Anda di halaman 1dari 12

KELOMPOK 7

 Putu Ulandari Sri Lestari (1704552093)


 Ni Luh Rai Puspadewi (1704552098)
 Luh Putu Sudarini (1704552103)
 Ega Nabilasari Lesmana (1704552106)
 Pande Putu Indahyani Lestari (1704552130)
ASAS LEGALITAS VS RE
TROAKTIF
A L I T A S
ASAS LEG
Asas legalitas merupakan prinsip dasar hukum pidana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Asas legalitas adala
h salah satu wujud dari perjanjian antara penguasa dan individu, dimana kebebasan individu sebagai subjek hukum
mendapat jaminan perlindungan kontraktual melalui asas legalitas.
Menurut Feurbach, asas legalitas terbagi menjadi tiga konsep yaitu:
1. Nulla Poena Sine Lege, yang artinya bahwa setiap penjatuhan hukuman haruslah didasarkan pada suatu undang-u
ndang pidana;
2. Nulla Poena Sine Crimine, yang artinya bahwa suatu penjatuhan hukuman hanyalah dapat dilakukan apabila per
buatan yang bersangkutan telah diancam dengan suatu hukuman oleh undang-undang;
3. Nullum Crimen Sine Poena Legali, yang artinya bahwa perbuatan yang telah diancam dengan hukuman oleh unda
ng-undang itu apabila dilanggar berakibat dijatuhkannya hukuman seperti yang diancamkan oleh undang-undan
g terhadap pelanggarnya.
Dari 3 (tiga) konsep tersebut dapat disimpulkan bahwa undang-undang merupakan dasar utama dalam penjatuhan h
ukuman. Perbuatan dan ancaman hukuman hanya dapat dijatuhkan apabila tertulis dan tercantum dalam undang-un
dang (lex scripta).

3
RETR O A K T I F

Retroaktif atau berlaku surut (Bahasa Latin: ex post facto yang berarti "dari sesuatu yan
g dilakukan setelahnya"), adalah suatu hukum yang mengubah konsekuensi hukum ter
hadap tindakan yang dilakukan atau status hukum fakta-fakta dan hubungan yang ada
sebelum suatu hukum diberlakukan atau diundangkan. Dalam kaitannya dengan huku
m kriminal, hukum retroaktif dapat diterapkan pada suatu tindakan yang legal atau me
miliki hukuman yang lebih ringan sewaktu dilakukan

4
ASAS LEGASLITAS VS RETROAKTIF DALA
M KASUS BOM BALI I
Langkah pemerintah ini ternyata dianggap berlebihan oleh
berbagai kalangan karena mengesampingkan asas non-retroaktif dan sekaligus juga asas le
galitas. Apakah saudara setuju dengan anggapan tersebut?

5
H ASAN
PEM B A
Peristiwa Bom Bali I ini memunculkan problematika baru dalam d
unia hukum. Dengan terjadinya hal ini Pemerintah mampu mengel
uarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yakni :

 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tah


un 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,

 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tah


un 2002 Tentang Pemberlakuan Perppu Nomor 1 tahun 2002 pa
da peristiwa peledakan Bom Bali tanggal 12  Oktober 2002,

Dengan begitu anggapan bahwa tindakan pemerintah yang dalam


hal ini dianggap berlebihan kami tidak setuju dengan anggapan ter
sebut.

6
Alasan
Mengenai asas retroaktif ini merupakan non derogable rights (hak-hak yang tidak dapat ditangguhkan atau dibat
asi (dikurangi) pemenuhannya oleh negara, meskipun dalam kondisi darurat sekalipun) sebagaimana yang diatur da
lam Pasal 15 International Covenant on Civil and Political Rights yang diratifikasi melalui Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovena
n Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik). Meskipun penolakan terhadap asas retroaktif dipicu dari adanya
anggapan bahwa asas retroaktif merupakan wadah dari political revenge (balas dendam politik) sehingga asas retroa
ktif dikatakan sebagai refleksi dari lex talionios (balas dendam) namun larangan akan pemberlakuan asas retroaktif d
alam instrumen hukum internasional dan hukum nasional
Dengan dibuatnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Pemberantasa
n Terorisme merupakan salah satu bukti nyata dari penggunaan kewenangan pemerintah dalam menjalankan fungsi
pemerintahan yaitu sebagaimana pula diatur dalam Pasal 22 UUD NRI 1945.
Undang-undang mengenai terorisme sendiri mengambil sikap berbeda dengan mengenyampingkan asas non retr
oaktif. Dalam hal ini, tentunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang memiliki alasan yang cukup kuat u
ntuk memberlakukan asas rektroaktif untuk memberantas tindak pidana terorisme. Selain latar belakang terjadinya p
eristiwa Bom Bali pada tanggal 12 Oktober tahun 2002 yang memicu dikeluarkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2002 Ten
tang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, tentu permberlakuan asas retroaktif tersebut, berdalil hukum pula.
Alasan
Adanya ketentuan yang menyimpangi asas non-retroaktif baik dalam hukum Internasional maupun hukum Nasional, ber
ikut akan diuraikan :
1. Ketentuan yang Menyimpangi Asas Non-Retroaktif dalam Hukum Internasional

Ketentuan ini menjelaskan, bahwa di dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya setiap orang tunduk
kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang guna menjamin pengakuan serta penghormatan h
ak-hak dan kebebasan orang lain, serta untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kes
ejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Berdasarkan aturan ini maka dapat dipahami kemudian, apa
bila asas non-retroaktif yang sebelumnya dianut dalam ketentuan Pasal 11 Ayat (2) Universal Declaration of Human Right
s menjadi terbuka untuk dikecualikan. Kemungkinan lain penerapan surut suatu hukum internasional yaitu berkenaan de
ngan munculnya kaidah hukum yang sifatnya jus cogens menurut Pasal 53 Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986
menentukan bahwa jus cogens atau peremptory norm of general international law adalah norma yang sifatnya kuat dan imper
atif yang diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan sebagai kaidah hukum yang tidak dapat diganti, kecua
li apabila norma hukum internasional yang baru mempunyai sifat yang sama.
Alasan
2. Ketentuan yang Menyimpangi Asas Non Retroaktif dalam Hukum Nasional Indonesia
Dalam instrumen hukum nasional Indonesia, justifikasi normatif terhadap pemberlakuan hukum secara surut d
alam perkara pelanggaran HAM berat didasarkan pada Penjelasan atas Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 yang menyatak
an, ”Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak
asasi manusia yang digolongkan kedalam kejahatan terhadap kemanusiaan”. Kemudian, ketentuan berikutnya yang melegiti
masi dikesampingkannya asas non-retroaktif secara implisit terkandung di dalam Pasal 43 Ayat (1) UU No. 26 Tahun
2000 sebagai dasar pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc, yang berbunyi, “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat y
ang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc”. Hal ini berarti
Undang-undang Pengadilan HAM bersifat retroaktif, sebab mengatur penyelesaian pelanggaran HAM berat sebelum
diundangkannya undang-undang ini. Secara konstitusional hukum berkekuatan surut sebagaimana yang dianut di dal
am UU No. 26 Tahun 2000, pada dasarnya berpijak pada Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen kedua yang m
enyatakan: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib untuk tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan de
ngan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan oran
g lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban u
mum dalam suatu masyarakat demokratis.”
M PUL A N Jadi asas non-retroaktif yang dianut di dalam Pasal 28I Ayat
KE S I (1) sifatnya menjadi relatif, sebab adanya pengecualian oleh Pa
sal 28J Ayat (2) UUD 1945 dilakukan sebagai konsekuesi logis
karena terjadinya pelanggaran terhadap hak lainnya yang juga b
ernilai non-derogable, yakni hak untuk hidup yang dimiliki ole
h tiap individu lainnya.

Ketentuan Pasal 28I Ayat (5) tersebut merupakan jalan kelua


r bagi Pasal 28J Ayat (2) untuk membatasi atau mengecualikan
eksistensi Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945. Ketentuan yang berisi
kan non-derogable rights ini justru merupakan ketentuan yang s
angat kontroversial, sebab pencantuman asas non-retroaktif di d
alam ketentuan ini dipandang dapat melindungi pelaku pelangg
aran berat HAM dimasa lalu.

10
M PUL A N Lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
KE S I 2 Tahun 2002 diterbitkan karena pemerintah menilai bahwa norma
-norma hukum yang ada seperti termaktub dalam Kitab Undang-U
ndang Hukum Pidana (KUHP) dan perundang-undangan lainnya s
eperti Senjata Api, hanya memuat tindak pidana (ordinary crime)
dan tidak memadai untuk tindak pidana terorisme yang merupakan
kejahatan luar biasa ( extra ordinary crime ) dan serta tergolong k
ejahatan terhadap kemanusian (crimes against humanity), dan sela
in itu merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah dalam meres
pon secara cepat dan efektif terhadap ancaman nyata yang ditujuk
an untuk menghancurkan martabat kemanusiaan, karena pemerinta
h menganggap instrument hukum yang ada saat itu tidak lagi mem
adai untuk menjangkau segala bentuk kejahatan terorisme.

11
SEKIAN
DAN
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai