Anda di halaman 1dari 37

1 Delik Korupsi Kerugian Keuangan Negara

1.1 Delik Korupsi dalam Pasal 2 ayat (1)


Delik korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan salah satu delik dalam Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU Anti Korupsi) yang awalnya dirumuskan sebagai delik formil sehingga tidak perlu
adanya akibat yang dilarang oleh hukum. Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi melalui
putusannya mengubah delik dalam pasal tersebut menjadi delik materiil. Implikasinya, delik dalam
Pasal 2 ayat (1) tersebut mensyaratkan timbulnya akibat yang dilarang oleh hukum berupa
kerugian keuangan Negara. Agar delik tersebut terjadi, kerugian keuangan Negara harus muncul
terlebih dahulu. Oleh karena itu, hubungan kausalitas mutlak/wajib dibuktikan. Delik dalam Pasal
2 ayat (1) dirumuskan sebagai berikut:

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).

Unsur-unsur delik pada pasal di atas sebagai berikut; 1) setiap orang; 2) melawan hukum; 3)
memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi; dan 4) merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara. Tiap-tiap dari keempat unsur tersebut diuraikan secara cukup rinci
berikut ini.

Unsur setiap orang merujuk kepada subjek hukum yang melakukan suatu perbuatan yang dilarang,
di mana pembuktiannya bergantung sepenuhnya kepada pembuktian delik intinya, yaitu ‘melawan
hukum memperkaya diri sendiri…..’ Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU Anti Korupsi, setiap orang
diartikan sebagai ‘orang perseorangan atau termasuk korporasi’. Yang dimaksud korporasi
berdasarkan Pasal 1 angka 1 adalah ‘kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum’. Jadi, yang bisa melakukan delik korupsi
dalam Pasal 2 ayat (1) adalah orang perorangan ataupun korporasi.

Perluasan subjek delik korupsi meliputi juga korporasi sebenarnya sudah lazim dalam banyak
Undang-undang di luar KUHP. Hanya saja menurut penulis, memperluas ruang lingkup korporasi
termasuk juga badan usahan yang bukan badan hukum akan menimbulkan problem terutama
dalam konteks pertanggungjawaban pidana dan sanksi pidana. Hal demikian karena ada perbedaan
tanggung jawab antara badan usaha yang berbadan hukum dengan badan usaha yang tidak
berbadan hukum sebagai imbas dari pemisahaan harta kekayaan korporasi dengan harta kekayaan
pengurusnya. Perluasan makna korporasi termasuk badan usaha yang tidak berbadan hukum
memungkinkan adanya tanggung jawab pribadi pengurusnya, dan ini berimplikasi kepada
penjatuhan pidana kepada pribadi pengurus. Padahal, teori-teori pertanggungjawaban pidana
korporasi yang berkembang dalam khazanah teori hukum pidana pada sistem hukum common law
sebenarnya erat kaitannya dengan makna korporasi yang dikonsepsikan sebagai badan hukum. 1
Tidak mengherankan jika sanksi pidana terhadap korporasi adalah pidana denda. Dengan
formulasi sanksi pidana yang demikian, dalam hal korporasi terbukti melakukan suatu tindak
pidana, sanksi pidana yang dijatuhkan hakim tidak akan menyentuh atau dikenakan kepada pribadi
pengurusnya.

Pengakuan korporasi sebagai subjek delik dalam UU Anti Korupsi ternyata tidak berbanding lurus
dengan praktik penegakan hukum pidana korupsi terhadap korporasi. Sangat sedikit korporasi
yang dijerat Undang-undang tersebut meski kasus-kasus korupsi yang terungkap banyak yang
melibatkan korporasi seperti kasus E-KTP, kasus Hambalang, dan kasus impor Daging Sapi.
Kasus-kasus korupsi yang terungkap sebenarnya memperlihatkan modus operandi korupsi yang
kleptokratis, yaitu adanya perselingkuhan yang sempurna antara pengusaha (korporasi), birokrat,
dan penyelenggara Negara/politisi/menteri. 2

Meskipun setiap orang pada Pasal 2 ayat (1) meliputi orang perseorang atau korporasi, tapi makna
orang perseorang tersebut tidak meliputi pegawai negeri atau pejabat. Jika pegawai negeri atau
penyelenggara negara diajukan ke persidangan karena diduga melakukan tindak pidana korupsi,
maka Pasal 2 ayat (1) UU Anti Korupsi tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk mendakwa
pegawai negeri atau penyelengara negara tersebut. Menurut Nur Basuki Minarno, subjek delik
dalam Pasal 2 ayat (1) meliputi orang perorangan atau korporasi pada umumnya, selain pegawai
negeri atau pejabat.3

Melawan hukum adalah unsur objektif delik. Ahli hukum pidana memberikan pengertian melawan
hukum dalam makna yang beragam. Bemmelen mengartikan melawan hukum sebagai
‘bertentangan dengan ketelitian yang pantas dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau
barang, dan bertentangan dengan kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang’. 4 Hazewink el-
Suringa mendefinisikan melawan hukum sebagai ‘tanpa hak atau wewenang sendiri, bertentangan
dengan hak orang lain, dan bertentangan dengan hukum objektif’. 5 Van Hattum berpendapat
bahwa kata ‘wederrechtelijk’ haruslah dibatasi hanya pada hukum yang tertulis atau bertentangan
dengan hukum yang tertulis. Hal yang sama dikemukakan oleh Simons yang mengartikan melawan
hukum sebagai ‘unsur delik sepanjang disebutkan dengan tegas dalam peraturan perundang-
undangan’.6 Vos memformulir perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai ‘perbuatan yang
oleh masyarakat tidak diperbolehkan. 7

1
Eric Colvin, “Corporate Personality and Criminal Liability”, Criminal Law Forum, 1995, hlm 5. Andrew
Weissmann dan David Newman, “Rethinking Criminal Corporate Liability”, Indiana Law Journal, 2007, hlm 419.
Leonard Orland, “The Transformation of Corporate Criminal Law”, Brooklyn Journal of Corporate, Financial &
Commercial Law, 2006, hlm 46. Yedidia Z. Stern, “Corporate Criminal Personal Liability - Who is the Corporation?”,
Journal of Corporation Law, 1987, hlm 125
2
Muhammad Mustofa, Persekongkolan Birokrat-Korporat sebagai Pola White Collar Crime di Indonesia,
Kencana Prenada Media, Jakarta, 2020
3
Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi dalam Pengelolaan Keuangan
Daerah, Cetk. Kedua, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2009
4
Van Bemmelen, Hukum Pidana Hukum Pidana Material Bagian Umum, Binacipta, Jakarta, 1984, hlm 149-
150
5
Van Bemmelen, Hukum Pidana Hukum Pidana Material Bagian Umum, Binacipta, Jakarta, 1984, hlm 150
6
Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, hlm 336
7
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cetk Kedelapan, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm 141
Melawan hukum adakalanya dirumuskan secara tegas dan eksplisit di dalam rumusan delik dan
adakalanya tidak dirumuskan demikian. Bila perkataan ’melawan hukum’ dirumuskan dan
dicantumkan secara tegas dalam rumusan delik, hal demikian memiliki arti penting untuk
memberikan perlindungan atau jaminan tidak dipidannya orang yang berhak atau berwenang
melakukan perbuatan-perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang.8 Menurut
Schaffmeister, ditambahkannya perkataan ’melawan hukum’ sebagai salah satu unsur dalam
rumusan delik dimaksudkan untuk membatasi ruang lingkup rumusan delik yang dibuat terlalu
luas. Hanya jika suatu perilaku yang secara formal dapat dirumuskan dalam ruang lingkup
rumusan delik, naman secara umum sebenarnya bukan merupakan perbuatan pidana, maka syarat
’melawan hukum’ dijadikan satu bagian dari rumusan delik. 9 Konsekuensinya, pencantuman
’melawan hukum’ dalam rumusan delik menyebabkan jaksa penuntut umum harus membuktikan
unsur tersebut. Apabila kata ’melawan hukum’ tidak disebutkan atau dicantumkan secara tegas
dan eksplisit dalam rumusan delik, maka unsur melawan hukum tersebut tidak perlu dibuktikan.
Unsur melawan hukumnya perbuatan itu secara otomatis telah terbukti dengan telah terbuktinya
perbuatan yang dilarang. 10 Apabila kata ’melawan hukum’ tidak disebutkan dalam rumusan delik,
maka secara diam-diam sifat melawan hukum tersebut telah ada dalam suatu delik.

Melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) secara teoritis merupakan (sifat) melawan hukum khusus
karena kata ‘melawan hukum’ dirumuskan secara eksplisit dalam suatu delik. Selain itu, melawan
hukum dalam pasal tersebut merupakan delik inti (bestanddeel delict) sehingga konsekuensinya
jika unsur ini tidak terbukti, maka unsur-unsur setelahnya tidak perlu lagi dibuktikan, dan terdakwa
harus dibebaskan. Apakah melawan hukum dalam pasal tersebut juga merupakan (sifat) melawan
hukum materiil, yaitu suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan hukum apabila perbuatan
tersebut bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat?11 Bukankah Mahkamah
Konstitusi telah menyatakan bahwa penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Anti Korupsi inkonstitusional
sehingga melawan hukum dalam Undang-undang tersebut harus dipersempit maknanya sebagai
melawan hukum formil?

Putusan Mahkamah Konstitusi sebenarnya bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 yang
menegaskan bahwa kepastian yang dianut adalah kepastian hukum yang adil, dan bukan kepastian
undang-undang. Selain itu, penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Anti Korupsi yang memuat sifat
melawan hukum materiil sebenarnya merupakan salah satu asas yang penting di dalam hukum
pidana. Jika asas ini dihapus keberlakuannya di dalam perkara tindak pidana korupsi, maka akan
menimbulkan ketidakadilan. Sekalipun berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
perbuatan seseorang bukanlah perbuatan korupsi, tapi jika perbuatan tersebut bertentangan dengan
hukum tertulis, maka (perbuatan) orang tersebut tetap merupakan korupsi. Padahal, sudah ada
jurisprudensi Mahkamah Agung tahun 1966 dalam kasus Machrus Effendi yang menegaskan
dianutnya sifat melawan hukum materiil dalam fungsi negatif dalam perkara korupsi apabila
memenuhi tiga syarat kumulatif, yaitu; a) terdakwa tidak untung; b) masyarakat terlayani; dan c)

8
Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, UMM Press, Malang, 2008,
hlm 211
9
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa
Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2006, hlm 50
10
Tongat, op.cit., hlm 214
11
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1977, hlm 63
negara tidak rugi. Jadi, sekalipun perbuatan terdakwa melanggar Undang-undang, tapi jika ketiga
syarat tersebut terpenuhi, maka terdakwa harus dilepaskan.

Berdasarkan uraian di atas, melawan hukum dalam UU Anti Korupsi haruslah dimaknai sebagai
melawan hukum formil dan materiil sekaligus. Meskipun demikian, menurut penulis sifat melawan
hukum materiil harus dibatasi pemberlakuannya kepada fungsinya yang negatif untuk mencegah
kesewenang-wenangan, ketidakadilan atau ketidakseragaman dalam putusan pengadilan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Sudarto bahwa ajaran sifat melawan hukum materiil yang dianut di
Indonesia adalah ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif. 12 Pendapat
Sudarto tersebut diperkuat oleh Loebby Loqman, bahwa melawan hukum secara materiil haruslah
dipergunakan secara negatif. Ini berarti bahwa apabila terdapat suatu perbuatan nyata-nyata
merupakan hal yang melawan hukum secara formil, sedangkan di dalam masyarakat perbuatan
tersebut tidak tercela, jadi secara materiil tidak melawan hukum, maka perbuatan tersebut
seyogyanya tidak dijatuhi pidana. 13

Pendapat Sudarto dan Loebby Loqman tersebut sejalan dengan pendapat ahli hukum pidana
Belanda seperti Vos dan Hulsman yang menyatakan bahwa belum tentu kalau semua perbuatan
yang mencocoki larangan undang-undang bersifat melawan hukum. Bagi mereka ini yang
dinamakan hukum bukanlah undang-undang saja, karena di samping undang-undang, ada pula
hukum yang tidak tertulis, yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam
masyarakat, meskipun Hulsman tidak secara nyata-nyata menyatakan hal tersebut sebagai hukum
tidak tertulis sebagai salah satu ciri dari pengertian perbuatan melawan hukum materiil. 14

Unsur ’memperkara diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi’ merupakan unsur perbuatan
yang harus dilakukan secara melawan hukum. Kata ’memperkaya’ berasal dari suku kata ’kaya’,
yang berarti mempunyai harta yang banyak atau banyak harta. Oleh karena itu, memperkaya
diartikan sebagai perbuatan menjadikan bertambahnya kekayaan. Memperkaya adalah menjadikan
orang yang belum kaya jadi kaya atau orang yang sudah kaya bertambah kaya. Maksud
memperkaya diri sendiri dapat ditafsirkan suatu perbuatan, yakni pelaku bertambah kekayaannya
atau menjadi lebih kaya karena perbuatan tersebut. Modus operandi perbuatan memperkaya dapat
dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan membeli, menjual, mengambil,
memindahbukukan rekening, menandatangani kontrak serta perbuatan lainnya sehingga pelaku
jadi bertambah kekayaannya.15

Hal yang bertambah kekayaan adalah diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi. Menurut penulis,
meski yang bertambah kekayaan bersifat alternatif (diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi), tapi dalam konteks rumusan delik Pasal 2 ayat (1) ia tidak boleh dimaknai demikian.
Harus bisa dibuktikan bahwa ada pelaku langsung (pelaku delik/pleger) yang
memperoleh/bertambah kekayaan yang dilakukan secara melawan hukum yang mengakibatkan
timbulnya kerugian keuangan negara. Setelah diketahui siapa pelaku deliknya, maka suatu kasus

12
Ibid., hlm 66
13
Loebby Loqman, Beberapa Ikhwal di dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantaras
Tindak Pidana Korupsi, Datacom, Jakarta, 1991, hlm 31
14
Oemar Seno Adji, KUHAP Sekarang, Erlangga, Jakarta, 1985, hlm 236
15
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya, Alumni,
Bandung, 2007, hlm 81
bisa dikembangkan apakaha ada orang lain atau suatu korporasi yang juga bertambah kekayaannya
dari melakukan korupsi bersama dengan pelaku delik tadi. Terhadap orang lain atau suatu
korporasi tersebut kedudukanya sebagai pelaku turut serta (medepleger) Oleh karena itu, tidak
tepat jika ada orang lain yang bertambah kekayaan/harta bendanya, sementara pelaku delik sama
sekali tidak. 16 Mengapa harus demikian? Menurut penulis, terkesan aneh saja jika ada orang
korupsi untuk memperkaya orang lain atau suatu korporasi, sedangkan dirinya sendiri tidak
bertambah kekayaannya sama sekali.

Unsur kerugian keuangan negara merupakan akibat yang dilarang oleh hukum. Sebagai akibat, ia
sepenuhnya bergantung kepada perbuatan yang merupakan sebab. Menurut Schepper, sebab
adalah kelakuan yang menurut logika objektif atau berdasarkan ilmu pengatahuan pada saat kasus
terjadi, dapat disimpulkan bahwa kelakuan itulah yang mengadakan faktor perubahan secara
langsung menuju pada suatu keadaan berupa terjadinya akibat yang dilarang hukum. 17 Dalam
konteks Pasal 2 ayat (1) UU Anti Korupsi, sebab adalah perbuatan berupa memperkaya diri sendiri
atau orang laint atau suatu korporasi secara melawan hukum. Dengan demikian, harus ada
pembuktian hubungan kausalitas antara perbuatan pelaku yang memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi secara melawan hukum dengan terjadinya akibat berupa timbulnya
kerugian keuangan negara. Jika hubungan kausalitas ini tidak dapat dibuktikan/tidak terbukti,
maka pelaku/terdakwa harus dibebaskan/dilepaskan.

Selain kerugian keuangan negara, UU Anti Korupsi juga menggunakan frase ’kerugian
perekonomian negara’. Antara keduanya memiliki perbedaan yang mencolok; yang pertama
mementingkan atau bersifat kuantitatif, sedangkan yang kedua bersifat kualitatif. Dalam
penjelasan UU tersebut, keuangan negara diartikan sebagai ’seluruh kekayaan negara dalam
bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian
kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: a) berada dalam penguasaan,
pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di
daerah; (b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik
Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan
modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian
dengan Negara’. Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah ’kehidupan
perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha
masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat
maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan
rakyat’.

Menurut penulis, timbulnya akibat yang dilarang oleh hukum sebaiknya dibatasi kepada kerugian
keuangan negara, dan tidak perlu lagi diperluas kepada kerugian perekonomian negara karena
beberapa argumentasi. Pertama, kelakuan sebagai sebab bagi timbulnya akibat yang dilarang oleh
hukum dalam Pasal 2 ayat (1) bersifat kuantitatif karena berupa bertambahnya kekayaan pelaku
yang dilakukan secara melawan hukum. Apabila (perbuatan) pelaku belum bertambah
kekayaannya secara melawan hukum, maka perbuatan tersebut belum bisa disebut sebagai

16
Darwin Prinst, Pemberantas Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm 31
17
M. Abdul Kholiq, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta, 2002, hlm 121-124
kelakuan sebagai sebab. Karena sebab mensyaratkan adanya kelakuan yang bersifat kuantitatif,
maka menjadi tidak logis bila akibat yang dilarang tersebut ternyata bersifat kualitatif yang berupa
kerugian perekonomian negara. Apabila akibat yang dilarang tersebut dibatasi kepada hal-hal yang
bersifat kuantitatif berupa kerugian keuangan negara, maka hal tersebut sesuai/relevan dengan
kelakuan yang merupakan sebab yang juga bersifat kuantitatif berupa bertambahnya kekayaan
pelaku secara melawan hukum.

Kedua, pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dilihat dari sisi
objek, subjek, proses, dan tujuan. Dari sisi objek, kerugian Negara meliputi semua hak dan
kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang
fiscal, moneter dan pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik
berupa uang, maupun berupa barang yang dijadikan milik. Dari sisi subjek, keuangan Negara
meliputi seluruh objek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki Negara, dan/atau dikuasai oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan Badan Lain yang ada
kaitannya dengan keuangan Negara. Dari sisi proses, keuangan Negara mencakup seluruh
rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas mulai
dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawabannya.
Dilihat dari tujuannya, keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan hubungan hukum
yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan Negara.

Menurut Yunus Husein, terdapat tiga kemungkinan terjadinya kerugian Negara, yaitu kerugian
Negara yang terkait dengan beberapa transaksi antara lain: transaksi barang dan jasa, transaksi
yang terkati dengan utang piutang, dan transaksi yang terkait dengan biaya dan pendapatan. Tiga
kemungkinan terjadinya kerugian Negara tersebut menimbulkan beberapa kemungkinan perbuatan
atau peristiwa yang dapat merugikan keuangan Negara, antara lain: 18
1. Terdapat pengadaan barang-barang dengan harga yang tidak wajar karena jauh di atas harga
pasar, sehingga dapat merugikan keruangan Negara sebesar selisih harga pembelian dengan
harga pasar atau harga yang sewajarnya;
2. Harga pengadaan barang dan jasa wajar, tapi tidak sesuai dengan spesifikasi barang dan jasa
yang dipersyaratkan. Kalau harga barang dan jasa murah tetapi kualitas barang dan jasa
kurang baik, maka dapat dikatakan juga merugikan keuangan Negara;
3. Terdapat transaksi yang memperbesar utang Negara secara tidak wajar, sehingga dapat
dikatakan merugikan keuangan Negara Karena kewajiban Negara untuk membayar utang
semakin besar;
4. Berkurangnya piutang Negara secara tidak wajar dapat juga dikatakan merugikan keuangan
Negara;
5. Kerugian Negara juga dapat terjadi kalau aset Negara berkurang karena dijual dengan harga
yang murah atau dihibahkan kepada pihak lain atau ditukar dengan pihak swasta atau
perorangan (ruilslag);
6. Untuk merugikan keuangan Negara salah satunya dilakukan dengan memperbesar biaya
instansi atau perusahaan. Hal ini dapat terjadi baik karena pemborosan atau dengan cara lain
seperti membuat biaya fiktif. Dengan biaya yang diperbesar, keuntungan perusahaan yang
menjadi objek pajak semakin kecil; dan

18
Yunus Husein, Kerugian Negara dalam Tipikor, Koran Seputar Indonesia, 28 Mei 2008, hlm 7
7. Hasil penjualan perusahaan dilaporakan lebih kecil dari penjualan yang sebenarnya, sehingga
mengurangi penerimaan resmi perusahaan tersebut.

Ketiga, Bab I ketentuan Umum Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
secara jelas juga menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan kerugian Negara atau daerah adalah
berkurangnya uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat
perbuatan melawan hukum baik sengaja ataupun lalai. Ini berarti, kerugian negara harus nyata
terjadi dan pasti jumlahnya. Kerugian Negara, dengan kata lain, tidak bisa bersifat kualitatif.

Keempat, dalam praktik, untuk menetapkan apakah perbuatan pelaku mencocoki rumusan delik
dalam Pasal 2 ayat (1), yang pertama kali dilakukan adalah menentukan apakah telah timbul/terjadi
kerugian keuangan negara. Untuk sampai pada hal ini, yang dilakukan adalah menghitung berupa
jumlah kerugian keuangan negara, dan umumnya dilakukan oleh ahli yang memiliki spesifikasi di
dalam menghitungnya seperti akuntan atau auditor. Jadi, penentuan ada/tidaknya akibat yang
dilarang oleh hukum adalah bersifat kuantitatif. Kelima, putusan-putusan pengadilan terkait
perkara tindak pidana korupsi Pasal 2 ayat (1) tidak ada yang menggunakan parameter kerugian
perekonomian negara sebagai dasar untuk menetapkan timbulnya akibat yang dilarang oleh
hukum. Semua putusan-putusan tersebut selalu mengacu kepada kerugian keuangan negara di
dalam menetapkan adanya akibat yang dilarang tersebut.

Keenam, Badan Pemeriksa Keuangan sebagai lembaga yang diberikan kewenangan untuk
menyatakan (declare) ada atau tidaknya kerugian keuangan negara sebenarnya juga melakukan
kerja yang bersifat kuantitatif. Yang diperiksa adalah keuangan negara, dan bukan perkenomian
negara. Para auditor BPK yang bertugas menghitung dan/atau menetapkan adanya kerugian
keuangan negara merupakan para alumni akuntansi. Implikasinya, out put dari penghitungan atau
penetapan tersebut juga bersifat kuantitatif.

Persoalan lain yang hingga saat ini menjadi perdebatan yang tak berujung adalah apakah keuangan
BUMN adalah adalah keuangan negara? Jika iya, berarti kerugian pada BUMN berarti termasuk
kerugian keuangan negara. Secara normatif, penjelasan umum UU Anti Korupsi tahun 1999 telah
menegaskan bahwa konsep keuangan negara yang dianut adalah konsep yang luas termasuk juga
kekayaan negara yang berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan
Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang
menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan
perjanjian dengan Negara. Pandangan normatif inilah yang tampaknya diikuti oleh penyidik,
penuntut umum maupun hakim sehingga tidak sedikit perkara/kasus kerugian keuangan negara
pada BUMN ditarik menjadi perkara korupsi seperti kasus korupsi yang melibatkan mantan
direktur utama PT. Pertamina, Karen Agustiawan beberapa waktu yang lalu.

Dalam perspektif normatif yang lain, Pasal 1 angka 1 dan Pasal 4 Ayat (1) UU BUMN secara tegas
menjelaskan bahwa ‘BUMN merupakan seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh
negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan’.
Dalam konteks demikian, ditegaskan bahwa telah terjadi pemisahan antara kekayaan negara
dengan kekayaan BUMN itu sendiri. 19 Selain itu, karena BUMN umumnya berbentuk Perseroan
Terbatas, maka juga harus tunduk dan berlaku ketentuan yang ada dalam Undang-undang Nomor

19
Ridwan Khairandy, Hanafi Amrani, Dolli Setiawan Ritonga, Korupsi di BUMN, FH UII Press, 2018, hlm.28.
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Salah satu hal yang diatur di dalam Undang-undang
ini adalah business judgement rules (BJR) yang secara eksplisit tertuang di dalam Pasal 97 ayat
(5) bahwa ‘anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian perseroan apabila
dapat membuktikan: a) kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b) telah
melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan
maksud dan tujuan Perseroan; c) tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun
tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d) telah mengambil
tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut’. Berdasarkan pasal ini, maka
harus ada pembuktian dulu di pengadilan bahwa tindakan direksi termasuk atau tidak termasuk ke
dalam BJR.

Secara teoritis, memasukkan keuangan pada BUMN sebagai bagian dari keuangan Negara juga
menimbulkan sejumlah masalah. Pertama, penentuan ada atau tidaknya kerugian pada BUMN
ditentukan berdasarkan laporan tahunan setelah diaudit oleh auditor independen. Sementara,
penentuan ada atau tidaknya kerugian keuangan Negara dalam perkara korupsi adalah saat akibat
yang dilarang oleh hukum timbul. Apabila pada Maret 2020 BUMN rugi sebesar Rp. 500 miliar,
sedangkan pada Desember 2020 BUMN tersebut untung 200 miliar, maka tidak terjadi kerugian
pada BUMN. Kedua, ada kemungkinan terdapat perbedaan penghitungan kerugian keuangan
antara yang dilakukan oleh auditor BPK atau BPKP dengan penghitungan yang dilakukan oleh
auditor independen.

Ketiga, aktifitas bisnis BUMN pasti mengandung risiko rugi, dan tidak semua kerugian BUMN
secara otomatis menjadi kerugian keuangan Negara. Jika direksi menjalankan usaha bisninya
sesuai dengan Pasal 97 ayat (5) UU PT di atas dan kemudian mengalami kerugian, maka hal itu
tentu bukan merupakan kerugian keuangan Negara, meski dalam banyak kasus yang terungkap hal
itu tetap dianggap sebagai perkara korupsi. Hal ini setidaknya terbukti pada perkara yang
melibatkan mantan direktur utama PT. Pertaminan, Karen Agustiawan. PN dan PT memutus Karen
bersalah melakukan tindak pidana korupsi, meski kasus ini murni termasuk ke dalam business
judgment rule. Untungnya, majelis hakim pada tingkat kasasi melepaskan Karen dengan alasan
bahwa tindakan yang diambil merupakan area BJR dan kerugian dialami oleh cucu PT. Pertamina.
Keempat, jika keuangan pada BUMN merupakan bagian dari keuangan Negara, maka apabila
BUMN tersebut dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan, bukankah Negara juga harus
dinyatakan pailit karena keuangan BUMN merupakan keuangan Negara.

1.2 Delik Korupsi dalam Pasal 3


Substansi delik dalam Pasal 3 UU Anti Korupsi memiliki persamaan dengan delik dalam Pasal 2
ayat (1) di atas. Kedua delik tersebut, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, sama-sama
dirumuskan/diubah sebagai delik materiil, yaitu delik yang mensyaratkan timbulnya akibat yang
dilarang oleh hukum berupa kerugian keuangan Negara. Delik dalam Pasal 3 dirumuskan sebagai
berikut:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).
Berdasarkan rumusan di atas, meski subjek delik dalam pasal ini adalah setiap orang, tapi
pemahaman terhadapnya harus dikaitkan dengan delik intinya, yaitu menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Karena
hanya pegawai negeri atau penyelenggara yang diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan
hukum publik, maka setiap orang harus dibatasi artinya kepada pegawai negeri atau penyelenggara
Negara. Dengan demikian, delik dalam Pasal 3 hanya bisa dilakukan oleh pegawai negeri atau
penyelenggara Negara. Selain pegawai negeri atau penyelenggara Negara hanya dapat melakukan
delik dalam pasal tersebut jika kedudukannya sebagai pelaku turut serta (medepleger) yang
memang tidak diinsyaratkan untuk secara tuntus memenuhi semua unsur delik atau perbuatan
pelaksanaan delik tidak seluruhnya harus diwujudkan oleh pelaku turut serta.20 Jika kedudukannya
sebagai pelaku turut serta (medepleger), maka tidak diharuskan memiliki eigenshap (perihal, sifat,
kualitas) yang sama dengan pelaku delik (pleger).21

Pengertian pegawai negeri diatur di dalam Pasal 1 ayat (2) yang meliputi: a) pegawai negeri
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian (UU No. 43 Tahun 1999); b)
pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Pasal 92
KUHP); c) orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah; d) orang yang
menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau
daerah; dan e) orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan
modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat. Menurut penulis, ruang lingkup pengertian
pegawai negeri yang dianut UU Anti Korupsi terlalu luas dan akan menimbulkan ketidakadilan
dalam praktik penegakan hukum. Seorang guru honorer yang menerima upah dari pemerintah
(keuangan) daerah tetap dikategorikan sebagai pegawai negeri meski status mereka sebenarnya
bukan pegawai negeri. Seorang pegawai PDAM yang mendapatkan modal dari keuangan daerah
juga tetap dikategorikan sebagai pegawai negeri meski status orang tersebut hanya sebagai
pegawai biasa/honorer (bukan pegawai negeri). Artinya, jika korupsi, mereka dinyatakan sebagai
bagian dari pegawai negeri, tapi jika tidak, status mereka dianggap sebagai bukan pegawai negeri.
UU Anti Korupsi menerapkan standar ganda khusus terhadap mereka saat menggunakan atau tidak
menggunakan modal atau fasilitas dari negara. Selain itu, Undang-undang tersebut juga
mengkategorikan orang yang menerima upah dari suatu korporasi yang mempergunakan modal
atau fasilitas dari masyarakat sebagai pegawai negeri. Tentu, poin yang terakhir ini sudah
kebablasan karena menjadi tidak jelas lagi mana modal atau fasilitas dari pemerintah/pemerintah
daerah dan mana modal atau fasilitas yang murni dari masyarakat. Padahal, Undang-undang
tersebut menggunakan term keuangan negara yang sama sekali tidak terkait dengan modal atau
fasilitas dari masyarakat.

Pejabat atau penyelenggaran Negara adalah pejabat Negara pada lembaga tertinggi Negara, pejabat
Negara pada lembaga tinggi Negara, menteri, gubernur, hakim, pejabat Negara lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan pejabat lain yang memiliki fungsi
strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. 22 Termasuk ke dalam arti penyelenggara negara adalah direktur perusahaan

20
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Cetk. Keempat, Sinar Grafika, Jakarta, 2017
21
Roeslan Saleh, Delik Penyertaan dalam Hukum Pidana, UIR Press, 1983
22
Pasal 2 Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
pada Badan Usaha Milik Negara seperti PT. Pertaminan, Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia,
PT. Kereta Api, dan Garuda Indonesia.

Unsur dengan ‘tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi’ adalah motivasi
dari perbuatan ‘menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan pelaku/terdakwa. Jadi, unsur ini adalah unsur perbuatan yang menjadi
motivasi dari penyalahgunaan kewenangan. Memperoleh suatu keuntungan atau menguntungkan
artinya memperoleh atau menambah kekayaan dari yang sudah ada. 23 Menurut Nur Basuki
Minarno, perumusan ‘memperkaya diri sendiri….’ pada Pasal 2 ayat (1) UU Anti Korupsi dengan
‘tujuan menguntungkan…..’ pada Pasal 3 mempunyai pengertian yang sama (identik) yakni kedua
unsur delik tersebut dirumuskan secara materiel. 24 Bertambahnya keuntungan atau kekayaan harus
benar-benar terjadi atau secara materiel kekayaan dari pejabat atau pegawai negeri, orang lain, atau
suatu korporasi itu menjadi bertambah dengan adanya penyalahgunaan wewenang. Manakala
penyalahgunaan wewenang tidak terbukti, maka dengan sendirinya unsur ‘dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri….’ tidak perlu dibuktikan. Berdasarkan pendapat ini, pandangan
Adami Chazawi bahwa ‘perolehan atau penambahan kekayaan tidak harus terwujud dari perbuatan
penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan karena perolehan atau penambahan kekayaan ini merupakan orientasi dari kehendak
atau maksud saja’, 25 dengan sendirinya ditolak.

Unsur ‘menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan’ adalah unsur objektif dan sekaligus kelakuan yang merupakan sebab bagi
timbulnya akibat yang dilarang oleh hukum berupa kerugian keuangan Negara. Penyalahgunaan
wewenang dalam Pasal 3 merupakan delik inti (bestanddeel delict). Jika unsur ini ini tidak terbukti,
maka terhadap penyelenggara negara atau pegawai negeri yang diduga melakukan tindak pidana
korupsi tidak dapat lagi dikategorikan sebagai menyalahgunakan wewenang.

Penyalahgunaan kewenangan merupakan istilah yang lazim dikenal di dalam kajian atau diskursus
hukum administrasi negara. Hukum pidana tidak familiar dengan istilah ini. Bahkan, sejak
Peraturan Penguasa Militer Tahun 1957 hingga undang-undang No. 20 tahun 2001, konsep
menyalahguhakan kewenangan tidak pernah diberikan arti yang memadai. Oleh karena itu, teori
yang digunakan untuk memecahkan masalah ini adalah dengan menggunakan teori otonomi dari
hukum pidana materiel (de autonomie van het materiele straftecht) oleh H. A. Demeersemen.
Menurtu teori ini, apakah ada harmoni dan disharmoni antara pengertian yang sama antara hukum
pidana, khususnya dengan hukum perdata dan hukum tata usaha Negara (administrasi Negara),
sebagai suatu cabang hukum lainnya.26 Ternyata kesimpulannya, bahwa mengenai perkataan yang
sama, hukum pidana mempunyai otonomi untuk memberikan pengertian yang berbeda dengan
pengertian yang terdapat dalam cabang ilmu hukum lainnya, akan tetapi jika hukum pidana tidak
menentukan lain, maka dipergunakan pengertian yang terdapat dalam cabang hukum lainnya.
Dalam konteks ini, apabila pengertian ‘menyalahgunakan kewenangan’ tidak ditemukan

23
P.A.F Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan Jabatan dan Kejahatan-kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai
Tindak Pidana Korupsi, Pionir Jaya, Bandung, 1991, hlm 276
24
Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan……op. cit., hlm 32
25
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Cetk. Kedua, Bayumedia
Publishing, Malang, 2005, hlm 55
26
Indriyanto Seno Adji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, CV. Diadit Media, Jakarta,
2006, hlm 426
eksplisitasnya dalam hukum pidana, maka hukum pidana dapat mempergunakan pengertian dan
kata yang sama yang terdapat atau berasal dari cabang hukum lainnya. 27 Oleh karena hukum
pidana tidak memberikan arti tentang penyalahgunaan wewenang, maka pengertian tersebut
mengacu pada pengertian penyalahgunaan wewenang dalam ilmu hukum administrasi negara.

Penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi negara terjadi dalam tiga bentuk, yaitu:28
1. Penyalahgunaan wewenang untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan
kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
2. Penyalahgunaan wewenang dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan
untuk kepentingan umum, tapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan
oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lain;
3. Penyalahgunaan wewenang dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya
dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar
terlaksana.

Menurut penulis, bentuk ketiga dari menyalahgunakan kewenangan tidak secara otomatis berakhir
sebagai tindak pidana korupsi. Menyalahgunakan prosedur hanya merupakan tindak pidana
korupsi jika hal itu merupakan motivasi pelaku/terdakwa untuk memperoleh keuntungan. Artinya,
agar pelaku memperoleh keuntungan, ia dengan sengaja menyalahgunakan prosedur sehingga
mengakibatkan kerugian keuangan Negara. Tapi jika tidak, maka hal itu murni sebagai
pelanggaran administrasi sehingga tunduk pada Undang-undang ASN tahun 2014.
Menyalahgunakan kewenangan juga harus dilakukan secara sengaja, berbeda dengan melawan
hukum yang dapat dilakukan baik secara sengaja atau karena kealpaan. Parameter penyalahgunaan
wewenang adalah melanggar asas legalitas, asas spesialitas, dan asas-asas umum pemerintahan yang
baik terutama asas rasionalitas dan asas proporsionalitas.29
Makna kewenangan, kesempatan, atau sarana tersebut tidak boleh dipisahkan satu dengan yang
lain. Dalam arti, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan” menandakan bahwa antara kewenangan, kesempatan atau sarana
merupakan satu kesatuan yang utuh yang dimiliki oleh pejabat, sebab dengan memberikan
jabatan/kedudukan kepada seorang pejabat administrasi, maka wewenang, kesempatan atau saran
dengan sendirinya mengikuti. Pemberian jabatan/kedudukan akan melahirkan wewenang.
Wewenang, kesempatan atau saran merupakan asesori dari suatu jabatan atau kedudukan. 30

Dalam praktik, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana diartikan secara alternatif.
Dari penelitian yang penulis lakukan dalam memaknai unsur tersebut, penuntut umum dan hakim
umumnya menggunakan buku R. Wiyono berjudul Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa unsur tersebut bersifat alternatif dengan tiga
kemungkinan, yaitu:31

27
Ibid., hlm 427
28
Indriyanto Seno Adji, Korupsi Kebijakan….op.cit., hlm 427-428
29
Nur Basuki Minarno, op. cit., hlm. 177-192. Ridwan, Diskresi dan Tanggung Jawab Pejabat dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya,
2013, hlm 197-203
30
Nur Basuki Minarno, op.cit., hlm 45
31
Mahrus Ali, Penerapan Konsep Penyalahgunaan Wewenang dalam Putusan-putusan Perkara Tindak Pidana Korupsi,
Hasil Penelitian, Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, UII, Yogyakarta, 2014, hlm 47-48
a. Dengan menyalahgunakan kewenangan yang ada pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak
pidana korupsi;
b. Dengan menyalahgunakan kesempatan yang ada pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak
pidana korupsi;
c. Dengan menyalahgunakan sarana yang ada pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana
korupsi.

Terkait pemaknaan hakim tersebut, ada beberapa catatan penulis. Pertama, tidak tepat memisahkan
antara kewenangan, kesempatan, dan sarana sebagai suatu yang terpisah karena adanya frase ‘...yang ada
padanya karena jabatan’. Makna jabatan di sini harus dibatasi maknanya sebagai jabatan publik, sehingga
untuk menilai apakah tindakan seseorang terbukti menyalahgunakan kewenangan atau tidak adalah
melalui bidang hukum administrasi negara. Dalam hukum administrasi negara, kewenangan,
kesempatan, dan sarana adalah satu kesatuan yang melekat pada pejabat. Pejabat yang diberikan
kewenangan secara otomatis melekat pada jabatan itu kesempatan dan sarana karena hanya dengan
waktu dan sarana itulah kewenangan tersebut bisa dijalankan. Konsekuensinya, subjek delik yang dapat
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, dan sarana yang ada padanya karena jabatan hanyalah
pejabat (penyelenggara negara) atau pegawai negeri sipil. Tidak tepat pihak swasta atau korporasi
dinyatakan terbukti menyalahgunakan kewenangan... karena ia sendiri tidak memiliki kewenangan
karena bukan pejabat, kecuali kedudukannya sebagai pelaku turut serta.

Kedua, pemisahaan antara kewenangan, kesempatan, dan saran hanya tepat dipisahkan makna dan
unsurnya satu satu sama lain jika diikuti dengan frase ‘...yang ada padanya karena kedudukan’.
Kedudukan di sini tidak harus kedudukan dalam jabatan publik. Pihak swasta atau korporasi dapat
memiliki kedudukan dalam suatu organisasi swasta. Konsekuensinya, swasta atau korporasi dapat dijerat
dengan menggunakan Pasal 3 jika terbukti menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, dan sarana yang
ada padanya karena kedudukan, bukan karena jabatan.

Kedua hal tersebut hemat penulis merupakan jalan di antara dua kubu yang memiliki pemaknaan yang
berbeda tentang unsur menyalahgunakan kewenangan....dalam Pasal 3; antara yang membatasi pasal
tersebut hanya dapat dikenakan kepada pejabat atau pegawai negeri sipil karena adanya ‘frase
kewenangan’ dan yang memperluas pasal tersebut untuk dikenakan kepada pihak swasta atau korporasi
karena adanya frase ‘yang ada padanya karena kedudukan’. Ke depan, tidak boleh lagi ada terdakwa
dinyatakan terbukti menyalahgunakan keweangan hanya karena melanggar Surat Edaran Menteri atau
klausula penyerahan mobil dinas.32 Juga, tidak boleh lagi memisahkan antara frase ‘kewenangan’,
‘kesempatan’, atau ‘sarana’ jika diikuti dengan frase ‘yang ada padanya karena jabatan’.

Terakhir, perbuatan menyalahgunakan kewenangan harus dilakukan secara aktif karena Pasal 3
UU Tipikor merupakan delik komisi (omission act), yaitu delik yang hanya terjadi jika terdapat
seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang dilarang berupa menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Delik ini ditandai
dengan adanya gerakan tubuh (bodily movement). Delik komisi berbeda dengan delik omisi. Delik
yang terakhir ini diartikan sebagai pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak berbuat sesuatu yang
diperintahkan. Seseorang pada dasarnya diwajibkan untuk melakukan suatu perbuatan. Oleh
karena itu, seseorang hanya memiliki kewajiban untuk berbuat sesuatu apabila dibebani kewajiban

32
Ibid
hukum untuk berbuat (one is only under a duty to act when one is under a legal obligation).33
Suatu delik hanya disebut sebagai delik omisi jika secara eksplisit (expressive verbis) dirumuskan
secara tegas dalam suatu Undang-undang seperti Pasal 7 ayat (1) huruf b UU Anti Korupsi.

Unsur merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara merupakan akibat dari kelakuan
yang merupakan sebab berupa menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan. Ini menunjukkan bahwa delik dalam Pasal 3 merupakan
delik materiil. Sebagai delik materiil, sifat pembuktiannya adalah post factum, dalam arti harus
timbul kerugian keuangan terlebih dulu untuk menetapkan ada tidaknya ‘penyalahgunaan
kewenangan, kesempatan atau sarana….’.

1.3 Pembuktian Hubungan Kausalitas


Sekali lagi, delik dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Anti Korupsi adalah delik materiil, yaitu
delik yang perumusannya menitikberatkan kepada akibat yang dilarang. Ia adalah delik yang
mensyaratkan timbulnya akibat yang dilarang untuk selesainya suatu perbuatan. Delik tersebut
baru dianggap selesai apabila akibat yang dilarang dalam perbuatan pidana itu timbul. Oleh karena
itu, wajib/mutlak pembuktian hubungan kausalitas. Dalam konteks Pasal 2 ayat (1), harus
dibuktikan bahwa perbuatan pelaku yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi secara melawan hukum menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum berupa
timbulnya kerugian keuangan Negara, sedangkan dalam Pasal 3 juga harus dibuktikan bahwa
perbuatan pelaku yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dimotivasi untuk memperoleh keuntungan menimbulkan
kerugian keuangan Negara. Jika hal itu tidak bisa dibuktikan, maka delik dalam kedua pasal
tersebut belum terjadi.

Salah satu kerumitannya adalah bahwa banyaknya rangkaian perbuatan yang bisa menimbulkan
akibat yang dilarang. Oleh karena itu, penuntut umum harus mampu membuktian bahwa perbuatan
tertentu itulah yang memang merupakan sebab bagi timbulnya akibat yang dilarang oleh hukum.
Dengan kata lain, harus ditemukan/ditentukan terlebih dahulu perbuatan mana yang harus
dianggap sebagai penyebab dari timbulnya akibat yang dilarang hukum. Setelah diketahui bahwa
perbuatan tertentulah yang merupakan sebab bagi timbulnya akibat, maka hal demikian berguna
untuk menentukan siapakah yang harus bertanggungjawab atas sesuatu hal yang ternyata diketahui
sebagai sebab atas timbulnya akibat yang dilarang oleh hukum. Dengan demikian, hubungan
kausalitas harus dibuktikan.

Ahmad Sofian dengan mengutip pendapat Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa ada dua sisi
ajaran kausalitas, yaitu ajaran kausalitas yang subjektif dan ajaran kausalitas yang objektif. Hal
yang pertama adalah mencari hubungan kausal antara orang yang melakukan perbuatan dengan
perbuatannya. Ajaran yang pertama ini biasanya masuk dalam teori kesalahan atau teori untuk
menentukan sikap batin jahat. Hal yang kedua adalah mencari hubungan kausal antara perbuatan
dan akibat dari perbuatan itu. Ajaran yang kedua ini digunakan untuk menemukan perbuatan
melawan hukum yang menimbulkan akibat yang dilarang.34 Delik-delik yang memerlukan ajaran
kausalitas ini berupa delik materiil, delik-delik omisi yang menimbulkan akibat, dan delik yang

33
C.M.V. Clarkson, Understanding Criminal Law, Second Edition, Sweet & Maxwell Ltd. London, 1998, hlm
46
34
Ahmad Sofian, Ajaran Kausalitas Hukum Pidana, Prenada Media, Jakarta, 2018, hlm. 140-141
dikualifikasi oleh akibatnya. Teori-teori mengenai ajaran kausalitas yang berkembang dalam
hukum pidana meliputi teori condition sine qua non, ajaran menggeneralisir baik dalam bentuk
adekuat subjektif maupun adekuat objektif, ajaran mengindividualisir, dan teori relevansi. 35 Tidak
ada satu dari teori-teori tersebut yang dapat digunakan untuk semua perkara pidana dalam konteks
menemukan sebab bagi timbulnya akibat dalam kasus-kasus yang muncul karena penyebab bisa
sederhana, tunggal atau bahkan banyak dan kompleks.

Meski demikian, harus ada kehatian-hatian dan kecermatan berbasis asas/doktrin/teori di dalam
menentukan suatu kelakuan/perbuatan sebagai sebab bagi timbulnya akibat yang dilarang oleh
hukum berupa kerugian keuangan Negara. Kesalahan di dalam menentukan hal ini akan berakibat
pada pelanggaran terhadap hak dan kebebasan terdakwa, dan ini terlihat dalam perkara korupsi
yang melibatkan mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam. Baik dalam putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat maupun Pengadilan Tinggi DKI, Jakarta Nur Alam dinyatakan terbukti
melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan pertama alternatif kedua
melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP dan dakwaan kedua melanggar Pasal 12B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal
64 KUHP.

Sekalipun sama-sama menyatakan Nur Alam terbukti melakukan dua delik tersebut, kedua
pengadilan tersebut berbeda dalam hal lama pidana penjara yang dijatuhkan. Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat menjatuhkan pidana penjara kepada Nur Alam dengan pidana penjara selama 12
tahun. Lamanya pidana penjara ini diperberat oleh Pengadilan Tinggi DKI, Jakarta menjadi 15
tahun penjara dengan pertimbangan sebagai berikut:

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta persidangan yang didapat dari keterangan ahli Dr.
Ir. Basuki Wasis, M.Si, pengajar pada Fakultas Kehutanan Institute Pertanian Bogor (IPB)
terbukti tindakan terdakwa yang memberikan persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP)
Eksplorasi yang kemudian menjadi Operasi Produksi kepada PT. Anugrah Harisma
Barakah (PT. AHB) tanpa prosedur yang semestinya telah mengakibatkan terjadinya
kerusakan lingkungan secara masif di pulau Kabaena, belum lagi bila dihitung biaya
pemulihan akibat kerusakan lingkungan hidup tersebut telah mengakibatkan kerugian yang
sangat besar.36

Menurut penulis, pertimbangan tersebut keliru dan menyesatkan. Majelis hakim menyamakan
antara perbuatan terdakwa yang memberikan persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP)
Eksplorasi yang kemudian menjadi Operasi Produksi kepada PT. Anugrah Harisma Barakah (PT.
AHB) tanpa prosedur yang semestinya sebagai perbuatan yang hanya sekadar sebagai syarat
dengan perbuatan PT. AHB yang melakukan kegiatan eksplorasi dan/atau operasi produksi yang
sudah merupakan sebab bagi timbulnya yang dilarang oleh hukum berupa timbulnya kerusakan
lingkungan. Tindakan memberikan izin tersebut tidak secara otomatis mengakibatkan kerusakan
lingkungan. Kerusakan lingkungan baru timbul karena perbuatan seseorang atau korporasi yang
melanggar kriteria baku kerusakan lingkungan baik berupa kerusakan ekosistem maupun
kerusakan akibat perubahan iklim seperti sengaja membakar lahan, merusak mangrove, atau

35
Ibid., hlm. 105-118
36
Putusan Nomor: 16/Pid.Sus-TPK/2018/PT.DKI, hlm. 148
merusak padang lamun (Pasal 21 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dalam ajaran kausalitas, penyamaan antara perbuatan yang hanya sekadar sebagai syarat dengan
perbuatan yang sudah menjadi sebab bagi timbulnya akibat mengacu kepada teori conditio sino
qua non yang dikemukakan oleh von Buri. Secara singkat, teori tersebut memandang bahwa suatu
akibat tidak akan mungkin bisa terjadi apabila tidak ada suatu rangkaian hal yang merupakan syarat
bagi timbulnya akibat itu sendiri. Oleh karena itu, tiap syarat adalah sebab, dan semua syarat itu
memiliki nilai yang sama karena apabila syarat itu tidak ada, maka akibatnya akan lain pula. 37
Kelemahan mendasar teori tersebut adalah karena memperluas pertanggungjawaban pidana
kepada orang-orang yang sebenarnya tidak patuh dimintai pertanggungjawaban pidana karena
orang itu sebelumnya tidak melakukan perbuatan dilarang. 38 Akibatnya, ada kemungkinan
terjadinya pemidanaan (penjatuhan pidana) kepada orang-orang yang seharusnya tidak boleh
dipidana baik berdasarkan rasa keadilan maupun berdasarkan konsep hukum pidana.

Dalam konteks perkara a quo, pertimbangan hukum hakim tersebut keliru karena tidak mampu
membedakan antara pemberian persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi yang
kemudian menjadi Operasi Produksi oleh terdakwa kepada PT. Anugrah Harisma Barakah (PT.
AHB) yang menurut majelis hakim tanpa prosedur yang semestinya dengan perbuatan PT. AHB
yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan. Jika benar dan dapat dibuktikan, semestinya
perbuatan PT. AHB yang melakukan kegiatan eksplorasi ataupun operasi produksi pertambangan
sekalipun memilik IUP yang merupakan penyebab bagi timbulnya kerugikan lingkungan
sebagaimana pendapat ahli Dr. Ir. Basuki Wasis. Tindakan PT. AHB tersebut melanggar Pasal 98
ayat (1) UU PPLH39 atau setidak-tidaknya melanggar Pasal 99 ayat (1) UU PPLH.40

1.4 Kerugian Keuangan Negara, bukan Kerugian Negara


Terminologi yang digunakan UU Anti Korupsi adalah kerugian keuangan Negara, dan bukan
kerugian Negara. Kerugian keuangan Negara memiliki arti dan cakupan yang lebih sempit
daripada kerugian Negara karena terbatas kepada uang, sedangkan kerugian Negara bisa termasuk
apapun sepanjang hal itu kepunyaan Negara, termasuk kerusakan lingkungan/hutan Negara.
Terminologi yang digunakan dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan
Kedua Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi adalah kerugian Negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 11.

Perbedaan terminologi yang digunakan akan menimbulkan masalah dalam praktik penegakan
hukum perkara tindak pidana korupsi. Dalam perkara korupsi dengan terpidana Nur Alam, mantan
37
Sudarto, Hukum Pidana Jilid I A-B, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1975;[p, hlm. 55
38
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 218-219
39
Pasal 98 (1) UU PPLH berbunyi, ‘Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang
mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah)’.
40
Pasal 99 (1) UU PPLH berbunyi, ‘Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku
mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)’.
Gubernur Sulawesi Tenggara, KPK memperluas cakupan kerugian keuangan Negara termasuk
kerusakan lingkungan yang notabene merupakan kerugian Negara. KPK memasukkan kerugian
kerusakan lingkungan yang berupa kerugian ekologis, kerugian ekonomis, maupun pemulihan
ekologis sebagai bagian dari makna kerugian keuangan negara. Untungnya, pertimbangan hukum
hakim tingkat pertama dan tingkat kasasi menolak argumentasi Penuntum Umum terkait kerugian
kerusakan lingkungan.41 Antara kerusakan lingkungan dengan kerugian keuangan Negara
memiliki area hukum masing-masing. Setiap pelanggaran yang mengakibatkan kerusakan
lingkungan tunduk dan diproses dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sedangkan setiap perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum atau perbuatan
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dimotivasi untuk memperoleh keuntungan sehingga menimbulkan akibat berupa
kerugian keuangan Negara tundur dan diproses dengan UU Anti Korupsi.

1.5 Sumber dan Metode Menghitung Kerugian Keuangan Negara


Arti kerugian keuangan negara dapat dilihat dari berbagai undang-undang seperti Kitab Undang-
undang Hukum Perdata, Undang-undang Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Putusan Mahkamah Konsitutis Nomor 003/PUU-
IV/2-2006. Pasal 1243 sampai dengan Pasal 1252 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
merupakan landasan normatif mengenai ada tidaknya suatu kerugian. Pasal 1243 dirumuskan
sebagai berikut:

Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah
dimulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya,
tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuat dalam tenggang
waktu yang telah dilampauinya.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, ganti kerugian adalah ganti kerugian yang timbul karena
debitur melakukan wanprestasi. Unsur-unsur ganti kerugian berdasarkan Pasal 1246 terdiri atas
tiga unsur, yaitu:
1. Biaya, yaitu segala pengeluaran atau ongkos-ongkos yang nyata-nyata telah dikeluarkan;
2. Rugi, yaitu kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan
oleh kelalain debitur;
3. Bunga, yaitu keuntungan yang seharusnya diperoleh atau diharapkan oleh kreditur apabila
debitur tidak lalai. 42

Mengenai biaya yang boleh dituntut akan penggantiannya diatur dalam Pasal 1247 bahwa ‘biaya,
rugi dan bunga yang oleh si berpiutang boleh dituntut akan penggantiannya, terdirilah pada
umumnya atas rugi yang telah dideritanya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya,
dengan tak mengurangi pengecualian-pengecualian serta perubahan-perubahan yang akan disebut
di bawah ini’. Berdasarkan rumusan pasal ini, ada dua jenis biaya yang dapat dimintakan oleh
kreditur kepada debitur, yaitu biaya aktual meliputi biaya dan rugi, dan biaya potensial meliputi
keuntungan yang seharusnya diperoleh kreditur seandainya debitur tidak lalai.

41
Putusan PN.Jkt. Pst, hlm. 769. Putusan No. 2933 K/Pid.Sus/2018, hlm. 103
42
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1999, hlm 342; J. Satrio,
Hukum Perikatan Perikatan pada Umumny, Cetk. Pertama, Alumni, Bandung, 1993, hlm 176-233
Arti kerugian keuangan negara dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara diatur dalam Pasal 1 angka 22, bahwa ‘kerugian Negara/Daerah adalah
kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat
perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai’. Rumusan arti kerugian keuangan negara
ini menyangkut tiga hal, yaitu; 1) kekurangan uang, surat berharga dan barang; 2) jumlahnya nyata
dan pasti; dan 3) sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja ataupun lalai. Mengukur,
dan menentukan ketiganya, terutama mengenai nyata dan pasti jumlahnya tidaklah sulit, misalnya
dalam hal kekurangan uang, surat berharga barang. Ukurannya bersifat objektif atau hampir tidak
ada unsur penafsiran yang subjektif.

Dalam praktik, rumusan makna kerugian keuangan negara dalam Undang-undang Perbendaharaan
Negara tersebut oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) ditafsirkan secara berbeda. Berdasarkan petunjuk BKPK, kerugian
negara tidak hanya dimaknai kerugian negara yang bersifat riil atau benar-benar terjadi, tapi juga
bersifat potensial atau belum terjadi seperti adanya pendapatan negara yang akan diterima. 43 BPK
menafsirkan keuangan negara ke dalam dua hal, yakni makna kerugian negara dan besarnya
jumlahnya kerugian negara. Mengenai kerugian negara, BPK menyatakan sebagai berkurangnya
kekayaan negara yang disebabkan oleh sesuatu tindakan melanggar hukum/kelalaian seseorang
dan/atau disebabkan oleh suatu keadaan di luar dugaan dan di luar kemampuan manusia (force
majeure). Sedangkan mengenai besarnya jumlah kerugian negara, BPK menyatakan bahwa dalam
masalah kerugian negara pertama-tama perlu diteliti dan dikumpulkan bahan bukti untuk
menetapkan besarnya kerugian yang diderita oleh negara. Dalam penelitian ini perlu diperhatikan
bahwa tidak diperkenankan melakukan tuntutan ganti rugi untuk jumlah yang lebih besar daripada
kerugian yang sesungguhnya diderita. Karena itu, pada dasarnya besarnya kerugian negara tidak
boleh ditetapkan dengan kira-kira atau ditaksir. 44

Petunjuk BPK tersebut dalam praktik akan mengalami hambatan atau kendala seandainya Jaksa
Penuntut Umum tidak mampu menghitung besarnya jumlah kerugian negara secara nyata, pasti
dan persis jumlahnya dengan jumlah kerugian negara yang nyata-nyata ada pada pelaku perkara
tindak pidana korupsi. Misalnya, ternyata dalam suatu persidangan perkara korupsi, Jaksa
Penuntut Umum tidak mampu membuktikan besarnya jumlah kerugian negara akibat perbuatan
melawan hukum pelaku atau Jaksa Penuntut Umum malah menuntut penggantian uang pengganti
yang jumlahnya di bawah jumlah yang sebenarnya dikorupsi oleh pelaku. Apakah pelaku perkara
tindak pidana korupsi akan menjadi bebas? Karena adanya hambata atau kendala dalam praktik
penegakan hukum terkait dengan penentuan besarnya jumlah kerugian negara, maka Mahkamah
Konstitusi memutuskan bahwa kerugian keuangan negara harus dibuktikan dan harus dapat
dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau estimasi.

Pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut terkait permohonan pemohon Dawud Djatmiko yang
meminta agar materi muatan dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, penjelasan Pasal 3, Pasal 15 dan

43
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, PSP: Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Khusus atau
Kasus Penyimpangan yang Berindikasi Merugikan Keuangan/Kekayaan Negara dan/atau Perekonomian Negara,
Juni, 1996, hlm 3
44
Badan Pemeriksa Keuangan RI, Petunjuk Pelaksanaan Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi,
Sekretariat Jenderal BPK RI, Jakarta, 1983, hlm 34
penjelasan Pasal 15 UU PTKP dihapus. Secara lebih rinci, Mahkamah Konstitusi menafsirkan
bahwa adanya penjelasan yang menyatakan bahwa kata ‘dapat’ sebelum frase ‘merugiakan
keuangan negara atau perekonomian negara’, kemudian mengkualifikannya sebagai delik formil,
sehingga adanya kerugian negara atau perekonomian negara tidak merupakan akibat yang harus
nyata terjadi. Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian ditafsirkan bahwa unsur kerugian
keuangan negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung. Persoalan kata ‘dapat’ dalam Pasal 2
ayat (1) UU PTPK, lebih merupakan persoalan pelaksanaan dalam praktik oleh aparat penegak
hukum, dan bukan menyangkut konstitusionalitas norma. 45

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa besarnya jumlah kerugian negara tidak harus sama
persis dengan besarnya jumlah kerugian negara yang diperoleh pelaku perkara tindak pidana
korupsi. Oleh karena itu, rumusan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Anti Korupsi sepanjang
mengenai frase ‘dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara’ harus ditafsirkan
dan dimaknai sebagaimana pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut, dan tidak perlu mengikuti
petunjuk BPK tentang makna kerugian negara dan besarnya jumlah kerugian negara. Artinya,
adanya kerugian negara tidak merupakan akibat yang harus nyata terjadi, karena rumusan kedua
pasal tersebut dirumuskan sebagai delik formil. Dengan kata lain, Jaksa Penutut Umum tidak
memilik kewajiban untuk membuktikan adanya kerugian negara, sekalipun dalam praktik hampir
bisa dipastikan bahwa Jaksa Penuntut Umum akan menyebutkan besarnya jumlah kerugian negara
pada semua perkara tindak pidana korupsi terkait Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 baik dalam dakwaan
maupun dalam tuntutan. Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi mengubah delik pada
kedua pasal tersebut menjadi delik materiil sehingga jaksa penuntut umum wajib membuktikan
adanya kerugian keuangan Negara. Berdasarkan putusan ini, kerugian keuangan Negara tidak
boleh lagi hanya bersifat potensiil, melainkan harus nyata.

Sumber kerugian keuangan negara dalam buku ini mengancu kepada pohon kerugian keuangan
negara (fraud tree) yang diperkenalkan The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) di
Amerika Serikat dalam tulisan Theodorus M. Tuanakotta mengenai menghitung kerugian
keuangan negara dalam tindak pidana korupsi. Pohon kerugian keuangan negara memiliki empat
cabang, dalam hal ini adalah akun. Tiap-tiap akun mempunyai cabang yang menunjukkan
hubungan antara perbuatan melawan hukum dengan akun-akun tersebut. Keempat akun tersebut
adalah penerimaan (receipt), pengeluaran (expenditure), aset (asset), dan kewajiban (liability), di
mana tiap-tiap akun itu memiliki beberapa sub akun, yang diurai secara lebih rinci di bawah ini. 46

Pertama, penerimaan (receipt). Akun penerimaan ini terkait erat dengan dana atau harta kekeyaan
yang seharusnya masuk ke kas negara, tapi tidak jadi karena adanya unsur korupsi dari seseorang.
Penerimaan negara umumnya ditetapkan dengan undang-undang, misalnya penerimaan yang
bersumber dari perpajakan atau bea cukai. Demikian juga dengan penerimaan yang merupakan
bagian pemerintah atas pengelolaan minyak dan gas bumi, batu bara, serta mineral lainnya. 47 Salah
satu contoh kasus korupsi yang terkait dengan sumber kerugian keuangan negara terkait
penerimaan adalah dugaan adanya kerugian negara di sektor migas. Fitra mensinyalir bahwa
penerimaan negara tahun 2012 hanya sebesar 2 triliun, padahal berdasarkan hasil analisis dan

45
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006
46
Theodorus M. Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi, Salemba
Empat, Jakarta, 2009, hlm 158-171
47
Ibid., hlm 167
investigasinya menyimpulkan bahwa jumlah perimaan negara di sektor migas bisa dua kalilipat
dari angka tersebut. Jika ternyata kemudian ditemukan fakta bahwa ada sejumlah uang triliunan
rupiah yang tidak setorkan kepada kas negara di sektor megas, maka hal itu terkait langsung
dengan sumber kerugian keuangan negara berupa penerimaan.

Sumber kerugian keuangan negara terkait akun penerimaan memiliki tiga sumber, yaitu wajib
bayar tidak menyetor kewajibannya, penerimaan negara tidak disetor penuh oleh pejabat yang
bertanggungjawab, dan penyimpangan dalam melaksanakan diskresi berupa pengurangan
pendapatan negara. Pertama, wajib bayar tidak menyetor kewajibannya. Dalam beberapa undang-
undang, wajib bayar menghitung dan menyetorkan kewajibannya ke kas negara. kesengajaan atau
bahkan kelalain para wajib bayar akan menimbulkan kerugian keuangan negara. negara bukan
saja tidak menerima jumlah yang menjadi kewajiban wajib bayar, tetapi juga kehilangan bunga
atas penerimaan tersebut karena adanya unsur waktu (keterlambatan menyetor).48 Contoh kasus
sederhana dikemukakan misalnya suatu perusahaan sebenarnya berkewajiban membayar pajak
sebesar 1, 3 triliuan, tapi sengaja ditulis 1 triliun dengan cara menyimpan data-data terkait hal itu
dan ada kerjasama koruptif dengan petugas pajak. Akibatnya negara dirugikan sebesar 300 miliar
dari sektor penerimaan.

Kedua, penerimaan negara tidak disetor penuh oleh pejabat yang bertanggungjawab. Sumber
kerugian keuangan negara yang kedua ini hanya ditujukan kepada pejabat yang diberikan
wewenang dan tanggungjawab untuk menyetor penerimaan negara yang telah dibayarkan oleh
wajib bayar. Misalnya, pejabat di instansi perpajakan sengaja tidak menyetor penerimaan negara
di sektor pajak sebesar 2 triliuan dengan cara mengubah data-data terkait kewajiban wajib pajak
perusahaan transnasinoal yang beroperasi di Indonesia. Seharusnya penerimaan negara di sektor
tersebut khusus bagi perusahaan transnasional tersebut sebesar 20 triliun, tapi yang disetor hanya
sebesar 18 triliun. Akibatnya, negara mengalami kerugian keuangan negara karena penerimaan
negara yang tidak disetor secara penuh oleh pejabat pejabat yang diberikan wewenang dan
tanggung jawab untuk itu.

Ketiga, penyimpangan dalam melaksanakan diskresi berupa pengurangan pendapatan negara.


Dalam bisnis asuransi, pejabat tertentu dapat memberikan pengurangan premi. Pengurangani ini
secara langsung menurukan pendapatan dan penerimaan BUMN Asuransi. Kalau BUMN ini
berurusan dengan lembaga negara lain, dan diskon tersebut dinikmati oleh pribadi pejabat, maka
transaksi ini mempunyai potensi memenuhi unsur tindak pidana korupsi.

Kedua, pengeluaran (expenditure). Cara mudah memahami sumber kerugian keuangan negara
adalah dengan membandingkannya dengan sumber kerugian keuangan negara berupa penerimaan.
Bila dalam penerimaan kerugian keuangan negara terjadi karena penerimaan negara tidak
disetorkan, atau tidak disetorkan secara penuh, dan/atau tidak disetorkan tepat waktu, maka dalam
pengeluaran, kerugian keuangan negara terjadi karena pengeluaran negara yang dilakukan lebih
dari seharusnya, atau pengeluaran negara seharusnya tidak dilakukan, dan/atau pengeluaran negara
dilakukan lebih cepat.

Berdasarkan penjelasan tersebut, sumber kerugian keuangan negara dari aspek penerimaan dapat
terjadi karena kegiatan fiktif, pengeluaran berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang sudah

48
Theodorus M. Tuanakotta, op.cit
tidak berlaku lagi, dan pengeluaran bersifat resmi tapi dilakukan lebih cepat. Untuk kegiatan fiktif,
yang fiktif sebenarnya bukan pengeluaran karena memang benar-benar dikeluarkan, tapi
kegiatannya yang fiktif sehingga terjadi kerugian keuangan negara. Korupsi dalam bentuk kegiatan
fiktif lazim terjadi ketika memasukkan 2-3 bulan terakhir tahun anggaran yakni bulan Oktober-
Desember. Biasanya bulan-bulan itu banyak sekali kegiatan-kegiatan di suatu instansi pemerintah
agar anggaran yang telah disetuji terserap dengan baik. Akibatnya, tidak jarang dengan tujuan
menyerap anggaran sebanyak mungkin, pegawai negeri atau penyelenggara negara membuat
laporan tentang suatu kegiatan padahal kegiatan itu tidak benar-benar ada alias fiktif. Uang negara
pasti dikeluarkan untuk kegiatan yang fiktif itu, dan akibatnya negara mengalami kerugian.

Mengenai pengeluaran berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang sudah tidak berlaku lagi,
DPRP di suatu kebupaten, misalnya, menerbitkan peraturan daerah tentang jenis-jenis tunjangan
yang diterima oleh anggota DPRD dengan mengaju kepada peraturan pemerintah yang sudah tidak
berlaku lagi. Sedangkan mengenai pengeluaran bersifat resmi, tapi dilakukan lebih cepat umumnya
terjadi pengadaan barang dan jasa, seperti dalam kasus pembayaran kepada pemasok atau
kontraktor. Pembayaran kepada mereka dilakukan bulan Juli 2013, padahal berdasarkan
kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian kerja, pembayaran kepada mereka baru diberikan
jika pekerjaan sudah selesai yakni Oktober 2013.

Ketiga, aset. Sumber kerugian keuangan negara yang berkaiatan dengan aset meliputi pengadaan
barang (dan jasa), pelepasan aset, pemanfaatan aset dan penempatan aset. Perkara tindak pidana
korupsi terkait pengadaan barang (dan jasa) yang ditangani KPK merupakan perkara yang paling
banyak kedua setelah penyuapan dibandingkan dengan perkara-perkara tindak pidana korupsi
yang lain. 49 Data KPK menunjukkan bahwa ada sejumlah 106 perkara korupsi terkait pengadaan
barang dan jasa dari tahun 2004 hingga tahun 2012 dengan rincian sebagai berikut; tahun 2004 ada
2 perkara, tahun 2005 ada 12 perkara, tahun 2006 ada 8 perkara, tahun 2007 ada 14 perkara, tahun
2008 ada18 perkara, tahun 2009 ada 16 perkara, tahun 2010 ada 16 perkara, tahun 2011 ada 10
perkara, tahun 2012 ada 10 perkara,50 tahun 2016 ada 14 perkara,51 tahun 2017 ada 15 perkara,52
dan tahun 2018 ada 17 perkara.53

Paling tidak ada empat jenis bentuk kegiatan yang terkait dengan sumber kerugian keuangan
negara berupa pengadaan barang dan jasa. Pertama, mark up. Mark up adalah bentuk perubahan
dari anggaran tanpa melihat rasionalitas pendanaan yang menjadi argumentasi bagi anggaran yang
dilakukan berdasarkan perkiraan peningkatan pendapatan. Mark up juga diartikan sebagai bentuk
tahapan dalam pengadaan barang dan jasa dengan menggelembungkan anggaran uang yang akan
diajukan dalam pengerjaan sebuah tender pengadaan. 54 Dalam konteks sumber kerugian keuangan
negara dalam perkara tindak pidana korupsi, mark up terjadi untuk barang yang spefisikanya sudah
sesuai dengan dokumen tender, demikian juga dengan kualitas dan kuantitas barang, tapi harganya
ternyata lebih mahal. Kedua, harga yang lebih mahal dikarenakan harga yang dipasok di bawah

49
Ibid
50
Abraham Samad, Grand Design Pemberantasan Korupsi di Indonesia, makalah disampakan pada Simposium
dan Musyawarah Nasional Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI), 18-19 Maret 2013, di
Universitas Hasanuddin, Makasar, 2013, hlm 6
51
Laporan Tahunan KPK 2016, hlm. 70
52
Laporan Tahunan KPK 2017, hlm 49
53
Laporan Tahunan KPK 2018
54
Z. Sayfudin, Otonomi Daerah Vs Gurita Korupsi APBD di Indonesia, Total Media, Yogyakarta, 2013, hlm 59
persyaratan. Sebenarnya harga secara total telah sesuai dengan kontrak, tetapi kualitas dan
kuantitas barang lebih rendah dari yang disyaratkan. Ketiga, syarat penyerahan barang lebih
‘istimewa’. Oleh karena syarat pembayaran tetap, maka ada kerugian bunga. Keempat, syarat
pembayaran yang lebih baik tapi syarat-syarat lainnya tetap, seperti kualitas, kuantitas, dan syarat
penyerahan barang tetap.55

Mengenai pelepasan aset, istilah yang sering didengar adalah pelepasan kekayaan negara atau
pelepasan harta Negara yang bentuk-bentuknya yang dapat menimbulkan kerugian keuangan
negara sebagai berikut:56
1. Penjualan aset yang dilakukan berdasarkan ‘nilai buku akuntansi sebagai patokan. Panitia
penjualan aset menyetujui harga jual di atas nilai buku. Proses penjualannya bisa dengan atau
tanpa tender;
2. Penjualan tanah dan bangunan ‘diatur’ melalui Nilai Jual Objek Paja (NJOP) hasil kolusi
dengan pejabat terkait. NJOP ini berperan sebagai alat pembenar seakan-akan penjualann
tanah dan bangunan itu sesuai dengan prosedur;
3. Tukar guling tanah (ruilslag) tanah dan bangunan milik negara dengan tanah, bangunan atau
aset milik orang lain. Contoh, dokumen transaksi menunjukkan bahwa tanah seluas 8 hektar
ditukar dengan tanah seluas 80 hektar. Padahal, tanah seluas 8 hektar tersebut berlokasi di
kawasan prima ibu kota, sedangkan tanah seluas 80 hektar tersebut berlokasi di tempat yang
belum pernah dikunjungi manusia;
4. Pelepasan hak negara untuk menagih. Hak negara bisa timbul karena perikatan dan putusan
pengadilan.

Sumber kerugian negara terkait aset berikutnya adalah pemanfaatan aset. Bentuk-bentuk kerugian
keuangan negara dari pemanfaatan aset ini antara lain; 1) negara tidak memperoleh imbalan yang
layak menurut harga pasar; 2) negara ikut menanggung kerugian dalam kerja sama operasional
yang melibatkan aset negara yang ‘dikaryakan’ kepada mitra usaha; 3) negara kehilangan aset
yang dijadikan jaminan kepada pihak ketiga, dalam rangka kerja sama operasional atua kerja sama
lainnya atau perbuatan lainnya. Penempatan aset merupakan penanaman atau investasi dari dana-
dana milik negara. Kerugian keuangan negara terjadi ketika adanya unsur kesengajaan
menempatakan dana-dana tersebut pada investasi yang tidak seimbang antara risiko dan
keuntungannya. Apabila memiliki kelebihan dana, mereka sering tergoda untuk melakukan
penempatan aset dengan risiko yang relatif tinggi dibandingkan dengan keuntungannya. Ciri yang
sering menonjol adalah tidak sejalannya usaha baru dengan bisnis inti. Ketika usaha barunya gagal,
mereka sering berdalih bahwa ini bukanlah kerugian keuangan negara, melainkan sekadar
kerugian bisnis yang sangat lazim di dunia bisnis. Apabila penempatan aset memberikan hasil atau
keuntungan, para pejabat menerima keuntungan. Sebaliknya, ketika penempatan aset
menimbulkan kerugian, mereka ‘lepas tangan’ alias tidak mau bertanggungjawab. 57

Keempat, kewajiban. Terdapat tiga jenis sumber kerugian keuangan negara berkaitan dengan
kewajiban ini, yaitu perikatan yang menimbulkan kewajiban nyata, kewajiban bersyarat yang
menjadi nyata, dan kewajiban tersembunyi. Dalam perikatan yang menimbulkan kewajiban nyata,
dokumentasinya terlihat sah, tetapi isinya sebenarnya bodong, di mana transaksi istimewa

55
Theodorus M. Tuanakotta, op.cit
56
Ibid
57
Ibid
diselipkan di antara transaksi normal karena mengetahui bahwa transaksi ini akan bermasalah.
Sifat jahatnya adalah penjarahan kekayaan negara melalui penciptaan transaksi fiktif yang
menyerupai transaksi normal. Dalam kewajiban yang berasal dari kewajiban bersyarat, pejabat
pada lembaga-lembaga negara mengadakan perikatan dengan pihak ketiga yang pada awalnya
merupakan contingent liability. Laporan keuangan negara tersebut tidak menunjukkan adanya
kewajiban karena masih merupakan kewajiban bersyarat. Pada akhirnya, pihak ketiga tidak
mampu memenuhi kewajibannya sehingga lembaga negara yang menjadi penjaminnya memiliki
kewajiban nyata yang sebelumnya adalah kewajiban bersyarat. Sedangkan mengenai kewajiban
tersembunyi mencuat dalam kasus aliran dan suatu lembaga negara (Bank Indonesia) yang diduga
untuk membantu mantan pejabatnya mengatasi masalah hukum. Dalam praktiknya, kantor-kantor
akuntan yang termasuk dalam big four senantiasa memfokuskan suatu audit pada pengeluaran
untuk masalah hukum karena dana-dana yang dikeluarkan dan diperuntukkan untuk masalah
hukum merupakan tempat persembunyian segala macam biaya yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan. 58

Berdasarkan uraian mengenai sumber kerugian keuangan negara di atas, maka metode yang dapat
digunakan untuk menghitung kerugian keuangan negara bergantung kepada sumber kerugian
keuangan negara tersebut. Jika sumber kerugian keuangan negara terkait penerimaan berupa wajib
bayar tidak setor, wajib pungut tidak setor dan potongan penerimaan ditinggikan, maka metode
penghitungan kerugian keuangan negara adalah kerugian pokok dan bunga. Jika sumber kerugian
keuangan negara terkait pengeluaran berupa kegiatan fiktif, dan perundangan tidak berlaku lagi
dan pengeluaran lebih cepat, maka metode penghitungan kerugian keuangan negara adalah
kerugian pokok dan bungan serta kerugian bunga saja.

Jika sumber kerugian keuangan negara terkait aset berupa pengadaan barang dan jasa, pelepasan
aset, pemanfaatan aset dan penempatan aset , maka metode penghitungan kerugian keuangan
negara adalah kerugian total (total loss), kerugian total dengan penyesuaian, kerugian bersih, harga
realisasi dikurangi harga wajar, bunga untuk kerugian waktu, opportunity cost, bunga untuk
kerugian waktu, kerugian total dan pokok dan bunga. Sedangkan jika sumber kerugian keuangan
negara terkait kewajiban berupa kewajiban nyata, kewajiban bersyarat menjadi nyata, dan
kewajiban tersembunyi, maka metode penghitungan kerugian keuangan negara adalah kerugian
pokok dan bunga. Secara lebih sederhana, uraian mengenai metode penghitungan kerugian
keuangan negara tergambar dalam tabel di bawah ini: 59

Tabel 1.
Sumber dan Metode Penghitungan Kerugian Keuangan Negara
No Sumber Kerugian Keuangan Negara Metode Penghitungan Kerugian
1 Receipt (Penerimaan)
Wajib bayar tidak setor Pokok dan bunga
Wajib pungut tidak setor Pokok dan bunga
Potongan penerimaan ditinggikan Pokok dan bunga
2 Expenditure (Pengeluaran)

58
Ibid
59
Theodorus M. Tuanakotta, op.cit., hlm 173-180
Kegiatan fiktif Pokok dan bunga
Perundangan tidak berlaku lagi Pokok dan bunga
Pengeluaran lebih cepat Bunga
3 Asset (Aset)
Pengadaan barang dan jasa Kerugian total (total loss)
Kerugian total dg penyesuaian
Kerugian bersih
Harga realisasi dikurangi harga wajar
Bunga untuk kerugian waktu
Harga realisasi dikurangi harga wajar
Pelepasan aset Opportunity cost
Kerugian total
Bunga untuk kerugian waktu
Opportunity cost
Kerugian total
Pemanfaatan aset Bunga untuk kerugian waktu
Pokok dan bunga
Pokok dan bunga
Penempatan aset
Kredit macet
4 Liability (kewajiban)
Kewajiban nyata Pokok dan bunga
Kewajiban bersyarat menjadi nyata Pokok dan bunga
Kewajiban tersembunyi Pokok dan bunga
Sumber: Theodorus M. Tuanakotta, 2009; 173-180

Tabel di atas menggambarkan bahwa pada tiap-tiap sumber kerugian keuangan negara, metode
penghitungannya ada yang sama dan ada yang bervariasi, bergantung kepada bentuk-bentuk
sumber kerugian keuangan negara. Misalnya, untuk sumber kerugian keuangan negara yang
bentuk-bentuknya meliputi pengadaan barang dan jasa, pelepasan aset, pemanfaatan aset dan
penempatan aset, metode penghitungan kerugian keuangan negara bervariasi mulai dari kerugian
total, kerugian total dengan penyesuaian baik penyesuaian ke atas maupun penyesuaian ke bawah,
kerugian bersih, harga realisasi dikurangi harga wajar, bunga untuk kerugian waktu, opportunity
cost, hingga kerugian pokok dan bunga. Tiap-tiap metode penghitungan kerugian keuangan negara
tersebut dijelaskan pada uraian di bawah ini.

Pertama, kerugian pokok dan bunga. Metode penghitungan kerugian keuangan negara dengan
kerugian pokok dan bunga digunakan misalnya dalam suatu kasus korupsi yang dilakukan oleh
pejabat pajak yang tidak menyetorkan uang itu ke kas negara yang telah dibayarkan oleh wajib
pajak sebesar 3 triliun. Jika ternyata uang sebesar itu disimpan di nomor rekening pribadinya
selama 2 tahun dan kasus tersebut baru terungkap, maka jumlah uang yang wajib dibayar oleh
pejabat pajak tersebut, setelah perkara korupsinya telah memiliki kekuatan hukum tetap, sebesar 3
triliun ditambah bunga selama 2 tahun.
Kedua, kerugian negara dalam bentuk bunga saja. Metode penghitungan kerugian keuangan negara
dengan bunga digunakan misalnya dalam suatu kasus korupsi pengadaan barang dan jasa.
Berdasarkan perjanjian kerja yang telah ditandatangani oleh kontraktor dengan pihak pemerintah,
pembayaran kepada kontraktor sebesar 20 miliar akan diberikan pada Desember 2013, tapi
ternyata diberikan bulan Juni 2013. Jika bunga dari 20 miliar tadi tiap bulannya sebesar 20 juta,
maka kerugian negara dalam kasus ini sebesar 120 juta (20 juta dikalikan 6 bulan).

Ketiga, kerugian total. Dalam metode ini, seluruh jumlah yang dibayarkan dinyatakan sebagai
kerugian keuangan negara. 60 Contoh, pejabat tinggi di suatu departemen menyetujui pembelian
komponen (suku cadang) mesin dan alat berat dari negara lain. Mesin dan alat berat tersebut, baik
dalam keadaan terpasang maupun dalam keadaan terurai, tidak lagi diproduksi di negara
pengekspor. Tidak ada pabrik lain di dunia yang memproduksi mesin dan alat berat maupun suku
cadangnya yang dapat digunakan sebagai pengganti komponen yang diimpor. Seluruh pengeluaran
pembelian mesin, alat berat dan suku cadangnya sejak tahap perencanaan merupakan kerugian
keuangan negara yang harus ditanggung dan menjadi kewajiban pejabat tinggi tersebut untuk
membayarnya.

Keempat, kerugian total dengan penyesuaian. Metode ini sama dengan metode dalam kerugian
total, dengan penyesuaian ke atas. Penyesuaian ini diperlukan kalau barang yang dibeli harus
dimusnahkan dan pemusnahannya memakan biaya. Zat kimia yang akan dimusnahkan harus
ditangani dengan cara-cara tertentu dengan mengeluarkan biaya mahal. Seluruh biaya untuk
pemusnahan itu merupakan kerugian keuangan negara dan menjadi kewajiban terpidana untuk
membayarnya. Kelima, kerugian bersih. Metode ini seperti pada kerugian total, dengan
penyesuaian ke bawah. Pada kasus pembelian suku cadang mesin dan alat berat dari negara lain,
jika ternyata barang mesin dan alat berat tersebut rusak dan tinggal barang rongsokan karena suku
cadangnya tidak diproduksi lagi, maka metode penghitungannya adalah kerugian keuangan negara
hanyalah sejumlah kerugian bersih, yaitu kerugian total dikurangi nilai bersih barang rongsokan
tersebut.

Keenam, harga realisasi dikurangi harga wajar. Negara seringkali dirugikan karena transaksi dibuat
tidak dengan harga wajar, baik dalam transaksi pembelian (pengadaan barang) maupun transaksi
pelepasan dan pemanfaatan barang. Dalam metode ini kuncinya adalah penentuan harga wajar.
Sebagai contoh, jika harga wajar untuk barang-barang atau bahan-bahan tertentu dalam suatu
proyek pengadaan barang berupa jalan tol sepanjang 20 kilometer sebesar 2,5 triliun dan harga
realisasinya ternyata 4 triliun, maka kerugian keuangan negara dalam kasus ini sebesar 1, 5 triliun
yang merupakan jumlah dari selisih antara harga wajar dengan harga realisasi. Dalam hubungan
ini, ada tiga kemungkinan penggunaan metode harga realisasi dikurangi harga wajar, yaitu:
1. Dalam pengadaan barang, kerugian ini merupakan selisih antara harga yang dibayarkan (harga
realisasi) dengan harga yang dibayarkan;
2. Dalam pelepasan aset berupa penjualan tunai, kerugian ini merupakan selisih antara harga
wajar dengan harga yang diterima;

60
Menurut Kamus Bisnis dan Bank, kerugian total adalah total losses yaitu umum: seluruh kerugian / rugi yang
diderita perusahaan atas kegiatan operasional dan nonoperasional dalam periode tertentu asuransi: kerugian sebagai
akibat barang yang diasuransikan musnah seluruhnya. http://www.mediabpr.com/kamus-bisnis-
bank/kerugian_total.aspx, diakses 16 Mei 2020
3. Dalam pelepasan aset berupa tukar guling (ruilslag), kerugian ini merupakan selisih antara
harga wajar dengan harga pertukaran (exchange value).61

Ketujuh, opportunity cost. Metode penghitungan kerugian keuangan negara ini adalah dengan
membandingkan harga realisasi dengan harga taksiran, yaitu nilai pasar sekarang ditambah dengan
biaya kesempatan yang kemungkinan dapat diterima (opportunity cost).62 Contoh, suatu kasus
pelepasan aset yang diduga mengandung unsur tindak pidana korupsi karena prosesnya yang tidak
sesuai prosedur. Seorang pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pelepasan aset tanah dan
bangunan negara telah menjual kepada seseorang dengan harga pasar pada saat itu. Akan tetapi
penjualan aset tersebut tidak didasari oleh suatu alasan yang tepat mengapa aset tersebut dijual,
dan mengapa aset tersebut yang dipilih.

Ternyata meskipun aset tersebut dijual sesuai dengan harga pasar saat itu, diketahui bahwa di
sekitar aset tersebut tahun depan akan dibangun Mall terpadu yang perijinannya telah disetuji juga
oleh pejabat yang bertanggungjawab dalam pelepasan aset tersebut. Pejabat dan pengusaha sadar
dan tahu bahwa tanah tersebut di tahun depan harganya akan melonjak 2 kali lipat. Dengan melihat
perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus tersebut dapat diukur dengan membandingkan
nilai realisasi dengan taksiran nilai di masa yang akan datang apabila Mall telah dibangun.
Penentuan taksiran nilai di masa mendatang bukan pekerjaan mudah. Oleh karena itu, yang dapat
dilakukan dan dianggap paling sederhana adalah dengan membuat nilai kenaikan tanah rata-rata
di sekitar Mall dari kasus-kasus pembangunan pembangunan Mall di daerah lain. Semakin banyak
angka pembanding yang akan dibuat rata-rata, semakin lebih akurat nilai taksirannya.

1.6 Siapakah yang Berwenang Menghitung dan/atau Menetapkan Adanya Kerugian


Keuangan Negara?
Penghitungan kerugian keuangan Negara kerapkali menjadi perdebatan dalam sidang pengadilan
perkara tindak pidana korupsi. Permasalahan yang seringkali mengemuka adalah lembaga mana
yang berwenang menyatakan ada atau tidaknya kerugian keuangan Negara. Apakah penyidik,
penuntut umum dan hakim bisa menghitung sendiri kerugian keuangan Negara? Jika iya, apa dasar
hukumnya? Bagaimana dengan penghitungan kerugian keuangan Negara oleh akuntan publik,
BPKP, dan BPK? Bagaimana jika dalam satu perkara tindak pidana korupsi, BPKP dan BPK sama-
sama menghitungan kerugian keuangan Negara, dan bagaimana jika hasil penghitungan kedua
lembaga tersebut berbeda satu sama lain? Uraian di bawah ini menjawabnya.

Pertama, dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012 tanggal 23


Oktober 2012 ditegaskan bahwa dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, KPK
bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK, melainkan dapat juga berkoordinasi
dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya
dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang
mempunyai fungsi yang sama dengan itu. Bahkan, dari pihak-pihak lain (termasuk dari
perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan
Negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditangani. 63 Berdasarkan pertimbangan
61
Theodorus M. Tuanakotta, op.cit
62
Didi Achjari, Mengukur Dampak Korupsi
http://acch.kpk.go.id/documents/10157/27926/Mengukur+Dampak+Korupsi_Didi+Achjari.pdf, diakses tanggal 16
Mei 2020.
63
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012, hlm. 53
ini, semua lembaga yang memiliki fungsi salah satunya mengitung kerugian keuangan Negara
berwenang menghitung kerugian tersebut. Bahkan penyidik dan penuntut umum bisa juga
menghitung sendiri kerugian tersebut. Menurut penulis, pertimbangan hukum MK tersebut
terkesan menggeneralisir persoalan. Apakah penyidik dan penuntut umum memiliki kompetensi
untuk menghitung kerugian keuangan Negara pada kasus korupsi yang kompleks yang melibatkan
banyak sekali aktor dan skema dan jumlahnya ratusan miliar atau bahkan lebih dari 1 triliun?
Bagiamana jika hasil penghitungan kerugian yang dilakukan penyidik itu ternyata berbeda dengan
hasil penghitungan kerugian keuangan Negara yang dilakukan oleh ahli, BPKP atau BPK?
Sebaiknya penyidik maupun penuntut umum hanya dapat menghitung kerugian keuangan Negara
pada perkara korupsi yang sederhana dan tidak melibatkan banyak skema dan aktor. Selain itu,
putusan MK dikeluarkan sebelum Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA Nomor 4 Tahun 2016
dan sebelumnya delik dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 diubah menjadi delik materiil.
Kedua, BPKP sebenarnya terkait pelaksanaan fungsi pengawasan intern pemerintahan. Pasal 48
ayat (2) huruf a PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
menentukan, bahwa aparat pengawasan intern pemerintah melakukan pengawasan intern melalui
audit. Salah satu jenis audit yang diatur dalam Pasal 50 ayat (1) PP tersebut adalah audit dengan
tujuan tertentu, antara lain audit investigatif, audit atas penyelenggaraan SPIP, dan audit atas hal-
hal lain di bidang keuangan. Pasal 49 ayat (2) huruf c PP. BPKP melakukan pengawasan intern
terhadap akuntabilitas keuangan Negara atas kegiatan tertentu yang meliputi: kegiatan lain
berdasarkan penugasan dari Presiden. Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 3 huruf e Perpres
Nomor 192 Tahun 2014, fungsi BPKP antara lain melakukan audit investigatif terhadap kasus-
kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan Negara/daerah, audit penghitungan
kerugian keuangan Negara/daerah, pemberian keterangan ahli, dan upaya pencegahan korupsi.

Untuk memperjelas pelaksanaan tugas BKPK, Kepala BPKP mengeluarkan Peraturan Kepala
BPKP Nomor: PER-1314/K/D6/2012 tentang Pedoman Penugasan Bidang Investigasi yang
menentukan sebagai berikut:

1. Audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan Negara adalah audit dengan tujuan
tertentu yang dimaksudkan untuk menyatakan pendapat mengenai nilai kerugian
keuangan Negara yang timbul dari suatu kasus penyimpangan dan digunakan untuk
mendukung tindakan litigasi;
2. Hasil audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan Negara berupa pendapat
auditor BPKP tentang jumlah kerugian keuangan Negara merupakan pendapat keahlian
profesional auditor, yang dituangkan dalam Laporan Hasil Penghitungan Kerugian
Keuangan Negara (LHPKKN);
3. Sebagai hasil dari pendapat ahli, LHPKKN ditandatangani oleh Tim Audit dan Pimpinan
Unit Kerja sebagai ahli tanpa kop surat dan cap unit kerja;
4. LHPKKN disampaikan kepada pimipinan instansi penyidik yang meminta dilakukan
dengan Surat Pengantar (SP) berkode SR (Surat Rahasia) yang ditandatangani oleh Unit
Kerja.

Berdasarkan uraian di atas, BPKP juga sebenarnya berwenang menghitung kerugian keuangan
Negara. Hanya saja menurut penulis, kewenangan untuk menghitung kerugian keuangan Negara
harus dibedakan dengan kewenangan untuk men-declare ada atau tidaknya kerugian tersebut. Oleh
karena itu, hasil penghitungan kerugian keuangan Negara oleh BPKP tersebut harus dimintakan
pengesahannya (declare) kepada BPK sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang menghitung
dan sekaligus men-declare adanya kerugian keuangan Negara. Hal ini sesuai dengan Pasal 6 huruf
a Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2016 yang menegaskan sebagai berikut:64

Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara adalah
Badan Pemeriksa Keuangan yang memilik kewenangan konstitusional, sedangkan instansi
lainnya seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan/inspectoral/satuan kerja
perangkat daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan
keuangan Negara. Namun, tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya
kerugian keuangan Negara. Dalam hal tertentu, hakim berdasarkan fakta persidangan dapat
menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara.

Berdasarkan SEMA di atas, instansi selain BPK berwenang menghitung kerugian keuangan, tapi
tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan Negara. Jadi,
pemeriksaan atau audit yang dilakukan oleh BPKP harus dinyatakan ada atau tidaknya kerugian
keuangan Negara oleh BPK.

Ketiga, akuntan publik juga berwenang menghitung kerugian keuangan Negara. Akan tetapi, Pasal
3 ayat (2) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
menegaskan, bahwa laporan hasil pemeriksaan/penghitungan yang dilaksanakan oleh akuntan
publik tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan. Berdasarkan pasal ini, hasil
penghitungan kerugian keuangan Negara yang dilakukan oleh akuntan publik yang tidak
dilaporkan kepada BPK harus dinyatakan batal demi hukum.

Keempat, BPK adalah satu-satunya lembaga yang diberikan kewenangan untuk menghitung dan
sekaligus menyatakan/menetapkan ada atau tidaknya kerugian keuangan Negara. Pasal 2 ayat (1)
UU BPK menyatakan bahwa BPK melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan Negara. Pemeriksaan ini terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja,
dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (Pasal 4 ayat 1). Kewenangan BPK ini semakin dipertegas
di Pasal Pasal 10 ayat (1) UU BPK, bahwa BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian
Negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang
dilakukan oleh bendahara pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga/badan laion yang
menyelenggarakan pengelolaan keuangan Negara. Ketentuan tersebut yang kemudikan diperkuat
oleh SEMA Nomor 4 Tahun 2016 di atas hemat penulis mengakhiri perdebatan tentang lembaga
mana yang berwenang menyatakan/menetapkan ada atau tidaknya kerugian keuangan. Jadi,
lembaga selain BPK berwenang melakukan pemeriksaan atau audit terhadap keuangan Negara,
tapi hanya BPK yang berwenang menetapkan ada atau tidaknya kerugian keuangan Negara
tersebut.

SEMA tersebut juga menegaskan bahwa tidak boleh lagi ada dua lembaga yang menghitung
kerugian keuangan Negara dalam satu perkara tindak pidana korupsi untuk mencegah
ketidakpastian karena bisa jadi hasil penghitungan keduanya berbeda. Hal ini ternyata pernah
terjadi dalam praktik penegakan hukum pidana perkara korupsi sebagaimana dalam Putusan

64
Pasal 6 huruf a Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016
Nomor 13/Pid.B/Tpk/2011/Pn.Pdg65 dengan terdakwa Maulida Gustina, mantan Kapolres Agam. Dia
didakwa karena telah menggunakan dana penyelidikan, penyidikan dan Binamitra Polres Agam
yang terdapat di dalam DIPA TA. 2009-2010 untuk kepentingan pribadinya sebesar Rp.
378.166.611, sedangkan sisanya sebesar Rp. 385.989.339 tidak didukung dengan bukti
pertanggungjawaban keuangan. Akibat perbuatan terdakwa tersebut, keuangan negara mengalami
kerugian sebesar Rp. 764.156.000 dengan rincian 378.166.611 digunakan terdakwa untuk
kepentingan pribadinya dan 385.989.339 tidak didukung dengan bukti pertanggungjawaban
keuangan, atau menurut Badan Pemeriksa Keuangan RI terdapat sejumlah uang sebesar Rp.
598.439.389 tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh terdakwa.

Sumber kerugian keuangan negara dalam perkara a quo berhubungan dengan aspek pengeluaran
yang tidak sesuai dengan anggaran dan digunakan untuk kepentingan pribadi terdakwa, sedangkan
metode penghitungannya adalah jumlah selisih antara anggaran dana untuk penyelidikan,
penyidikan dan Binamitra Polres Agama yang seharusnya dikeluarkan dikurangi jumlah dana yang
digunakan terdakwa untuk kepentingan pribadinya dan dana-dana yang yang tidak didukung
degnan pertanggungjawaban keuangan. Hal yang menarik dalam perkara ini adalah ketika
menghitung dana yang tidak dapat dipertanggungjawabkan keuangannya karena tidak didukung
dengan bukti-bukti yang kuat dan memadai. Menurut perhitungan ahli dari BPKP, jumlah dana
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan keuangannya sebesar Rp. 385.989.339, sedangkan
menurut perhitungan ahli dari BPK, jumlah dana yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
keuangannya sebesar Rp. 598.439.389. Dengan demikian, ada dua versi terkait berapa jumlah dana
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan keuangannya, yaitu versi dari perhitungan BPKP dan
versi dari perhitungan BPK.

1.7 Tentang Pengembalian Kerugian Keuangan Negara


Delik dalam Pasal 4 UU Anti Korupsi menegaskan bahwa ‘pengembalian kerugian keuangan
negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3’. Delik dalam pasal ini secara khusus ditujukan
kepada delik korupsi yang mensyaratkan adanya kerugian keuangan Negara. Menurut penjelasan
resmi pasal tersebut, dinyatakan bahwa ‘dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka
pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana
terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan’. Jadi, sekalipun
pelaku tindak pidana korupsi telah mengembalikan kerugian keuangan Negara, proses hukum
terhadapnya tetap dilanjutkan dan pengembalian tersebut hanya dijadikan sebagai salah satu alasan
yang meringankan pidana.

Perlu diingat bahwa ide dasar munculnya norma hukum yang demikian karena situasi saat UU
Anti Korupsi dibentuk, Indonesia sedang mengalami masa transisi pasca penggulingan Soeharto
dari tampuk kekuasaannya yang otoriter selama 32 tahun. Salah satu cara yang lazim ditempuh

65
Dalam perkara ini terdakwa didakwa dengan dakwaan alternatif, yaitu pertama Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18
huruf b ayat (2), ayat (3) Undang-undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atau kedua Pasal Kedua Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3)
Undang-undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
adalah memperkuat instrumen penegakan hukum di segala bidang sehingga lebih menjamin
kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan
terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Dalam konteks norma dalam Pasal 4, ia juga
bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi. Sekalipun kerugian
keuangan Negara telah dikembalikan, pelaku yang telah memenuhi unsur-unsur delik tetap
dipidana. Artinya, pengembalian uang tersebut tidak memiliki efek yang cukup signifikan bagi
dirinya sehingga pelaku berpikir dua kali untuk melakukan tindak pidana korupsi.

Dalam praktik, penegakan hukum umumnya menempuh dua cara di dalam menafsirkan Pasal 4
UU Anti Korupsi. Pertama, apabila pelaku tindak pidana korupsi mengembalikan kerugian
keuangan Negara sebelum sebelum tahap penyelidikan/penyidikan, maka hal itu dijadikan dasar
oleh penyidik untuk tidak melanjutkan proses hukum terhadapnya. Cara ini efektif meski rentan
dengan adanya kongkalikong antara penegak hukum dengan pelaku tindak pidana korupsi. Kedua,
dalam hal penanganan perkara sudah masuk ke dalam tahapan penyidikan/penuntutan atau bahkan
persidangan dan pelaku secara sukarela mengembalikan kerugian keuangan Negara yang telah
dikorupsi, proses hukum telah dilanjutkan meski pengembalian uang tersebut menjadi salah satu
alasan yang meringankan penjatuhan pidana.

Norma dalam Pasal 4 tersebut bertentangan dengan semangat yang terkandung di dalam United
Nation Convention Agaisnt Corruption 2003 (UNCAC) yang telah telah diratifikasi oleh Indonesia
dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006. Salah satu hal yang penting dikedepankan di dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi adalah pengembalian aset hasil korupsi. 66 UNCAC
menempatkan proses penegakan hukum terhadap pelaku sebagai hal yang sekunder, sedangkan
yang primer adalah pengembalian kerugian (keuangan) Negara yang telah dikorupsi pelaku.
Tujuannya dari upaya ini adalah pada dua hal, yaitu agar keuntungan yang diperoleh pelaku dapat
digunakan untuk pembangunan Negara, dan agar pelaku tindak pidana korupsi tidak dapat
menggunakan hasil serta keuntungan-keuntungan dari tindak pidana sebagai alat atau sarana untuk
melakukan tindak pidana lainnya. 67

Norma hukum dalam Pasal 4 juga lebih menekankan prinsip follow the suspect dan mengabaikan
prinsip follow the money. Di dalam prinsip yang terakhir, upaya penyelidikan dan penyidikan
diarahkan kepada mendapatkan sebanyak mungkin sumber informasi dan menemukan banyak
fakta atau bukti dapat ditelusuri aliran dana suatu atau hasil kejahatan. Yang menjadi target follow
the money adalah uang/harta kekayaan yang diperoleh dari suatu kejahatan. 68 Asumsi yang
dibangun di dalam follow the money adalah bahwa aset memiliki kedudukan yang sama dengan
pelaku/tersangka/terdakwa. Aset suatu atau hasil kejahatan dilepaskan dari pelakunya. Aset sudah
bisa disita atau bahkan dirampas meski terhadap pelakunya tidak dilakukan proses penegakan
hukum. Asumsi ini jelas berbeda dengan prinsip follow the suspect, di mana aset mengikuti
pelaku/tersangka/terdakwa. Aset tersebut hanya bisa dirampas jika pelakunya telah dinyatakan
bersalah melakukan suatu tindak pidana korupsi berdasarkan putusan pengadilan yang telah

66
Eddy O.S. Hiariej, “United Nation Convention against Corruption dalam Sistem Hukum Indonesia”, Mimbar
Hukum, Vol. 31 No. 1, 2019, hlm. 115
67
Matthew H. Fleming, Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behaviour, An Economic Taxonomy: Draft
for Comment, Version Data, Unversity College, London, 2005, hlm. 31
68
Dita Yunisa, “Penerapan Pendekatan Follow the Money dalam Proses Investigasi Kejahatan Money
Laundering di Indonesia oleh Bareskrim Polri”, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 8, II, 2012, hlm. 101-102
berkekuatan hukum tetap.69 Dalam konteks ini, norma hukum dalam Pasal 4 tidak memberi
peluang disita-dirampasnya aset tanpa memidana pelakunya. Meski pelaku telah mengembalikan
kerugian keuangan Negara, proses penegakan hukum pidana terhadapnya tetap dilanjutkan.

Pasal 4 juga tidak sesuai dengan diskurus teoritis terkini penyelenggaran sistem peradilan pidana
yang menuntut efisiensi. Efisiensi berkaitan dengan tujuan dan sarana yang digunakan untuk mencapai
tujuan. Bila sarana yang ingin dicapai membutuhkan lebih banyak biaya dibandingkan dengan tujuan
yang ingin dicapai, maka hal itu dikatakan tidak efisien. Sebaliknya, jika penggunaan sarana
membutuhkan lebih sedikit biaya yang harus dikeluarkan dibandingkan dengan tujuan yang ingin
dicapai, maka hal itu dikatakan efisien.70 Menurut Douglas N. Husak, perlunya efisiensi karena
penyelenggaran sistem peradilan pidana menghabiskan banyak biaya, dan itu sepenuhnya ditanggung
oleh Negara. Biaya yang dikeluarkan Negara seutuhnya juga berasal dari pajak yang dibayar oleh
warga Negara.71 Dalam konteks perkara korupsi, ia membutuhkan dan menghabiskan biaya yang
tak sedikit. Di Kepolisian, biaya penyelidikan dan penyidikan per perkara tindak pidana korupsi
sebesar Rp. 208 juta,72 sedangkan di KPK pagu anggaran tahap penyelidikan sebesar Rp. 11,08
miliar untuk proyeksi 95 perkara. Di tahap penyidikan tersedia pagu anggaran 13,451 M untuk
proyeksi 95 perkara, dan sebesar Rp. 18,825 miliar untuk penuntutan dan eksekusi perkara korupsi.
Di kejaksaan, total keseluruhan biaya penangangan korupsi sebesar Rp. 300, 388 miliar untuk 2190
perkara.73 Berdasarkan data ini, biaya penangangan perkara korupsi per perkara di KPK sebesar
Rp. 443 juta, sedangkan di Kejaksaan Agung sebesar Rp. 137 juta.

Data di atas menunjukkan bahwa praktik penyelenggaraan sistem peradilan pidana perkara tindak
pidana korupsi terbukti berbiaya mahal sehingga tidak efisien. Mahalnya biaya penanganan
perkara korupsi diperparah dengan ketentuan dalam Pasal 4 UU Anti Korupsi. Bukan hal yang
mustahil jika kerugian keuangan Negara yang telah dikembalikan sebesar Rp. 300 juta, sedangkan
biaya penangaan perkara tersebut mulai penyelidikan hingga eksekusi sebesar Rp. 400 juta. Praktik
semacam ini tidak perlu dipertahankan lagi hanya karena alasan ingin membuat jera pelaku
korupsi.

Ketentuan dalam Pasal 4 juga menjadi salah satu faktor pengembalian uang Negara yang berada
di luar negeri. Pelaku tindak pidana korupsi tentu akan sulit mengembalikan kerugian keuangan
Negara yang dikorupsi yang ditempatkan di luar negeri jika hal itu hanya dijadikan sebagai salah
satu alasan yang meringankan pidana. Buat apa mengembalikan kerugian keuangan Negara jika
pada akhirnya pelaku tetap akan dijatuhi pidana. Penggunaan mekanisme perampasan aset di
dalam mengembalikan kerugian tersebut membutuhkan biaya yang besar, waktu yang banyak, dan
belum sepenuhnya berhasil. Dengan kata lain, ketentuan dalam pasal tersebut sebenarnya
menghambat upaya mengembalikan kerugian keuangan Negara yang berada di luar negeri. Sejak
korupsi dinyatakan sebagai kejahatan kalkulatif, maka penyelenggaraan sistem peradilan pidana
perlu juga mengkalkulasi biaya-biaya yang telah dikeluarkan Negara.

69
Edward R. Kleemans, “Follow the Money: Introduction to the Special Issue ‘Financial Aspects of Organized
Crime”, European Journal on Criminal Policy and Research, Vol. 21, 2015, hlm. 213-216
70
Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2016, hlm. 246
71
Douglas N. Husak, “Retribution in Criminal Theory”, San Diego Law Review, 37, 2000, hlm 974-975
72
https://www.m.detik.com, diakses tanggal 7 Juni 2020
73
https://www.m.detik.com, DRP Bandingkan Anggaran Penangangan Kasus KPK dengan Kejagung, diakses
tanggal 7 Juni 2020
Lalu bagaimana solusinya agar pengembalian kerugian keuangan Negara efektif dan efisien?
Menurut penulis, ada beberapa upaya yang dapat ditempuh. Pertama, dalam hal pelaku tindak
pidana korupsi secara sukarela telah mengembalikan kerugian keuangan Negara sebelum
dimulainya proses penyelidikan atau penyidikan terhadapnya, maka proses hukum terhadapnya
harus dianggap selesai. Kedua, dalam hal proses penyidikan terhadap pelaku tindak pidana korupsi
telah dimulai dan telah menghabiskan banyak biaya dan pelaku secara sukarela mengembalikan
kerugian keuangan Negara, maka proses hukum juga seharusnya dihentikan dengan ketentuan,
bahwa pelaku juga dibebani kewajiban untuk mengganti biaya penegakan hukum yang telah
dikeluarkan Negara. Dasar teoritisnya adalah prinsip kesejahteraan sosial yang menghendaki agar
keuntungan yang diperoleh pelaku dari melakukan suatu tindak pidana korupsi dikurangi kerugian
yang disebabkan oleh perbuatan itu, dan pengeluaran yang dikeluarkan dalam rangka penegakan
hukum.74 Kerugian akibat tindak pidana ini meliputi kerugian sosial yang ditimbulkan, biaya yang
harus dikeluarkan oleh korban potensial untuk melakukan pencegahan agar tidak menjadi korban, dan
kerugian yang secara langsung dialami oleh korban.75 Sementara biaya penegakan hukum pidana
meliputi biaya pencegahan, pengungkapan, penangkapan, dan penjatuhan sanksi pidana.76 Selama ini,
biaya penanganan perkara dibebankan sepenuhnya kepada negara. Ke depan, agar penegakan hukum
pidana korupsi berjalan secara optimal, maka biaya-biaya penanangan perkara yang telah dikeluarkan
negara mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, hingga eksekusi sepenuhnya
dibebankan kepada pelaku tindak pidana.77

Ketiga, dalam persidangan perkara korupsi telah digelar dan terdakwa telah divonis bersalah,
kemudian terdakwa secara sukarela mengembalikan kerugian keuangan negara serta sanggup
menanggung semua biaya penanganan perkara yang telah dikeluarkan negara, maka hal itu dijadikan
sebagai dasar untuk memaafkan kesalahan (dan tindak pidana) terdakwa (judical pardon).78

1.8 Ancaman Pidana Melanggar Prinsip Proporsionalitas


Delik dalam Pasal 3 UU Anti Korupsi lebih serius/berat dibandingkan dengan delik dalam Pasal 2
ayat (1) setidaknya karena dua alasan. Pertama, hanya orang yang memiliki jabatan atau
kedudukan tertentu yang bisa melakukan delik dalam Pasal 3. Jabatan di sini adalah jabatan publik
yang erat kaitannya dengan keberadaan pegawai negeri atau penyelenggara Negara. Jabatan atau
kedudukan tidak dipersyaratkan pada delik Pasal 2 ayat (1), dalam arti setiap orang atau korporasi
bisa melakukannya. Kedua, delik dalam Pasal 3 hanya bisa dilakukan secara sengaja, sedangkan
delik dalam Pasal 2 ayat (1) bisa dilakukan baik secara sengaja atau karena kealpaan. Karena delik
dalam Pasal 3 lebih serius, maka logis jika ancaman pidananya seharusnya lebih berat
dibandingkan dengan ancaman pidana pada delik dalam Pasal 2 ayat (1).

74
Nuno Garoupa dan Daniel Klerman, “Optimal Law Enforcement With A Rent-Seeking Government”, American Law
and Economics Review, 4, 2002, hlm 117
75
Mark A. Cohen, “The Economics of Crime and Punishment: Implications for Sentencing of Economic Crime and New
Technology Offences”, George Mason Law Review, 9, 2000, hlm 506-507
76
Ibid., hlm 504
77
David D. Friedman, “Should the Characteristics of Victims and Criminals Count? Payne v Tennessee and Two Views
of Efficient Punishment”, Boston College Law Review, No. 34 Tahun 732-733. Robert Cooter, “Prices and Sanctios”, Columbia
Law Review, 84, 1984, hlm 1524-1531
78
Ulasan mengenai judicial pardon dalam sistem peradilan pidana, baca Aristo evandy Barlian dan Bagas
Heradhyaksa, “The Idea of Judicial Pardon as Reform of Indonesian Justice System (Comparison of Judicial Pardon
through Various Legal Instruments)”, Conference Paper, The First International Conference on Islamic Development
Studies, Bandar Lampung, Indonesia, September 2019
Delik yang serius seharusnya diancam dengan pidana yang berat, sedangkan delik yang ringan
juga sepantasnya diancam dengan pidana yang ringan. Jika ada delik yang serius/berat tapi
diancam dengan pidana yang ringan, maka itu melanggar prinsip proporsionalitas pidana
(overpenalization). Sebaliknya, jika ada delik yang ringan tapi diancam dengan pidana yang berat,
itu juga melanggar prinsip proporsionalitas (underpenalization).79 Ternyata, ancaman pidana
dalam Pasal 2 ayat (1) lebih berat daripada ancaman pidana dalam Pasal 3, yaitu pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000 dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 berbanding
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 dan paling banyak Rp.
1.000.000.000. Ancaman pidana yang demikian jelas melanggar prinsip proporsionalitas. 80

Potret di atas hanya bagian kecil dari banyaknya ancaman pidana dalam perundang-undangan
(kebijakan formulasi) yang tidak memperhatikan prinsip proporsionalitas pidana. Dengan kata
lain, proporsionalitas pidana jarang sekali dikaitkan dengan kebijakan formulasi sanksi pidana oleh
pembentuk undang-undang. Tidak salah bila dikatakan bahwa isu proporsionalitas merupakan isu
yang terlupakan (the forgotten issue) baik dalam kebijakan formulasi sanksi pidana maupun dalam
diskursus hukum pidana Indonesia. Padahal, penetapan proporsionalitas pidana berada di pundak
legislator. Selain hal itu sebagai mekanisme untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak-
hak individu, juga dalam konteks hukum pidana ditempatkan sebagai pembatas kekuasan legislator
untuk mengancamkan pidana terhadap (pembuat) delik. 81

Penetapan ancaman pidana dalam kebijakan formulasi sanksi pidana yang tidak mencerminkan
prinsip proporsionalitas justru akan meruntuhkan kepercayaan terhadap peradilan pidana karena
dianggap tidak adil. 82 Penetapan pidana yang demikian akan berpengaruh terhadap praktik
penjatuhan pidana oleh hakim. Besar kemungkinan bahwa pidana yang dijatuhkan hakim
menimbulkan ketidakadilan karena penetapan pidana oleh legislator tidak berbasis pada
proporsionalitas. Kesalahan atau kelemahan penetapan ancaman pidana oleh legislator merupakan
kesalahan strategis yang berpengaruh pada kebijakan penegakan hukum pidana dan
penanggulangan kejahatan.83

Menurut Andrew von Hirsch dan Andrew Ashworth, proporsionalitas diartikan sebagai ‘... that
penal sanction should fairly reflect the degree of reprehensibleness (that is the harmfulness and
cupability) of the actor conduct.84 Jadi, beratnya ancaman sanksi pidana harus seimbang dengan
tingkat ketercelaan perbuatan dan kesalahan pembuat. Barbara A. Hudson mengartikan
proporsionalitas sebagai ‘...ranking offences according to seriousness and then establishing a

79
Mahrus Ali, Overpenalization dalam Hukum Pidana, UII Press, Yogyakarta, 2020, hlm. 11
80
Mahrus Ali, “Proporsionalitas dalam Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana“, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 1,
25, 2018, hlm 150
81
Alice Ristroph, “Proportionality as a Principle of Limited Goverment”, Duke Law Journal, 55, 2005, hlm 263.
82
Gregory S. Schneider, “Sentencing Proportionality in the States”, Arizona Law Review, 54, 2012, hlm. 241.
83
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan
Kejahatan, Cetk. Ketiga, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2010, hlm. 2
84
Andrew von Hisrch & Andrew Ashworth, Proportionate Sentencing: Exploring the Principles, Oxford
University Press, New York, 2005, hlm 4
scale of penalties of commensurate severity’. 85 Seseorang yang melakukan kejahatan yang dapat
diperbandingkan seriusitasnya harus menerima hukuman yang beratnya dapat diperbandingkan.
Seseorang yang melakukan tindak pidana yang berbeda beratnya/seriusitasnya, ancaman pidana
berkaitan atau dinilai berdasarkan seriusitasnya.86

Proporsionalitas membicarakan kesebandingan pidana. Kejahatan dengan tingkat keseriusan yang


sama, seharusnya diancam dengan pidana yang setara. Untuk sampai pada hal ini, harus ada
argumentasi yang jelas atas tiap-tiap pidana yang diancamkan. Di dalam menentukan tingkat
keseriusan tindak pidana, proporsionalitas pidana mensyaratkan skal nilai untuk menimbang dan
menilai berat ringannya pidana dikaitkan dengan tindak pidananya. Nilai dan norma yang berlaku
dalam masyarakat serta budaya cenderung untuk menjadi determinan dalam menentukan peringkat
sanksi pidana yang dipandang patut dan tepat dalam konteks historis tertentu. 87 Konsekuensinya,
tiap-tiap negara memiliki perspektif yang berbeda di dalam menimbang, menilai, dan menentukan
berat ringannya pidana dikaitkan dengan tingkat keseriusan tindak pidananya.

Proporsionalitas masih mensyaratkan tiga hal, yaitu parity, rank-ordering, dan spacing of
penalties.88 Parity terjadi ketika seseorang telah melakukan beberapa tindak pidana mirip
seriusitasnya, maka mereka pantas mendapatkan pidana yang beratnya dapat diperbandingkan.
Tindak pidana yang setara keseriusannya memperoleh sanksi pidana yang seimbang. Tidak berarti
bahwa pidana yang sama dikenakan pada semua tindak pidana dalam satu kategori tindak pidana.
Jika variasi dalam satu kategori telah dipastikan keseteraannya, maka pidana yang ditetapkan juga
harus memiliki tingkat yang sama.

Rank-ordering terkait pidana yang seharusnya disusun berdasarkan skala pidana sehingga beratnya
ancaman pidana yang relatif merefleksikan peringkat seriusitas kejahatan. Saat negara menetapkan
sanksi pidana bagi delik Y yang lebih berat dari pada delik x, ini berarti bahwa bahwa delik Y
lebih dicela daripada delik X. Oleh karen itu, pidana harus diatur sesuai dengan peringkat sehingga
berat ringannya pidana mencerminkan berat ringannya delik.

