Anda di halaman 1dari 5

TUGAS Ke- 1 MATA KULIAH

UNIVERSITAS TERBUKA
SEMESTER : 2021/22.2

Fakultas : Ekonomi
Program Studi : Manajemen
Kode/Nama MK : EKMA 4316/Hukum Bisnis
Nama Mahasiswa : Vita Dwi Puji Rahayu
NIM : 042347093

1. Subyek hukum adalah pemegang hak dan kewajiban menurut hukum. Dalam kehidupan
sehari-hari, yang menjadi subyek hukum dalam sistem hukum Indonesia, yang sudah
barang tentu berdasar dari sistem hukum Belanda, ialah individu (orang) dan badan
hukum (perusahaan, organisasi, institusi).

Dalam dunia hukum, subyek hukum dapat diartikan sebagai pembawa hak, yakni manusia dan
badan hukum.

1. Manusia. Menurut hukum, tiap-tiap seorang manusia sudah menjadi subyek hukum secara
kodrati atau secara alami. Anak-anak serta balita pun sudah dianggap sebagai subyek hukum.
Manusia dianggap sebagai hak mulai ia dilahirkan sampai dengan ia meninggal dunia. Bahkan
bayi yang masih berada dalam kandungan pun bisa dianggap sebagai subyek hukum bila terdapat
urusan atau kepentingan yang menghendakinya. Namun, ada beberapa golongan yang oleh
hukum dipandang sebagai subyek hukum yang "tidak cakap" hukum. Maka dalam melakukan
perbuatan-perbuatan hukum mereka harus diwakili atau dibantu oleh orang lain, seperti anak
yang masih dibawah umur, belum dewasa, atau belum menikah, dan orang yang berada dalam
pengampunan seperti orang yang sakit ingatan, pemabuk, pemboros.

2. Badan Hukum. Badan hukum adalah suatu badan yang terdiri dari kumpulan orang yang diberi
status "persoon" oleh hukum sehingga mempunyai hak dan kewajiban. Badan hukum dapat
menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia. Seperti melakukan perjanjian,
mempunyai kekayaan yang terlepas dari para anggotanya dan sebagainya. Perbedaan badan
hukum dengan manusia sebagai pembawa hak adalah badan hukum tidak dapat melakukan
perkawinan, tidak dapat diberi hukuman penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan dapat
dibubarkan.

Dari contoh soal tersebut maka :

A. Obyek hukum

Rudi merupakan pengguna mobil mewah yang seenaknya memarkirkan mobil mewah di pinggir
jalan raya yang mana bukan tempat untuk parker sehingga mengakibatkan kemacetan dan
mengganggu ketertiban lalulintas serta melanggar peraturan di kota Surabaya

B. Akibatnya yang diterima Rudi :


Tertulis pada Pasal 287 UU LLAJ, bagi siapa saja yang membuat gangguan pada lalu lintas,
seperti pada fungsi rambu, fasilitas jalan, dan lain sebagainya akan dikenakan denda dengan
jumlah paling banyak Rp 500.000,- atau pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan.

Peraturan Pemerintah nomor 34 tahun 2006 mengenai Jalan atau selanjutnya diketahui dengan
nama PP Jalan juga mengatur tentang parkir liar. Dalam regulasi ini disebutkan larangan bagi
setiap orang yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan.

Maksud dari terganggunya fungsi jalan pada peraturan tersebut adalah kondisi di mana
berkurangnya kapasitas jalan, seperti menumpuk bahan material, parkir, maupun berhenti untuk
keperluan pribadinya di bahu jalan sehingga membuat pengguna jalan lain terganggu.

2. Perjanjian menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut


se-bagai KUH Perdata) Pasal 1313 adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih
mengikat dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Untuk didapatkan adanya suatu
perjan-
jian paling sedikit harus ada dua pihak sebagai subjek hukum, dimana masing-masing
pihak
sepakat untuk mengikatkan dirinya dalam suatu hal tertentu. Hal tertentu yang
dimaksud dapat berupa untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu, maupun untuk
tidak berbuat sesuatu. Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang
membuatnya, dalam bentuknya perjanjian dapat berupa suatu rangkaian per-kataan
yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan maupun ditulis (R.
Subekti, 1996:1

Perjanjian bisa dilakukan dalam bentuk tertulis maupun dengan cara lisan, dan tidak jarang
dijumpai perjanjian yang dilakukan secara diam-diam. Perjanjian secara lisan banyak terjadi
dalam kehidupan bermasyarakat, serta merta sering tidak disadari namun sudah terjadi
kesepakatan, misalnya dalam kegiatan berbelanja di toko, di pasar-pasar untuk kebutuhan
sehari-hari, hutang-piutang dengan sahabat, dan lain-lain. Bisa dikatakan bahwa perjanjian
lisan sering dijumpai dalam perjanjian yang sederhana, dalam artian perjanjian yang tidak
rumit hubungan hukumnya dan juga tidak menimbulkan kerugian besar bagi para pihak jika
terjadi wanprestasi. Namun yang menjadi permasalahan adalah bagaimana jika perjanjian
lisan digunakan pada perjanjian yang dapat menimbulkan kerugian besar bagi para pihak
apabila terjadi wanprestasi. Terlebih lagi, ketika diperkarakan di Pengadilan, pihak yang
diduga melakukan wanprestasi melakukan pembelaan dengan cara tidak
mengakui/menyangkal telah membuat perjanjian lisan tersebut.

A. Maka budi masih sesuai dengan kebebasan berkontrak sebagaimana tercantum


sebagai berikut :

Sebagai suatu kesatuan yang bulat dan utuh dalam satu sistem, maka penerapan asas kebebasan
berkontrak sebagaimana tersimpul dari substansi Pasal 1338 ayat (1) BW harus juga dikaitkan
dengan kerangka pemahaman pasal-pasal atau ketentuan-ketentuan yang lain, sebagai berikut
(Suryono, 2009:351-353, Hernoko, 2008:102-103) :

1. Pasal 1320 ayat (1) jo Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata
Pasal 1320 ayat (1) menyatakan sebagian salah satu syarat sahnya suatu perjanjian
diperlukan adanya “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya”. Pasal 1338 ayat (1) menentukan
bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang
membuatnya”.

Berdasar dua pasal dalam KUH Perdata tersebut, dapatlah dikatakan berlakunya asas
konsensualisme di dalam hukum perjanjian memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak.
Tanpa “sepakat” dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat
tidak sah, sehingga dapat dibatalkan. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya.
Sepakat yang diberikan dengan paksa disebut Contradictio interminis, adanya paksaan
menunjukkan tidak adanya sepakat.

Adanya konsensus dari para pihak, maka menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian
sebagaimana undang-undang (pacta sunt servanda). Asas pacta sunt servanda menjadi kekuatan
mengikatnya perjanjian. Ini bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum yang
pelaksanaannya wajib ditaati, konsekuensinya hakim maupun pihak ketiga tidak boleh
mencampuri isi perjanjian yang dibuat para pihak tersebut.

Cara menyimpulkan asas kebebasan berkontrak adalah dengan menekankan pada


perkataan “semua” yang ada dimuka perkataan “perjanjian” sebagaimana disebutkan dalam Pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata. Dikatakan bahwa Pasal 1338 ayat (1) tersebut, seolah-olah membuat
pernyataan bahwa masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian dan mengikat sebagaimana
mengikatnya undang-undang bagi yang membuatnya. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya
berupa apa yang dinamakan “ketentuan umum dan kesusilaan” (Subekti, 1984:5).

Perkataan “semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya
dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Asas ini berhubungan dengan isi
perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan “siapa” perjanjian diadakan. Perjanjian yang
dibuat sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata ini mempunyai kekuatan mengikat (Badrulzaman,
2001:84).

2. Pasal 1320 ayat (4) jo. Pasal 1337 KUH Perdata

Pasal 1320 ayat (4) KUH Perdata menyatakan salah satu syarat sahnya perjanjian
apabila dilakukan atas “suatu sebab yang halal”. Pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa
“suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan
dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.

Dapat disimpulkan, bahwa asalkan bukan karena sebab (causa) yang halal (dilarang)
oleh undang-undang, maka setiap orang bebas untuk memperjanjikannya.

3. Pasal 1329 jo. Pasal 1330 dan 1331 KUH Perdata

Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan : “setiap orang adalah cakap untuk membuat
perjanjian, kecuali jika ia ditentukan tidak cakap oleh undang-undang”. Pasal 1330 KUH Perdata
menyatakan “tidak cakap untuk membuat perjanjian” adalah :

1. Orang-orang yang belum dewasa ;


2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan ;
3. Wanita yang sudah bersuami.

Pasal 1331 KUH Perdata menyatakan “orang-orang yang di dalam pasal yang lalu dinyatakan
tidak cakap, boleh menuntut pembatalan perikatan-perikatan yang telah mereka perbuat dalam
hal-hal dimana kekuasaan itu tidak dikecualikan dalam undang-undang”.

Dapat disimpulkan bahwa KUH Perdata tidak melarang bagi seseorang untuk membuat
perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendaki. Undang-undang hanya menentukan bahwa
orang-orang tertentu tidak cakap untuk membuat perjanjian. Setiap orang bebas untuk memilih
pihak dengan siapa membuat perjanjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap
untuk membuat perjanjian. Bahkan, apabila seseorang membuat perjanjian dengan lainnya yang
menurut undang-undang tidak cakap membuat perjanjian, maka perjanjian tetap sah selama tidak
dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap.

4. Pasal 1332 KUH Perdata menyatakan “hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan
saja dapat menjadi pokok perjanjian-perjanjian”. Pasal ini menegaskan bahwa asalkan
menyangkut barang-barang yang bernilai ekonomis, maka setiap orang bebas untuk
memperjanjikannya.
5. Pasal 1335 KUH Perdata yang melarang dibuatnya kontrak tanpa causa, atau dibuat
berdasarkan causa yang palsu atau yang terlarang, dengan konsekuensi tidaklah
mempunyai kekuatan.
6. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menetapkan bahwa kontrak harus dilaksanakan
dengan itikad baik.
7. Pasal 1339 KUH Perdata, menunjuk terikatnya perjanjian kepada sifat, kepatutan,
kebiasaan dan unang-undang. Kebiasaan yang dimaksud bukanlah kebiasaan setempat,
akan tetapi ketentuan-ketentuan yang dalam kalangan tertentu selalu diperhatikan.
8. Pasal 1347 KUH Perdata mengatur mengenai hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya
disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan dalam kontrak.
9. Ketentuan Buku III KUH Perdata kebanyakan bersifat hukum pelengkap (anvullend
recht, optional) artinya para pihak dapat secara bebas membuat syarat-syarat atau aturan
tersendiri dalam suatu perjanjian menyimpang dari ketentuan undang-undang, namun jika
para pihak tidak mengatur dalam perjanjian, maka ketentuan Buku III KUH Perdata akan
melengkapinya untuk mencegah adanya kekosongan hukum sesuai dengan isi materi
perjanjian yang dikehendaki para pihak.
10. Buku III KUH Perdata, tidak melarang kepada seseorang untuk membuat perjanjian itu
dalam bentuk tertentu, sehingga para pihak dapat secara bebas untuk membuat perjanjian
secara lisan ataupun tertulis, terkecuali untuk perjanjian tertentu harus dalam bentuk akta
otentik.

B. Berdasarkan analisa kebebasan berkontrak , maka :

Seharusnya jika ingin membuat perjanjian dalam bentuk lisan, para pihak perlu mempre-
diksi terlebih dahulu mengenai akibat atau kerugian yang ditimbulkan jika terjadi
wanprestasi, karena perjanjian lisan sangat mudah untuk disangkal atau tidak diakui.
Disarankan agar tidak menggunakan perjanjian dalam bentuk lisan jika hubungan
hukumnya kompleks dan dapat menimbulkan kerugian yang besar jika terjadi
wanprestasi. Jika ingin tetap membuat perjanjian dalam bentuk lisan, para pihak
disarankan untuk menggunakan saksi. Saksi dapat mencegah suatu perjanjian lisan
disangkal/tidak diakui, karena seseorang akan berpikir dua kali jika ingin
menyangkal/tidak mengakui perjanjian lisan tersebut. Jika perjanjian lisan tersebut tetap
tidak diakui, saksi dapat dijadikan alat bukti untuk membuktikan perjanjian lisan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai