(LAW 304)
MODUL 4
ASAS-ASAS DALAM PERJANJIAN
DISUSUN OLEH
NURHAYANI, SH. MH
Pasal 1313 KUH Perdata mengawali ketentuan yang diatur dalam Bab Kedua Buku III
KUH Perdata, dibawah judul “Tentang Perikatan-Perikatan yang Dilahirkan Dari
Kontrak atau Perjanjian”, yang mentakana bahwa suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang
lain atau lebih. Rumusan yang diberikan tersebut hendak memperlihatkan kepada kita
semua, bahwa suatu perjanjian adalah :
1. suatu perbuatan;
2. antara sekurang-kurangnya dua orang (jadi dapat lenih dari dua orang);
Perbuatan yang disebutkan dalam rumusan awal ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata
hendak menjelaskan pada kita semua bahwa perjanjian hanya mungkin terjadi jika ada
suatu perbuatan nyata, baik dalam bentuk ucapak, maupun tindakan secara fisik, dan
tidak hanya dalam bentuk pikiran semata-mata. Atas dasar inilah dikenal adanya
perjanjian konsensuil, perjanjian formil, dan perjanjian riil.
Berdasarkan uraikan diatas, hal tersebut menunjukan kepada kita bahwa perjanjian dibuat
dengan pengetahuan, dan kehendak bersama dari para pihak, dengan tujuan untuk
menciptakan atau melahirkan kewajiban pada salah satu atau kedua belah pihak yang
membuat perjanjian tersebut.
Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh
para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para
pihak, oleh KUH Perdata diberikan berbagai asas umum, yang merupakan pedoman atau
patokan, serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang
akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang
dapat dipaksakan pelaksanaan atau pemenuhannya.
Berikut asas-asas umum hukum perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata:
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”.
Pasal ini merupakan pasal yang paling populer karena disinilah disandarkan asas
kebebasan berkontrak, walaupun ada juga sarjana yang menyandarkannya pada
Pasal 1320, atau pada keduanya. Namun apabila dicermati Pasal 1338 ayat (1) ini
didalamnya terkandung tiga hal pokok (asas), yaitu:
a. pada kalimat “semua perjanjian yang dibuat secara sah” menunjukan asas
kebebasan berkontrak;
Kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting, sebab
merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran dari hak anusia. Kebebasan
berkontrak dilatar belakangi oleh paham individualisme yang secara embrional lahir
di zaman Yunani, diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam
zaman reinaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Groot, Thomas
Hobbes, John Locks dan Rousseau yang menyatakan bahwa setiap orang bebas
untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Dalam hukum perjanjian falsafah ini
diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak” dan hal ini menurut teori laissez fair,
dianggap sebagai the invisible hand, karena pemerintah tidak boleh mengadakan
intervensi. Paham individualisme memberi peluang yang luas bagi golongan yang
lemah. Dengan kara lain, pihak yang kuat menentukan kedudukan yang lemah.
Pada akhir abad ke XIX akibat desakan paham etis dan sosialis, paham
individualisme mulai memudar. Paham ini mulai tidak mencerminkan keadilan.
Oleh karena itu, kehendak bebas tidak lagi berarti mutlak, tetapi diberi arti relatif
dan dikaitkan dengan kepentingan umum. Mulailah perjanjian diawasi pemerintah
sebagai pengembang kepentingan umum dan menjaga keseimbangan kepentingan
individu dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan hukum perjanjian oleh
pemerintah, sehingga terjadi penggeseran hukum perjanjian ke bidang hukum
publik. Melalui campur tangan pemerintah ini, terjadi pemasyarakatan
(vermaatschappelijking) hukum perjanjian.
Walaupun sebelumnya semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya, akan tetapi ketentuan ini tidak
dapat diberlakukan secara mutlak. Dikatakan demikian karena asas ini dikecualikan
dalam hal-hal berikut:
Dengan asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat dan mengadakan
perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau
perjanjian yang melahirkan kewajian apa saja selama dan sepanjang prestasi yang
wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang. Ketentuan Pasal 1337
KUH Perdata menyatakan:
“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila
berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.
Pasal ini memberikan gambaran umum kepada kita semua, bahwa pada dasarnya
semua perjanjian dapat dibuat dan diselenggarakan oleh setiap orang. Hanya
perjanjian yang mengandung prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak yang
melanggar undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum saja yang dilarang.
