Anda di halaman 1dari 9

Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Partai Politik Dalam Perkara

Korupsi Yang Dilakukan Anggota Parta Politik di Indonesia saat ini

Pembahasan terkait pertanggungjawaban partai politik dalam perkara korupsi


sebenarnya bukanlah isu secara nasional namun, sudah menjadi isu global. Terkait
isu tersebut partai politik diminta agar segala Langkah-langkah pendanaan atau
sumbahan terhadap partai politik untuk terhindar dari berbagai bentuk tindak
pidana korupsi telah menjadi pembahasan dalam semua negara. Didalam
International Anti Corruption Conference (IACC) ke-8 di Lima, Peru pada 7-11
September 1997 dengan tema “Intergritas Global-Mengembangkan Strategi Anti
Korupsi dalam Dunia yang mengalami Perubahan” yang melakukan konferensi
untuk menyerukan Langkah oencegahan dan pemberantasan korupsi dengan
kesimpulan:1

“Karena Korupsi sebagai penghalang utama dalam proses pemilu dan proses-
proses politik, maka harus segera diambil tindakan untuk menerapkan cara-cara
efektif yang mengatur sumbangan untuk politisi dan partai polotik dan segera
mencatanya secara pulbik dan menetapkan batas-batas pengeluargaan kampanye
dan mengaudinya secara ketatat serta melanjutkan progam Pendidikan
kewarganegaraan menjadi sangat penting”

Kemudian pembahasan tersebut juga dibahas dalam International Anti Corruption


Conference (IACC) ke-11 di Seoul, Korea pada 25-28 Mei 2003 dengan tema
“Kebudayaan-kebudayaan yang berbeda, Nilai-nilai Bersama” yang dalam
pembahasan tersebut menetapkan salah satunya2:

“Dalam tinjauan IACC tentang Pembiayaan partai politik dan korupsi pemilu,
terlihat jelas bahwa partai politik tidak dapat diabaikan dalam reformasi
keuangan. Parta Politik harus terlibat dalam Upaya reformasi internal,
mempraktikan transparansi dan menunjukkan komitmen untuk standar etika.
IACC mengakui bahwa politisi menghadapi kesulitan yang kian bertambah dalam
1
https://iaccseries.org/about, konverensi IACC ke-8, diakses 10 November 2017 dalam Maria
Silvya E, Wangga , Pertanggungjawaban Pidana Partai Politik sebagai Badan Hukum dalam Tindak
Pidana Korupsi, Jurnal Intergritas KPK, Vol. 4 Nomor 2. Hal 260-261 pada tanggal 24 Maret 2024
2
https://iaccseries.org/about, konverensi IACC ke-11, diakses 10 November 2017 dalam Maria
Silvya E, Wangga , Pertanggungjawaban Pidana Partai Politik sebagai Badan Hukum dalam Tindak
Pidana Korupsi, Jurnal Intergritas KPK, Vol. 4 Nomor 2. Hal 261 pada tanggal 24 Maret 2024

1
membiayai kampanye dan bahwa Upaya reformasi tidak mungkin berhasil kalua
biaya pemilu dikurangi”

Kemudian didalam artikel No 26 United Nations Convention Against Corruption,


2003 yang menjelaskan;

“1. Each State Party shall adopt such measures as may be necessary, consistent
with its legal principles, to establish the liability of legal persons for
participation in the offences established in accordance with this Convention.
2. Subject to the legal principles of the State Party, the liability of legal persons
may be criminal, civil or administrative.
3. Such liability shall be without prejudice to the criminal liability of the natural
persons who have committed the offences.
4. Each State Party shall, in particular, ensure that legal persons held liable in
accordance with this article are subject to effective, proportionate and
dissuasive criminal or non-criminal sanctions, including monetary sanctions”
Menanggapi adanya International Anti-Corruption Conference (IACC) dan
United Nations Convention Aginst Corruption yang telah diratifikasi di Indonesia.
Sebernarnya sebelum pembahasan tersebut Indonesia sudah melakukan
perumusan hukum dan sudah disahkan terkait pengaturan korupsi dalam Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak PIdana Korupsi
yang kemudian juga terjadi perbuahan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak pidana Korupsi, kemudian perumuhan
tindak pidana korupsi juga tertungan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023
Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

1. Perumusan Subyek Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi Saat Ini

Jika melihat dari kontruksi Pasal 1 dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun


1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perumusan diawali
dengan menggunakan dua kata yakni “setiap orang”. Hal ini membuat
pemahaman terhadap subyek dari tindak pidana korupsi ini seolah solah
hanyalah terbatas pada subyek hukum orang. Melihat dari ketentuan dalam
Pasal 1 Angka 3 yang dimaksud orang adalah orang perorangan atau korporasi.

2
Rumusan mengenai korporasi tersebut tertera didalam Pasal 1 Ayat (1) yang
menyebutkan “Kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.

Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut yang


dimaksud korporasi merupakan korporasi yang tidak hanyalah Kumpulan
orang tetapi Kumpulan kekayaan baik yang berbadan hukum maupun tidak
berbadan hukum. Hal ini terdapat korelasi terhadap subyek hukum dalam partai
politik dirumuskan didalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 Ayat (1) Undang-
undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai politik, partai politik dirumuskan
“Organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga
negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita
untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota,
Masyarakat, banga san negara serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasrkan Pancasila dan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”

Berdasarkan rumusan diatas mengartikan partai politik sebagai korporasi


karena terdapat Kumpulan orang atau warga negara yang memiliki tujuan (arah
yang ingin dicapai dituangakan dalam akta pendirian Partai), juga mempunyai
harta kekayaan serta tak luput juga hak dan kewajiban tersendiri. Kemudian
jika didalam Undang-undang Partai Politik menjelaskan secara tidak langsung
sebagai korporasi, didalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Pasal 36 mengatur subyek yang
dapat dikenakan pidana secara generalitik (yang mana tindak pidana diatur
didalam undang ini). Namun istilah masih digunakan mengguakan kata “setiap
orang” akan tetapi didalam Pasal 45 ayat (1) merumuskan korporasi sebagai
subyek hukum pidana. Sehingga pertanggungjawaban korporasi sudah diatus
didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru ini. Kemudian
perumusan terkait korporasi yang dijelaskan pada Pasal 45 Ayat (2) sebagai
berikut:

“Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup badan hukum


yang berbentuk perseroan terbatas, yayasan, koperasi, badan usaha milik

3
negara, badan usaha milik daerah, atau yang disamakan dengan itu, serta
perkumpulan baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum,
badan usaha yang berbentuk lirma, persekutuan komanditer, atau yang
disamakan dengan itu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.”

Didalam perumusan tersebut terkait subyek hukum pidana korporasi terdapat


kemiripan atau serupa penjelasannya didalam Undang-Undang No 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni terdapat pengertian
bahwa korporasi yang dimaksud “perkumpulan baik yang berbadan hukum
maupun tidak berbadan hukum atau disamakan dengan itu sesuai dengan
peraturan perundang-undangan” sehingga rumusan subyek dalam tindak
pidana korupsi saat ini hanyalah “orang” dan “korporasi”

2. Perumusan Tindak Pidana Korupsi Oleh Partai Politik Yang Saat Ini
Digunakan

Perumusan terhadap tindak pidana korupsi yang berhubungan dengan partai


politik saat ini yang sering digunakan oleh apparat penegak hukum yakni Pasal
20 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi memuat;

1) Dalam hal korupsi dilakukan untuk dan atas nama korporasi, maka
tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan/atau
pengurusnya;
2) Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila korupsi tersebut dilakukan oleh
orang-orang yang baik atas hubungan kerja maupun hubungan lainnya,
bertindak dalam lingkungan korporasi baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama;
3) Tuntutan pidana terhadap korporasi diwakili oleh pengurusnya;
4) Pengurus yang mewakili korporasi dapat diwakili oleh orang lain;
5) Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap
sendiri ke pengadilan atau hakim memerintahkan agar pengurus yang
mewakili korporasi dihadapkan ke sidang pengadilan;

4
6) Penyerahan untuk surat panggilan menghadap bagi korporasi yang dituntut
pidana disampaikan ke pengurus di tempat tinggal pengurus atau kantor
pengurus; dan
7) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda
dengan ketentuan maksimum pidana ditambah sepertiga (1/3)

Berdasarkan dari ketentuan Pasal 20 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999


tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, merumuskan perbuatan dan
pertanggungjawaban pidana yang digunakan dalam penegakan hukum
korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi hal ini seperti didalam
rumusan subyek partai politik secara tersirat didalam undang-undang partai
politik sebagai korporasi yang mengacu pada tindak pidana yang dilakukan
oleh orang-orang berdasarkann hubungan kerja maupun hubungan lainya yang
tertera didalan AD/ART setiap partai politik.

Kemudian dididalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang


perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi merumuskan 30 perbuatan yang dikualifikasi sebagai
tindak pidana korupsi. Undang-undang tindak pidana korupsi sudah
memperluas subyek tindak pidana menjadi orang dan korporasi. Bentuk yang
diajur terhadap korporasi teradapat 6 macam tindak pidana yang dilakukan
oleh partai politik sebagai korporasi saat ini yakni :

a. Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan kerugiaan negara;


b. Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan suap menyuap
c. Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan penggelapan
d. Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan pemerasan
e. Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan penggadaan barang dan jasa
f. Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan gratifikasi.

Kemudian rumusan terkait tindak pidana korupsi dalam Undang-undang No 1


Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan
sengan subyek hukum orang dan korporsasi diatur didalam Pasal 604 yakni
“Setiap Orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain,
atau Korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana

5
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling
banyak kategori VI.”

