Anda di halaman 1dari 24

Muhammad Ainul Yaqin

JA TEAM BATCH III


1.ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DAN KONTRAK BAKU DALAM AKAD
EKONOMI SYARIAH
Dasar hukum : KUHPERDATA
Kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas penting dalam
hukum perjanjian. Sepanjang kontrak-kontrak privat tersebut tidak
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, kepatutan dan
kesusilaan. Pasal 21 huruf (l) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah juga
menyebutkan bahwa akad dilakukan berdasarkan asas kebebasan
berkontrak (al-Hurriyah). Mengenai keberadaan asas kebebasan
berkontrak tersebut dapat disimpulkan dari beberapa pasal KUHPerdata,
yaitu Pasal 1329 KUHPerdata yang menentukan bahwa “setiap orang
cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika ia ditentukan tidak cakap
oleh undang-undang.” Ketentuan Pasal 1332 KUHPerdata dapat
disimpulkan bahwa “asalkan menyangkut barang-barang yang bernilai
ekonomis, maka setiap orang bebas untuk memperjanjikanya”. Dari Pasal
1320 ayat (4) Jo. Pasal 1337 KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa
“asalkan bukan mengenai kausa yang dilarang oleh undang-undang atau
bertentangan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum, maka setiap
orang bebas untuk memperjanjikannya”. Pasal 1338 Ayat (1) KUHPerdata
yang menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”. Pasal 44
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah juga menyatakan “semua akad yang
dibuat secara sah berlaku sebagai nash syariah bagi mereka yang
mengadakan akad. (Dikaji ulang) kembali ke rujukan asal”. Selanjutnya

dalam Pasal 46 menyatakan “suatu akad hanya berlaku antara pihak-


pihak yang mengadakan akad”.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas dapat ditafsirkan bahwa


setiap orang dapat membuat perjanjian dengan isi apapun, ada
kebebasan setiap subyek hukum untuk membuat perjanjian dengan

siapapun yang dikehendaki, dengan isi dan bentuk yang dikehendaki.9


Para ahli hukum internasional sering menyebut-nyebut bahwa iktikad baik
(good faith) merupakan dasar utama bagi berlakunya prinsip pacta sunt
servanda, di mana suatu kontrak harus dijalankan dengan tidak berburuk
sangka, jadi para pihak harus menjalankannya dalam keadaan beriktikad
baik (bonafide).

2.Diferensiasi dalil gugatan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum dalam perjanjian atau
kontrak
Dasar hukum : KUHPERDATA

Dalam hal adanya suatu pelanggaran hak yang menimbulkan kerugian, seseorang, terkadang
mengalami kebingungan sehubungan dengan kategori pelanggaran apa yang dialaminya antara
Wanprestasi dan perbuatan melawan hukum (PMH), Dalam praktik peradilanpun sering kali dijumpai
pencampuran antara Wanprestasi dengan PMH dalam gugatannya. Faktanya, terdapat perbedaan yang
sangat mendasar (prinsipil) antara Wanprestasi dengan PMH.

Perbedaan paling mendasar antara Wanprestasi dan PMH adalah dasar pengaturannya, Pengaturan
Wanprestasi secara khusus diatur dalam ketentuan Pasal 1343 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPer) yang didasarkan pada adanya cedera janji dalam suatu perjanjian sehingga salah satu pihak
harus bertanggung jawab. Seseorang dapat dikatakan telah ingkar janji atau wanprestasi, apabila
orang tersebut (debitor) tidak melakukan apa yang dijanjikannya atau ia melanggar perjanjian, dan
wanprestasi seorang debitor terdiri dari empat macam, yaitu:

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;


2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya

Sedangkan pengaturan PMH secara khusus diatur dalam ketentuan 1365 KUHPer yaitu “Tiap
perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Berdasarkan pengertian
tersebut dan yurisprudensi di Indonesia, PMH adalah perbuatan yang memenuhi kriteria:

5. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau


6. Melanggar hak subjektif orang lain, atau
7. Melanggar kaidah tata susila, atau
8. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki
seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang
lain ;
M.A. Moegni Djojodirdjo dalam bukunya yang berjudul “Perbuatan Melawan Hukum”, berpendapat
bahwa Wanprestasi dan PMH memiliki perbedaan dalam pembebanan pembuktian, perhitungan
kerugian, dan bentuk ganti ruginya. Dalam suatu gugatan perbuatan melawan hukum, penggugat
harus membuktikan semua unsur-unsur perbuatan melawan hukum selain harus mampu membuktikan
adanya kesalahan yang diperbuat debitur. Sedangkan dalam gugatan wanprestasi, penggugat cukup
menunjukkan adanya wanprestasi atau adanya perjanjian yang dilanggar, hal ini sangat penting untuk
mempertimbangkan apakah seseorang akan mengajukan tuntutan ganti rugi karena wanprestasi atau
karena perbuatan melawan hukum.

Perbedaan selanjutnya antara Wanprestasi dengan PMH dapat dilihat dari sumber hukumnya, kapan
timbulnya hak untuk menuntut dan tuntutan ganti rugi sebagaimana dapat dilihat dalam tabel dibawah
ini:

Dari perbedaan-perbedaan yang telah diuraikan diatas, Wanprestasi dan PMH memiliki kesamaan,
yaitu keduanya dapat diajukan ganti rugi oleh pihak yang dirugikan.

3.Perkembangan subjek hukum KONTRAK


Dasar hukum : KUHPERDATA
Subyek Hukum Perdata

1. Orang
Subekti dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal. 19-21) mengatakan bahwa
dalam hukum, orang (persoon) berarti pembawa hak atau subyek di dalam hukum. Sebagaimana kami
sarikan, seseorang dikatakan sebagai subjek hukum (pembawa hak), dimulai dari ia dilahirkan dan
berakhir saat ia meninggal. Bahkan, jika diperlukan (seperti misalnya dalam hal waris), dapat dihitung
sejak ia dalam kandungan, asal ia kemudian dilahirkan dalam keadaan hidup.

2. Badan Hukum
Subekti (Ibid, hal 21) mengatakan bahwa di samping orang, badan-badan atau perkumpulan-
perkumpulan juga memiliki hak dan melakukan perbuatan hukum seperti seorang manusia. Badan-
badan atau perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas
hukum dengan perantara pengurusnya, dapat digugat, dan dapat juga menggugat di muka hakim.

Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau

Mulai Dar
Pada sumber lain, penjelasan dalam artikel Metamorfosis Badan Hukum Indonesia mengatakan
bahwa dalam hukum perdata telah lama diakui bahwa suatu badan hukum (sebagai suatu subyek
hukum mandiri; persona standi in judicio) dapat melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatig
handelen; tort). Badan hukum mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum seperti halnya
orang, akan tetapi perbuatan hukum itu hanya terbatas pada bidang hukum harta kekayaan. Mengingat
wujudnya adalah badan atau lembaga, maka dalam mekanisme pelaksanaannya badan hukum
bertindak dengan perantara pengurus-pengurusnya.

Lebih lanjut dikatakan dalam artikel itu bahwa badan hukum perdata terdiri dari beberapa jenis,
diantaranya perkumpulan, sebagaimana terdapat dalam Pasal 1653 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (“KUH Perdata”); Perseroan Terbatas (Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas); Koperasi (Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian);
dan Yayasan (Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Yayasan sebagaimana yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004).

Subyek Hukum Publik (Pidana)


1. Orang
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (hal.
59) mengatakan bahwa dalam pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yang
dapat menjadi subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum. Ini terlihat pada
perumusan-perumusan dari tindak pidana dalam KUHP yang menampakkan daya berpikir sebagai
syarat bagi subjek tindak pidana itu, juga terlihat pada wujud hukuman/pidana yang termuat dalam
pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan, dan denda.

2. Badan Hukum (Korporasi)


Masih bersumber pada artikel Metamorfosis Badan Hukum Indonesia, dalam ilmu hukum pidana,
gambaran tentang pelaku tindak pidana (kejahatan) masih sering dikaitkan dengan perbuatan yang
secara fisik dilakukan oleh pelaku (fysieke dader).

Dalam pustaka hukum pidana modern telah diingatkan, bahwa dalam lingkungan sosial ekonomi atau
dalam lalu lintas perekonomian, seorang pelanggar hukum pidana tidak selalu perlu melakukan
kejahatannya itu secara fisik.

Karena perbuatan korporasi selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia (direksi; manajemen),
maka pelimpahan pertanggungjawaban manajemen (manusia; natural person), menjadi perbuatan
korporasi (badan hukum; legal person) dapat dilakukan apabila perbuatan tersebut dalam lalu lintas
kemasyarakatan berlaku sebagai perbuatan korporasi. Ini yang dikenal sebagai konsep hukum tentang
pelaku fungsional (functionele dader).

KUHP belum menerima pemikiran di atas dan menyatakan bahwa hanya pengurus (direksi) korporasi
yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum pidana (criminal liability). Namun, pada
perkembangannya korporasi juga dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum. Konsep ini
pertama kali diperkenalkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa baik hukum perdata maupun hukum pidana, subjek
hukum terdiri dari orang dan badan hukum. Dalam hukum perdata dan hukum pidana keduanya
mengakui bahwa badan hukum mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum seperti halnya
orang. Hal ini karena perbuatan badan hukum selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia.

Selain itu, baik dalam hukum pidana maupun hukum perdata, badan hukum dalam melakukan
perbuatan hukum bertindak dengan perantaraan pengurus-pengurusnya. Dalam hukum pidana, karena
perbuatan badan hukum selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia (direksi), maka pelimpahan
pertanggungjawaban pidananya terdapat pada manusia, dalam hal ini diwakili oleh direksi.

Perbedaannya, dalam KUHP tidak diatur mengenai pertanggungjawaban Direksi, hanya


pertanggungjawaban individual. Akan tetapi, pada perkembangannya, dalam peraturan perundang-
undangan dikenal juga tindak pidana korporasi.

4.Syarat sah perjanjian lisan dalam perspektif peraturan perundang-undangan


Dasar hukum : KUHPERDATA

Pengertian Kontrak Lisan


Kontrak lisan merupakan sebuah perjanjian yang telah disetujui kedua belah pihak secara lisan.
Berbeda dengan kontrak tertulis, kontrak lisan tidak menjelaskan secara detail mengenai ketentuan
dan hal-hal yang telah disetujui dalam sebuah dokumen. Namun, selayaknya kontrak tertulis, kontrak
lisan tetap dianggap sah di mata hukum.
Sebenarnya, kita sering sekali menemui kontrak lisan di kehidupan kita. Misalnya saja, ketika Anda
menjual barang kepada konsumen, itu sama halnya dengan Anda telah terikat dalam perjanjian jual-
beli dengan konsumen yang membeli barang Anda, meskipun tanpa adanya perjanjian tertulis. Atau
mungkin saja, Anda telah memberikan pinjaman tunai ke teman dekat Anda, secara tidak sadar Anda
telah terikat dengan perjanjian utang. Di mana, Anda sebagai kreditor dan teman Anda sebagai
debitur. Meskipun tanpa perjanjian tertulis, Anda tetap berhak mendapatkan pembayaran utang dari
teman Anda.

