Anda di halaman 1dari 16

UJIAN AKHIR SEMESTER

MATA KULIAH HUKUM PERDATA


Dosen Pengampu: DR. SUPARJI AHMAD, S.H.,M.H

NAMA : ROSYANI ADA


NIM : 0711520076
KELAS : HE20X BLENDED
1. Bagaimanakah timbulnya hukum kontrak? Jelaskan!

Jawab:
Istilah kontrak di Indonesia yang berasal dari istilah Belanda sebagai sumber aslinya,
yaitu verbintenis dan overeenkomst, masih menjadi perdebatan karena masing-masing ahli
hukum perdata Indonesia itu mempunyai argumentasi sendiri dan keahlian yang berbeda.
Ada beberapa pengertian kontrak yang dikemukakan oleh para ahli, yaitu:1
1. Menurut Lawrence M. Friedman kontrak adalah seperangkat hukum yang hanya
mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis perjanjian tertentu;
2. Menurut Michael D. Bayles kontrak adalah aturan hukum yang berkaitan dengan
pelaksanaan perjanjian atau persetujuan;
3. Menurut Van Dunne kontrak adalah suatu hubungan hukum antara dua (2) pihak atau
lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan hukum; dan
4. Menurut Pasal 1313 KUH-Perdata Indonesia perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.
KUH Perdata tidak menyebutkan secara eksplisit kapan suatu kontrak mulai berlaku
dan bagaimana tahap-tahap terjadinya kontrak. Pasal 1320 KUH Perdata hanya menyatakan
kontrak eksis berdasarkan consensus para pihak dan tidak memberi penjelasan rinci kapan
suatu kontrak mulai eksis setelah melalui tahapan-tahapan pembentukannya lahirnya suatu
kontrak menimbulkan hubungan hukum perikatan dalam bentuk hak dan kewajiban.
Pemenuhan hak dan kewajiban inilah yang merupakan akibat hukum suatu kontrak. Untuk
menyusun suatu kontrak yang baik dan fungsional, diperlukan persiapan atau perencanaan
yang sungguh-sungguh, matang, dan melalui diskusi atau pembicaraan awal yang tidak
mengikat. Para pihak yang terlibat dalam kontrak harus menyiapkan waktu khusus yang
dianggap cukup untuk membicarakan maksud dan tujuan pengadaan kontrak dengan

1
Arfiana Novera, SH., M.Hum Dan Meria Utama, SH., LL.M. Dasar-Dasar Hukum Kontrak Dan Arbitrase.
Tunggal Mandiri. 2014. Hal. 5

1
bahasa/terminology yang dipahami para pihak. Tahapan penyusunan kontrak biasanya
dilakukan dalam tiga tahap, yaitu pra-penyusunan kontrak, tahap penyusunan kontrak, dan
tahap pasca penandatanganan kontrak.2
Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum,
sehubungan dengan itu masing-masing pihak mengikatkan diri untuk bersikap menurut cara-
cara tertentu terhadap pihak lainnya. Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat
harta kekayaan antara 2 (dua) orang atau lebih, di mana yang satu berhak dan yang lain
berkewajiban atas suatu prestasi (pitlo).3
Hubungan hukum terjadi karena adanya bentuk-bentuk pertemuan antara para pihak
(subjek hukum) sebagai akibat dari adanya perbuatan hukum masing-masing pihak dalam hal
hak dan kewajiban yang mana itu dituangkan ke dalam persetujuan, kesepakatan, ataupun
perjanjian antara para pihak tersebut. Perbuatan hukum yang berupa pembuatan perjanjian,
terjadinya perikatan, adanya kesepakatan dan lainnya inilah yang dinamakan dengan
hubungan hukum.4
Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian,
yaitu:5
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Maksudnya ialah para pihak yang terlibat dalam perjanjian harus sepakat atau
setuju mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut.3 Pasal 1321 KUH Perdata
menentukan bahwa kata sepakat tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan atau
diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa setiap orang adalah cakap untuk
membuat perikatan, kecuali undang-undang mnenetukan bahwa ia tidak cakap.
Mengenai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian dapat kita
temukan dalam Pasal 1330 KUH Perdata yaitu:
Orang-orang yang belum dewasa;
Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
Orang-orang perempuan yang telah kawin.

2
Ibid. Hal .31
3
Dr. Suparji Ahmad, S.H., M.H. Sumber Dan Subjek Hukum Perikatan. SUMMARY NOTES – 1809HPDT09.
Hal.1
4
Ibid. Hal.1
5
Ibid. Hal.1

2
Ketentuan ini menjadi hapus dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Karena Pasal 31 undang-undang ini menentukan bahwa
hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan masing-masing berhak untuk
melakukan perbuatan hukum.
3. Suatu hal tertentu.
Mengenai hal ini dapat kita temukan dalam Pasal 1332 dan 1333 KUH Perdata.
Pasal 1332 KUH Perdata menentukan bahwa hanya barang-barang yang dapat
diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Sedangkan Pasal 1333
KUH Perdata menentukan suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu
barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa
jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau
dihitung.
4. Suatu sebab yang diperkenankan.
Maksudnya ialah isi dari perjanjian tidak dilarang oleh undang-undang atau tidak
bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata).
Selain itu Pasal 1335 KUH Perdata juga menentukan bahwa suatu perjanjian yang
dibuat tanpa sebab atau dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang adalah
tidak mempunyai kekuatan hukum.

2. Mengapa dalam hukum ada pembedaan bezit dan eigendom?Jelaskan!

Jawab:
Yang dimaksud dengan bezit adalah kedudukan menguasai atau menikmati suatu
barang yang ada dalam kekuasaan seseorang secara pribadi atau dengan perantaraan orang
lain, seakan-akan barang itu miliknya sendiri.6 Bezit atas suatu barang diperoleh dengan
menarik suatu barang ke dalam kekuasaannya dengan maksud mempertahankannya untuk diri
sendiri.7
Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan untuk
berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan
undangundang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal
tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi kemungkinan

6
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata BW Pasal 529
7
Ibid. Pasal 538

3
pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas, berdasarkan
ketentuanketentuan perundang-undangan.8
Hak milik atas sebidang tanah meliputi hak milik atas segala sesuatu yang ada di
atasnya dan di dalam tanah itu. Di atas sebidang tanah, pemilik boleh mengusahakan segala
tanaman dan mendirikan bangunan yang dikehendakinya, hal ini tidak mengurangi
pengecualian-pengecualian tersebut dalam Bab IV dan VI buku ini. Di bawah tanah itu ia
boleh membangun dan menggali sesuka hatinya dan mengambil semua hasil yang diperoleh
dari galian itu; hal ini tidak mengurangi perubahan-perubahan dalam perundang-undangan
dan peraturan pemerintah tentang pertambangan, pengambilan bara, dan barang-barang
semacam itu.9
Adanya pembedaan antara bezit dan eigendom tersebut karena pada eigendom lebih
menunjukkan suatu hubungan hukum dengan pemiliknya, sedangkan pada bezit lebih
menunjukkan adanya hubungan nyata antara si pemegang dengan bendanya. Selain itu, cara
memperolehnya juga berbeda, bezit diperoleh dengan bantuan orang lain yang membezit
dahulu, yaitu dengan jalan traditio (penyerahan bendanya) dari bezitter yang lama kepada
bezitter yang baru atau dengan tanpa bantuan orang lain yang membezit lebih dahulu, yaitu
dengan jalan occupatio (pengambilan bendanya). Sedangkan eigendom diperoleh dengan cara
sebagai berikut:
Pengambilan (toegening atau occupatio).
Yaitu cara memperoleh hak milik dengan mengambil benda-benda bergerak yang
sebelumnya tidak ada pemiliknya (res nullius), seperti binatang di hutan, ikan di sungai,
dan sebagainya.
Penarikan oleh benda lain (natrekking atau accessio).
aitu cara memperoleh hak milik di mana benda (pokok) yang dimiliki sebelumnya karena
alam bertambah besar atau bertambah banyak. Misalnya pohon yang berbuah.
Lewat waktu/daluarsa (verjaring).
Yaitu cara memperoleh hak milik karena lampaunya waktu 20 tahun dalam hal ada alas
hak yang sah atau 30 tahun dalam hal tidak ada alas hak.
Pewarisan (erfopvolging)
Yaitu cara memperoleh hak milik bagi para ahli waris atas boedel warisan yang
ditinggalkan pewaris.
Penyerahan (levering atau overdracht)

8
Ibid. Pasal 570
9
Ibid Pasal 571

4
Yaitu cara memperoleh hak milik karena adanya pemindahan hak milik dari seseorang
yang berhak memindahkannya kepada orang lain yang memperoleh hak milik itu.

Jadi pembedaan antara bezit dan eigendom tersebut adalah untuk memperjelas bahwa
bezit tidak bisa disamakan dengan eigendom. Bezit hanya berhak atas suatu benda untuk
mempergunakan benda tersebut seolah-olah itu adalah miliknya sedangkan eigendom hak
milik atau hak mutlak atas suatu benda tersebut dan antara pemilik dan benda tersebut
mempunyai hubungan hukum.

3. Mengapa pada tahun 2019 dilakukan pembaharuan UU Perkawinan di


Indonesia.

Jawab:
Dalam sejarah penyusunan Undang-Undang perkawinan terdapat peranan perempuan
yang didasari oleh adanya diskriminasi pada saat itu sehingga mendesak pemerintah untuk
segera menerbitkan perundang-undangan yang mengatur dan melindungi hak-hak perempuan
sehingga terbitlah Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.10 Seiring dengan
perkembangan globalisasi masyarakat Indonesia, terjadi revisi atas Undang-Undang
perkawinan, yaitu Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 Sebagai Perubahan Atas Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak lain adalah sebagai respon atas tuntutan
dari masyarakat yang menganggap bahwa sebagian isi dari Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat saat ini sehingga perlu adanya
perubahan. Dalam merubah pasal 7 ayat (1) UndangUndang No.1 Tahun 1974
mempertimbangkan berbagai aspek mulai dari aspek arti “kedewasaan” menurut Undang-
undang itu sendiri serta arti “kedewasaan” menurut masyarakat Indonesia yang disesuaikan
dengan kondisi norma-norma yang berlaku di daerah.11
Selain itu terdapat adanya ketidakpastian hukum yang disebabkan oleh adanya
perbedaan aturan antara undang-undang perlindungan anak dan undang-undang perkawinan
tentang perkawinan usia di bawah umur. Selain itu juga dilihat dari segi medis yang
meyimpulkan bahwa pernikahan usia dini dapat menyebakan efek negatif hal tersebut
didasarkan pada data yang meneyebutkan angka kematian ibu melahirkan (AKI) yang masih

10
Tirmidzi. Kajian Analisis Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 Sebagai Perubahan Atas Undang-Undang No.
1 Tahun 1974. Usrah, Volume 1, No, 1 Tahun 2020. Hal. 38
11
Ibid. Hal. 47

5
tinggi di Indonesia dan korelasinya dengan angka pernikahan usia dibawah umur yang juga
tinggi. Dari aspek analisis baik yuridis, sosiologi, dan filosofi yang menyimpulkan bahwa
secara kelembagaan yang menganggap bahwa lembaga perkawinan disebut sebagai lembaga
yang sakral karena menentukan nasib seseorang serta hubungannya dengan perbedaan pola
pikir masyarakat terdahulu dengan saat ini, serta juga menyangkut cita-cita bangsa Indonesia
yang tertuang di dalam pembukaan UndangUndang Dasar 1945 sehingga untuk terjadi
perubahan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
khususnya pada pasal 7 ayat (1) penekananya pada usia minimal keberlangsungan
perkawinan yang mana semula ditetapkan batas usia untuk laki-laki 19 Tahun dan perempuan
16 tahun di ubah menjadi 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan, meskipun dalam
pelaksanaannya keberlangsungan perkawinan di bawah umur yang telah ditetapkan tetap
terjadi karena berdasarkan pada pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa pernikahan dibawah umur
bisa dilakukan atas persetujuan wali nikah dari kedua mempelai.12
Menurut pendapat saya, pembaharuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 atas
perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut dilakukan karena banyaknya
praktik pernikahan dini atau pernikahan di bawah umur karena aspek utama terhadap
perubahan undang-undang tersebut adalah aspek kedewasaan dimana penekanan usia
minimal keberlangsungan perkawinan 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk
perempuan, diubah menjadi 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan.

4. Mengapa dalam hukum perdata terjadi pluralisme hukum waris dan


bagaimana bentuk pluralisme tersebut.

Keanekaragaman di dalam hukum tidak dapat dilepaskan adanya penggolongan-


penggolongan di dalam masyarakat yang telah dilakukan sejak zaman kolonial. Pembagian
penggolongan penduduk Indonesia ini didasarkan pada pasal 131 IS yaitu bumi
putra/penduduk asli, Timur Asing dan golongan Eropa. Sebagai akibat keadaan ini maka
hukum waris yang berlaku di Indonesia sampai saat ini berlaku pluralisme hukum waris.
Lalu bagaimana bentuk pluralisme tersebut? Berikut penjelasannya:

1) Sistem Pewarisan Hukum Islam

12
Ibid. Hal. 47

6
Dalam pewarisaan hukum islam, terdapat 6 golongan pembagiaan pewarisaan setiap
pewarisaan tersebut terdapat tingkatan yang berbeda-beda dengan perbandingan hukum waris
BW dan perbandingan hukum waris adat, dimana dalam hukum waris islam, anak laki-laki
mendapat bagiaan yang lebih besar dari anak perempuaan yang sudah diatur didalam Al-
qur’an, sebagaimana terdapat 6 ciri sistem pembagiaan dalam hukum waris islam yang terdiri
dari :
a. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Setengah
Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan separo dari harta waris peninggalan pewaris
ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul
furudh tersebut ialah suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki,
saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah.
b. Ashhabul furudh yang berhak Mendapat Seperempat
Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat (1/4) dari harta
peninggalannya hanya ada dua, yaitu suami dan istri.
c. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan
Dari sederetan ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian seperdelapan (1/8)
yaitu istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta
peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir
dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain.
d. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian
Dua per Tiga Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta
peninggalan pewaris ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita: 1) Dua anak
perempuan (kandung) atau lebih. 2) Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki
atau lebih. 3) Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih. 4) Dua orang saudara
perempuan seayah atau lebih
e. Ashhabul furudh yang berhak mendapat bagian sepertiga Masalah’Umariyyatan
Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapatkan warisan sepertiga bagian hanya dua,
yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu.Seorang ibu
berhak mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat:
1) Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak lakilaki.
2) Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-laki maupun
perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah ataupun seibu Asbhabul Furudh
yangMendapat Bagian Separoe.

7
Adapun asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian seperenam (1/6) ada tujuh orang.
Mereka adalah (1) ayah, (2) kakek asli (bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucu perempuaan
keturunan anak laki-laki, (5) saudara perempuan seayah, (6) nenek asli, (7) saudara laki-
laki dan perempuan seibu.

2) Sistem Pewarisaan KUHPerdata / BW


Sistem kewarisaan dalam KUHPerdata menganut pada Hukum BW, dimana Hukum
BW menganut hukum barat yang bersifat parental dan mandiri. Dimana harta warisan jika
pewaris wafat harus selekas mungkin diadakan pembagian yang merupakan ahli waris dalam
hukum BW dapat digolongkan menjadi dua bagian:
Ahli waris menurut Undang Undang
Ahli Waris menurut Testament (Wasiat)
Dalam KUHPPerdata sistem keturunaan yang dianut merupakan adalah sistem parental
atau bilateral terbatas, dimana setiap anggota keluarga menghubungkan dirinya pada
keturunan ayah dan ibunya. Kemudian sistem kewarisan yang dianut KUHPerdata adalah
sisitem individual, artinya setiap ahli waris berhak menuntut pembagian harta warisan dan
memperoleh bagian yang menjadi haknya, baik harta warisan dan ibunya maupun harta dari
ayahnya. Pembagian ahli waris menurut BW terdapat 5 golongan:
a. Golongan I Merupakan ahli waris dalam garis lurus ke bawah dari pewaris, yaitu anak,
suami / duda, istri / janda dari si pewaris. Ahli waris golongan pertama mendapatkan hak
mewaris menyampingkan ahli waris golongan kedua, maksudnya, sepanjang ahli waris
golongan pertama masih ada, maka, ahli waris golongan kedua tidak bisa tampil. (Pasal
852 BW).
b. Golongan II, Merupakan ahli waris dalam garis lurus ke atas dari pewaris, yaitu, bapak,
ibu dan saudara-saudara si pewaris. Ahli waris ini baru tampil mewaris jika ahli waris
golongan pertama tidak ada sama sekali dengan menyampingkan ahli waris golongan
ketiga dan keempat. (Pasal 854 BW).
c. Golongan III Merupakan keluarga sedarah si bapak atau ibu pewaris, yaitu kakek, nenek
baik pancer bapak atau ibu dari si pewaris. Dalam hal ini, ahli waris golongan ketiga
baru mempunyai hak mewaris, jika ahli waris golongan pertama dan kedua tidak ada
sama sekali dengan menyampingkan ahli waris golongan keempat.( Pasal 853:858 BW).
d. Golongan IV Merupakan sanak keluarga dalam garis ke samping dari si pewaris, yaitu
paman, bibi. (Pasal 858 ayat 2 BW)

8
3) Sistem Pewarisaan Hukum Adat
Yang membedakan dengan pewarisaan BW dengan sistem pewarisaan adat adalah
dengan terbaginya sistem pewarisaan hukum adat menjadi 4 bagiaan dengan terdiri dari :
1. Sistem Keturunan Dilhat dari segi garis keturunan maka perbedaan lingkungan hukum
adat itu dapat di bagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
2. Sistem Patrilinial (kelompok garis kebapakan) Sistem keturunan yang ditarik menurut
garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita
di dalam pewarisan. Sukusuku yang bergaris keturunan kebapakan antara lain adalah
Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa tenggara, Irian
3. Sistem Matrilinial (kelompok garis keibuan) Sistem keturunan yang ditarik menurut garis
ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di
dalam pewarisan. Sukusuku yang bergaris keturunan ini adalah minangkabau, enggano.
4. Sistem Parental atau Bilateral (kelompok garis ibu-bapak) Sistem yang ditarik menurut
garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapakibu), dimana kedudukan pria dan
wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan. Adapun suku yang bergaris keturunan ini
adalah Jawa, Sunda, Madura, dan Melayu

Lebih lanjut, penulis menguraikan secara rinci bentuk dari pluralisme hukum waris
tersebut, sebagai beikut:
a. Sebab-Sebab Mewarisi
 Menurut Hukum Islam
Seseorang dapat mewarisi harta warisan apabila ada sebab-sebab yang yang dapat
mengikatnya untuk mendapatkan harta warisan tersebut, menurut hukum Islam
sebab-sebab itu adalah :
1) Karena hubungan kekerabatan atau hubungan nasab
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan
orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Jika ditinjau dari garis
yang menghubungkan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang
yang mewarisi, kerabat-kerabat itu dapat digolongkan kepada 3 golongan,
yaitu : a) Furu’, yaitu anak keturunan dari muwarris (pewaris); b) Ushul,
yaitu leluhur dari muwarris (pewaris); c) Hawasyi, yaitu keluarga yang
dihubungkan dengan muwarris (pewaris) melalui garis menyamping seperti

