Anda di halaman 1dari 16

MODUL HUKUM PERIKATAN

(LAW 304)

MODUL 4
ASAS-ASAS DALAM PERJANJIAN

DISUSUN OLEH
NURHAYANI, SH. MH

UNIVERSITAS ESA UNGGUL


2020

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 0 / 16
ASAS-ASAS DALAM PERJANJIAN

A. Kemampuan Akhir Yang Diharapkan

Setelah mempelajari modul ini, diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan tentang


asas-asas dalam hukum perjanjian dan penerapannya

B. Uraian dan Contoh

Pasal 1313 KUH Perdata mengawali ketentuan yang diatur dalam Bab Kedua Buku III
KUH Perdata, dibawah judul “Tentang Perikatan-Perikatan yang Dilahirkan Dari
Kontrak atau Perjanjian”, yang mentakana bahwa suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang
lain atau lebih. Rumusan yang diberikan tersebut hendak memperlihatkan kepada kita
semua, bahwa suatu perjanjian adalah :

1. suatu perbuatan;

2. antara sekurang-kurangnya dua orang (jadi dapat lenih dari dua orang);

3. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-pihak yang berjanji tersebut.

Perbuatan yang disebutkan dalam rumusan awal ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata
hendak menjelaskan pada kita semua bahwa perjanjian hanya mungkin terjadi jika ada
suatu perbuatan nyata, baik dalam bentuk ucapak, maupun tindakan secara fisik, dan
tidak hanya dalam bentuk pikiran semata-mata. Atas dasar inilah dikenal adanya
perjanjian konsensuil, perjanjian formil, dan perjanjian riil.

Berdasarkan uraikan diatas, hal tersebut menunjukan kepada kita bahwa perjanjian dibuat
dengan pengetahuan, dan kehendak bersama dari para pihak, dengan tujuan untuk
menciptakan atau melahirkan kewajiban pada salah satu atau kedua belah pihak yang
membuat perjanjian tersebut.

Dengan demikian, sebagaimana telah disinggung pada bab sebelumnya, perjanjian


sebagai sumber perikatan berbeda dari sumber perikatan lain yaitu undang-undang,
berdasarkan pada sifat kesukarelaan dan pihak yang berkewajiban untuk mealkukan
prestasi terhadap lawan pihaknya dalam perikatan tersebut.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 1 / 16
Dalam perjanjian, pihak yang wajib untuk melakukan suatu prestasi, dalam hal ini debitur,
dapat menentukan terlebih dahulu, dengan menyesuaikan pada kemampuannya untuk
memenuhi prestasi dan untuk menyelaraskan dengan hak (dan kewajiban) yang ada pada
lawan pihaknya, apa, kapan, dimana, dan bagaimana ia akan memenuhi prestasinya
tersebut.

Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh
para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para
pihak, oleh KUH Perdata diberikan berbagai asas umum, yang merupakan pedoman atau
patokan, serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang
akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang
dapat dipaksakan pelaksanaan atau pemenuhannya.

Berikut asas-asas umum hukum perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata:

1. Asas terbuka (kebebasan berkontrak)

Asas konsensualisme memiliki korelasi dengan asas kebebasan berkontrak


sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan
bahwa:

“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”.

Pasal ini merupakan pasal yang paling populer karena disinilah disandarkan asas
kebebasan berkontrak, walaupun ada juga sarjana yang menyandarkannya pada
Pasal 1320, atau pada keduanya. Namun apabila dicermati Pasal 1338 ayat (1) ini
didalamnya terkandung tiga hal pokok (asas), yaitu:

a. pada kalimat “semua perjanjian yang dibuat secara sah” menunjukan asas
kebebasan berkontrak;

b. pada kalimat “berlaku sebagai undang-undang” menunjukan asas kekuatan


mengikat atau yang orang sebut asas pacta sunt servanda;

c. pada kalimat “bagi mereka yang membuatnya” menunjukan asas personalitas

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 2 / 16
Walaupun demikian, kalimat tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat di
penggal-penggal seperti tersebut diatas. Jadi penggalan diatas hanya untuk melihat
kandungan dari pasal tersebut.

Kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting, sebab
merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran dari hak anusia. Kebebasan
berkontrak dilatar belakangi oleh paham individualisme yang secara embrional lahir
di zaman Yunani, diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam
zaman reinaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Groot, Thomas
Hobbes, John Locks dan Rousseau yang menyatakan bahwa setiap orang bebas
untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Dalam hukum perjanjian falsafah ini
diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak” dan hal ini menurut teori laissez fair,
dianggap sebagai the invisible hand, karena pemerintah tidak boleh mengadakan
intervensi. Paham individualisme memberi peluang yang luas bagi golongan yang
lemah. Dengan kara lain, pihak yang kuat menentukan kedudukan yang lemah.