Kontrak Lisan Harus Memenuhi Syarat


Sama dengan kontrak tertulis, kontrak lisan dinyatakan sah ketika telah memenuhi syarat pembuatan
kontrak. Syarat pembuatan kontrak telah diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan
bahwa, perjanjian dianggap sah dan mengikat para pihak jika memenuhi 4 (empat) syarat yaitu:
9. Sepakatnya kedua belah pihak untuk mengikat diri dalam perjanjian.
10. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
11. Terdapat suatu hal tertentu di dalam kontrak.
12. Terdapat suatu sebab yang halal, yaitu tidak melanggar hukum yang berlaku.
Kontrak Lisan Menurut KUHPerdata
Pada umumnya kontrak lisan dianggap sah selayaknya kontrak tertulis. Pasal 1320 KUHPerdata
sama sekali tidak mengatur dan mewajibkan suatu kontrak atau perjanjian dibuat secara tertulis,
sehingga perjanjian lisan juga mengikat secara hukum. Namun, tidak semua perjanjian dapat
dilakukan secara lisan. Terdapat beberapa perjanjian yang harus dibuat secara tertulis dan tidak dapat
dianggap sah jika tidak dibuat secara tertulis. Salah satu perjanjian yang harus dibuat secara tertulis
menurut Pasal 1682 KUHPerdata adalah perjanjian hibah.

Alat Bukti yang Sah Ketika Terjadi Perselisihan


Berdasarkan hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, terdapat 5 (lima) alat bukti yang
diatur dalam Pasal 1866 KUHPerdata dan Pasal 164 H.I.R, yaitu bukti tulisan, bukti dengan saksi,
persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Sehingga jika terjadi perselisihan dalam suatu perjanjian, Anda
dapat menggunakan perjanjian tersebut sebagai bukti yang sah dalam pengadilan. Misalnya ketika
Anda menjual barang kepada konsumen, Anda dapat menggunakan purchase order, invoice, maupun
resi pembayaran sebagai alat bukti bahwa telah terjadi transaksi jual-beli antara Anda dan konsumen.
Selain itu, Anda juga dapat memperkuat posisi Anda di pengadilan dengan mengajukan alat bukti
lainnya. Salah satu alat bukti yang dapat Anda gunakan adalah dengan menghadirkan saksi. Karena
dibutuhkan paling sedikit 2 alat bukti yang sah berdasarkan hukum acara perdata di Indonesia.

Itulah beberapa penjelasan mengenai kontrak lisan yang harus Anda ketahui. Meski kontrak dapat
dibuat secara lisan, ada baiknya Anda membuat kontrak tertulis. Di mana, dengan perjanjian tertulis,
Anda dapat menjelaskan secara detail mengenai hal-hal yang disepakati kedua belah pihak dan juga
memberi kepastian hukum sebagai alat bukti di pengadilan, jika suatu hari terjadi perselisihan antara
para pihak. Jika perselisihan diselesaikan melalui lembaga peradilan, bukti tertulis merupakan alat
bukti yang penting dan paling kuat, sehingga ada baiknya jika Anda membuat perjanjian secara
tertulis dalam melakukan transaksi bisnis.

5. Lex Mercatoria sebagai Hukum yang di Pilih Dalam Penyelesaian Sengketa Dagang
Internasional
Dasar Hukum : konvensi internasional (UNIDROIT) dan hukum nasional setiap negara
Dalam kegiatan perdagangan internasional seringkali timbul sengketa yang dilakukan oleh para pihak.
Dan pilihan penyelesaian sengketanya dapat dilakukan baik ke pengadilan ataupun ke arbitrase.
Dikarenakan domisili atau kewarganegaraan yang berbeda maka hukum yang digunakan juga
berbeda. Sehingga jika tidak dengan jelas dicantumkan dalam kontrak yang mereka buat maka akan
terjadi permasalahan baru yaitu hakim harus menentukan hukum mana yang akan mereka gunakan
dalam penyelesaian sengketa tersebut, karena beda hukum yang diterapkan bisa terjadi beda putusan
dari hakim atau arbitrase. Dalam perkembangannya law of the merchant termasuk salah satu pilihan
hukum yang digunakan oleh para hakim untuk penyelesaian sengketa dagang internasional Pada
umumnya lex mercatoria diartikan kebiasaan dan kepatutan umum dari masyarakat bisnis yang
diterapkan ke dalam praktik hukum komersial di berbagai Negara, digunakan apabila terjadi
kekosongan (gaps) hukum. Hal itu dapat memberikan jalan keluar karena kendla tidak adanya hukum
nasional yang mengatur, sehingga para hakim dan arbitrator dapat memilih lex mercatoria
dilengkapinya dengan prinsip equity sebagai bahan penemuan hukum (rechtsvinding) oleh para hakim
atau arbitrator.
6. KEABSAHAN SMART CONTRACT SEBAGAI PERJANJIAN YANG MENGIKAT
PIHAK
Dasar Hukum : UU ITE
Smart Contract merupakan perkembangan lanjutan dari penerapan blockchain setelah adanya
cryptocurrency, yaitu merupakan sebuah program komputer yang pada dasarnya merupakan suatu
perjanjian elektronik dalam sistem basis data blockchain yang tujuannya sebagai protokol untuk
menjalankan sebuah perjanjian atau kesepakatan antara para pihak yang mampu mengeksekusi
klasula-klasula dalam perjanjian tersebut secara otomatis (self-excuting). Klasula-klasula yang
dimaksud ialah mengenai klasula pembayaran, pengiriman, mengenai garasi atau pergantian barang,
force majure, dan klasula batasan tanggung jawab para pihak. Smart contract terdiri dari serangkaian
kode data dalam jaringan blockchain atau berbentuk virtual tanpa memiliki bentuk fisik layakya surat
perjanjian konvensional. Kode data tersebut mewakili ketentuan-ketentuan berdasarkan kesepakatan
para pihak. Dalam smart contract biasanya dibuat sepihak oleh issuer (penerbit) sehingga sifatnya
lebih kaku dari pada perjanjian konvensional yang isi perjanjiannya biasanya berdasarkan kesepakatan
kedua belah pihak, smart contract ini bersifat adagium “take it or leave it” sehingga para pihak
tersebut harus mengikuti ketentuan dalam smart contract tersebut karena sifatnya yg mengeksekusi
dan memverifikasi otomastis terhadap ketentuan dalam smart contract tersebut yang berupa kode
pemograman.
Smart contract pada awalnya dibuat untuk membuat ringkas proses transaksi agar menjadi lebih
mudah, efesien dan fleksibel. Biasanya digunakan untuk transaksi yang terjadi secara virtual seperti
transaksi pembelian cryptocurrency, pembiayaan dalam crowdfunding, transaksi e-commerce,
pembayaran asuransi, dan lain-lain. Smart contract memiliki beberapa bentuk dengan fungsi serta
penerapan yang berbeda yang terbagi atas: basic token contract, crowd sale contract, mintabe contract,
refundable contract, dan terminable contract.[1]
Pada dasarnya smart contract merupakan instrumen alternatif untuk memaksa pelaksanaan kontrak
dan juga memiliki artian yang berbeda dengan kontrak dalam hukum (legal contract), namun smart
contract dapat menjadi sebuah legal contract apabila smart contract tersebut memenuhi persyaratan
hukum sebuah kontrak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, karena bentuk smart
contract ini merupakan teknologi baru sehingga belum ada regulasi yang spesifik yang mengatur
mengenai smart contract tersebut.
Berdasarkan Pasal 1 angka 17 UU No. 11 Tahun 2008 jo UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik yang berbunyi “Kontrak elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat
melalui Sistem Elektronik”. Kemudian definisi dari Sistem Eelektronik sendiri dijelaskan pada Pasal
1 angka 5 merupakan “serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi
mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan,
mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Infomasi Elektronik”. Berdasarkan definisi
yang dijabarkan dalam UU ITE tersebut mengenai kontrak elektronik, maka smart contract dianggap
sebagai sebuah “Kontrak Elektronik” untuk menjalankan transaksi elektronik guna mengikat para
pihak yang dibuat dalam sistem elektronik.
Mengenai keabsahan dari smart contract ini, pada dasarnya smart contract tersebut merupakan bentuk
dari perwujudan asas kebebasan berkontrak. Berdasarkan BW smart contract atau kontrak elektronik
menurut UU ITE dipersamakan sebagai sebuah “perjanjian” yang dimaksud dalam Pasal 1313 KUH
Perdata yaitu sebagai “suatu perbuatan dimana satu orang mengikatkan diri terhadap satu orang lain
atau lebih”. Agar suatu perjajian tersebut sah menurut hukum maka harus memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu: Adanya kesepakatan antara para pihak,
kecakapan para pihak untuk melakukan perbuatan hukum, suatu hal tertentu yang menjadi objek
perjanjian, dan suatu kausa yang halal.
Syarat sahnya sebuah kontrak elektronik dalam transaksi elektronik menurut UU ITE sejalan dengan
persyaratan syarat sah nya sebuah perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut,
sebagaimana dijelaskan pada Pasal 47 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang berbunyi:
“Terdapat kesepakatan para pihak, dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang
mawakili ssuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, terdapat hal tertentu dan objek
transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban
umum.”
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian ataupun kontrak elektronik,
maka dapat disimpulkan bahwa smart contract ini dapat digunakan secara sah di Indonesia sebagai
perjanjian yang dilakukan secara elektronik yang bentuknya tersebut sebagai perwujudan dari asas
kebebasan berkontrak. Perjanjian tersebut sah selama kontrak yang disusun tersebut tidak melanggar
atau bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum, dan Undang-Undang, dan juga perlu
diperhatikan bahwa tidak semua objek sebuah perjanjian dapat dilakukan dengan mekanisme kontrak
elektronik.

7.Perubahan kontrak karya menjadi SIUPK


Perubahan status kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus
(IUPK), menimbulkan sejumlah konsekuensi bagi perusahaan penanaman modal
asing di bidang pertambangan mineral. Penulis meneliti masalah perubahan status
kontrak karya menjadi IUPK dengan tujuan untuk menganalisis dan mengetahui dasar
kewenangan dan pertimbangan pemerintah Indonesia terkait dengan kebijakan
mengubah kontrak karya menjadi IUPK. Selainitu, untuk mengkaji dan mengetahui
akibat hukum perubahan status kontrak karya menjadi IUPK bagi PMA di bidang
pertambangan mineral serta mengkaji dan mengetahui prinsip yang perlu diterapkan
pemerintah dalam mengubah peraturan kebijakan yang terkait dengan kontrak karya
yang masih berlaku.
Untuk mencapai tujuan di atas, penulis melakukan penelitian deskriptif, yaitu
menggambarkan dan menganalisis secara sistematis, faktual, dan akurat tentang
perubahan status kontrak karya menjadi IUPK. Penelitian ini merupakan penelitian
hukum normatif, yaitu penelitian terhadap data sekunder. Metode pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Data
diperoleh melalui studi dokumen dan dianalisis dengan menggunakan metode
normatif kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dasar kewenangan dan
pertimbangan pemerintah terkait dengan kebijakan mengubah kontrak karya menjadi
IUPK, yaitu amanat kosntitusi dalam Pasal 33 UUD 1945 yang memberikan mandate
kepada pemerintah untuk melaksankan pengelolaan kekayaan alam di wilayah
Indonesia. Hal ini untuk member nilai tambah bagi perekonomian Nasional dalam
rangka mencapai kesejahteraan rakyat secara berkeadilan, sebagaimana dimaksud
dalam pembukaan UUD 1945. Selain itu akibat hukum perubahan status kontrak
karya menajdi IUPK bagi PMA yaitu perusahaan-perusahaan PMA wajib melakukan
beberapa hal sesuai ketentuan minerba. Hal-hal dimaksud adalah perusahaan wajib
membangun smelter dalam lima tahun kedepan, pengenaan bea keluar paling banyak
10%, dan melakukan divestasi saham kepada pihak nasional sebesar 51%. Prinsip
yang perlu diterapkan pemerintah dalam mengubah peraturan terkait dengan kontrak
karya yang masih berlaku yaitu prinsip fair and equitable tratment yang lazim
ditemukan dalam kontrak dalam ruang lingkup hukum internasional. Prinsip tersebut
meliputi non-diskriminatif, jaminan atas kepastian proyeksi keuntungan, dan tidak
dilakukan secara sewenang-wenang. Prinsip ini membatasi tindak Pemerintah
Indonesia dalam mengubah peraturan/kebijakan yang terkait dengan kontrak karya
yang masih berlaku. Prinsip ini diterapkan Pemerintah Indonesia, termasuk kepada
PT. Freeport.

8. PENGATURAN KLAUSULA TANGGUNG GUGAT dalam hukum acara perdata di


Indonesia
Pengertian strict liability dalam Black’s Law Dictionary, Fifth Edition, yang menyatakan : “A concept
applied by the courts in product liability cases in which a seller is liable for any and all defective or
hazardous product which unduly threaten a consumer’s personal safety”3. Pada tahun 1991 Black’s
Law Dictionary, Abridged Sixth Edition mengubah rumusan strict liability dengan tambahan kalimat
“liability without fault”, sehingga definisinya menjadi : “Liability without fault. A concept applied by
the courts in product liability cases in which a seller is liable for any and all defective or hazardous
product which unduly threaten a consumer’s personal safety”4 . Di dalam rumusan strict liability yang
pertama dan kedua hanya disebutkan bahwa strict liability adalah sebuah konsep yang diterapkan oleh
pengadilan dalam kasus-kasus pertanggungjawaban produk, dimana penjual bertanggungjawab atas
setiap dan seluruh produk yang rusak atau mengandung bahaya yang sangat mengancam keselamatan
diri konsumen. Pada rumusan kedua muncul pernyataan pertanggungjawaban tanpa kesalahan
(liability without fault), bahkan pernyataan tersebut ditempatkan pada bagian awal. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban produk semula adalah konsep pertanggungjawaban
atas dasar risiko (based on risk), yaitu risiko terancamnya keselamatan konsumen akibat
mengkonsumsi produk rusak atau berbahaya, namun sama sekali tidak menyebut mengenai unsur
kesalahan (fault). Pada tahun 1999, Black’s Law Dictionary menerbitkan edisi ketujuh yang memberi
arti pada stict liability dengan suatu rumusan yang sama sekali berbeda dengan rumusan-rumusan
edisi sebelumnya yaitu : “Liability that does not depend on actual negligence or intent to harm, but
that is based on the breach of an absolute duty to make something safe. Strict liability most often
applies either to ultrahazardous activities or in products-liability cases. - Also termed absolute
liability; liability without fault”5. Rumusan strict liability terbitan tahun 1999 ditemukan penegasan
bahwa strict liability tidak didasarkan pada actual negligence or intent to harm yang pada hakikatnya
berbasis pada perbuatan melawan hukum (tort), tetapi lebih didasarkan pada the breach of an absolute
duty to make something safe yang secara implisit terkandung dalam setiap perjanjian atau kontrak
antara pelaku usaha dengan konsumen. Berhubung berbasis perjanjian atau kontrak, maka
pertanggungjawaban pelaku usaha (produsen) tidak mensyaratkan unsur kesalahan (fault). Oleh
karena itu, di dalam ungkapan akhir rumusan tahun 1999, menyebutkan bahwa strict liability disebut
pula sebagai liability without fault. Yang terpenting dari rumusan definisi tersebut, maka terakhir
dikatakan bahwa strict liability adalah pertanggungjawaban tanpa kesalahan. Dalam kepustakaan
hukum kita, prinsip strict liability ini diterjemahkan kedalam berbagai makna. Ada yang
menerjemahkan dengan "tanggung jawab risiko", "tanggung jawab langsung dan seketika", "tanggung
jawab mutlak" dan "tanggung jawab tanpa kesalahan (no-fault liability / liability based on no-fault /
liability without fault)", pertanggungjawaban berdasarkan kerugian (liability based on risk), tanggung
jawab secara tegas, tanggung jawab secara tepat, tanggung jawab secara teliti, tanggung jawab secara
keras, dan sebagainya. Menurut Munadjat Danusaputro6 Strict Liability istilah Inggris “strict”, secara
harafiah dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi: “Tegas, Tepat, Teliti, Keras”
(dengan memperbandingkan di terjemahkan ke dalam bahasa Belanda menjadi “strikt; stipt;
nauwgezet; streng”). Dengan demikian, secara harafiah istilah strict liability itu diterjemahkan
menjadi, tanggung jawab secara tegas, tanggung jawab secara tepat, tanggung jawab secara teliti, dan
tanggung jawab secara keras. “Mutlak” merupakan terjemahan tepat dari kata “Absolute” maka
sebaiknya istilah strict diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara harafiah menjadi “Tegas,
Tepat, Teliti, Keras”. Akan tetapi, apabila arti terjemahan dalam bahasa Indonesia tersebut disalin
secara kaku menjadi: “tanggung jawab secara tegas, tepat, teliti, dan keras” maka terjemahannya
terasa kurang “sreg” walaupun lebih mengena secara harfiah. Suparto Wijo 7 mengemukakan bahwa
penggunaan terminologi "tanggung jawab" (mutlak) dalam UUPLH dimafhumi tidak kontekstual dan
anotasi yang diekspresikan juga dirasakan kurang tepat serta belum lengkap. Bukankah di kalangan
ahli hukum perdata telah terdapat kecenderungan untuk memakai istilah "tanggung gugat" dalam
menerjemahkan istilah "aansprakelijkheid atau liability' untuk membedakannya dari istilah
"verantwoordelijkheid" atau "responsibility", yaitu "tanggung jawab" yang lebih dikenal dalam
hukum pidana maupun hukum tata negara. Oleh karena pengaturan masalah "tanggung jawab mutlak"
dalam UUPLH berada pada lingkup "penyelesaian sengketa lingkungan melalui pengadilan" sebagai
salah satu mekanismenya penyelesaian sengketa lingkungan menurut hukum lingkungan keperdataan,
dan secara sistematik berposisi setelah ketentuan tentang "ganti kerugian", semestinyalah UUPLH
memakai istilah "tanggung gugat mutlak". Lagi pula, anotasi termaksud "mengalihbahasakan" strict
liability dengan "tanggung jawab mutlak", kata strict diterjemahkan "mutlak" dan kata liability
dikonversi menjadi "tanggung jawab" yang oleh para ahli hukum perdata justru disalin dengan kata
"tanggung gugat", maka dipahami sebagai pilihan tepat, konsisten dan kontekstual, apabila digunakan
istilah "tanggung gugat mutlak" sebagai alternatif menerjemahkan kata "strict liability". Dari beberapa
istilah tersebut, "tanggung jawab mutlak" yang kemudian dipergunakan dalam UUPPLH, maupun
dalam UUPLH.
9.Status Hukum Hubungan Kerja Tanpa Perjanjian Kerja Tertulis

Terima kasih untuk pertanyaan yang diajukan kepada kami. Untuk menjawab pertanyaan tersebut
akan kami coba jabarkan dalam beberapa poin berikut:

1. Hubungan kerja terdiri atas para pihak sebagai subjek (pengusaha dan pekerja/buruh), perjanjian
kerja, adanya pekerjaan, upah, dan perintah. Berikut akan kami jabarkan unsur-unsur dari
hubungan kerja :

1) Unsur adanya pekerjaan

2) Unsur adanya upah

3) Unsur adanya perintah

4) Unsur waktu tertentu

2. Mengenai adanya suatu hubungan kerja tanpa adanya perjanjian kerja, seperti yang Saudara
jelaskan pada kasus Saudara, maka hal tersebut bertentangan dengan Pasal 50 UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), yang mana disyaratkan dalam pasal tersebut
bahwa:

“Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh”

Kemudian Pasal 51 UUK menyebutkan bahwa, Perjanjian Kerja dapat dibuat baik secara
“TERTULIS” ataupun “LISAN”, sehingga untuk kasus yang Saudara alami dapat diasumsikan
bahwa Perjanjian Kerja antara Saudara dengan pemberi kerja (pengusaha) dilakukan secara
lisan.
3. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah sah apabila Perjanjian Kerja tersebut terjadi secara lisan?
Perjanjian Kerja Saudara adalah “SAH”, selama tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal
52 ayat (1) UUK, yaitu:

1) Kesepakatan kedua belah pihak;

2) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;

3) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan

4) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4. Kemudian, apabila ditelaah lebih dalam, tentunya harus ditentukan apakah jenis Perjanjian Kerja
Saudara, apakah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu (“PKWTT”), karena terhadap dua Perjanjian Kerja tersebut mempunyai spesifikasi hak
dan kewajiban yang berbeda. Untuk menjawabnya, dapat dilihat pada Pasal 57 ayat (1) dan (2)
UUK, yang mensyaratkan untuk pembuatan secara tertulis terhadap PKWT, apabila
ternyata PKWT tersebut tidak dibuat secara tertulis, maka secara otomatis Perjanjian Kerja
tersebut menjadi PKWTT.

Selain itu, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:
KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, di
dalam Pasal 15 ayat (1) menyebutkan bahwa:

“Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin
berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tentu (PKWTT) sejak adanya hubungan kerja”

Dengan kata lain, secara a contrario dapat ditafsirkan bahwa ketika Perjanjian Kerja tersebut
secara lisan (tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin), maka Perjanjian Kerja
tersebut merupakan PKWTT.

5. Dengan demikian, Saudara berhak untuk menuntut hak-hak Saudara sebagai karyawan
dengan status hubungan kerja PKWTT sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Berikut kami paparkan mengenai hak-hak seorang pekerja dengan
status PKWTT, yaitu :

1) Berhak atas upah setelah selesai melaksanakan pekerjaan sesuai dengan perjanjian (tidak di
bawah Upah Minimum Provinsi/UMP), upah lembur, Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek);

2) Berhak atas fasilitas lain, dana bantuan dan lain-lain yang berlaku di perusahaan;

3) Berhak atas perlakuan yang tidak diskriminatif dari pengusaha;

4) Berhak atas perlindungan keselamatan kerja, kesehatan, kematian, dan penghargaan;

5) Berhak atas kebebasan berserikat dan perlakuan HAM dalam hubungan kerja.
Sekian jawaban yang dapat kami sampaikan, semoga dapat memberikan pencerahan hukum kepada
Saudara.

10. kontrak investasi kolektif


Dasar Hukum : POJK
Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA) adalah kontrak antara Manajer Investasi
dan Bank Kustodian yang mengikat pemegang Efek Beragun Aset dimana Manajer Investasi diberi
wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk
melaksanakan Penitipan Kolektif.

Sementara, Efek Beragun Aset adalah Efek yang diterbitkan oleh Kontrak Investasi Kolektif Efek
Beragun Aset yang portofolionya terdiri dari aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari surat
berharga komersial, tagihan kartu kredit, tagihan yang timbul di kemudian hari (future receivables),
pemberian kredit termasuk KPR (Kredit Pemilikan Rumah/KPR atau apartemen), Efek bersifat hutang
yang dijamin oleh Pemerintah, Sarana Peningkatan Kredit (Credit Enhancement) /Arus Kas (Cash
Flow), serta aset keuangan setara dan aset keuangan lain yang berkaitan dengan aset keuangan
tersebut.

Manfaat KIK EBA

 Menjadi alternatif investasi pada surat berharga, yang menawarkan rating terbaik, tenor
jangka panjang dan aman, meminimumkan resiko dengan cara antara lain pemilihan KPR
yang hanya berkualitas dan diversifikasi wilayah originasi KPR.
 Mendapatkan imbal hasil yang menarik biasanya lebih tinggi dari obligasi
 Memiliki kontribusi langsung pada perkembangan sektor riil secara umum dan sektor
perumahan secara khusus.

Terkait risiko dan kewajiban relatif sama dengan produk atau jenis Reksa Dana lainnya.

Pembelian KIK-EBA dapat dilakukan secara langsung melalui perusahaan Manajer Investasi yang
menerbitkan dan mengelola Reksa Dana, melalui underwriter (penjamin), atau melalui Bank sebagai
Agen Penjual Efek Reksa Dana (APERD).

11. PEMBANGUNAN HUKUM PERDATA MELALUI YURISPRUDENSI


Oleh: Wigati Pujiningrum, S.H., M.H. (Hakim Yustisial/Asisten Hakim Agung pada Kamar Perdata)
Hukum dalam pembangunan mempunyai 4 fungsi yaitu hukum sebagai pemeliharaan ketertiban dan
keamanan, sebagaimana Sunaryati Hartono mengutip pendapat yang dikemukakan oleh Roscoe Pound
dalam bukunya yang terkenal: An Introduction to the Philosophy of Law, yang menyatakan: “The first
and simplest idea is that law exists in order to keep the peace in a given society, to keep the peace at
all events and at any price. This is the conception of what may be called the stage of primitive law .
Hukum juga sebagai sarana pembangunan, hukum sebagai sarana penegak keadilan dan hukum
sebagai sarana pendidikan masyarakat.
Hukum, institusi hukum dan sarjana hukum, memainkan peranan yang sangat penting untuk
membawa perubahan kepada sistem norma-norma dan nilai-nilai baru dalam tiap tahap pembangunan.
Agenda pemerintah saat ini adalah berupaya semaksimal mungkin untuk dapat memulihkan kondisi
perekonomian secara bertahap dan berkesinambungan serta keluar dari keadaan yang sangat tidak
menentu seperti saat sekarang ini.
Hukum muncul karena manusia hidup bermasyarakat. Hukum mengatur hak dan kewajiban dalam
hidup bermasyarakat dan juga mengatur bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan hak dan
kewajiban itu. Hukum perdata yang mengatur hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat disebut
“hukum perdata material”, sedangkan hukum perdata yang mengatur bagaimana cara melaksanakan
dan mempertahankan hak dan kewajiban disebut “hukum perdata formal”. Hukum perdata formal
lazim disebut hukum acara perdata.[1]
Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, manusia adalah sentral. Manusia adalah penggerak kehidupan
masyarakat karena manusia itu adalah pendukung hak dan kewajiban. Dengan demikian, hukum
perdata materiel pertama kali menentukan dan mengatur siapakah yang dimaksud dengan orang
sebagai pendukung hak dan kewajiban itu.
Keadaan hukum perdata di Indonesia dari dahulu sampai dengan sekarang tidak ada keseragaman
(pluralisme). Setelah bangsa Indonesia merdeka dan sampai saat ini Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang dikodifikasi tahun 1848 masih tetap dinyatakan berlaku di Indonesia. Adapun dasar
hukum berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut adalah Pasal 1 Aturan peralihan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selengkapnya berbunyi “Segala
peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini”, selain itu, hukum tertulis (undang-undang) tidak pernah
lengkap, jelas dan tuntas mengatur kehidupan masyarakat,[2] sehingga seringkali tertinggal di
belakang perkembangan masyarakat, untuk itu undang-undang tersebut perlu selalu dikembangkan
agar tetap aktual dan sesuai dengan jaman (up to date).
Untuk mengatasi kekurangan hukum tertulis tersebut, perlu mensiasati agar hal tersebut tidak terlalu
tampak ke permukaan sehingga menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat. Peranan kekuasaan
yudisial sangat dibutuhkan dalam hal mengurangi dampak-dampak buruk atas kekurangan dari
Peraturan Perundang-Undangan. Hakim bukan sebagai corong dari peraturan perundang-undangan,
namun hakim mampu menggali nilai-nilai keadilan di masyarakat, sehingga diharapkan apabila
peraturan perundang-undangan tidak mampu memenuhi rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat
maka peran hakim adalah mengembalikan rasa keadilan tersebut. Hal tersebut sejalan dengan mandat
dari Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman yang
menyatakan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim yang baik adalah hakim yang dapat
mewujudkan rasa keadilan di tengah masyarakat walaupun tidak terdapat peraturan perundangan yang
memadai. Namun prinsip sebagaimana disebut pada pasal 5 Undang-Undang Kehakiman sering
disalahgunakan dengan mengubah tatanan hukum yang ada sehingga akibatnya kepastian hukum
sangat susah untuk diperoleh.
Pelaksanaan dan perkembangan peraturan perundang-undangan terjadi melalui peradilan dengan
putusan hakim. Apabila dikaitkan dengan pendapat Soetandyo Wignjosoebroto, maka pembaruan
hukum melalui putusan hakim termasuk dalam kategori pembaruan hukum dalam arti law reform.
Pembaruan substansi hukum dalam konteks ini, khususnya hukum tidak tertulis, dilakukan melalui
mekanisme penemuan hukum sebagaimana yang ditetapkan oleh ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No.
48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang memberikan kewenangan kepada hakim dan
hakim konstitusi untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat terhadap permasalahan atau persoalan yang belum diatur, dalam arti belum
ada pengaturannya dalam hukum tertulis atau dalam hal ditemui perumusan peraturan yang kurang
jelas dalam hukum tertulis.[3]
Dalam salah satu penelitian hukum tentang peningkatan yurisprudensi sebagai sumber hukum yang
dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional tahun 1991/1992 telah dikumpulkan beberapa
definisi yurisprudensi, yaitu antara lain:
13. Yurisprudensi, yaitu peradilan yang tetap atau hukum peradilan (Poernadi Poerbatjaraka dan
Soerjono Soekanto);
14. Yurisprudensi adalah ajaran hukum yang dibentuk dan dipertahankan oleh pengadilan (kamus
Fockema Andrea);
15. Yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan
keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberi keputusan dalam
soal yang sama (Kamus Fockema Andrea);
16. Yurisprudensi diartikan sebagai rechtsgeleerheid rechtsspraak, rechtsopvatting gehudligde
door de (hoogste) rechtscolleges, rechtslichamen blijklende uitgenomende beslisstingen
(kamus koenen endepols);
17. Yurisprudensi diartikan sebagai rechtsopvatting van de rechterlijke macht, blijkende
uitgenomen beslisstingen toegepasrecht de jurisprudentie van de Hoge Raad (kamus van
Dale);
Menurut R Soebekti, yurisprudensi adalah putusan-putusan hakim atau pengadilan yang tetap dan
dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Kasasi atau putusan-putusan Mahkamah
Agung sendiri yang tetap.
Yurisprudensi mempunyai peranan dan sumbangan yang besar dalam pembangunan hukum nasional.
Oleh karena itu, untuk mendukung Pembangunan Sistem Hukum Nasional yang dicita-citakan dan
untuk (1) melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, (2) mengisi kekosongan hukum, (3)
memberikan kepastian hukum; dan (4) mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu
guna kemanfaatan dan kepentingan umum,[4] hakim mempunyai kewajiban untuk membentuk
yurisprudensi terhadap masalah-masalah yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan
atau telah diatur dalam peraturan perundang-undangan namun tidak lengkap atau tidak jelas, atau
ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut memberikan suatu pilihan dan karena adanya
stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.[5] Yurisprudensi itu dimaksudkan sebagai
pengembangan hukum itu sendiri dalam memenuhi kebutuhan hukum pencari keadilan. Konkritnya,
melalui yurisprudensi tugas hakim menjadi faktor pengisi kekosongan hukum manakala undang-
undang tidak mengatur atau telah ketinggalan jaman.[6]
Walaupun sistem penegakan hukum tidak didasarkan pada sistem precedent, tetapi hakim peradilan
umum atau pengadilan tingkat lebih rendah berkewajiban untuk secara sungguh-sungguh mengikuti
putusan Mahkamah Agung. Selain itu, para hakim wajib memberikan pertimbangan hukum yang baik
dan benar dalam pertimbangan hukum putusannya, baik dari segi ilmu hukum, maupun dari segi
yurisprudensi dengan mempertimbangkan putusan hakim yang lebih tinggi dan/atau putusan hakim
sebelumnya. Dan apabila hakim ingin menyimpang dari yurisprudensi, maka hakim yang
bersangkutan wajib memberi alasan dan pertimbangan hukum adanya perbedaan dalam fakta-fakta
dalam perkara yang dihadapinya dibanding dengan fakta-fakta dalam perkara-perkara sebelumnya.
Pada tataran teoritis, untuk dapat dilakukan upaya Pembangunan Hukum Perdata Indonesia melalui
Yurisprudensi Mahkamah Agung, perlu dilakukan inventarisasi putusan pengadilan yang memenuhi
unsur yurisprudensi yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh Mahkamah Agung, Pengadilan-
pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tingkat Pertama, sehingga kepastian hukum dan usaha unifikasi
hukum dapat terselenggara pula melalui badan-badan peradilan.
Putusan-putusan tersebut dijadikan yurisprudensi jika memenuhi sejumlah unsur. Pertama, putusan
atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturannya dalam undang-undang. Kedua, putusan
tersebut harus merupakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Ketiga, telah berulang kali
dijadikan dasar untuk memutus suatu perkara yang sama. Keempat, putusan tersebut telah memenuhi
rasa keadilan. Kelima, putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung.
Kelayakan suatu yurisprudensi dapat menjamin adanya nilai kemanfaatan adalah putusan
mengandung nilai terobosan dan putusan diikuti oleh hakim secara konstan sehingga menjadi
yurisprudensi tetap yang memaksimalkan kepastian hukum. Apabila mengenai suatu persoalan sudah
ada suatu yurisprudensi tetap, maka dianggap bahwa yurisprudensi itu telah melahirkan suatu
peraturan hukum yang melengkapi undang-undang.Pemantapan asas-asas hukum pertama-tama bisa
dilakukan dalam usaha pembentukan hukum nasional melalui proses perundang-undangan
(legislation). Tetapi pada tahap penerapannya, asas-asas itu dimantapkan melalui yurisprudensi.
Yurisprudensi merupakan kebutuhan yang fundamental untuk melengkapi berbagai peraturan
perundang-undangan dalam penerapan hukum karena dalam sistem hukun nasional memegang
peranan sebagai sumber hukum. Tanpa yurisprudensi, fungsi dan kewenangan peradilan sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman akan dapat menyebabkan kemandulan dan stagnan. Yurisprudensi
bertujuan agar undang-undang tetap aktual dan berlaku secara efektif, bahkan dapat meningkatkan
wibawa badan-badan peradilan karena mampu memelihara kepastian hukum, keadilan sosial, dan
pengayoman.

12. Asas Kebebasan Berkontrak Sebagai Dasar Perkembangan Perjanjian


Asas kebebasan berkontrak atau dikenal dengan istilah freedom of contract, party autonomy, liberty of
contract berkembang seiring dengan kapitalisme dan individualisme. Kegiatan ekonomi apapun tidak
boleh dibatasi. Setiap orang berhak atas kenikmatan dari apa yang ia usahakan. Kebebasan berkontrak
sangat lekat dengan konsepsi hak asasi manusia. Kebebasan membuat perjanjian merupakan wujud
nyata dari penghormatan hak asasi manusia. Oleh sebab itu, pengaturan perjanjian dalam KUHPerdata
dikatakan bersifat terbuka, karena terbuka untuk memperjanjikan apapun yang dikehendaki oleh para
pihak. Hingga saat ini tetap menjadi asas penting dalam sistem hukum perjanjian baik dalam sistem
civil law system, common law system maupun dalam sistem lainnya. (Ridwan Khairandy, 2003, hlm.
43). Hal ini dikarenakan pertama, asas kebebasan berkontrak merupakan suatu asas yang bersifat
universal yang berlaku disemua negara di dunia ini, kedua, asas kebebasan berkontrak ini
mengandung makna sebagai suatu perwujudan dari kehendak bebas para pihak dalam suatu perjanjian
yang berarti juga sebagai pancaran atas pengakuan hak asasi manusia. (Hasanudin Rahman, 2003,
hlm, 15). Kebebasan berkontak adalah merupakan refleksi dari perkembangan pasar bebas yang
dipelopori Adam Smith pada abad ke sembilanbelas. Adam Smith dengan filsafat ekonomi klasiknya
menekankan pada ajaran laissez faire yang menekankan prinsip non intervensi oleh negara terhadap
kegiatan ekonomi dan bekerjanya pasar. Atas ajaran tersebut Smith mengusulkan suatu asas political
economy yang menyatakan bahwa perundang-undangan sebaiknya tidak digunakan untuk
mencampuri kebebasan berkontrak karena ke bebasan ini penting bagi kelanjutan perdagangan dan
industri. Menurut Smith pemerintah yang terbaik adalah pemerintah yang mengatur sedikit. Kebijakan
ekonomi yang terbaik adalah yang berasal dari kegiatan orang-orang yang timbul secara spontan dan
tanpa halangan. Hal yang sama juga menjadi dasar pemikiran Jeremy Bentham yang dikenal dengan
ajaran filsafat utilitarian Bentham (Benthamite utilitarianism). Secara umum Bentham menyatakan
bahwa tidak seorangpun dapat mengetahui tentang apa yang baik untuk kepentingan dirinya, kecuali
dirinya sendiri. Menurut Bentham, pemerintah tidak boleh ikut campur dalam hal yang pemerintah
sendiri tidak memahaminya. Sebagaimana halnya para ekonom klasik, Bentham juga mengkritik
mania regulasi (mania for regulation) yang banyak mengontrol buruh dalam bentuk Setlement Laws,
Apprenticienship Law,
13. MODEL-MODEL KONTRAK DALAM PRODUK KEUANGAN SYARIAH
Abstrak: Model-model Kontrak dalam Perbankan Syariah. Model akad yang digunakan dalam produk
keuangan syariah dapat dipetakan dalam tiga bentuk, yaitu akad tunggal (basîth), akad berganda
(‘uqûd mujtami’ah), dan akad berbilang (‘uqûd muta’addidah). Akad berganda dan akad berbilang
merupakan bentuk pengembangan dari akad tunggal karena akad tunggal tidak mampu mewadahi
transaksi modern yang kompleks. Ada perbedaan konsep, prosedur, dan pihak-pihak yang terlibat
antara akad-akad yang dikembangkan dalam fikih dengan transaksi modern. Model akad tersebut
disimpulkan dari fatwa-fatwa yang dikeluarkan DSN yang menjadi pedoman bagi lembaga keuangan
syariah. Fatwa-fatwa DSN dipilah dalam kategori-kategori akad yang membangunnya dan
ditemukanlah tiga bentuk model akad tersebut. Rumitnya penerapan kontrak (akad) pada transaksi
modern memerlukan terobosan dari otoritas fatwa untuk menyesuaikan akad-akad tersebut (takyîf)
dengan transaksi modern, salah satunya dengan mengkombinasi akad-akad tunggal.
14. RELEVANSI SISTEM CIVIL LAW DAN COMMON LAW DALAM PENGATURAN
HUKUM PERJANJIAN BAKU DI INDONESIA
Sebelum mengkaji perkembangan perjanjian baku di Indonesia maka perlu dipahami lebih dulu
bahwa secara tradisional suatu perjanjian terjadi berlandaskan asas kebebasan berkontrak diantara dua
pihak yang mempunyai kedudukan yang seimbang dan kedua belah pihak berusaha untuk mencapai
kesepakatan yang diperlukan bagi terjadinya perjanjian itu melalui proses negosiasi di antara mereka.
Namun pada perkembangannya ada kecenderungan makin memperlihatkan bahwa banyak perjanjian
didalam transaksi bisnis yang terjadi bukan melalui proses negosiasi yang seimbang di antara para
pihak, tetapi perjanjian itu terjadi dengan cara di pihak yang satu telah menyiapkan syarat-syarat baku
pada suatu formulir perjanjian yang sudah dicetak dan kemudian disodorkan kepada pihak lainnya
untuk disetujui dengan hampir tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak lainnya untuk
melakukan negosiasi atau syaratsyarat yang disodorkan. Mariam Darus Badrulzaman menyatakan
bahwa pada asasnya bentuk perjanjian itu bebas. Perjanjian tidak terikat pada bentuk tertentu dapat
lisan atau tertulis. Di dalam praktek perjanjian ini tumbuh sebagai perjanjian dalam bentuk tertulis.11
Perbuatan hukum sejenis yang selalu terjadi berulang-ulang dan teratur yang melibatkan ba nyak
orang, menimbulkan kebutuhan untuk mempersiapkan isi perjanjian itu terlebih dahulu dan kemudian
dibakukan dan seterus nya dicetak dalam jumlah yang banyak sehing ga memudahkan penyediaan
setiap saat jika masyarakat membutuhkannya. Perjanjian yang demikian ini menurut Sutan Remi
Syahdeni dinamakan perjanjian standar, perjanjian baku atau perjanjian adhesi.12 Penggunaan
perjanjian baku dalam ke hidupan bermasyarakat dan khususnya di kalangan dunia bisnis sudah
lazim. Namun peng gunaan perjanjian baku ini bukan tanpa meng hadapi masalah-masalah hukum
yang men dapat sorotan para ahli hukum, yaitu seperti antara lain dikemukakan oleh P.S. Ati yah
dalam Sutan Remy Syahdeni: ‘By mid-century these standard-form contracts had be come one of the
mayor problems of the law of con tract’. Beranjak dari pemahaman ini maka dapat dikemukakan
masalah-masalah yang dihadapi dalam penggunaan perjanjian baku adalah yang pertama berkenaan
dengan keab sahan dari perjanjian baku itu dan yang kedua sehubungan dengan pemuatan
klausulklausul atau ketentuan-ketentuan yang se ca ra tidak wajar sangat memberatkan bagi pihak
lainnya.13 Perihal Persyaratan Tertulis (Statue of Frauds) Dalam praktek hukum di Indonesia sudah
berlaku aturan-aturan tersendiri untuk perjanjian-perjanjian khusus yang dimuat di dalam BabV- Bab
XVIII Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (yang dianggap dibawah pengaruh Hukum
Romawi) yang bersifat sebagai pelengkap, sehingga pada dasarnya dapat disimpangi oleh para pihak.
Hal ini berarti terbukanya kesempatan yang begitu luas untuk membuat perjanjian berdasarkan asas
kebebasan berkontrak yang tersurat dalam pasal 1338 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal
ini sa ngat berbeda dengan pengaruh hukum Anglo Amerika (Common Law) yang selama periode
tertentu tidak berdasarkan aturanaturan khusus sehingga besar kemungkinan perjanjian tersebut
dirumuskan secara panjang le bar dan lebih rinci. Dengan demikian di dalam tradisi Common Law
tidak begitu dibutuhkan aturan-aturan tersendiri untuk perjanjian-perjanjian khusus yang bersifat
pelengkap. Perjanjian-perjanjian khusus baru dibuat ketika timbul kebutuhan akan aturan-aturan
khusus yang bersifat memaksa (imperative). Perjanjian-perjanjian baik yang dibawah pengaruh
Common Law maupun Civil Law sistem keduanya tidak menentukan atau memaksakan adanya
persyaratan tertulis (statue of frauds). Hal demikian berarti kebanyakan perjanjian yang dibuat adalah
sah meskipun dilakukan dalam bentuk lisan atau tidak dalam bentuk tertulis. Statue of frauds
ditetapkan di Inggris pada tahun 1667 karena bertujuan untuk menghindari atau menolak tuntutan
yang bersifat penipuan (fraudulent claims) dengan menentukan syarat bagi yang mengajukan claim
untuk mempelihatka
15.KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN LISAN APABILA TERJADI WANPRESTASI
Perjanjian merupakan salah satu hubungan hukum yang kerap kali dilakukan dalam pergaulan hidup
di dalam masyarakat. Perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan
mana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Tanpa disadari,
perjanjian lisan kerap kali dilakukan dalam kehidupan bermasyrakat. Tujuan dari penulisan ini adalah
untuk mengetahui bagaimanakah kekuatan hukum perjanjian lisan untuk menyatakan seseorang
melakukan wanprestasi. Maksud dari kekuatan hukum perjanjian lisan tersebut yaitu apakah suatu
perjanjian lisan memiliki kekuatan hukum untuk dijadikan dasar pertimbangan Hakim dalam
memutuskan suatu perkara wanprestasi. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat
deskriptif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang berupa bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dan studi
kepustakaan, instrumen penelidigunakan adalah deduktif silogisme. Putusan tersebut mengenai
perkara wanprestasi, yaitu antara Subagyo sebagai Penggugat dan Ary Kalista sebagai Tergugat. Ary
Kalista digugat atas dasar telah melakukan wanprestasi terhadap perjanjian lisan yang dibuat oleh Ary
Kalista dan Subagyo. Ary Kalista - mun Hakim memutuskan bahwa Ary Kalista melakukan
wanprestasi. Perjanjian lisan memiliki kekuatan hukum untuk menyatakan seseorang melakukan
wanprestasi, selama perjanjian lisan tersebut terbukti telah dibuat oleh para pihak dan telah sesuai
dengan syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
bahwa perjanjian lisan tetaplah sah dan memiliki kekuatan hukum untuk menyatakan seseorang
melakukan wanprestasi, namun apabila perjanjian lisan tersebut disangkal/tidak diakui oleh pihak
yang diduga melakukan wanprestasi, perjanjian lisan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum
untuk menyatakan seseorang melakukan wanprestasi, karena perjanjian tersebut bisa benar adanya
dan bisa juga tidak ada, tergantung dari pembuktian para pihak. Hal ini disebabkan karena ada atau
tidaknya perjanjian sangat menentukan dalam menyatakan seseorang melakukan wanprestasi, karena
seseorang tidak dapat dinyatakan wanprestasi apabila tidak ada perjanjian yang dibuatnya. Perjanjian
lisan yang disangkal/tidak diakui oleh salah satu pihak Privat Law Vol. IV No. 2 Juli - Desember
2016 121 yang membuatnya, tidak memiliki kekuatan hukum untuk menyatakan seseorang
melakukan wanprestasi, namun perjanjian lisan yang telah disangkal/tidak diakui dapat mendapatkan
kembali kekuatan hukumnya jika dapat dibuktikan bahwa perjanjian lisan tersebut benar-benar ada
atau pernah dibuat.
16. ANALISIS PERJANJIAN PEMBIAYAAN TERHADAP PINJAMAN USAHA MIKRO
KECIL DAN MENENGAH
Usaha Mikro Kecil dan Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau
cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung
dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan.
Aspek hukum UMKM meliputi UU No. 20 Tahun 2008 dan KUHPerdata Pasal 1313 tentang
perjanjian. Problematika UMKM yang sering terjadi adalah menyangkut sejumlah persoalan, seperti
ketimpangan struktural dalam alokasi dan penguasaan sumber daya, dan pengembangan strategi
industrialisasi, kinerja yang relatif terbatas pada hal yang klasikal (sumber daya manusia atau SDM,
permodalan dan akses terhadap kelembagaan keuangan, teknologi, manajemen, pemasaran dan
informasi). Terjadinya distorsi akan membuat inkonsistensi. Melihat adanya kelemahan ini memberi
inspirasi untuk penulis, mengangkat judul skripsi “Analisis Perjanjian Pembiayaan terhadap Pinjaman
UMKM studi pada PT. SUCOFINDO cabang Medan”. Permasalahan dalam UMKM ini menyangkut
perjanjian pembiayaan terhadap pinjaman UMKM pada PT. Sucofindo Cabang Medan, proses
pembuatan dan pelaksaan perjanjian pembiayaan terhadap pinjaman UMKM di PT. Sucofindo
Cabang Medan, pelaksanaan Hak dan Kewajiban para pihak dalam perjanjian pembiaymaan UMKM.
Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan memiliki sifat deskriptif.
Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang dimana menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-
asas hukum serta perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini, yang dimana
penelitian ini menggunakan isi pasal atau perjanjian dari PT. SUCOFINDO. Skripsi ini diperoleh
melalui peraturan dan bahan hukum serta analisis mengenai perjanjian UMKM dengan PT.
SUCOFINDO. Pelaksanaan perjanjian pinjam meminjam antara PT.SUCOFINDO dan pihak
peminjam (UMKM) telah sesuai dengan aturan yang berlaku sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2008
tentang UMKM baik di PT. SUCOFINDO maupun KUHPer. Dengan kata lain hak dan kewajiban
para pihak telah diatur sebelum dilakukan kegiatan peminjaman oleh UMKM sehingga mengurangi
resiko terjadinya wanprestasi antara para pihak. Apabila terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh salah
satu pihak sesuai dengan aturan yang dibuat oleh PT.SUCOFINDO maupun Kitab Undang-Undang
KUHPer, maka akan melalui proses hukum yang berlaku. Hal itu diatur dalam KUHPer Pasal 1243
tentang wanprestasi
17. POLA HUBUNGAN KONTRAK DALAM PENANAMAN MODAL ASING DI BIDANG
PERHOTELAN
Ada 5 Pola hubungan antara Warga Negara Asing dengan Warga Negara Indonesia mengenai
pembangunan usaha akomodasi perhotelan di Provinsi Bali, yaitu: 1. Pola Hubungan Pertama Di
dalam pola ini Warga Negara Asing yang ingin mendirikan hotel di Provinsi Bali tidak
mengatasnamakan dirinya sebagai pendiri perusahaan atau pemilik hotel, melainkan
mengatasnamakan Warga Negara Indonesia yang dipercayainya sehingga di dalam akta pendirian dan
ijin usahanya Nampak seolah-olah ijin usaha tersebut tidak mempunyai unsur Penanaman Modal
Asing (PMA), dan terlihat sebagai penanaman modal swasta nasional Indonesia bahkan usaha
perseorangan. Pola hubungan ini dimulai dari investor asing dan orang Indonesia yang datang kepada
Notaris dan Lawyer untuk menyampaikan maksud dan tujuannya, yakni ingin membangun hotel di
Bali. Investor asing tersebut tidak bersedia melalui prosedur mendirikan dan menjalankan perusahaan
dengan fasilitas Penanaman Modal Asing dan menginginkan segala sesuatunya atas nama orang yang
dipercayainya. 6 Dalam keadaan tersebut, para Notaris dan Lawyer diminta untuk membantu
menyusun kontrak – kontrak yang dapat mengamankan kedua belah pihak. Bentuk kontrak dan
perjanjian yang dibuat bervariasi terutama berkaitan dengan judul dan isinya, yaitu dalam bentuk
otentik dan di bawah tangan. Dokumentasi yang ada pada pola hubungan pertama ini sering dibuat
oleh Notaris dan Lawyer yaitu sebagai berikut: a) Perjanjian Kerjasama; Antara investor asing dengan
Warga Negara Indonesia (dokumen inti) b) Akta Pendirian Usaha Hotel pada umumnya yang dibuat
adalah: 1) Akta Pendirian Usaha Perseorangan; 2) Akta Perseroan Komanditer (CV – Commanditaire
Vennootschap); Akta-akta tersebut dibuat dalam bentuk akta otentik dan dibuat oleh notaris selaku
pejabat yang berwenang. c) Akta Pendirian tersebut dilengkapi dengan ijin mendirikan hotel. d) Akta
Jual Beli Tanah dalam hal ini dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tanah mana atas nama
orang Indonesia (penduduk Indonesia) dengan alas hak: Hak Milik. e) Akta Sewa Menyewa dibuat
dalam bentuk di akta otentik atau di bawah tangan, antara investor asing sebagai pihak penyewa
dengan orang Indonesia yang dipercayainya sebagai pihak yang menyewakan. f) Perjanjian Hak Pakai
Tanah (Rights of Use Agreement of the Land) dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan. g) Surat
Kuasa Menjual (dalam bentuk akta otentik dan di bawah tangan). h) Surat Pernyataan (Letter of
Declaration) dari pihak Warga Negara Indonesia bahwa tanah dan bangunan hotel adalah milik
investor asing. i) Perjanjian Pinjaman (Loan Agreement) antara investor asing sebagai kreditur dan
orang Indonesia yang atas nama sebagai debitur. j) Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang
dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang kemudian dikeluarkan Sertifikat Hak
Tanggungan oleh Kepala Kantor Pertahanan atas nama investor asing. Investor asing mempunyai hak
untuk mengelola dan mengatur manajemen serta berhak penuh atas segala aset dari hotel termasuk
tanah dan bangunannya. Kewajibannya yaitu investor asing harus membayar pajak, retribusi, gaji
karyawan, hutang, pengeluaran hotel lainnya. Pihak Warga Negara Indonesia yang dipercayai
mempunyai kewajiban membantu pengurusan ijin-ijin hotel yang diperlukan, menandatangani segala
surat-surat yang diperlukan oleh investor asing tersebut, selanjutnya bersedia namanya digunakan
untuk ijin hotel termasuk selaku atas nama didalam Sertifikat Hak atas Tanah dimana hotel berdiri.
Adapun haknya berupa kompensasi yang ditentukan besar jumlahnya berdasarkan kesepakatan kedua
belah pihak. Pada pola hubungan ini dikenal sebagai pola hubungan Pinjam Nama. 2. Pola Hubungan
Kedua Dalam pola ini investor asing memilih bentuk usaha akomodasi hotelnya adalah Perseroan
terbatas biasa (non PMA) dimana Direktur, Komisaris, dan Pemegang Sahamnya adalah Warga
Negara Indonesia berdasarkan pada 7 trustee agreements atau nominee agreements. Dalam pola ini,
perjanjian – perjanjian yang dibuat adalah: a) Perjanjian nominee b) Pengakuan hutang c) Perjanjian
gadai saham7 Nominee adalah suatu perbuatan dimana warga negara Indonesia sebagai orang yang
berhak memiliki hak atas tanah dengan hak milik meminjamkan namanya kepada pihak yang tidak
berhak atas hak milik atas tanah atau warga negara asing agar warga negara asing tersebut dapat
memiliki tanah secara hak milik. Warga negara Indonesia dalam melaksanakan perjanjian pinjam
nama tersebut sebagai wakil bagi pihak asing dalam kepemilikan tanah.8 Dalam praktek bisnis di
Indonesia pola hubungan tersebut sering terjadi karena bidang usaha tertentu tertutup bagi orang asing
atau dapat dikatakan masuk dalam negative list. Dengan kondisi yang demikian, orang asing membuat
perusahaan nasional non PMA, Akan tetapi para pemegang saham, direktur, dan para komisarisnya
adalah orang – orang Indonesia yang diangkat oleh orang asing sebagai kepercayaannya. Sehingga
secara tidak langsung, orang asing tersebut dapat menikmati hasil dari usahanya. Dokumentasi yang
terdiri dari perjanjian nominee, pengakuan hutang, dan perjanjian gadai saham di atas dapat
berkembang sesuai dengan kebutuhan dan dapat mengikat. Menurut Munir Fuady, bahwa
dokumentasi yang ada dalam suatu perjanjian nominee, khususnya kepercayaan terhadap suatu
perusahaan yaitu sebagai berikut: a) Dokumen Inti atau Perjanjian Trustee (Perjanjian Kepercayaan)
Dokumen ini dibuat di bawah tangan oleh para pihak (baik orang asing maupun nominee-nya). b)
Dokumen Pengaman Bentuk dokumen bervariasi sesuai dengan kebutuhan. Khusus terhadap orang
kepercayaan (trustee) selaku pemegang saham, dokumen pengamannya yaitu berupa: (1) Loan
Agreement (Pengakuan Hutang) (2) Pledge of Shares (Gadai Saham) (3) Blank Transfer of Shares
(Pengalihan saham kosong, dimana tanggalnya yang dikosongkan) (4) Minutes of Meeting (Berita
Acara Rapat). 7 Fuady, Munir, 1997, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, cetakan ke-4, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 109. 8 I Dewa Agung Dharma Jastrawan, 2019, “Keabsahan Perjanjian
Pinjam Nama (Nominee) oleh Warga Negara Asing dalam Penguasaan Hak Milik Atas Tanah di
Indonesia”. Kertha Semaya, Vol. 07, No. 12, h. 6.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/view/47345/28430 8 3. Pola Hubungan Ketiga