Jika kita perhatikan KUH Perdata menunjuk pada pengertian sebab atau causa yang
halal. Secara prinsip dapat kita katakan bahwa apa yang dinamakan sebab atau
causa yang halal tersebut bukanlah pengertian, sebab atau causa yang dipergunakan
dalam kehidupan kita sehari hari, yang menunjuk pada sesuatu yang
Hukum tidak pernah berhubungan dan tidak perlu mengetahui apa yang
melatarbelakangi dibuatnya suatu perjanjian, melainkan cukup bahwa prestasi yang
dijanjikan untuk dilaksanakan yang diatur dalam perjanjian yang dibuat oleh para
pihak tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum.
Bank XYZ memberikan pinjaman kepada A untuk masa satu tahun, dengan
ketentuan bahwa pinjaman hanya akan dipergunakan sebagai modal kerja untuk
membeli bahan baku produksi pabrik A. A berjanji akan mengembalikan seluruh
pinjaman tersebut tepat pada akhir masa pinjaman yaitu satu tahun terhitung sejak
penarikan dana oleh A, dan untuk melakukan pembayaran atas bunga pinjaman
setiap bulannya dengan suku bunga yang telah ditetapkan oleh bank XYZ
sebelumnya.
Dalam perjanjian ini, secara jelas disebutkan bahwa pinjaman yang diberikan hanya
boleh dipergunakan untuk keperluan pembelian bahan baku. Dalam hal terjadi
penyimpangan oleh A dalam mempergunakan fasilitas pinjaman, maka A telah
dianggap melakukan wanprestasi, dengan segala akibat hukumnya. Apabila A
mempergunakannya untuk membiayai hal lain yang tidak berkaitan dengan
perjanjian pemberian pinjaman oleh bank kepada A, maka perjanjian pembiayaan
lain tersebut menjadi tidak sah dan batal. A bertanggung jawab sendiri terhadap apa
yang dilakukannya. Pengakhiran perjanjian yang dipercepat dapat dilakukan oleh
bank, karena A telah melanggar prestasi yang wajib dilakukan olehnya, yaitu
mempergunakan fasilitas di luar untuk keperluan pembelian bahan baku (melanggar
kesepakatan yang telah dicapai).
Undang-undang juga memperlakukan setiap causa atau sebab atau alasan yang halal,
kecuali dapat terbukti atau dibuktikan dari isi perjanjian, yang merupakan pokok
dalam perjanjian yang tanpanya perjanjian tidak akan pernah dibuat.
Sebab atau causa atau alasan tersebut haruslah sesuatu yang diketahui oleh kedua
belah pihak secara bersama-sama, yang pada dasarnya merupakan kehendak para
pihak, yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk prestasi yang harus dipenuhi.
2. Asas sepakat/konsensualisme
Asas ini menentukan perjanjian dan dikenal baik dalam sistem hukum civil law
maupun common law. Dalam KUH Perdata asas ini disebutkan dalam Pasal 1320
KUH Perdata yang mengandung arti “kemauan atau will” para pihak untuk saling
berpartisipasi mengikatkan diri.
Menurut Grotius yang menjadi dasar konsensus dalam hukum kodrat menyatakan
sebagai pacta sunt servanda (janji itu mengikat), dikatakan lebih lanjut
promissorsoruth implendorun obligatio (kita harus memenuhi janji kita).
Selain dari itu, asas konsensualisme menekankan suatu janji lahir pada detik
terjadinya konsensus (kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak)
mengenai hal-hal pokok dari apa yang menjadi objek perjanjian. Apabila perjanjian
dibuat dalam bentuk tertulis maka bukti tercapainya konsensus adalah saat
ditandatanganinya perjanjian itu oleh masing-masing pihak yang bersangkutan,
Namun demikian, tidak semua perikatan tunduk pada asas ini, karena terhadapnya
ada pengecualian yakni terhadap perjanjian formal (hibah, perdamaian, dan lain-lain)
serta perjanjian riil (pinjam pakai, pinjam meminjam, dan lain-lain).
Ketentuan yang mengatur mengenai asas konsensualisme ini dapat kita temui dalam
rumusan Pasal 1320 KUH Perdata, yang berbunyi:
“Tiada suatu penghibahan pun mengikat pemberi hibah atau menerbitkan suatu
akibat yang bagaimanapun, selainnya mulai hari penghibahan itu, dengan kata-kata
tegas telah diterima oleh orang yang diberi hibah sendiri atau oleh seorang, yang
dengan suatu akta autentik oleh penerima hibah itu telah dikuasakan untuk menerima
penghibahan-penghibahan yang telah diberikan kepada penerima hibah atau akan
diberikan kepadanya dikemudian hari”.
