyelenggara negara.

4. Hakim dapat menggunakan penumuan hukum kedalam pasal 12B dengan

melihat sejarah pembentukan undang-undang mengenai pemberantasan

tindak pidana korupsi. Tujuan dibentuknya undang-undang ini yaitu, untuk

memberantas para pelaku korupsi, memberikan perlindungan terhadap

hak-hak sosial dan okonomi masyarakat, memjamin kepastian hukum,

menghindari keragaman penafsiran hukum, perlakuan secara adil dalam

memberantas tindak pidana korupsi. Oleh karena itu hakim dapat

menerapkan penemuan hukum dengan metode sejarah dan tujuan

dibentuknya undang-undang Tindak Pidana Korupsi tersebut. Maka

mengenai gratifikasi token listrik yang berhubungan dengan jabatan dan

fungsi Negara dapat dikategorikan sebagai bentuk gratifikasi.

5
5. Hakim dapat melakukan penemuan hukum kedalam Pasal 12B dengan

menerapkan metode interpretasi sistematis. Dalam hal ini, gratifikasi

merupakan perbuatan yang berhubungan dengan tugas dan jabatan sebagai

penyelenggara negara. Sehingga hakim dapat melakukan metode

penemuan hukum dengan menggunakan penafsiran bahwa, gratifikasi

token listrik merupakan perbuatan yang sejenis dengan tindak pidana yang

dijelaskan dalam pasal 12B. Hakim dapat mengaitkan gratifikasi

pemberian token listrik dangan ketentuan mengenai gratifikasi, suap

maupun kerugian negara yang dilakukan oleh oknum pejabat negara. Oleh

karena itu, gratifikasi pemberian token listrik dapat dikategorikan sebagai

gratifikasi yang terdapat dalam pasal 12B. Hal tersebut sejalan dengan

teori interpretasi sitematis yang menyatakan bahwa hakim harus

memahami seluruh bagian dari suatu peraturan yang mengatur terhadap

suatu peristiwa yang terkait, dan tidak boleh memisah-misahkannya.

6. Hakim dapat menggunakan penemuan hukum pasa pasal 12B dengan

menggunakan metode penafsiran sosiologis atau teleologis. Hakim dapat

menerapkan interpretasi dengan penyesuaian antara undang-undang dan

norma yang ada pada masyarakat tersebut. Dalam hal ini hakim dapat

menilai bahwa gratifikasi dalam bentuk pemberian token listrik dapat

merusak norma-norma hidup masyarakat sehingga bisa dikategorikan

tindak pidana korupsi dalam bentuk gratifikasi.

6
7. Hakim dapat menggunakan penemuan hukum berdasarkan metode

penafsiran ekstensif. Hakim maupun penegak hukum dapat menerapkan

metode dengan menafsirkan Pada Pasal 12B dalam arti yang luas, yakni

meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa

bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginipan, perjalanan wisata,

pengobatan cuma-cuma, dan fasiltas lainnya. Gratifikasi tersebut baik

yang direrima di dalam negeri maupun diluaar negeri dan menggunakan

sarana elektronik maupun tanpa sarana elektronik. Oleh karena itu, sesuai

dengan penjelasan pasal 12B, hakim dapat menilai dan menafsirkan

bahwa, kata “fasilitas lainnya” yang terdapat dalam penjelasan pasal 12B

tersebut dapat diartikan secara luas, sehingga penulis menganalisis bahwa,

hakim dapat menggunakan kata “fasilitas lainnya” tersebut kedalam

gratifikasi token listrik. Sebagimana teori penafsiran ekstensif yang

artinya bersifat meluas, maksudnya yang disebut dalam undang-undang itu

diperluas. Sehingga, apabila pasal 12B tersebut dianrtikan secara luas,

maka gratifikasi pemberian token listrik dapat dikategorikan gratifikasi

yang terdapat dalam pasal 12B tersebut. Terlebih lagi gratifikasi token

listrik merupakan perbuatan yang berhubungan dengan jabatan dan

fungsinya sebagai penyelenggara negara serta dapat merugikan keuangan

negara.

7
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa gratifikasi dalam

bentuk pemberian token listrik dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang diatur

pada Pasal 12B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi mengenai gratifikasi. Peran hakim dalam melakukan penumuan

hukum tersebut sangat penting dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang belu jelas

peraturan perundang-undangannya, seperti gratifikasi . Penemuan hukum dilakukan

untuk mengatasi terjadinya kekosongan hukum akibat keterbatasan dan

ketidaklengkapan dari peraturan perundang-unadangan. Selain itu, penemuan hukum

juga penting dalam mewujudkan hukum yang responsif, sehingga dapat mewujudkan

perlindungan kepada masyarakat dan dapat menciptakan keadilan, kepastian hukum,

dan kemamfaatan sebagaimana tujuan dari hukum itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai