Dalam KUHP pasal 2 sampai pasal 9 dinyatakan bahwa subjek hukum merupakan setiap
orang yang melakukan delik di Indonesia atau di luar wilayah Indonesia (maksudnya di
dalam kapal atau pesawat yang berbendera Indonesia).
Sedangkan dalam UU TPE, tepatnya pada pasal 15 ayat 1 sampai ayat 4 dijelaskan bahwa
yang dijadikan subjek hukum adalah suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu
perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan. Pasal tersebut menyatakan suatu tindak
pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu
perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka dijatuhkan hukuman pidana
maupun tata tertib pada perseroan, perserikatan, maupun yayasan ataupun yang menjadi
pimpinan dalam perbuatan atau kelalaian tersebut. Jika delik tersebut dilakukan juga oleh
atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu
yayasan, jika tindak itu dilakukan oleh orang-orang yang, baik berdasar hubungan-kerja
maupun berdasar hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan,
perserikatan atau yayasan itu, tak perduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendiri
melakukan tindak-pidana ekonomi itu atau pada mereka bersama ada anasir-anasir tindak-
pidana tersebut. Apabila suatu tuntutan-pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum,
suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka badan hukum, perseroan,
perserikatan atau yayasan itu pada waktu penuntutan itu diwakili oleh seorang pengurus
atau, jika ada lebih dari seorang pengurus, oleh salah seorang dari mereka itu. Wakil dapat
diwakili oleh orang lain, Hakim dapat memerintahkan supaya seorang pengurus menghadap
sendiri di pengadilan, dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus itu di bawa ke muka
hakim. tuntutan-pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu
perserikatan orang atau suatu yayasan, maka segala panggilan untuk menghadap dan segala
penyerahan surat-surat panggilan itu akan dilakukan kepada kepala pengurus atau di tempat
tinggal kepala pengurus itu atau di tempat pengurus bersidang atau berkantor. Dalam pasal
15 juga ditetapkan bahwa suatu hukuman atau tindakan dapat juga dijatuhkan terhadap
badan-badan hukum, perseroan, yayasan, dan perserikatan.
Sedangkan dalam UU TPE, pada pasal 16 ayat 1 sampai ayat 6, diatur mengenai
peradilan absentia dengan beberapa ketentuan yang mengatur jalannya proses peradilan
tersebut. Diantaranya:
(1) Jika ada cukup alasan untuk menduga, bahwa seseorang yang meninggal dunia, sebelum
atas perkaranya ada putusan yang tak dapat diubah lagi, telah melakukan tindak pidana
ekonomi, maka hakim - atas tuntutan penuntut umum dengan putusan pengadilan dapat:
a. memutus perampasan barang-barang yang telah disita. Dalam hal itu pasal 10
undang-undang darurat ini berlaku sepadan;
b. memutus bahwa tindakan tata tertib yang disebut pada pasal 8 sub c dan d
dilakukan dengan memberatkannya pada harta orang yang meninggal dunia itu.
(2) Putusan itu diumumkan oleh panitera dalam Berita Negara dan di dalam satu atau lebih
surat kabar yang akan ditunjuk oleh hakim. Turunan dari putusan itu disampaikan kepada
rumah di mana orang itu meninggal dunia.
(3) Setiap orang yang berkepentingan dapat memajukan surat keberatan kepada panitera
pengadilan atas putusan itu dalam masa tiga bulan setelah pengumuman termaksud ayat 2.
(4) Dalam hal itu jaksa didengar; pihak yang berkepentingan itu didengar juga,
setidaktidaknya dipanggil semestinya untuk menghadap.
(5) Putusan hakim harus memuat alasan-alasan. Terhadap putusan itu tidak dapat
dimintakan bandingan atau kasasi.
(6) Ketentuan tersebut dalam ayat 1 pada permulaan kalimat dan di bawah a berlaku juga,
jika berdasarkan alasan-alasan dapat diterima bahwa tindak pidana ekonomi itu dilakukan
oleh seorang yang tidak dikenal. Putusan itu diumumkan dalam Berita Negara dan di dalam
satu atau lebih surat kabar yang akan ditunjuk oleh hakim.. Pada intinya pasal tersebut
menerangkan bahwa ketika seseorang yang diduga melakukan tindak pidana ekonomi telah
meninggal dunia, maka proses peradilan tindak pidana ekonomi tersebut masih berjalan, hal
tersebut menjadi ciri kekhususan bahwa tindak pidana ekonomi adalah hukum khusus dari
hukum pidana.
c. Perbedaan Peradilan
Dalam pasal 82 KUHP ayat 1 sampai ayat 4 dijelaskan bahwa tindak pidana yang
hukumannya hanya denda saja menjadi hapus jika dengan sukarela maksimum dengan
sukarela dibayar dengan denda dan baiaya-biaya yang telah dikeluarkan jika penuntutan
telah dimulai. Bila dikenai dengan perampasan maka barang yang dikenai perampasan harus
diserahkan pula, atau dibayar dengan taksiran harga.
Dalam UU TPE dikenal adanya lembaga Schikking yang merupakan lembaga penyelesaian
di luar pengadilan, yaitu berupa denda damai.
Dalam UU TPE, dijabarkan dengan jelas perbedaan antara tindak pidana ekonomi yang
berupa kejahatan dan tindak pidaha ekonomi yang berupa pelanggaran. Ketentuan ini diatur
dalam Pasal 2 ayat 1 sampai ayat 3. Pasal 2 ini menjelaskan bahwa,
- Tindak pidana ekonomi yang diatur dalam Pasal 1 sub 1 c adalah kejahatan atau
pelanggaran sekedar tindak itu menurut ketentuan undang-undang yang
bersangkutan adalah kejahatan atau pelanggaran. Tindak pidana ekonomi yang lain
yang tersebut dalam pasal 1 sub e adalah kejahatan apabila tindak itu dilakukan
dengan sengaja. Jika tindak itu tidak dilakukan dengan sengaja itu adalah
pelanggaran.
- Tindak pidana ekonomi tersebut dalam pasal 1 sub 2e adalah kejahatan.
- Tindak pidana ekonomi tersebut dalam pasal 1 sub 3e adalah kejahatan, apabila
tindak itu mengandung anasir sengaja; jika tindak itu tidak mengandung anasir
sengaja, tindak pidana itu adalah pelanggaran; satu dengan lainnya, jika dengan
undang-undang itu tidak ditentukan lain.
Pasal ini membedakan dengan jelas antara tindak pidana ekonomi yang dianggap
kejahatan dan tindak pidana ekonomi yang dianggap pelanggaran.
b. Percobaan dan Membantu Pelanggaran dapat Dipidana dalam Ketentuan UU TPE
Dalam ketentuan KUHP, mencoba dan membantu pelanggaran tidak dapat dipidana.
Ketentuan ini diatur dalam pasal 54 sampai pasal 60 KUHP, dalam pasal tersebut dijelaskan
bahwa seseorang yang melakukan percobaan dan turut serta membantu pelanggaran maka
seseorang tersebut tidak termaksud sebagai pelaku dan atau pembuat delik, maka
seseorang tersebut tidak dapat dipidana.
Dalam KUHP pada pasal 2 menjelaskan bahwa ketentuan pidana dalam perundang-
undangan Indonesia hanya berlaku bagi setiap orang yang melakukan suatu delik di
Indonesia. Ketentuan pasal tersebut menyebutkan bahwa peraturan pidana tersebut hanya
berlaku di wilayah Indonesia saja, tidak berlaku bagi delik yang terjadi di luar Indonesia.
Dalam KUHP hanya terdapat dua jenis pidana. Hal itu diatur daalam pasal 10 sampai
pasal 43 tentang pidana konvensional. Jenis pidana tersebut adalah pidana pokok dan
pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan,
pidana denda, dan pidaana tutupan. Pidana tambahan terdiri atas pencabutan hak-hak
tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan putusan hakim.
UU TPE mengatur tentang pidana non-konvensional dalam pasal 6 sampai pasal 8 dan
pasal 27. Dalam pasal 6 diatur tentang hukuman dan tindakan tata tertib yang pada
umumnya dapat dijatuhkan terhadap tindak pidana ekonomi. Ayat 1 dan ayat 2 mengatur
hukuman pokok, ayat 3 mengatur hukuman tambahan dan tindakan tata tertib. Hukuman
pokok sama dengan hukuman pokok dalam KUHP tapi maksimum hukuman pokok tersebut
lebih berat daripada yang lazim digunakan. Pasal 7 mengatur mengenai hukuman tambahan.
Hukuman tambahan dapat dijatuhkan terhadap kejahatan maupun pelanggaran. Kemudian
pada pasal 8 diatur mengenai tindakan-tindakan tata tertib yang dapat diambil jika
dilakukan sesuatu tindak pidana ekonomi. Ketentuan pasal 8 adalah suatu tambahan yang
penting sekali. Dalam poin a pasal tersebut disebut tentang pengampuan, poin b mengatur
tentang uang jaminan, poin c mengatur tentan, pembayaran sejumlah uang sebagai
pencabutan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, poin d mengenai kewajiban
untuk mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak atau meniadakan apa yang dilakukan
tanpa ha katas biaya si terhukum. Tindakan itu diambil disamping hukuman pokok yang
mungkin terdiri dari hukuman denda. Pelaksanaan dari tindakan tata tertib ini dapat diatur
oleh hakim berdasarkan ketentuan pasal 10 ayat 1 dan 2.
2e. Tindak-tindak pidana tersebut dalam pasal-pasal 26, 32 dan 33 undang-undang darurat
ini; 3e. pelanggaran sesatu ketentuan dalam atau berdasar undang-undang lain, sekadar
undang-undang itu menyebut pelanggaran itu sebagai tindak-pidana ekonomi.
Dalam pasal 2 undang-undang yang sama disebutkan bahwa penimbunan barang yang
disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 poin c tersebut adalah kejahatan atau pelanggaran
sekedar tindak itu menurut ketentuan undang-undang yang bersangkutan adalah kejahatan
atau pelanggaran.