Pada akhir abad ke XIX akibat desakan paham etis dan sosialis, paham
individualisme mulai memudar. Paham ini mulai tidak mencerminkan keadilan.
Oleh karena itu, kehendak bebas tidak lagi berarti mutlak, tetapi diberi arti relatif
dan dikaitkan dengan kepentingan umum. Mulailah perjanjian diawasi pemerintah
sebagai pengembang kepentingan umum dan menjaga keseimbangan kepentingan
individu dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan hukum perjanjian oleh
pemerintah, sehingga terjadi penggeseran hukum perjanjian ke bidang hukum
publik. Melalui campur tangan pemerintah ini, terjadi pemasyarakatan
(vermaatschappelijking) hukum perjanjian.

Walaupun sebelumnya semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya, akan tetapi ketentuan ini tidak
dapat diberlakukan secara mutlak. Dikatakan demikian karena asas ini dikecualikan
dalam hal-hal berikut:

a. Adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeure)

b. Berlakunya ketentuan Pasal 1339 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa


“persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 3 / 16
tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut
sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang”.

Seperti halnya asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak juga menemukan


dasar hukumnya pada rumusan Pasal 1320 KUH Perdata, yang berbunyi:

“Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlikan empat syarat:

1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. suatu hal tertentu;

4. suatu sebab yang halal.

Jika asas konsensualisme menemukan dasar keberadaannya pada ketentuan angka 1


dari Pasal 1320 KUH Perdata, maka asas kebebasan berkontrak mendapatkan dasar
eksistensinya dari rumusan angka 4 Pasal 1320 KUH Perdata.

Dengan asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat dan mengadakan
perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau
perjanjian yang melahirkan kewajian apa saja selama dan sepanjang prestasi yang
wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang. Ketentuan Pasal 1337
KUH Perdata menyatakan:

“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila
berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.

Pasal ini memberikan gambaran umum kepada kita semua, bahwa pada dasarnya
semua perjanjian dapat dibuat dan diselenggarakan oleh setiap orang. Hanya
perjanjian yang mengandung prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak yang
melanggar undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum saja yang dilarang.

Jika kita perhatikan KUH Perdata menunjuk pada pengertian sebab atau causa yang
halal. Secara prinsip dapat kita katakan bahwa apa yang dinamakan sebab atau
causa yang halal tersebut bukanlah pengertian, sebab atau causa yang dipergunakan
dalam kehidupan kita sehari hari, yang menunjuk pada sesuatu yang

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 4 / 16
melatarbelakangi terjadinya suatu peristiwa hukum, berubahnya keadaan hukum,
atau dilakukan atau dilaksanakannya suatu perbuatan hukum tertentu.

Hukum tidak pernah berhubungan dan tidak perlu mengetahui apa yang
melatarbelakangi dibuatnya suatu perjanjian, melainkan cukup bahwa prestasi yang
dijanjikan untuk dilaksanakan yang diatur dalam perjanjian yang dibuat oleh para
pihak tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum.

Untuk itu dapat diberikan contoh sebagai berikut :

Bank XYZ memberikan pinjaman kepada A untuk masa satu tahun, dengan
ketentuan bahwa pinjaman hanya akan dipergunakan sebagai modal kerja untuk
membeli bahan baku produksi pabrik A. A berjanji akan mengembalikan seluruh
pinjaman tersebut tepat pada akhir masa pinjaman yaitu satu tahun terhitung sejak
penarikan dana oleh A, dan untuk melakukan pembayaran atas bunga pinjaman
setiap bulannya dengan suku bunga yang telah ditetapkan oleh bank XYZ
sebelumnya.

Dalam perjanjian ini, secara jelas disebutkan bahwa pinjaman yang diberikan hanya
boleh dipergunakan untuk keperluan pembelian bahan baku. Dalam hal terjadi
penyimpangan oleh A dalam mempergunakan fasilitas pinjaman, maka A telah
dianggap melakukan wanprestasi, dengan segala akibat hukumnya. Apabila A
mempergunakannya untuk membiayai hal lain yang tidak berkaitan dengan
perjanjian pemberian pinjaman oleh bank kepada A, maka perjanjian pembiayaan
lain tersebut menjadi tidak sah dan batal. A bertanggung jawab sendiri terhadap apa
yang dilakukannya. Pengakhiran perjanjian yang dipercepat dapat dilakukan oleh
bank, karena A telah melanggar prestasi yang wajib dilakukan olehnya, yaitu
mempergunakan fasilitas di luar untuk keperluan pembelian bahan baku (melanggar
kesepakatan yang telah dicapai).

Di dalam perkembangannya, asas kebebasan berkontrak ini semakin sempit dilihat


dari beberapa segi, yaitu

a. segi kepentingan umum

b. segi perjanjian baku (standard)

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 5 / 16
c. segi perjanjian dengan pemerintah

Undang-undang juga memperlakukan setiap causa atau sebab atau alasan yang halal,
kecuali dapat terbukti atau dibuktikan dari isi perjanjian, yang merupakan pokok
dalam perjanjian yang tanpanya perjanjian tidak akan pernah dibuat.

Sebab atau causa atau alasan tersebut haruslah sesuatu yang diketahui oleh kedua
belah pihak secara bersama-sama, yang pada dasarnya merupakan kehendak para
pihak, yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk prestasi yang harus dipenuhi.

2. Asas sepakat/konsensualisme

Asas ini menentukan perjanjian dan dikenal baik dalam sistem hukum civil law
maupun common law. Dalam KUH Perdata asas ini disebutkan dalam Pasal 1320
KUH Perdata yang mengandung arti “kemauan atau will” para pihak untuk saling
berpartisipasi mengikatkan diri.

Lebih lanjut dikatakan, kemauan itu membangkitkan kepercayaan (vertrouwen)


bahwa perjanjian itu akan dipenuhi. Asas konsensualisme mempunyai nilai etis
yang bersumber dari moral.

Menurut Grotius yang menjadi dasar konsensus dalam hukum kodrat menyatakan
sebagai pacta sunt servanda (janji itu mengikat), dikatakan lebih lanjut
promissorsoruth implendorun obligatio (kita harus memenuhi janji kita).

Selain dari itu, asas konsensualisme menekankan suatu janji lahir pada detik
terjadinya konsensus (kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak)
mengenai hal-hal pokok dari apa yang menjadi objek perjanjian. Apabila perjanjian
dibuat dalam bentuk tertulis maka bukti tercapainya konsensus adalah saat
ditandatanganinya perjanjian itu oleh masing-masing pihak yang bersangkutan,
Namun demikian, tidak semua perikatan tunduk pada asas ini, karena terhadapnya
ada pengecualian yakni terhadap perjanjian formal (hibah, perdamaian, dan lain-lain)
serta perjanjian riil (pinjam pakai, pinjam meminjam, dan lain-lain).

Ketentuan yang mengatur mengenai asas konsensualisme ini dapat kita temui dalam
rumusan Pasal 1320 KUH Perdata, yang berbunyi:

“Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat:

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 6 / 16
1) kecakapan mereka yang mengikatkan diri;

2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3) suatu hal tertentu;

4) suatu sebab yang halal”.

KUH Perdata tidak memberikan rumusan lebih lanjut mengenai formalitas


kesepakatan yang harus dipenuhi, kecuali dalam berbagai ketentuan khusus, seperti
misalnya mengenai hibah yang diatur dalam Pasal 1683 KUH Perdata, yang berbunyi:

“Tiada suatu penghibahan pun mengikat pemberi hibah atau menerbitkan suatu
akibat yang bagaimanapun, selainnya mulai hari penghibahan itu, dengan kata-kata
tegas telah diterima oleh orang yang diberi hibah sendiri atau oleh seorang, yang
dengan suatu akta autentik oleh penerima hibah itu telah dikuasakan untuk menerima
penghibahan-penghibahan yang telah diberikan kepada penerima hibah atau akan
diberikan kepadanya dikemudian hari”.

Jika penerimaan itu tidak telah dilakukan dengan akta hibah itu maka penerimaan itu
dapat dilakukan dengan suatu akta autentik kemudian, yang naskah aslinya harus
disimpan oleh notaris, asal saja hal itu terjadi waktu pemberi hibah masih hidup;
dalam hal demikian maka bagi penghibah, hibah tersebut hanya sah sejak penerimaan
hibah itu diberitahukan dengan resmi kepadanya.

Dengan demikian, maka jelaslah bahwa suatu kesepakatan lisan saja, yang telah
tercapai antara para pihak yang membuat atau mengadakan perjanjian telah membuat
perjanjian tersebut sah dan mengikat bagi para pihak.

