Anda di halaman 1dari 2

1.

Hukum Tindak Pidana Khusus adalah hukum yang mengatur perbuatan tertentu atau
berlaku terhadap orang tertentu, harus dilihat substansi dan berlaku kepada siapa
hukum tindak pidana khusus. Hukum tindak pidana khusus ini diatur dalam
UndangUndang di luar hukum pidana umum. Asas dari hukum tindak pidana khusus
adalah Asas Lex Specialy Derogat Legi Generaly yang artinya ketentuan-ketentuan
khusus mengesampingkan ketentuan-ketentuan umum. Berdasarkan pasal 103 KUHP
juga mengatur yang pada umumnya bahwa tentang kemungkinan adanya UU pidana
yang ada diluar KUHP. Hal ini berhubungan dengan asas tersebut yang mana KUHP
menjadi ketentuan umum dan UU pidana diluar KUHP menjadi ketentuan khusus.
2. Menurut sistem KUHP Indonesia, yang dapat menjadi subjek hukum pidana ialah
manusia. Hal itu dapat di lihat dalam tiap-tiap pasal dalam KUHP buku II dan buku
III. Sebagian besar kaidah-kaidah hukum pidana diawali dengan kata barang siapa
sebagai terjemahan Bahasa belanda dari kata Hij.
Seiring berjalannya waktu dan penggalian terhadap ilmu hukum pidana, manusia
bukanlah satu-satunya subjek hukum. Diperlukan suatu hal lain yang menjadi subjek
hukum pidana. Disamping orang dikenal subjek hukum selain manusia yang disebut
badan hukum. Badan hukum adalah organisasi atau kelompok manusia yang
mempunyai tujuan tertentu yang dapat menyandang hak dan kewajiban. Negara dan
perseroan terbatas misalnya adalah organisasi atau kelompok manusia yang merupkan
badan hukum. Penyebutan korporasi sebagai subjek hukum tercantum dalam Pasal 1
anga 1 UU No 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 1 angka 21 UU No35 tahun
2009 tentang narkotika, Pasal 1 angka 10 UU No 8 tahun 2010 tentang tindak pidana
pencucian uang, dan lain sebagainya.
3. A. korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban karena adanya tiga kategori kesalahan
korporasi, yaitu korporasi memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana
tersebut, korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana tersebut, atau korporasi tidak
melakukan langkah-langkah pencegahan. apabila korporasi mendapatkan keuntungan atau
manfaat dari tindak pidana tersebut maka tindak pidana tersebut dilakukan dalam ruang
lingkup tujuan korporasi. Begitu juga dengan alasan korporasi membiarkan terjadinya tindak
pidana tersebut dan/atau tidak melakukan langkah-langkah pencegahan, maka korporasi
juga dianggap sebagai pelaku tindak pidana dan dapat dimintakan pertanggungjawaban
pidana korporasi. Dan bentuk pertanggung jawaban korporasi disesuaikan dengan undang-
undang yang mengatur tentang tindakan korporasi tersebut.
B. korporasi dianggap bersalah saat korporasi telah memenuhi delik yang dirumuskan
dalam undang-undang yang mengatur tindakan korporasi tersebut. Perma No 13
Tahun 2016 hanya menentukan 3 kategori kesalahan yang dilakukan oleh korporasi
seperti yang sudah dijelaskan. Penegak hukum hanya mengaitkan tindakan korporasi
ke unsur-unsur yang sudah dituangkan dalam norma hukum di undang-undang yang
mengatur.
4. Secara singkat perbedaan TPPU Aktif dan Pasif adalah subjek dari TPPU aktif adalah
orang yang melakukan, sedangkan yang pasif adalah orang yang menerima. Pelaku
TPPU aktif dapat di temukan dalam rumusan pasal 3 dan 4 UU TPPU yang berkenaan
dengan pengenaan sanksi pidana bagi: (a) pelaku pencucian uang sekaligus pelaku
tindak pidana asal; dan (b) pelaku pencucian uang, yang mengetahui atau patut
menduga bahwa harta kekayaan berasal dari hasil tindak pidana. Sedangkan pelaku
pasif TPPU sebagaimana dirumuskan dalam pasal 5 UU TPPU lebih menekankan
pada pengenaan sanksi pidana bagi: (a) pelaku yang menikmati manfaat dari hasil
kejahatan; dan (b) pelaku yang berpartisipasi menyembunyikan atau menyamarkan
asal usul harta kekayaan.
5. Dalam United Nations Convention Against Ilicit Trafic in Narcotic, Drugs and
Psychotropoc Substances of 1988 yang sudah diratifikasi dengan Undang-undang no
7 tagyb 1997, dan terjemahan money laundering di dalam UU no 15 tahun 2002
sebagai mana diubah dengan UU No 25 tahun 2003 di difenisikan dengan perbuatan
menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,
menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar neger, menukarkan atau perbuatan
lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil
tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul
harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan sah. Dengan asal
konvensi tersebut menjadikan dasar bagi Indonesia untuk membuat undang-undang
khusus tentang tindak pidana pencucian uang.

Anda mungkin juga menyukai