Jika penerimaan itu tidak telah dilakukan dengan akta hibah itu maka penerimaan itu
dapat dilakukan dengan suatu akta autentik kemudian, yang naskah aslinya harus
disimpan oleh notaris, asal saja hal itu terjadi waktu pemberi hibah masih hidup;
dalam hal demikian maka bagi penghibah, hibah tersebut hanya sah sejak penerimaan
hibah itu diberitahukan dengan resmi kepadanya.
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa suatu kesepakatan lisan saja, yang telah
tercapai antara para pihak yang membuat atau mengadakan perjanjian telah membuat
perjanjian tersebut sah dan mengikat bagi para pihak.
Pasal 612 dan Pasal 616 KUH Perdata tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam Pasal 1687 dapat, atas
ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaris, yang minut
(naskah aslinya) harus disimpan pada notaris itu”.
b. Sifat dari isi perjanjian sendiri, yang harus diketahui oleh umum, melalui
mekanisme pengumuman kepada khalayak umum atau masyarakat luas.
Jenis perjanjian ini pada umumnya dapat ditemukan dalam perjanjian yang
bertujuan untuk mendirikan suatu badan hukum, yang selanjutnya akan
menjadi persona standi in judicio sendiri, terlepas dari keberadaan para
pihak yang berjanji untuk mendirikannya sebagai subjek hukum yang
mandiri, ataupun yang menciptakan suatu hubungan hukum yang berbeda di
antara para pendiri.
Untuk perjanjian jenis kedua, khusus mengenai ketentuan yang diatur dalam
Pasal 22 KUHD mengenai pendirian firma, yang dikatakan harus dalam
bentuk akta autentik, ternyata tidak bersifat mutlak, dan telah
dikesampingkan oleh rumusan Pasal 22 KUHD itu sendiri.
c. Hal lain yang juga menjadi perhatian adalah yang berhungan dengan
penjaminan kebendaan. Pada mulanya, KUH Perdata hanya mengenal dua
macam jemis penjaminan, yang dikaitkan dengan jenis kebendaannya, yaitu
kebendaan bergerak dan kebendaan tidak bergerak.
“Hipotek hanya dapat diberikan dengan akta autentik, kecuali dalam hal
yang dengan tegas ditunjuk oleh undang-undang.
Bahkan menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT surat kuasa membebankan hak
tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT.
3. Asas pelengkap
Asas ini diatur dalam Pasal 1315 jo Pasal 1340 KUH Perdata. Bunyi Pasal 1315
KUH Perdata:
“Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta
ditetapkan suatu janji selain dari pada untuk dirinya sendiri”
Karena suatu perjanjian hanya berlaku bagi yang mengadakan perjanjian itu sendiri,
maka pernyataan tersebut dapat dikatakan menganut asas kepribadian dalam suatu
perjanjian.
c. pihak ketiga.
Apakah setiap perjanjian takluk terhadap asas ini? Jawabannya tidak. Karena ada
pengecualian yang diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan bahwa:
“Lagi pula diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna untuk
kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh
seseorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada
orang lain, memuat suatu janji yang seperti itu”.
Misalnya, saya membeli seluruh bahan bangunan untuk rumah sebagai hadiah untuk
anak saya dari seorang penjual matrial dengan kesepakatan bahwa setelah semua
bahan itu saya bayar lunas maka pemilik matrial bersedia memberikan tiga buah
lampu hias kepada anak saya. Melalui konsensus saya dengan pemilik matrial, anak
saya berhak menagih kepada pemilik matrial tiga lampu hiar yang dijanjikan itu.
Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan,
walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain.
Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua
pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan tuha.
Dalam prinsip hukum internasional asas ini dikenal dengan “pacta sunt servanda”.
8. Asas keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian
itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur
mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut
pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban
untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat disini bahwa
kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk
memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.
C. Latihan
Dengan menekankan pada kata “semua:, maka pasal tersebut seolah-olah berisikan
suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian
yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan
mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang. Atau dengan
kata lain, dalam hal perjanjian, kita diperbolehkan membuat undang-undang bagi
diri sendiri. Pasal-pasal dari hukum perjanjian berlaku apabila atau ketika kita tidak
mengadakan aturan-aturan sendiri dalam perjanjian-perjanjian yang kita adakan itu.
E. Daftar Pustaka
1. Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan - Penjelasan Makna Pasal 1233
sampai 1456 BW, Rajawali Pers,Jakarta, 2011
4. Kartini dan Gunawan Muhammad, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Rajawali
Pers, Rajawali Pers, Jakarta 2014