NON REKROAKTIF ‘’
Dosen Pengampu : Lukman Hakim Harahap SH.,MHI
1.ADJI PRASETIA ( 0201192065 )
2.AHMAD SHOBRY BAMBAY ( 0201192067 )
3.MULYA HASBI ( 0201192070 )
4.NURI LUTHFIA ( 0201192068 )
5.WAHYUDA ( 0201192053 )
6.YOGI PRATAMA ( 0201183145 )
8
Rekroaktif Dan Non
Rekroaktif
1. Asas Retroaktif
Istilah asas retroaktif mengandung dua kata pokok, yaitu “asas” dan “retroaktif”. Secara etimologi, kata “asas” berasal dari bahasa arab asas
yang salah satu artinya adalah dasar yang diatasnya dibangun sesuatu (groundword) atau bagian pokok dan penting dari suatu sistem atau objek
(fundamental). Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa diantara arti “asas” adalah hukum dasar atau dasar (sesuatu yang
menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat). Kata “retroaktif” berasal dari bahasa latin “retroaactus” yang artinya adalah “to drive back”.
Dengan merujuk pada bentuk katanya retroaktif adalah sebuah kata sifat yang berarti “bersifat surut berlakunya”, Pengertian asas retroaktif dari
segi etimologis adalah dasar yang menjadi tumpuan pemberlakuan suatu aturan secara surut terhitung sejak tanggal diundangkannya.
2. Non-Retroaktif
Asas non Retroaktif adalah asas yang pada dasarnya mengandung prinsip bahwa seseorang tidak dapat dihukum atas hukum yang ada
sebelum perbuatan pidana itu dilakukan. Pendeknya asas non-retroaktif tidak menghendaki seseorang dihukum berdasarkan hukum yang berlaku
surut. Dalam istilah hukum asas non-retroaktif diidentikan dengan asas legalitas yang memiliki makna yang sama. Asas non-retroaktif dalam
hukum pidana merupakan asas paling mendasar yang diakui oleh semua sistem hukum didunia.
Namun dikarenakan adanya desakan rakyat dan mengepung gedung DPR semangat untuk menegakkan HAM semakin tinggi, namun pada saat itu
diwarnai berbagai pelanggaran HAM Berat. Dan pada akhirnya fraksi-fraksi di DPR RI menyetujui adanya pemberlakuan Retroaktif dengan alasan
pelanggaran HAM adalah tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana biasa. Dan ini hanya di khususkan untuk pelanggaran HAM Berat mengenai
kejahatan manusi.
Sejarah timbulnya Asas Non retroaktif Dikarenakan adanya tindakan-tindakan mengenai pengurangan Undang-Undang HAM maka, Menurut Wirjono
seorang pakar Ilmu Hukum menjelaskan, dibuatlah larangan keberlakuan undang-undang surut bertujuan untuk menegakkan kepastian hukum bagi
masyarakat, yang selayaknya ia harus tahu perbuatan apa yang merupakan tindak pidana atau bukan tindak pidana.
Pada dasarnya, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa
pun sebagaimana yang termuat dalam Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Asas ini dikenal dengan asas non-retroaktif, yaitu
asas yang melarang berlaku surut dari suatu undang-undang.
Pemberlakuan asas retroaktif merupakan suatu kebijakan yang diambil oleh Pemerintah untuk ikut memelihara
perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia memberi perlindungan, kepastiaan, keadilan
perasaan aman kepada orang perorangan ataupun masyarakat.
Tujuan pemberlakuan asas non retroaktif ialah, agar para penguasa tidak secara sewenang-wenang membuat
hukum untuk menghukum warganya.
Pemberakuan Asas Retroaktif di Indonesia dibatasi oleh beberapa teori karena sistem hukum yang dianut
Indonesia yakni civil law system yang menjadikan peraturan tertulis sebagai sumber hukum utama. Hal itu
menjadikan asas legalitas menjadi asas paling fundamental dan tidak dapat disimpangi. Namun
beberapaperistiwa besar yang terjadi di Indonesia, memaksa negeri ini untuk memberlakukan hukum secara
surut. Peristiwa-peritiwa tersebut antara lain adalah Kasus Pelanggaran HAM Berat di Tanjung Priok,
Pelanggaran HAM berat di Timor-Timur dan kasus Bom Bali I dan II. Setelah kasus-kasus tersebut ditangani
dan diselesaikan secara retroaktif, bermunculan pendapat yang kontra dengan pemberlakuan asas tersebut.
Namun beberapa ahli juga mengutarakan persetujuannya untuk diberlakukan Asas Retroaktif terhadap
beberapa kasus.
Dalam hukum pidana Indonesia, asas legalitas terdapat pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana
kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Asas ini terbagi dalam tiga hal,
yaitu Nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan undang-undang), Nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa kejahatan) dan
Nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang). pasal ini berisi 2 (dua) hal,
pertama, suatu tindak pidana harus dirumuskan atau disebutkan dalam peraturan perundang-undangan;
kedua, peraturan perundang-undangan ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana
satu konsekuensi dari ketentuan dari pasal tersebut adalah larangan memberlakukan surut suatu perundang-undangan pidana (non retroaktif).
Pemberlakuan surut diijinkan jika sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP. Larangan pemberlakuan asas retroaktif ini didasarkan
pada pemikiran:
3. 2. Pidana itu juga sebagai paksaan psikis (teori psychologische dwang dari Anselm von Feurebach). Dengan adanya ancaman pidana terhadap
orang yang melakukan tindak pidana, penguasa berusaha mempengaruhi jiwa si calon pembuat untuk tidak berbuat.