Dalam pola ini, Warga Negara Indonesia yaitu sebagai pemilik usaha. Karena mengingat kekurangan
modal usaha, kemudian melakukan pengikatan dengan Warga Negara Asing untuk memasukkan
modal ke dalam badan usaha miliknya tersebut. Dalam hal ini usaha hotel telah berjalan dan perijinan
hotel termasuk aset hotel baik itu tanah dan bangunan maupun barang bergerak lainnya atas nama
pengusaha Indonesia. Pola hubungan ini terjadi pada saat investor asing tertarik untuk memasukkan
sejumlah modal dengan kompensasi pemberian keuntungan seperti yang ditawarkan oleh pihak Warga
Negara Indonesia selaku pemilik hotel. Untuk melindungi investasi atau modal asing tersebut,
dibuatlah surat-surat atau akta-akta seperti Surat Pernyataan Pemasukan Modal, Akta Perjanjian
Kerjasama dengan menyebutkan kompensasi yang tetap dapat dinikmati oleh investor asing tersebut.
Pola hubungan hukum ini muncul sebagai akibat tidak terfasilitasinya para investor asing yang ingin
mempunyai usaha hotel di Bali lewat fasilitas Penanaman Modal Asing. Pada umumnya, investor
asing menginginkan prosedur yang sederhana seperti yang terdapat pada pola ini. Pada pola hubungan
ini, pemilik hotel menawarkan dua perjanjian untuk mengamankan investornya, yaitu: a) Surat
Pernyataan Pemasukan Modal; b) Perjanjian Kerjasama. Pada perjanjian kerjasama tersebut biasanya
dibuat dihadapan Notaris selaku pejabat yang berwenang untuk membuat akta otentik. Dalam pola
hubungan ini, dapat dibuat di bawah tangan terutama para investor asing yang melakukan pengurusan
ke pengacara dan bukan ke notaris. Pada pola hubungan ketiga ini dalam praktek sering disebut
dengan “Pola Pemasukan Modal”. 4. Pola Hubungan Keempat Pada pola ini investor asing melakukan
pemberian bantuan pinjaman sejumlah dana investasi untuk modal pembangunan hotel di Bali dengan
beberapa penawaraan kepada orang Indonesia. Syarat-syarat untuk dapat melakukan penawaran
pinjaman yaitu sebagai berikut: a) Manajemen pengelolaan bersama antara orang Indonesia dengan
investor asing dengan pembagian keuntungan dan resiko kerugian yang ditentukan berdasarkan
kesepakatan kedua belah pihak; b) Pinjaman penuh dimana pihak orang Indonesia diberi pinjaman
sejumlah dana oleh investor asing, tanpa ikut campur dalam manajemen pengelolaan hotel. Dimana
investor asing meminta jaminan berupa tanah beserta bangunan hotel dan seluruh aset-aset hotel. Tata
cara atau proses dalam pola hubungan ini, antara lain: a) Pihak Warga Negara Indonesia mengajukan
proposal dan mempresentasikan rencana hotel yang akan dibangun atau dibeli; b) Apabila proposal
lewat tim penilai disetujui maka selanjutnya dibuatlah MOU (Memorandum of Understanding) atau
Kesepakatan Bersama; 9 c) Perjanjian Kerjasama (Joint Venture); d) Perjanjian Pengakuan Hutang; e)
Perjanjian pengikatan terhadap jaminan, khususnya yang berkaitan dengan tanah dan aset-aset
bangunan yang terdiri dari Akta Pemberian Hak Tanggungan (Akta PPAT) dengan Sertifikat Hak
Tanggungan dan Akta Fiducia. Dalam praktek bisnis, pola hubungan ini sering disebut dengan “Pola
Pemberian Pinjaman Dana”. 5. Pola Hubungan Kelima Pola hubungan hukum ini yaitu melalui
fasilitas Penanaman Modal Asing (prosedur perijinan PMA yang ditetapkan BKPM atau BKPMD),
dimana investasi asing wajib mengikuti ketentuan dan Undang-Undang yang ditetapkan oleh
Pemerintah. Dalam pola hubungan hubungan hukum ini sudah terlihat jelas aturan-aturan dan
prosedur yang berlaku. Di dalam pola hubungan penanaman modal asing ini terdapat pengaturan
mengenai hak dan kewajiban antara investor asing dengan pihak Warga Negara Indonesia di dalam
akta pendirian Perseroan Terbatas dalam Fasilitas Penanaman Modal Asing dengan mentaati UU
Penanaman Modal Asing aturan Penanaman Modal Asing lainnya. Pada pola hubungan ini dikenal
dengan istilah “Pola Penanaman Modal Asing (PMA). Semakin tinggi minat penanam modal untuk
menanamkan modalnya di Indonesia dimana salah satu faktor penyebabnya adalah perlakuan yang
adil dan tidak diskriminatif dari Pemerintah Indonesia, maka akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi secara nasional. Hal ini tentu saja akan berimbas pula pada meningkatnya kesejahteraan
masyarakat secara menyeluruh.
18. Keabsahan Pola-pola Hubungan Penanaman Modal Asing di Indonesia
Untuk dapat mengetahui kelima pola hubungan tersebut di atas sah atau tidak dalam hubungannya
dengan Penanaman Modal Asing, dapat dilihat dari penyusunan kontrak melalui dokumentasinya.
Keberadaan penanam modal asing disuatu negara saat ini masing menjadi salah satu alternatif penting
dalam memperoleh dana guna melaksanakan pembangunan ekonomi. Dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi suatu negara, peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penanaman modal
asing perlu diperhatikan.10 Dapat dikatakan sah apabila memperhatikan: 1. Ketentuan yang berlaku
berkaitan dengan Penanaman Modal Asing, yaitu: a) Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal; b) Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang
Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal; c)
Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2018 tentang
Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal; d) Peraturan Badan
Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2017 tentang Pedoman dan Tata
Cara Perizinan dan Fasilitas Penanaman Modal; e) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas; f) Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. 2. Syarat-syarat
untuk diberlakukannya suatu Kontrak yang terdapat dalam Pasal 1320 dan 1337 KUH Perdata, yaitu:
a) Pasal 1320 KUH Perdata Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan empat syarat sahnya suatu
perjanjian, yaitu: (1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; (2) kecakapan untuk membuat suatu
perikatan; (3) suatu hal tertentu; (4) suatu sebab yang halal. b) Pasal 1337 KUH Perdata Pasal 1337
KUH Perdata, menyatakan bahwa Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang,
atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Penanaman modal asing wajib
dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di wilayah
Indonesia, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang”. Tujuan atas hal tersebut diterangkan dalam
bagian penjelasan UUPM, yaitu merupakan salah satu upaya pemerintah dalam memberikan kepastian
hukum dalam penyelenggaraan PMA.11 Pola hubungan yang kelima ini dikenal dengan istilah “Pola
Penanaman Modal Asing”. Pada pola hubungan ini, wajib mentaati dan menjalankan syarat-syarat
yang ditetapkan oleh Undang-Undang No.25 Tahun 2007 serta peraturan pelaksananya. Pada pola
hubungan ini dapat dikatakan sah menurut hukum apabila: a) Terpenuhinya syarat-syarat sahnya
kontrak dan perjanjian berdasarkan Pasal 1320 dan Pasal 1337 KUH Perdata; b) Dalam pola
hubungan ini merupakan penanaman modal asing langsung yang sesuai dengan Undang-Undang
tentang Penanaman Modal Asing karena melewati Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
19. PERKEMBANGAN HUKUM KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL
. Hard Laws 1. UN Convention on International Sales of Goods 1980 UN Convention on International
Sales of Goods tahun 1980 mengatur tentang Jual Beli Barang Internasional yang cukup komprehensif
dan menggambarkan hasil harmonisasi dari berbagai sistem hukum yang berbeda. Konvensi ini
mencoba merumuskan hak dan kewajiban bara pihak dalam jual beli barang internasional secara
transparan. Sampai dengan 30 September 20111, Konvensi telah diratifikasi oleh 77 negara yang
mencerminkan dua-pertiga dari volume perdagangan internasional. Sangat banyak kajian akademik
yang terkait dengan Konvensi ini dan lebih dari 2500 kasus yang terkait telah tersedia dari berbagai
sumber2. Kontribusi Konvensi ini bagi unifikasi hukum dagang internasional sangat signifikan. Salah
satu alasan bagi penerimaan yang luas terhadap Konvensi ini terletak pada aspek fleksibilitasnya.
Perumus Konvensi mampu menciptakan fleksibilitas dengan menggunakan berbagai teknik,
khususnya dengan mengadopsi terminologi yang netral, mendorong penghormatan atas prinsip itikad
baik dalam perdagangan internasional, dengan menerapkan suatu ketentuan bahwa prinsip-prinsip
umum yang menjadi dasar pembentukan Konvensi harus digunakan untuk mengisi gap terkait dengan
standar yang ditetapkan dalam Konvensi, serta dengan mengakui akibat yang mengikat dari berbagai
kebiaaan 1 Baca UNCITRAL, Digest of Case Law on the United Nations Convention on Contracts for
the International Sales of Goods, 2012 Edition, halaman ix. 2 Ibid. 7 perdagangan yang telah diterima
serta praktik yang sudah berlangsung lama (established)3. Perumus Konvensi telah berupaya secara
hati-hati untuk menghindari penggunaan konsep hukum yang hanya terkait dengan salah satu sistem
hukum (tradisi hukum), konsep-konsep yang dikembangkan selalu disertai dengan contoh atas kasus-
kasus yang sudah mapan serta literatur yang terkait, sehingga dapat diterima oleh berbagai sistem
hukum yang ada. Cara perumusan tersebut yang hati-hati akan menjamin bahwa keberlakuan
Konvensi meningkatkan harmonisasi dari aspek substansi hukum kepada sebagian besar negara,
apapun tradisi atau sistem hukumnya4. Konvensi ini terdiri dari beberapa Bagian (Part) dengan Bab-
Babnya (Chapter). Bagian I (Part 1) berisi ketentuan tentang Ruang Lingkup Berlakunya dan
Ketentuan Umum (Sphere of Application and General Provisions). Bab I mengatur tentang ruang
lingkup berlakunya Konvensi, didalamnya terdapat pengaturan tentang dalam hal-hal apa ketentuan
Konvensi ini berlaku5, sebaliknya juga dalam hal-hal apa ketentuan Konvensi tidak berlaku6. Bab II
berisi ketentuan-ketentuan umum seperti: penafsiran,7 berlakunya kebiasaan dalam perdagangan8,
domisil9, pembuktian, bentuk kontrak10. Bagian II (Part II) mengatur tentang pembentukan kontrak
(contract formation). Didalamnya terdapat ketentuan tentang penawaran (offer) 3 Ibid. 4 Ibid. 5 Pasal
1 Konvensi. 6 Ibid, pasal 2-6. 7 Ibid, Pasal 7 dan 8. 8 Ibid, Pasal 9. 9 Ibid. Pasal 10. 10 Ibid, Pasal 11-
13. 8 dan penerimaan (acceptance). Ketentuan mengenai penawaran (offer) mencakup tentang syarat
penawaran, penarikan kembali penawaran, pengakhiran penawaran11. Ketentuan tentang perubahan
atau counter offer juga diatur12. Penerimaan (acceptance) atas suatu penawaran juga diatur, termasuk
jangka waktu dan cara mengkomunikasikan penerimaan, serta penarikan atas penawaran13. Saat
terjadinya kontrak ditetapkan ketika penerimaan atas suatu penawaran menjadi efektif14. Bagian III
(Part III) mengatur tentang penjualan barang (sale of goods). Yang terdiri dari ketentuan umum15;
kewajiban penjual seperti: penyerahan barang dan dokumen, kesesuaian barang dan terkait dengan
tuntutan pihak ketiga, upaya pemulihan atas wanprestasi oleh penjual16. Selain itu juga diatur
kewajiban-kewajiban pembeli, meliputi: pembayaran atas harga yang disepakati, penambilan barang,
serta upaya pemulihan dalam halwanprestasi oleh pembeli17. Ketentuan lain menyangkut pengalihan
resiko (passing of risk); anticipatory breach and instalment of contracts; kerugian; bunga; ketentuan
pengecualian; efek penghindaran; pemeliharaan barang; dan lain-lain18.
20. Mengenal Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), Skema Public Private
Partnership (PPP) di Indonesia
Keterbatasan APBN dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur yang ditetapkan dalam RPJMN
2015-2019 menyebabkan adanya selisih pendanaan (funding gap) yang harus dipenuhi. Untuk
mengatasi itu, Pemerintah dituntut untuk menggunakan beberpa alternatif pendanaan, salah satunya
mengunakan skema kerjasama pembangunan yang melibatkan pihak swasta atau dikenal sebagai
Public Private Partnership (PPP). Tidak ada definisi resmi mengenai PPP, namun dapat disimpulkan
bahwa PPP merupakan bentuk perjanjian antara sektor publik (Pemerintah) dengan sektor privat
(Swasta) untuk mengadakan sarana layanan publik yang diikat dengan perjanjian, terbagi menjadi
beberapa bentuk tergantung kontrak dan pembagian resiko.
Di indonesia PPP dikenal sebagai Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), KPBU
didefinisikan sebagai kerjasama antara Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur
bertujuan untuk kepentingan umum dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan
sebelumnya oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/BUMN/BUMD, yang sebagian atau
seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan memperhatikan pembagian risiko
diantara para pihak. Kerjasama Pemerintah dengan swasta sebenarnya telah dikenal sejak masa Orde
Baru seperti pada jalan tol dan ketenagalistrikan, namun mulai dikembangkan tahun 1998 pasca krisis
moneter. Setelah didahului dengan beberapa peraturan pendukung KPBU, maka untuk menyesuaikan
PPP terkini dunia, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang
Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Sejak Perpres ini
diluncurkan kerjasama yang sebelumnya dikenal dengan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS)
selanjutnya disebut KPBU.
Lembaga-lembaga yang berperan langsung dalam pelaksanaan KPBU antara lain Kementerian
PPN/BAPPENAS sebagai koordinator KPBU, Kementerian Keuangan melalui DJPPR dalam
memberikan Dukungan Pemerintah dan Jaminan Pemerintah, dan
Kementerian/Lembaga/Daerah/BUMN/BUMD sebagai PJPK. Selain itu untuk mempercepat tahapan
KPBU juga dibentuk lembaga-lembaga pendukung , seperti Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan
Infrastruktur (KKPPI) yang diganti menjadi Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas
(KPPIP), PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) yang dapat berperan sebagai Badan Penyiapan dalam
pendampingan dan/atau pembiayaan kepada PJPK, dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII)
sebagai instrumen penjaminan pembangunan infrastruktur.
Selain lembaga-lembaga tersebut, terdapat organisasi kelembagaan yang wajib dibentuk dalam
pelaksanaan KPBU. Antara lain Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) yaitu Menteri/Kepala
Lembaga/Kepala Daerah sebagai PJPK sektor infrastruktur yang menjadi tanggung jawab
Kementerian/Lembaga/Daerah-nya, apabila dalam perundang-undangan diatur KPBU
diselenggarakan oleh BUMN/BUMD, maka BUMN/BUMD tersebut yang akan bertindak selaku
PJPK. Simpul KPBU dibentuk oleh PJPK bertugas dalam setiap tahapan KPBU dan melekat pada unit
kerja yang sudah ada di lingkungan Kementerian/Lembaga/Daerah. Panitia Pengadaan dibentuk untuk
pengadaan Badan Usaha Pelaksana. Badan Penyiapan adalah Badan Usaha/institusi/organisasi
nasional atau internasional, yang melakukan pendampingan dan/atau pembiayaan kepada PJPK dalam
tahap penyiapan hingga tahap transaksi KPBU. dan Badan Usaha Pelaksana yaitu Perseroan Terbatas
yang didirikan oleh Badan Usaha pemenang lelang atau yang telah ditunjuk secara langsung.
Tingginya resiko dan tidak layaknya proyek secara finansial menjadi hambatan utama dalam KPBU,
untuk itu Pemerintah memberikan fasilitas-fasiitas dalam KPBU berupa Dukungan Pemerintah,
Jaminan Pemerintah, pembayaran atas layanan, dan Insentif Perpajakan. Dikarenakan banyak proyek
KPBU tidak layak secara finansial namun layak secara ekonomi, oleh karena itu Pemerintah dapat
memberikan dukungan berupa Viability Gap Fund (VGF). VGF adalah dana yang diberikan
Pemerintah pada proyek KPBU guna meningkatkan kelayakan finansial sebuah proyek yang biasanya
digunakan dalam pembangunan. Dukungan berupa VGF dapat menurunkan biaya konstruksi sebuah
proyek infrastruktur sehingga tingkat pengembalian investasi semakin tinggi. Dukungan VGF
diajukan PJPK kepada Menteri Keuangan untuk dikaji, disetujui dan dialokasikan. Sedangkan
Jaminan Pemerintah adalah kompensasi finansial yang diberikan oleh Menteri Keuangan kepada
Badan Usaha Pelaksana melalui skema pembagian risiko. Dalam rangka menyediakan jaminan,
Pemerintah Indonesia membentuk Badan Usaha penjaminan infrastruktur yaitu PT Penjaminan
Infrastuktur Indonesia (Persero) atau PT PII yang memiliki tugas khusus di bidang penjaminan
proyek-proyek infrastuktur.
KPBU dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu perencanaan, penyiapan, dan transaksi. Pada tahap
perencanaan Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/direksi BUMN/BUMD meyusun rencana
anggaran dana, Identifikasi, pengambilan keputusan, penyusunan Daftar Rencana KPBU. Output
tahap perencanaan adalah daftar prioritas proyek dan dokumen studi pendahuluan yang disampaikan
pada Kementerian PPN/BAPPENAS untuk disusun sebagai Daftar Rencana KPBU yang terdiri atas
KPBU siap ditawarkan dan KPBU dalam proses penyiapan. Selanjutnya dalam tahap penyiapan
KPBU Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/direksi BUMN/BUMD selaku PJPK dibantu Badan
Penyiapan dan disertai konsultasi Publik, menghasilkan prastudi kelayakan, rencana dukungan
Pemerintah dan Jaminan Pemerintah, penetapan tata cara pengembalian investasi Badan Usaha
Pelaksana, dan pengadaan tanah untuk KPBU.Tahap transaksi dilakukan oleh PJPK dan terdiri atas
penjajakan minat pasar, penetapan lokasi, pengadaan Badan Usaha Pelaksana dan melaksanakan
pengadaannya, penandatanganan perjanjian, dan pemenuhan biaya.
Apakah bentuk Pemanfaatan BMN seperti Kerja Sama Pemanfaatan (KSP), Bangun Guna Serah
(BGS), Bangun Serah Guna (BSG), dan Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur (KSPI) merupakan
KPBU? Bentuk-bentuk pemanfaatan BMN diatur Pemerintah melalui PP 27 tahun 2014 dengan
mengadopsi skema PPP, namun tidak otomatis termasuk KPBU, pemanfaatan BMN dapat diakui
sebagai KPBU apabila disetujui oleh Menteri PPN/Kepala BAPPENAS dan masuk dalam Daftar
Rencana KPBU. Sebagai contoh, ketika rencana penyediaan infrastruktur atas BMN yang diajukan
Kementerian/Lembaga disetujui Menteri PPN/Kepala BAPPENAS sebagai proyek KPBU maka untuk
BMN yang ada pada Pengelola Barang Menteri Keuangan akan bertindak sebagai PJPK, sedangkan
untuk BMN yang ada pada Pengguna Barang Menteri/Kepala Lembaga terkait bertindak sebagai
PJPK.
Bagaimanakah peran DJKN dalam KPBU? pada contoh pemanfaatan BMN di atas, DJKN berperan
sebagai Pengelola BMN yang bertindak atas usul Pemanfaatan BMN, dalam hal ini tidak terlibat
langsung dalam tahapan KPBU. Saat ini peran DJKN ada pada kajian permohonan dukungan
Pemerintah dan jaminan Pemerintah, yaitu berkaitan dengan Kekayaan Negara Dipisahkan khususnya
yang akan disalurkan (Penyertaan Modal) PT PII dan PT SMI. Dalam perkembangannya ada tiga
kemungkinan DJKN dilibatkan secara langsung dalam tahapan KPBU. Pertama, untuk mengatasi
permasalahan pengadaan lahan KPBU, yaitu melalui BLU LMAN DJKN yang ditugaskan Pemerintah
sebagai bank tanah. Kedua, dalam hal penyerahan aset hasil KPBU kepada Pemerintah ketika kontrak
KPBU telah berakhir, baik berupa KND ataupun BMN. Ketiga, berkaca dari kesuksesan PPP di
berbagai negara seperti Korea Selatan dan Inggris, kunci sukses mereka ada pada Lembaga/Badan
Khusus penyelenggara PPP. Apabila Pemerintah membentuk sebuah Lembaga/Badan khusus yang
bertanggung jawab penuh atas KPBU, maka besar kemungkinan DJKN sebagai Pengelola BMN dan
pemegang fungsi Penilai Pemerintah akan dilibatkan.

Anda mungkin juga menyukai