Dalam ketentenuan tindak pidana korupsi didalam KUHP yang baru


menjelaskan subyek adalah “setiap orang atau korporasi” dan perbuatan
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau menyalahkan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan merugikan engara atau perekonomian negara. Dari unsur tersebut
jika disandirkan terhadap korporasi sebagai subyek hukum pidana dan
Tindakan yang menguntungkan korporasi tersebut dapat dikorelasikan dengan
partai politik yang tertuang didalan undang-undang partai politik. Sehingga
perbuatan korporasi yang diatur dalam KUHP yang baru dan yang lama masih
ada kemiripan namun digeneralitis dengan pidana umum lainya.

3. Perumusan Pertanggungjawaban Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh


Partai Politik Yang Saat Ini Digunakan
Perumusan tindak pidana korupsi yang mana dilakukan oleh partai politik
sebagai korporasi sebagaimana yang tersirat dalam undang-undang partai
politik pertanggungjawaban masih pada perusuman Pasal 20 Undang-undang
No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat;
(1) Dalam hal korupsi dilakukan untuk dan atas nama korporasi, maka
tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan/atau
pengurusnya;
(2) Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila korupsi tersebut dilakukan oleh
orang-orang yang baik atas hubungan kerja maupun hubungan lainnya,
bertindak dalam lingkungan korporasi baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama;
(3) Tuntutan pidana terhadap korporasi diwakili oleh pengurusnya;
(4) Pengurus yang mewakili korporasi dapat diwakili oleh orang lain;

6
(5) Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap
sendiri ke pengadilan atau hakim memerintahkan agar pengurus yang
mewakili korporasi dihadapkan ke sidang pengadilan;
(6) Penyerahan untuk surat panggilan menghadap bagi korporasi yang dituntut
pidana disampaikan ke pengurus di tempat tinggal pengurus atau kantor
pengurus; dan
(7) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda
dengan ketentuan maksimum pidana ditambah sepertiga (1/3)

Didalam rumusan ketentuan diatas menjelaskan siapa saja yang dapat


dipertanggungjawabkan secara jelas terhadap subyek korporasi yang
melakukan tindak pidana. Pertama, ketentuan dalam Pasal 20 ayat (1) yang
menjelaskan secara umum unsur dari tindak pidana korupsi yang dilakukan
oleh korporasi dengan atas nama korporasi maka yang dapat
dipertanggungjawabkan adalah korporasi dan atau pengurusnya sehingga
pertanggungjawaban apabila terjati perbuatan korupsi menggunakan atas nama
dari korporasi dapat dikenakan oleh pihak korporasi dan atau pengurusnya.
Kedua, dalam Pasal 20 ayat (2) pertanggungajwaban pidana apabila yang
dilakukan oleh korporasi adalah orang-orang yang memiliki hubungan dari
korporasi tersebut sebagaiman yang tertera didalam AD/ART Korporasi
tersebut. Kemudian didalam ketentuan dari pasal 20 ayat (3) Ayat (4) Ayat (5)
lebih menjelaskan petunjuk apabila korporasi dituntut pidana dapat
diwakilikan oleh pengurusnya dan pengurusnya dapat mewakilkannya ke
orang lain dan wajib harus dalam proses persidangan.
Selanjutnya pertanggungjawaban korupsi yang dilakukan oleh korporasi juga
diatur didalam Pasal 604 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang menjelaskan pertanggungjawaban
pidana diawali dengan orang yang bertanggungjawab kemudian ada pilihan
dengan korporasi. Hal ini tertadapt kata “atau” didalam rusuman pasal
tersebut. Kemudian dialam pasal tersebut pertanggungjawaban untuk
korporasi apabila korporasi melakukan penyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Sehingga

7
korporasi maupun berbadan hukum maupun tidak dapat dijerat dalam KUHP
baru ini.

4. Perumusan Sanksi Pidana Korupsi Dilakukan Partai Politik Yang Saat Ini
Digunakan
Rumusan tentang sanksi pidana terhadap korporasi yang melakukan tindak
pidana korupsi diatur didalam Pasal 20 angka (7) dan Pasal 18 Undang- undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jenis
pidana yang diterapkan adalah jenis pidana pokok dan jenis pidana tambahan.
Jika melihat rumusan Pasal 20 angka (7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan
terhadap korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana
denda ditambah 1/3 (satu pertiga). Jika melihat dari sanksinya terhadap tindak
pidana korupsi hanyalah pidana denda ditambah 1/3 dan sampai saat ini
pengaturan lebih lanjut mengenai denda yang tidak dapat dibayar oleh
korporasi belum mengatur. Namun jika melihat rumusan didalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
merumuskan berbeda. Jika melihat dari sanksi yang tertera didalam Pasal 604
memberikan rumusan “dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori
VI.” Hal ini terdapat pidana penjara minimum dan maksimum serta terdapat
denda yang dikategorikan berdasarkan ketentuan yang tertera didalam Pasal 79
sebagai berikut :
(1) Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan:
a. kategori I, Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah);
b. kategori II, Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
c. kategori III, Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
d. kategori IV, Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
e. kategori V, Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
f. kategori VI, Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);
g. kategori VII, Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan
h. kategori VIII, Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

8
(2) Dalam hal terjadi perubahan nilai uang, ketentuan besarnya pidana denda
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

Anda mungkin juga menyukai