Hirsch mengemukakan bahwa kriteria seriusitas delik didasarkan pada dua komponen utama, yaitu
kerugian dan kesalahan.89 Kerugian mengacu kepada tingkat kerugian atau risiko yang
ditimbulkan. Kerugian di sini dapat berupa; a) kerugian personal, kerugian sosial, kerugian
institusional, dan kerugian negara; b) kerugian materiial dan immateriil; 3) kerugian aktual
maupun potensial; dan 4) kerugian fisik dan kerugian psikis. Kesalahan terkait kesengajaan,
kealpaan, dan keadaan-keadaan yang menyertainya seperti provokasi korban atas terjadinya
kejahatan. Agar skala pidana merefleksikan peringkat seriusitas tindak pidana, pembentuk undang-
undang perlu mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut:90

85
Barbara A. Hudson, Understanding Justice an Introduction to Ideas Perspectives and Controversies in Modern
Penal Theory, Open University Press, Philadephia, 1996, hlm. 45
86
Andrew von Hirsch, “Proportionality in the Philosophy of Punishment”, Crime and Justice, 16, 1992, hlm. 76
87
Andrew von Hirsch, Past and Future Crimes, Menchester University Press, Menchester, 1985, hlm. 47
88
Andrew von Hirsch, “Censure and Proportionality”, dalam R. A. Duff and David Garland (Editor), A Reader
on Punishment, Oxford University Press, New York, 1994, hlm. 128-129
89
Andrew von Hirsch, Communsurability and Crime Prevention: Evaluating Formal Sentencing Structures and
Their Rationale”, Journal of Criminal Law and Criminology, Vol. 74, 1983, hlm 214
90
Ibid., hlm 216-217
1. Apakah pembentuk undang-undang sudah memiliki sistem yang secara eksplisit berisi tentang
peringkat seriusitas delik? Sistem ini membantu pembentuk undang-undang untuk memeriksa
apakah sistem tersebut sesuai dengan konsep paritas dan persyaratan-persyaratan dalam
proporsionalitasl;
2. Dalam memeringkat delik, apakah pembentuk undang-undang membuatnya berdasarkan
pertimbangan yang matang (teliti)? Apakah sistem tersebut hanya meminjam sistem yang
dibuat di negara-negara lain?; atau
3. Apakah pembentuk undang-undang telah memberikan penjelasan/alasan yang memadai atas
pemeringkatan seriusitas delik? Pilihan pemeringkatan menjadi lebih rasional ketika
pembentuk undang-undang mencoba mengidentifikasi apa yang diyakini sebagai
kepentingan-kepentingan yang diancam oleh berbagai macam kejahatan dan mencoba menilai
dan menjelaskan kepentingan-kepentingan yang mana yang dianggap lebih penting.

Spacing of penalties bergantung kepada seberapa tepat beratnya ancaman pidana yang
diperbandingkan dapat disesuaikan. Spacing berisi penentuan jarak antar delik yang satu dengan
delik yang lain. Delik A, B dn C berbeda dalam peringkat keseriusannya, dari yang berat sampai
yang ringan. A lebih serius dari B, tapi sedikit kurang serius dibandingkan C. Oleh karena itu,
untuk menunjukkan keseriusan suatu delik, harus ada jarak pidana antara delik yang berat dengan
yang ringan.

1.9 Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3: Dakwaan Alternatif, Subsidiaritas, atau Tunggal?
Telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa antara delik dalam Pasal 2 ayat (1) dengan delik
dalam Pasal 3 UU Anti Korupsi memiliki persamaan dan sekaligus perbedaan. Delik inti dalam
Pasal 2 ayat (1) adalah melawan hukum, sedangkan delik inti dalam Pasal 3 adalah
menyalahgunakan kewenangan. Pasal 2 ayat (1) bisa dilakukan oleh orang perorangan atau
korporasi, sedangkan Pasal 3 hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki jabatan seperti
pegawai negeri dan penyelenggaran Negara. Orang lain selain keduanya bisa melakukan delik
dalam Pasal 3 sepanjang dikaitkan dengan kedudukan orang tersebut. Kedua pasal tersebut,
berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, sama-sama dirumuskan sebagai delik materiil
sehingga mutlak memerlukan pembuktian hubungan kausalitas. Akibat yang dilarang oleh hukum
pada kedua pasal tersebut adalah sama, yakni kerugian keuangan Negara.

Dalam praktik perumusan surat dakwaan, umumnya jaksa penuntut umum menyusun surat
dakwaan antara Pasal 2 ayat (1) dan Pasal dengan dakwaan subsidiaritas. Jarang sekali ditemukan
surat dakwaan pada kedua pasal tersebut dengan dakwaan alternatif, kecuali pada perkara korupsi
dengan terpidana Nur Alam, mantan Gubernur Sulawesi Selatan. 91 Lalu, yang tepat itu dakwaan
subsidiaritas atau dakwaan alternatif? Untuk bisa menjawab pertanyaan ini, penulis perlu
menjelaskan perbedaan antara delik genus dan delik species. Pemahaman terhadap perbedaan
antara keduanya penting karena ada kaitannya dengan melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1)
sebagai genus dan menyalahgunakan kewenangan dalam Pasal 3 sebagai species.

Delik genus adalah delik yang memberikan pengertian dasar tentang suatu perbuatan yang
dilarang. Delik genus pencurian adalah yang dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP, yaitu

91
Dalam perkara korupsi dengan terpidana Nur Alam, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, jaksa penuntut
umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi merumuskan dakwaan alternatif untuk Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU
Anti Korupsi.
mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagiannya kepunyaan orang dengan maksud
untuk dimiliki secara melawan hukum. Semua bentuk-bentuk pencurian harus memenuhi unsur-
unsur delik dalam pasal tersebut agar bisa disebut sebagai pencurian. Delik-delik pencurian yang
diatur dalam Pasal 363, Pasal 364, dan Pasal 365 adalah bentuk-bentuk khusus (delik species) delik
pencurian. Sebagai delik species, ada dua hal yang terkandung pasal-pasal tersebut. Yang pertama
adalah konsep dasar pencurian (delik genus) sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 362, dan yang
kedua adalah penambahan unsur baru yang dengannya ancaman pidana diperberat atau bahkan
diperingan.

Delik genus kejahatan terhadap nyawa diatur dalam Pasal 338, yaitu dengan sengaja merampas
nyawa orang lain. Jadi, yang disebut pembunuhan adalah adanya kesengajaan untuk
menghilangkan nyawa orang lain. Cara menghilangkan nyawa orang lain ini bisa dilakukan dengan
berbagai macam cara seperti memukul kepala dengan batu, mencekik leher, menusuk perut dengan
pisau, melempar ke jurang, menembak kepala, dan lain-lain. Tapi yang pasti, menghilangkan
nyawa tersebut harus dilakukan melalui gerakan tubuh karena delik dalam Pasal 338 adalah delik
komisi. Sebagai delik genus, unsur-unsur delik dalam Pasal 338 harus ada juga di dalam pasal-
pasal berikutnya seperti Pasal 340, Pasal 341, Pasal 342 dan seterusnya yang masih dalam bab
tentang kejahatan terhadap nyawa. Sebagai contoh, pembunuhan di dalam delik Pasal 340 memuat
unsur-unsur delik dalam Pasal 338 plus ditambah satu unsur delik yang dengannya ancaman pidana
diperberat, yaitu unsur ‘dengan rencana’. Pasal 340, dengan demikian, merupakan delik species
kejahatan terhadap nyawa.

Dalam konteks ‘melawan hukum’ dalam Pasal 2 ayat (1) UU Anti Korupsi, ia merupakan genus.
Melawan hukum adalah unsur umum suatu delik. Melawan hukum mutlak untuk setiap delik.
Menurut Andi Zainal Abidin, salah satu unsur esensial delik adalah sifat melawan hukum
(wederrechttelijkheid) yang dinyatakan dengan tegas atau tidak di dalam suatu pasal undang-
undang pidana, karena alangkah janggalnya kalau seseorang dipidana ketika melakukan perbuatan
yang tidak melawan hukum. 92 Menurut Roeslan Saleh, memidana sesuatu yang tidak melawan
hukum tidak ada artinya. 93 Sebagai genus, bentuk-bentuk melawan hukum juga beragam seperti
tanpa hak, tanpa izin, tanpa wewenang, melanggar prosedur, atau menyalahgunakan kewenangan94
sehingga disebut sebagai species dari genus melawan hukum.
Ilustrasi sederhana antara genus dan species adalah mengenai mobil. Mobil adalah genus. Bentuk-
bentuk mobil (species) beragam; ada Honda, ada Toyota, ada Mitsubitshi, ada Nissan, dan ada
Suzuki. Jika suatu benda/barang bukan mobil, pasti ia tidak bisa disebut sebagai Honda, Toyota,
Mitsubitshi, Nissan, dan bahkan Suzuki. Akan tetapi, jika suatu benda/barang adalah bukan Honda,
ada kemungkinan benda/barang tersebut adalah Suzuki, Nissan, Toyota, atau Mitsubitshi. Ilustrasi
ini penting dipahami karena alur berpikir yang digunakan sebenarnya sama dengan alur berpikir
di dalam memahami melawan hukum sebagai genus dan menyalahgunakan kewenangan sebagai
species dan hubungannya dengan perumusan dakwaan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Anti
Korupsi. Sederhananya begini; jika suatu perbuatan bukan sebagai pencurian, perbuatan tersebut
tidak bisa disebut sebagai pencurian dengan kekerasan. Jika suatu perbuatan bukan sebagai
pembunuhan, perbuatan tersebut tidak bisa disebut sebagaimana pembunuhan berencana. Jika

92
Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetk. Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm 47
93
Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1987, hlm 1
94
Andhi Nirwanto, Asas Kekhususan Sistematis Bersyarat dalam Hukum Pidana Administrasi dan Tindak
Pidana Korupsi, Alumni, Bandung, 2015
suatu perbuatan bukan melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1), maka perbuatan tersebut pasti
bukanlah menyalahgunakan kewenangan dalam Pasal 3. Akan tetapi, jika perbuatan tersebut bukan
menyalahgunakan kewenangan, ada kemungkinan bahwa perbuatan itu termasuk ke dalam
perbuatan yang dilakukan ‘melawan hukum’, ‘tanpa izin’, ‘tanpa hak’ atau ‘melanggar prosedur’.

Dalam praktik perumusan surat dakwaan secara subsidiaritas, Pasal 2 ayat (1) ditempatkan sebagai
dakwaan primair, sedangkan Pasal 3 berada pada dakwaan subsidiair. Konsekuensinya, Pasal 2
ayat (1) dibuktikan terlebih dahulu. Apabila tidak terbukti, maka yang dibuktikan adalah dakwaan
subsidiair Pasal 3. Praktik semacam ini jelas keliru dan menyesatkan karena mengaburkan
perbedaan esensial antara melawan hukum sebagai genus dengan menyalahgunakan kewenangan
sebagai species. Mengapa tetap dipertahankan? Menurut penulis, hal demikian lebih karena alasan
pragmatis, yaitu jaksa penuntut takut atau khawatir terdakwa bebas atau lepas jika dakwaan
dirumuskan secara alternatif atau bahkan tunggal. Tentu ini adalah contoh praktik penegakan
hukum pidana perkara tindak pidana korupsi yang tidak baik dan tidak perlu lagi dipertahankan.
Baik dakwaan alterantif maupun dakwaan tunggal memiliki konsekuensi yang sama, yakni sama-
sama hanya boleh memilih atau menetapkan satu dakwaan saja yang akan digunakan untuk
menuntut atau memutus (perbuatan dan kesalahan) terdakwa.

Dakwaan apa yang tepat untuk delik Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3? Menurut penulis, dakwaan yang
tepat menurut asas adalah dakwaan alternatif atau dakwaan yang dirumuskan secara tunggal.
Dakwaan alternatif pertama adalah Pasal 2 ayat (1), sedangkan dakwaan alternatif kedua adalah
Pasal 3 UU Anti Korupsi. Konsekuensinya, penuntut umum harus memilih dan menetapkan
dakwaan yang mana yang sesuai atau mencocoki rumusan delik dan fakta-fakta yang terungkap di
persidangan. Dengan kata lain, penuntut umum harus tegas apakah perbuatan terdakwa sebagai
perbuatan melawan hukum sebagaimana dalam delik Pasal 2 ayat (1) atau justru menyalahgunakan
kewenangan sebagaimana dalam Pasal 3. Ada kemungkinan dakwaan yang dipilih dan ditetapkan
oleh penuntut umum berbeda dengan yang dipilih dan ditetapkan oleh hakim. Akan tetapi, jika
penuntut umum merumuskan dakwaan tunggal, harus ada bukti-bukti yang kuat bahwa terdakwa
memang melakukan perbuatan yang dimaksudkan dalam dakwaan karena apabila tidak, terdakwa
akan dibebaskan/dilepaskan oleh majelis hakim. Secara asas/doktrin/teori,
membebaskan/melepaskan terdakwa perkara tindak pidana korupsi merupakan hal wajar
sepanjang sesuai dengan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan. Lebih baik salah di
dalam membebaskan/melepaskan daripada salah dalam menghukum.

1.10 Pidana Mati


UU Anti Korupsi mengatur ancaman pidana mati khusus terhadap pelanggaran Pasal 2 ayat (1).
Dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (2) bahwa ‘dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan’. Berdasarkan
penjelasan resmi pasal ini, yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini dimaksudkan
sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada
waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi
bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam
keadaan krisis ekonomi dan moneter. Jadi, ada empat keadaan tertentu yang memungkinkan hakim
menjatuhkan pidana mati terhadap seseorang yang terbukti secara melawan hukum memperkaya diri
sendiri atau orang atau suatu korporasi yang merugikan keuangan Negara.
Dalam praktik, belum pernah ada pelaku tindak pidana korupsi yang dijatuhi pidana mati berdasarkan
putusan pengadilan meski wacara atau diskursus perlunya pelaku tindak pidana korupsi dijatuhi pidana
mati. Menurut penulis, setidaknya ada tiga alasan mengapa hal demikian terjadi. Pertama, keadaan-
keadan tertentu yang menjadi dasar/kebolehan penjatuhan pidana jarang terjadi. Sebagai contoh adalah
korupsi terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan bencana nasional. Pasca
Tsunami Aceh tahun 2004 hingga awal 2020, belum ada bencana yang oleh Negara yang ditetapkan
sebagai bencana nasional sehingga sulit menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana korupsi.
Meski Negara/pemerintah telah menetapkan Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana
Nasional melalui Keppres Nomor 12 Tahun 2020, tapi Pasal 27 ayat (1) Perppu No. 1 Tahun 2020
(menjadi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020) telah menegaskan bahwa dana-dana yang digunakan
untuk menanggulangi virus Corona bukan merupakan kerugian Negara sehingga secara normatif
pidana mati tidak mungkin dijatuhkan. Selain itu, terhadap perbuatan pelaku yang penyalahgunaan
pengelolaan sumber dana bantuan bencana nasional bisa dijerat dengan Pasal 78 Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana ‘hanya’ dapat dijatuhi pidana paling berat
berupa pidana penjara seumur hidup.

Kedua, empat hal atau empat keadaan-keadaan tertentu yang menjadi syarat penjatuhan pidana mati
justru ditempatkan di dalam penjelasan pasal, dan bukan di batang tubuh. Padahal, penjelasan suatu
pasal tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Sekalipun penjelasan suatu pasal adalah tasfir resmi
pembentuk undang-undang, hakim dapat saja berdalih tidak terikat dengan penjelasan tersebut
sehingga hal itu dijadikan alasan untuk tidak menjatuhkan pidana mati kepada pelaku tindak pidana
korupsi. Ketiga, pidana mati hanya mungkin dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi yang
terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1). Selain pelanggaran terhadap pasal ini, pidana mati tidak dapat
dijatuhkan. Padahal, delik dalam Pasal 2 ayat (1) lebih ringan daripada delik dalam Pasal 3.

Ke depan, kalaupun pidana mati tetap dicantumkan dan memungkinkan untuk dijatuhkan, keadaan-
keadaan tertentu di atas perlu dimasukkan di batang tubuh suatu pasal. Selain itu, perlu juga diatur
berapa batas minimal dana-dana yang diperuntukkan untuk kepentingan masyarakat yang dikorupsi
sehingga pidana dapat dijatuhkan. Jika mengacu kepada ketentuan yang berlaku saat ini (ius
constitutum), pelaku tindak pidana korupsi dapat dijatuhi pidana mati sepanjang memenuhi ketentuan
dalam Pasal 2 ayat (2) beserta penjelasannya meskipun yang dikorupsi sebesar Rp. 10 juta. Ancaman
pidana mati juga harus ditujukan kepada tindak pidana korupsi yang serius, dan tidak hanya dibatasi
kepada pelanggaran Pasal 2 ayat (1).

Anda mungkin juga menyukai