Asas konsensualisme adalah ketentuan umum yang melahirkan perjanjian konsensuil.


Sebagai pengecualian dikenallah perjanjian formil dan perjanjian riil, oleh karena
dalam kedua jenis perjanjian yang disebut terakhir ini, kesepakatan saja belum
mengikat para pihak yang berjanji. Jika kita lihat pada uraian sebelumnya mengenai
perjanjian konsensuil, perjanjian formil, dan perjanjian riil, maka sesungguhnya
dapat kita simpulkan sebagai berikut:

1) Dalam perjanjian formil, sesungguhnya formalitas tersebut diperlukan karena


dua hal pokok, yaitu yang meliputi:

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 7 / 16
a. Sifat dari kebendaan yang dialihkan, yang menurut ketentuan Pasal 613, dan
Pasal 616 KUH Perdata penyerahan hak milik atas kebendaan tersebut harus
dilakukan dalam bentuk akta autentik atau akta bawah tangan. Oleh karena
pengalihan dari kebendaan yang demikian mensyaratkan diperlukannya akta,
berarti harus dibuat secara tertulis, maka segala perjanjian yang bermaksud
untuk memindahkan hak milik atas kebendaan tersebut haruslah dibuat
secara tertulis. Khusus mengenai hak atas tanah pengaturan mengenai
pemindahan haknya dapat kita temukan dalam Undang-Undang Pokok
Agraria Nomor 5 Tahun 1960.

Pasal 612 dan Pasal 616 KUH Perdata tersebut berbunyi sebagai berikut:

Pasal 612 KUH Perdata:

“Penyerahan kebendaan bergerak, kecuali yang tidak bertubuh, dilakukan


dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama
pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci bangunan, dalam mana
kebendaan itu berada”.

“Penyerahan tak perlu diharuskan, apabila kebendaan yang harus diserahkan,


dengan alasan hak lain, telah dikuasai oleh orang yang hendak
menerimanya”.

Pasal 613 KUH Perdata:

“Penyerahan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya,


dilakukan dengan jalan membuat akta autentik atau akta di bawah tangan,
dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain”.

“Penyerahan yang demikian bagi debitur tidak ada akibatnya, melainkan


setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya, atau secara tertulis
disetujui dan diakuinya”.

“Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan


penyerahan surat itu; penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk
dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosement”.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 8 / 16
Pasal 616 KUH Perdata:

“Penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tak bergerak dilakukan


dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan dengan cara seperti yang
ditentukan dalam Pasal 620”.

Rasio dari pemikiran tersebut dapat kita temukan pelaksanaannya dalam


ketentuan mengenai hibah, yang diatur dalam Pasal 1682 dan Pasal 1687
KUH Perdata, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1682 KUH Perdata:

“Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam Pasal 1687 dapat, atas
ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaris, yang minut
(naskah aslinya) harus disimpan pada notaris itu”.

Pasal 1687 KUH Perdata:

“Pemberian-pemberian dari tangan ke tangan berupa barang bergerak yang


berwujud atau surat piutang yang akan dibayar atas tunjuk, tidak
memerlukan akta notaris dan adalah sah bila pemberian demikian diserahkan
begitu saja kepada orang yang diberi hibah sendiri atau kepada orang lain
yang menerima hibah itu untuk diteruskan kepada yang diberi hibah”.

Jadi jelaslah bahwa, berdasarkan pada jenis kebendaan yang dihibahkan,


formalitas pemberian hibah juga berbeda.

b. Sifat dari isi perjanjian sendiri, yang harus diketahui oleh umum, melalui
mekanisme pengumuman kepada khalayak umum atau masyarakat luas.
Jenis perjanjian ini pada umumnya dapat ditemukan dalam perjanjian yang
bertujuan untuk mendirikan suatu badan hukum, yang selanjutnya akan
menjadi persona standi in judicio sendiri, terlepas dari keberadaan para
pihak yang berjanji untuk mendirikannya sebagai subjek hukum yang
mandiri, ataupun yang menciptakan suatu hubungan hukum yang berbeda di
antara para pendiri.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 9 / 16
Perjanjian jenis pertama dapat ditemui dalam perjanjian pendirian Perseroan
Terbatas, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas.

Untuk perjanjian jenis kedua, khusus mengenai ketentuan yang diatur dalam
Pasal 22 KUHD mengenai pendirian firma, yang dikatakan harus dalam
bentuk akta autentik, ternyata tidak bersifat mutlak, dan telah
dikesampingkan oleh rumusan Pasal 22 KUHD itu sendiri.

