2.Diferensiasi dalil gugatan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum dalam perjanjian atau
kontrak
Dasar hukum : KUHPERDATA
Dalam hal adanya suatu pelanggaran hak yang menimbulkan kerugian, seseorang, terkadang
mengalami kebingungan sehubungan dengan kategori pelanggaran apa yang dialaminya antara
Wanprestasi dan perbuatan melawan hukum (PMH), Dalam praktik peradilanpun sering kali dijumpai
pencampuran antara Wanprestasi dengan PMH dalam gugatannya. Faktanya, terdapat perbedaan yang
sangat mendasar (prinsipil) antara Wanprestasi dengan PMH.
Perbedaan paling mendasar antara Wanprestasi dan PMH adalah dasar pengaturannya, Pengaturan
Wanprestasi secara khusus diatur dalam ketentuan Pasal 1343 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPer) yang didasarkan pada adanya cedera janji dalam suatu perjanjian sehingga salah satu pihak
harus bertanggung jawab. Seseorang dapat dikatakan telah ingkar janji atau wanprestasi, apabila
orang tersebut (debitor) tidak melakukan apa yang dijanjikannya atau ia melanggar perjanjian, dan
wanprestasi seorang debitor terdiri dari empat macam, yaitu:
Sedangkan pengaturan PMH secara khusus diatur dalam ketentuan 1365 KUHPer yaitu “Tiap
perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Berdasarkan pengertian
tersebut dan yurisprudensi di Indonesia, PMH adalah perbuatan yang memenuhi kriteria:
Perbedaan selanjutnya antara Wanprestasi dengan PMH dapat dilihat dari sumber hukumnya, kapan
timbulnya hak untuk menuntut dan tuntutan ganti rugi sebagaimana dapat dilihat dalam tabel dibawah
ini:
Dari perbedaan-perbedaan yang telah diuraikan diatas, Wanprestasi dan PMH memiliki kesamaan,
yaitu keduanya dapat diajukan ganti rugi oleh pihak yang dirugikan.
1. Orang
Subekti dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal. 19-21) mengatakan bahwa
dalam hukum, orang (persoon) berarti pembawa hak atau subyek di dalam hukum. Sebagaimana kami
sarikan, seseorang dikatakan sebagai subjek hukum (pembawa hak), dimulai dari ia dilahirkan dan
berakhir saat ia meninggal. Bahkan, jika diperlukan (seperti misalnya dalam hal waris), dapat dihitung
sejak ia dalam kandungan, asal ia kemudian dilahirkan dalam keadaan hidup.
2. Badan Hukum
Subekti (Ibid, hal 21) mengatakan bahwa di samping orang, badan-badan atau perkumpulan-
perkumpulan juga memiliki hak dan melakukan perbuatan hukum seperti seorang manusia. Badan-
badan atau perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas
hukum dengan perantara pengurusnya, dapat digugat, dan dapat juga menggugat di muka hakim.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau
Mulai Dar
Pada sumber lain, penjelasan dalam artikel Metamorfosis Badan Hukum Indonesia mengatakan
bahwa dalam hukum perdata telah lama diakui bahwa suatu badan hukum (sebagai suatu subyek
hukum mandiri; persona standi in judicio) dapat melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatig
handelen; tort). Badan hukum mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum seperti halnya
orang, akan tetapi perbuatan hukum itu hanya terbatas pada bidang hukum harta kekayaan. Mengingat
wujudnya adalah badan atau lembaga, maka dalam mekanisme pelaksanaannya badan hukum
bertindak dengan perantara pengurus-pengurusnya.
Lebih lanjut dikatakan dalam artikel itu bahwa badan hukum perdata terdiri dari beberapa jenis,
diantaranya perkumpulan, sebagaimana terdapat dalam Pasal 1653 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (“KUH Perdata”); Perseroan Terbatas (Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas); Koperasi (Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian);
dan Yayasan (Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Yayasan sebagaimana yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004).
Dalam pustaka hukum pidana modern telah diingatkan, bahwa dalam lingkungan sosial ekonomi atau
dalam lalu lintas perekonomian, seorang pelanggar hukum pidana tidak selalu perlu melakukan
kejahatannya itu secara fisik.
Karena perbuatan korporasi selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia (direksi; manajemen),
maka pelimpahan pertanggungjawaban manajemen (manusia; natural person), menjadi perbuatan
korporasi (badan hukum; legal person) dapat dilakukan apabila perbuatan tersebut dalam lalu lintas
kemasyarakatan berlaku sebagai perbuatan korporasi. Ini yang dikenal sebagai konsep hukum tentang
pelaku fungsional (functionele dader).
KUHP belum menerima pemikiran di atas dan menyatakan bahwa hanya pengurus (direksi) korporasi
yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum pidana (criminal liability). Namun, pada
perkembangannya korporasi juga dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum. Konsep ini
pertama kali diperkenalkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa baik hukum perdata maupun hukum pidana, subjek
hukum terdiri dari orang dan badan hukum. Dalam hukum perdata dan hukum pidana keduanya
mengakui bahwa badan hukum mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum seperti halnya
orang. Hal ini karena perbuatan badan hukum selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia.
Selain itu, baik dalam hukum pidana maupun hukum perdata, badan hukum dalam melakukan
perbuatan hukum bertindak dengan perantaraan pengurus-pengurusnya. Dalam hukum pidana, karena
perbuatan badan hukum selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia (direksi), maka pelimpahan
pertanggungjawaban pidananya terdapat pada manusia, dalam hal ini diwakili oleh direksi.
Itulah beberapa penjelasan mengenai kontrak lisan yang harus Anda ketahui. Meski kontrak dapat
dibuat secara lisan, ada baiknya Anda membuat kontrak tertulis. Di mana, dengan perjanjian tertulis,
Anda dapat menjelaskan secara detail mengenai hal-hal yang disepakati kedua belah pihak dan juga
memberi kepastian hukum sebagai alat bukti di pengadilan, jika suatu hari terjadi perselisihan antara
para pihak. Jika perselisihan diselesaikan melalui lembaga peradilan, bukti tertulis merupakan alat
bukti yang penting dan paling kuat, sehingga ada baiknya jika Anda membuat perjanjian secara
tertulis dalam melakukan transaksi bisnis.
5. Lex Mercatoria sebagai Hukum yang di Pilih Dalam Penyelesaian Sengketa Dagang
Internasional
Dasar Hukum : konvensi internasional (UNIDROIT) dan hukum nasional setiap negara
Dalam kegiatan perdagangan internasional seringkali timbul sengketa yang dilakukan oleh para pihak.
Dan pilihan penyelesaian sengketanya dapat dilakukan baik ke pengadilan ataupun ke arbitrase.
Dikarenakan domisili atau kewarganegaraan yang berbeda maka hukum yang digunakan juga
berbeda. Sehingga jika tidak dengan jelas dicantumkan dalam kontrak yang mereka buat maka akan
terjadi permasalahan baru yaitu hakim harus menentukan hukum mana yang akan mereka gunakan
dalam penyelesaian sengketa tersebut, karena beda hukum yang diterapkan bisa terjadi beda putusan
dari hakim atau arbitrase. Dalam perkembangannya law of the merchant termasuk salah satu pilihan
hukum yang digunakan oleh para hakim untuk penyelesaian sengketa dagang internasional Pada
umumnya lex mercatoria diartikan kebiasaan dan kepatutan umum dari masyarakat bisnis yang
diterapkan ke dalam praktik hukum komersial di berbagai Negara, digunakan apabila terjadi
kekosongan (gaps) hukum. Hal itu dapat memberikan jalan keluar karena kendla tidak adanya hukum
nasional yang mengatur, sehingga para hakim dan arbitrator dapat memilih lex mercatoria
dilengkapinya dengan prinsip equity sebagai bahan penemuan hukum (rechtsvinding) oleh para hakim
atau arbitrator.
6. KEABSAHAN SMART CONTRACT SEBAGAI PERJANJIAN YANG MENGIKAT
PIHAK
Dasar Hukum : UU ITE
Smart Contract merupakan perkembangan lanjutan dari penerapan blockchain setelah adanya
cryptocurrency, yaitu merupakan sebuah program komputer yang pada dasarnya merupakan suatu
perjanjian elektronik dalam sistem basis data blockchain yang tujuannya sebagai protokol untuk
menjalankan sebuah perjanjian atau kesepakatan antara para pihak yang mampu mengeksekusi
klasula-klasula dalam perjanjian tersebut secara otomatis (self-excuting). Klasula-klasula yang
dimaksud ialah mengenai klasula pembayaran, pengiriman, mengenai garasi atau pergantian barang,
force majure, dan klasula batasan tanggung jawab para pihak. Smart contract terdiri dari serangkaian
kode data dalam jaringan blockchain atau berbentuk virtual tanpa memiliki bentuk fisik layakya surat
perjanjian konvensional. Kode data tersebut mewakili ketentuan-ketentuan berdasarkan kesepakatan
para pihak. Dalam smart contract biasanya dibuat sepihak oleh issuer (penerbit) sehingga sifatnya
lebih kaku dari pada perjanjian konvensional yang isi perjanjiannya biasanya berdasarkan kesepakatan
kedua belah pihak, smart contract ini bersifat adagium “take it or leave it” sehingga para pihak
tersebut harus mengikuti ketentuan dalam smart contract tersebut karena sifatnya yg mengeksekusi
dan memverifikasi otomastis terhadap ketentuan dalam smart contract tersebut yang berupa kode
pemograman.
Smart contract pada awalnya dibuat untuk membuat ringkas proses transaksi agar menjadi lebih
mudah, efesien dan fleksibel. Biasanya digunakan untuk transaksi yang terjadi secara virtual seperti
transaksi pembelian cryptocurrency, pembiayaan dalam crowdfunding, transaksi e-commerce,
pembayaran asuransi, dan lain-lain. Smart contract memiliki beberapa bentuk dengan fungsi serta
penerapan yang berbeda yang terbagi atas: basic token contract, crowd sale contract, mintabe contract,
refundable contract, dan terminable contract.[1]
Pada dasarnya smart contract merupakan instrumen alternatif untuk memaksa pelaksanaan kontrak
dan juga memiliki artian yang berbeda dengan kontrak dalam hukum (legal contract), namun smart
contract dapat menjadi sebuah legal contract apabila smart contract tersebut memenuhi persyaratan
hukum sebuah kontrak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, karena bentuk smart
contract ini merupakan teknologi baru sehingga belum ada regulasi yang spesifik yang mengatur
mengenai smart contract tersebut.
Berdasarkan Pasal 1 angka 17 UU No. 11 Tahun 2008 jo UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik yang berbunyi “Kontrak elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat
melalui Sistem Elektronik”. Kemudian definisi dari Sistem Eelektronik sendiri dijelaskan pada Pasal
1 angka 5 merupakan “serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi
mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan,
mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Infomasi Elektronik”. Berdasarkan definisi
yang dijabarkan dalam UU ITE tersebut mengenai kontrak elektronik, maka smart contract dianggap
sebagai sebuah “Kontrak Elektronik” untuk menjalankan transaksi elektronik guna mengikat para
pihak yang dibuat dalam sistem elektronik.
Mengenai keabsahan dari smart contract ini, pada dasarnya smart contract tersebut merupakan bentuk
dari perwujudan asas kebebasan berkontrak. Berdasarkan BW smart contract atau kontrak elektronik
menurut UU ITE dipersamakan sebagai sebuah “perjanjian” yang dimaksud dalam Pasal 1313 KUH
Perdata yaitu sebagai “suatu perbuatan dimana satu orang mengikatkan diri terhadap satu orang lain
atau lebih”. Agar suatu perjajian tersebut sah menurut hukum maka harus memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu: Adanya kesepakatan antara para pihak,
kecakapan para pihak untuk melakukan perbuatan hukum, suatu hal tertentu yang menjadi objek
perjanjian, dan suatu kausa yang halal.
Syarat sahnya sebuah kontrak elektronik dalam transaksi elektronik menurut UU ITE sejalan dengan
persyaratan syarat sah nya sebuah perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut,
sebagaimana dijelaskan pada Pasal 47 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang berbunyi:
“Terdapat kesepakatan para pihak, dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang
mawakili ssuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, terdapat hal tertentu dan objek
transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban
umum.”
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian ataupun kontrak elektronik,
maka dapat disimpulkan bahwa smart contract ini dapat digunakan secara sah di Indonesia sebagai
perjanjian yang dilakukan secara elektronik yang bentuknya tersebut sebagai perwujudan dari asas
kebebasan berkontrak. Perjanjian tersebut sah selama kontrak yang disusun tersebut tidak melanggar
atau bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum, dan Undang-Undang, dan juga perlu
diperhatikan bahwa tidak semua objek sebuah perjanjian dapat dilakukan dengan mekanisme kontrak
elektronik.
Terima kasih untuk pertanyaan yang diajukan kepada kami. Untuk menjawab pertanyaan tersebut
akan kami coba jabarkan dalam beberapa poin berikut:
1. Hubungan kerja terdiri atas para pihak sebagai subjek (pengusaha dan pekerja/buruh), perjanjian
kerja, adanya pekerjaan, upah, dan perintah. Berikut akan kami jabarkan unsur-unsur dari
hubungan kerja :
2. Mengenai adanya suatu hubungan kerja tanpa adanya perjanjian kerja, seperti yang Saudara
jelaskan pada kasus Saudara, maka hal tersebut bertentangan dengan Pasal 50 UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), yang mana disyaratkan dalam pasal tersebut
bahwa:
“Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh”
Kemudian Pasal 51 UUK menyebutkan bahwa, Perjanjian Kerja dapat dibuat baik secara
“TERTULIS” ataupun “LISAN”, sehingga untuk kasus yang Saudara alami dapat diasumsikan
bahwa Perjanjian Kerja antara Saudara dengan pemberi kerja (pengusaha) dilakukan secara
lisan.
3. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah sah apabila Perjanjian Kerja tersebut terjadi secara lisan?
Perjanjian Kerja Saudara adalah “SAH”, selama tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal
52 ayat (1) UUK, yaitu:
4) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Kemudian, apabila ditelaah lebih dalam, tentunya harus ditentukan apakah jenis Perjanjian Kerja
Saudara, apakah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu (“PKWTT”), karena terhadap dua Perjanjian Kerja tersebut mempunyai spesifikasi hak
dan kewajiban yang berbeda. Untuk menjawabnya, dapat dilihat pada Pasal 57 ayat (1) dan (2)
UUK, yang mensyaratkan untuk pembuatan secara tertulis terhadap PKWT, apabila
ternyata PKWT tersebut tidak dibuat secara tertulis, maka secara otomatis Perjanjian Kerja
tersebut menjadi PKWTT.
Selain itu, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:
KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, di
dalam Pasal 15 ayat (1) menyebutkan bahwa:
“Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin
berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tentu (PKWTT) sejak adanya hubungan kerja”
Dengan kata lain, secara a contrario dapat ditafsirkan bahwa ketika Perjanjian Kerja tersebut
secara lisan (tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin), maka Perjanjian Kerja
tersebut merupakan PKWTT.
5. Dengan demikian, Saudara berhak untuk menuntut hak-hak Saudara sebagai karyawan
dengan status hubungan kerja PKWTT sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Berikut kami paparkan mengenai hak-hak seorang pekerja dengan
status PKWTT, yaitu :
1) Berhak atas upah setelah selesai melaksanakan pekerjaan sesuai dengan perjanjian (tidak di
bawah Upah Minimum Provinsi/UMP), upah lembur, Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek);
2) Berhak atas fasilitas lain, dana bantuan dan lain-lain yang berlaku di perusahaan;
5) Berhak atas kebebasan berserikat dan perlakuan HAM dalam hubungan kerja.
Sekian jawaban yang dapat kami sampaikan, semoga dapat memberikan pencerahan hukum kepada
Saudara.
Sementara, Efek Beragun Aset adalah Efek yang diterbitkan oleh Kontrak Investasi Kolektif Efek
Beragun Aset yang portofolionya terdiri dari aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari surat
berharga komersial, tagihan kartu kredit, tagihan yang timbul di kemudian hari (future receivables),
pemberian kredit termasuk KPR (Kredit Pemilikan Rumah/KPR atau apartemen), Efek bersifat hutang
yang dijamin oleh Pemerintah, Sarana Peningkatan Kredit (Credit Enhancement) /Arus Kas (Cash
Flow), serta aset keuangan setara dan aset keuangan lain yang berkaitan dengan aset keuangan
tersebut.
Menjadi alternatif investasi pada surat berharga, yang menawarkan rating terbaik, tenor
jangka panjang dan aman, meminimumkan resiko dengan cara antara lain pemilihan KPR
yang hanya berkualitas dan diversifikasi wilayah originasi KPR.
Mendapatkan imbal hasil yang menarik biasanya lebih tinggi dari obligasi
Memiliki kontribusi langsung pada perkembangan sektor riil secara umum dan sektor
perumahan secara khusus.
Terkait risiko dan kewajiban relatif sama dengan produk atau jenis Reksa Dana lainnya.
Pembelian KIK-EBA dapat dilakukan secara langsung melalui perusahaan Manajer Investasi yang
menerbitkan dan mengelola Reksa Dana, melalui underwriter (penjamin), atau melalui Bank sebagai
Agen Penjual Efek Reksa Dana (APERD).