Rumusan yang mewajibkan dibuatnya perjanjian pendirian firma dalam akta


autentik adalah dengan tujuan agar setiap pihak yang berhubungan hukum
dengan para pendiri firma, mengetahui keberadaan pertanggungan renteng di
antara para pendiri firma. Dalam hal mana para pendiri firma, dalam
hubungan hukumnya dengan pihak ketiga (di luar pendiri firma) telah
menunjukan adanya sifat pertanggung jawaban renteng tersebut, maka
ketiadaan akta tersebut tidak dapat dipakai sebagai alasan untuk merugikan
pihak ketiga yang beritikad baik tersebut.

c. Hal lain yang juga menjadi perhatian adalah yang berhungan dengan
penjaminan kebendaan. Pada mulanya, KUH Perdata hanya mengenal dua
macam jemis penjaminan, yang dikaitkan dengan jenis kebendaannya, yaitu
kebendaan bergerak dan kebendaan tidak bergerak.

Bagi kebendaan bergerak, penjaminan kebendaan diberikan dalam bentuk


gadai, yang mensyaratkan dikeluarkannya kebendaan yang dijaminkan dari
penguasaan pemiliknya. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari
ketentuan Pasal 1977 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa:

‘Terhadap benda-benda bergerak yang tidak berupa bunga maupun piutang


yang tidak harus dibayar kepada pembawa, maka barang siapa yang
menguasainya dianggap sebagai pemiliknya”.

Dengan pernyataan demikian, berarti bahwa kebendaan bergerak yang telah


dijaminkan dengan gadai, yang telah dikeluarkan dari penguasaan
pemiliknya yang memberikan jaminan gadai tersebut, jika kembali lagi ke
dalam penguasaan pemiliknya menyebabkan hapusnya gadai tersebut demi
hukum.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 10 /
16
Sedangkan benda tidak bergerak, dijaminkan dalam bentuk hipotek, yang
menurut ketentuan Pasal 1171 KUH Perdata harus dibuat dalam bentuk akta
autentik. Ketentuan Pasal 1171 KUH Perdata secara lengkapnya berbunyi:

“Hipotek hanya dapat diberikan dengan akta autentik, kecuali dalam hal
yang dengan tegas ditunjuk oleh undang-undang.

Demikian juga pemberian kuasa untuk memberikan hipotek harus dibuat


dengan akta autentik.

Setiap orang yang menurut undang-undang atau perjanjian wajib untuk


memberikan hipotek, dapat dipaksa untuk itu dengan putusan hakim, yang
mempunyai kekuatan yang sama seperti bila ia telah memberi perjanjian
terhadap hipotek itu, dan menunjukan secara pasti barang-barang yang harus
di daftar.

Seorang wanita bersuami yang dalam perjanjian kawin kepadanya telah


diperjanjikan hipotek, tanpa bantuan suaminya atau kuasa atau hakim, dapat
mengusahakan pendaftaran hipoteknya, dan melancarkan tuntutan hukum
yang diperlukan untuk itu”.

Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960,


maka segala macam bentuk pengalihan hak atas tanah harus dilakukan
dengan akta PPAT, termasuk pembebanannya sebagai jaminan pelunasan
utang. Dalam kaitan dengan pembebanan ini, telah dikeluarkan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda (UUHT) Yang Berkaitan dengan Tanah, dengan demikian
berarti pembebanan hak atas tanah yang diatur dalam UUPA hanya dapat
dilakukan dengan hak tanggungan. Menurut ketentuan Pasal 10 UUHT,
pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan akta pemberian
hak tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Bahkan menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT surat kuasa membebankan hak
tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 11 /
16
Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia (UUJF), maka agunan terhadap benda yang objeknya adalah benda
bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud yang tidak
dibebani dengan gadai, benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani
hipotek, dan hak atas tanah yang tidak dapat dibebani hak tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan dapat dibebani dengan jaminan fidusia (Pasal 3
UUJF).

d. Dalam perjanjian riil, maka suatu tindakan atau perbuatan diisyaratkan


karena sifat dari perjanjian itu sendiri yang masih memerlukan tindak lanjut
dari salah satu pihak dalam perjanjian, agar syarat kesepakatan bagi lahirnya
perjanjian tersebut menjadi ada demi hukum.

Dalam perjanjian hibah, unsur kesepakatan mensyaratkan bahwa untuk


dapat diakui telah terjadinya kesepakatan antara dua pihak dalam perjanjian,
agar dapat mengikat para pihak dalam perjanjian tersebut, diperlukan adanya
penerimaan dari suatu penawaran. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa
suatu pemberian secara cuma-cuma tidak pasti akan diterima. Untuk itu
Pasal 1683 KUH Perdata mencerminkan penerimaan oleh penerima hibah
atas pemberian hibah oleh pemberi hibah. Penerimaan oleh penerima hibah
inilah yang kemudian disebut sebagai tindakan atau perbuatan nyata atau riil
dalam suatu perjanjian riil.

3. Asas pelengkap

Asas terbuka (kebebasan berkontrak) memungkinkan para pihak membuat


perjanjian yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian. Mereka
dibolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian yang mereka
adakan. Kalau mereka tidak mengatur sendiri sesuatu soal, maka berarti mengenai
soal tersebut mereka harus tunduk kepada undang-undang. Dapat dikatakan bahwa
ia hanya bersifat melengkapi perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tidak lengkap
oleh para pihak.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 12 /
16
4. Asas kepribadian

Asas ini diatur dalam Pasal 1315 jo Pasal 1340 KUH Perdata. Bunyi Pasal 1315
KUH Perdata:

“Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta
ditetapkan suatu janji selain dari pada untuk dirinya sendiri”

Sedangkan menurut Pasal 1340 KUH Perdata:

“persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya…”.

Karena suatu perjanjian hanya berlaku bagi yang mengadakan perjanjian itu sendiri,
maka pernyataan tersebut dapat dikatakan menganut asas kepribadian dalam suatu
perjanjian.

Menurut Badrulzaman, KUH Perdata membedakan tiga golongan yang tersangkut


dalam suatu perjanjian, yaitu:

a. para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri;

b. para ahli mereka dan mereka yang mendapat hak daripadanya;

c. pihak ketiga.

Apakah setiap perjanjian takluk terhadap asas ini? Jawabannya tidak. Karena ada
pengecualian yang diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan bahwa:

“Lagi pula diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna untuk
kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh
seseorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada
orang lain, memuat suatu janji yang seperti itu”.

Misalnya, saya membeli seluruh bahan bangunan untuk rumah sebagai hadiah untuk
anak saya dari seorang penjual matrial dengan kesepakatan bahwa setelah semua
bahan itu saya bayar lunas maka pemilik matrial bersedia memberikan tiga buah
lampu hias kepada anak saya. Melalui konsensus saya dengan pemilik matrial, anak
saya berhak menagih kepada pemilik matrial tiga lampu hiar yang dijanjikan itu.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 13 /
16
5. Asas kekuatan mengikat

Di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para


pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan,
akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan
dan kepatutan serta moral. Demikianlah sehingga asas-asas moral, kepatutan dan
kebiasaan yang mengikat para pihak.

6. Asas persamaan hukum

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan,
walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain.
Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua
pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan tuha.

7. Asas kepastian hukum (Pacta Sunt Servanda)

Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum.


Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-
undang bagi para pihak.

Dalam prinsip hukum internasional asas ini dikenal dengan “pacta sunt servanda”.

8. Asas keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian
itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur
mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut
pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban
untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat disini bahwa
kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk
memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

C. Latihan

1. Jelaskan mengenai asas kebebasan berkontrak, disertai dasar hukumnya?

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 14 /
16
D. Kunci Jawaban

1. Asas kebebasan berkontrak mengandung suatu asas kebebasan untuk membuat


perjanjian, sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang
berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya”.

Dengan menekankan pada kata “semua:, maka pasal tersebut seolah-olah berisikan
suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian
yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan
mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang. Atau dengan
kata lain, dalam hal perjanjian, kita diperbolehkan membuat undang-undang bagi
diri sendiri. Pasal-pasal dari hukum perjanjian berlaku apabila atau ketika kita tidak
mengadakan aturan-aturan sendiri dalam perjanjian-perjanjian yang kita adakan itu.

E. Daftar Pustaka

1. Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan - Penjelasan Makna Pasal 1233
sampai 1456 BW, Rajawali Pers,Jakarta, 2011

2. I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perikatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2016

3. J. Satrio, Hukum Perikatan - Perikatan Pada Umumnya, Penerbit Alumni, Bandung,


1999

4. Kartini dan Gunawan Muhammad, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Rajawali
Pers, Rajawali Pers, Jakarta 2014

5. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta 2008

6. Taryana Soenandar, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,


Bandung, 2016

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 15 /
16

Anda mungkin juga menyukai