9
saudara, paman, bibi dan anak turunnya dengan tidak membedakan antara
laki-laki dan perempuan.
2) Karena hubungan perkawinan
Yang dimaksud dengan perkawinan di sini adalah perkawinan yang sah
menurut syari’at Islam. Oleh karena itu, maka perkawinan tersebut harus
memenuhi 2 persyaratan :
a) Akad perkawinan itu sah menurut syari’at Islam, baik kedua suami-istri
tersebut telah berkumpul maupun belum. Ketentuan ini berdasarkan :
(1)Keumuman ayat-ayat mawaris, dan (2)Tindakan Rasulullah saw.,
dimana beliau bersabda:
“Telah memutuskan kewarisan Barwa’ binti Wassyiq. Suaminya telah
meninggal dunia sebelum mengumpulinya dan belum menetapkan
maskawinnya.”
Putusan Rasulullah ini menunjukkan bahwa perkawinan antara Barwa
dengan suaminya adalah sah. Suatu perkawinan dianggap sah tidak
semata-mata tergantung kepada telah terlaksananya hubungan kelamin
antara suami-istri dan telah dilunasinya pembayaran maskawin oleh
suami, tetapi tergantung kepada terpenuhinya syarat dan rukun
perkawinan.
b) Ikatan perkawinan antara suami-istri itu masih utuh atau dianggap masih
utuh. Suatu perkawinan dianggap masih utuh ialah apabila perkawinan
itu telah diputuskan dengan talak raj’i, tetapi masa iddah raj’i belum
selesai. Perkawinan tersebut dianggap masih utuh karena di saat iddah
masih berjalan, suami masih mempunyai hak untuk merujuk isterinya.
Menurut hukum Islam, baik karena hubungan kekerabatan ataupun
hubungan perkawinan, antara pewaris dan ahli waris harus sama-sama beragama
Islam. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi yang berbunyi : ‫اليرث المسلم الكافر وال الكافر‬
‫المسلم‬
“Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak
dapat mewarisi harta orang Islam. “ (HR. Bukhari Muslim).

Apabila muwarris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali atau ahli
warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan

10
Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk
kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum.

 Menurut Hukum Adat


Menurut hukum Adat di Indonesia, dengan beberapa variasi dan
deferensiasi antara daerah lingkungan hukum adat yang satu dengan yang lain, maka
sebab-sebab mewarisi itu adalah :
1) Keturunan
Keturunan disini yang diutamakan adalah anak. Anak sebagai ahli waris utama
mempunyai ketentuan yang berbeda-beda mengingat perbedaan sifat
kekeluargaan dipelbagai daerah, misalmya :
a) Pada daerah yang sifat kekeluargaannya berdasarkan parental (ibu-bapak),
anak-anak yang dilahirkan menjadi ahli waris.
b) Pada daerah yang sifat kekeluargaanya berdasarkan matrilinial (garis ibu),
atau patrilinial (garis bapak), maka hal waris anak sebagai ahli waris dibatasi.
Di Minangkabau anak-anak tidak menjadi ahli waris dari ayahnya, sebab mereka
masuk ke dalam keluarga ibunya dan di Tapanuli anak-anak tidak dapat mewarisi
harta ibunya. Di samping itu, ada juga beberapa variasi lain, seperi di Bali dimana
anak laki-laki tertualah yang dapat mewarisi seluruh harta peninggalan dengan
dibebani kewajiban memelihara adik-adiknya. Di Batak lain lagi, justru anak laki-
laki termudalah yang dapat mewarisi seluruh harta peninggalan.
2) Perkawinan
Di berbagai daerah yang ada di Indonesia telah menetapkan bahwa seorang istri
dapat mewarisi harta suaminya atau sebaliknya dikarenakan hubungan
perkawinan. Bahkan menurut penyelidikan yang dilakukan oleh Wiryono
Projodikoro, di Kabupaten Sidoarjo tahun 1937, beliau meyaksikan sendiri bahwa
seorang janda mendapat warisan yang sama dengan anak turunnya si suami.
3) Adopsi
Menurut hukum adat, anak angkat dapat menjadi ahli waris terhadap harta yang
ditinggalkan oleh orang tua angkatnya. Oleh karena itulah, anak angkat
mendapatkan warisan dari dua sumber : dari orang tua kandungnya sendiri serta
orang tua angkatnya.
4) Masyarakat daerah

11
Jika ahli waris tidak ada sama sekali, harta peniggalan tersebut jatuh kepada
masyarakat daerah yang pengelolaannya diserahkan kepada ketua adat.

 Menurut KUHP / BW
Sebab-sebab yang dapat menyebabkan orang lain untuk mendapatkan
warisan adalah :
1) Keturunan
Menurut BW, tidak ada perbedaan sama sekali antara anak laki-laki maupun
anak perempuan karena mereka sama-sama dapat mewarisi harta orang tuanya.
2) Perkawinan
Demikian juga dengan istri yang ditinggal oleh suaminya atau sebaliknya,
mereka dapat menjadi ahli waris apabila salah seorang di antara mereka
meninggal dunia.

b. Urutan-Urutan Orang Yang Berhak Menerima Warisan


 Menurut Hukum Islam
Menurut Hukum Islam, apabila seseorang meninggal dunia, maka yang
paling berhak untuk mendapatkan harta warisan tersebut adalah ashab al-furud
(orang-orang yang mendapatkan bagian tertentu seperti yang telah ditetapkan oleh
al-Qur’an). Kalau seandainya harta warisan sudah dibagikan kepada ashab al-furud
dan ternyata harta tersebut masih tersisa, maka harta sisa tersebut diberikan kepada
‘asabah. Jika seandainya asabahnya juga tidak ada, maka harta tersebut diberikan
kepada zawil arham dan apabila zawil arham juga tidak ada, maka harta tersebut
diberikan kepada bait al-mal (balai harta keagamaan) yang nantinya akan
dimanfaatkan untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum.
 Menurut Hukum Adat
Apabila seseoarang meninggal dunia, maka yang paling berhak unruk
mendapatkan harta warisan adalah anak-anaknya (baik anak anak kandung maupun
anak angkat) dan pasangan hidupnya (baik suami atau istri). Apabila seseorang
meninggal dunia dan tidak meninggalkan ahli waris sama sekali maka harta
tersebut diserahkan kepada kepala adat yang nantinya akan dipergunakan untuk
kemaslahatan masyarakat daerah setempat.
 Menurut KUHP /BW

12
Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP) dijelaskan bahwa
orang-orang yang berhak untuk mendapatkan harta warisan itu dibagi dalam 4
golongan, yaitu :
1) Golongan Pertama, yang terdiri dari : a) Anak-anak baik laki-laki maupun
perempuan. b) Cucu-cucunya sebagai pengganti ayahnya yang meninggal
lebih dulu dari kakeknya. c) Suami atau istri;
2) Golongan kedua, yang terdiri dari : a) Orang tua (Ayah dan Ibu) b) Saudara-
saudara sekandung;
3) Golongan Ketiga, yang terdiri dari : a) Kakek dan nenek baik dari pihak ayah
maupun pihak ibu; b) Datuk, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu;
4) Golongan Keempat yang terdiri dari : a) Saudara/i sekakek/sedatuk b)
Saudara/i senenek/sedatuk Kalau golonga keempat ini juga tidak ada, maka
harta tersebut menjadi milik negara.

c. Bagian Yang Didapatkan Ahli Waris


 Menurut Hukum Islam
Di dalam Islam ditetapkan bahwa bagian anak laki-laki dua kali bagian anak
perempuan. Hal ini sesuai dengan firman Allah Allah swt:
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu,
yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan”.
 Menurut Hukum Adat
Pembagian harta warisan menurut hukum adat biasanya dilakukan atas dasar
kerukunan dan keadilan antara para ahli waris yang disesuaikan dengan adat
setempat.
 Menurut KUHP / BW
Pembagian harta warisan menurut KUHP adalah tidak adanya perbedaan antara
anak laki-laki maupun anak perempuan serta juga tidak adanya perbedaan antara
anak dan janda/duda. Semuanya dibagi rata (1 : 1).

Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa hukum waris di Indonesia ternyata
memang sangat plural, dan hal ini tentunya tidak akan dapat terus-menerus berjalan,
karena orientasi dan keberadaan hukum waris yang ada di Indonesia saat ini secara riil

13
masih belum sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia secara keseluruhan yang
berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila.
Hal ini terjadi karena masing-masing ahli waris mempunyai argumen yang sangat
kuat tentang keyakinannya terhadap penentuan/pilihan dalam hukum waris. Dalam
perspektif hukum, keragaman hukum waris merupakan khazanah atau kekayaan
tersendiri bagi bangsa Indonesia, tetapi kemajemukan hukum ini justru mengakibatkan
ketidak-pastian hukum. Kalau dibiarkan berlanjut tidak mustahil kontradiksi hukum
waris akan menjadi pendorong kian maraknya ketegangan dan konflik anggota
keluarga. Apalagi, pada saat ini hubungan keluarga kian individual dimana orang lebih
mementingkan materi termasuk harta warisan. Tanpa mengurangi kelebihan masing-
masing hukum waris, dengan semangat keharmonisan dan kepastian hukum, kiranya
sudah saatnya ada hukum warisan nasional yang dapat dipakai sebagai acuan hukum.
Misalnya dalam suatu Undang-undang dapat dijelaskan dalam suatu Bab tentang
Kewarisan Islam, Adat dan KUHP. Kemudian pada bab lain dapat disimpulkan tentang
hal-hal mana saja yang masih bersifat umum dan dapat disepakati. Sedangkan untuk
hukum adat yang masih bersifat variatif dapat ditunjuk kesepakatan umum dan
pengaturan secara spesifik formal.

Sumber Referensi:
Ahmad, Suparji. Pluralisme Hak Waris Dalam Kuh Perdata. SUMMARY NOTES –
1809HPDT08.

Ahmad, Suparji. Pluralisme Hukum Waris Di Masyarakat. SUMMARY NOTES –


1809HPDT08

Adelina Nasution. Pluralisme Hukum Waris Di Indonesia. Jurnal : Al-Qadhâ: Vol. 5, No. 1,
Juli 2018

H. Akhmad Haries. Pluralisme Hukum Kewarisan Di Indonesia. Jurnal.

Sulistiyowati Irianto. Sejarah Dan Perkembangan Pemikiran Pluralisme Hukum Dan


Konsekuensi Metodologisnya. Nomor 4 Tahun XXXIII

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl1052/pilihan-hukum-waris/

14
5. Mengapa Badan Hukum dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum.
Jelaskan!

Jawab:
Dalam sistem hukum perdata belanda yang sampai saat ini masih dianut oleh sistem
hukum di Indonesia, maka dikenal sebagai subyek hukum terbagi menjadi dua bentuk yaitu
pertama, manusia (person) dan kedua, korporasi (rechtperson). Dari pembagian subyek
hukum tersebut diatas, apabila korporasi ini merupakan suatu subyek hukum yang dapat
melakukan hubungan hukum, maka korporasi termasuk dalam kualifikasi badan hukum
(rechtperson). Badan hukum (rechtperson) merupakan subyek hukum yang memiliki hak-hak
dan kewajibannya sendiri sekalipun bukan manusia (person), dalam hal ini berbentuk sebagai
badan atau organisasi yang terdiri dari sekumpulan orang yang bergabung untuk suatu tujuan
tertentu serta memiliki kekayaan tertentu pula. Untuk bertindak dalam lalu lintas hukum
maka badan hukum (rechtperson) tersebut diwakili oleh orang-orang yang bertindak untuk
dan atas nama serta demi kepentingan badan hukum tersebut (mewakilinya).
Berdasarkan Pasal 1654 KUH Perdata, disebutkan bahwa semua badan hukum yang
berdiri dengan sah, begitu pula orang-orang swasta, berkuasa untuk melakukan perbuatan-
perbuatan perdata, tanpa mengurangi perundang-undangan yang mengubah kekuasaan itu,
membatasinya atau menundukkannya kepada tata cara tertentu. Sebelumnya dalam Pasal
1653 KUH Perdata diatur berkaitan dengan perkumpulan adalah selainnya perseroan yang
sejati oleh undang-undang diakui pula perhimpunan orang sebagai perkumpulan, baik yang
diadakan atau diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun yang diterima sebagai
diperbolehkan, atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan
dengan undang-undang atau kesusilaan.13
Badan hukum menurut Molengraaff merupakan hak dan kewajiban dari para
anggotanya secara bersama-sama, dan didalamnya terdapat harta kekayaan bersama yang
tidak dapat dibagi-bagi. Setiap anggota tidak hanya menjadi pemilik sebagai pribadi untuk
masing-masing bagiannya dalam satu kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagi itu, tetapi juga
sebagai pemilik bersama untuk keseluruhan harta kekayaan, sehingga setiap pribadi anggota
adalah juga pemilik harta kekayaan yang terorganisasikan dalam badan hukum itu.14
13
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata BW Pasal 1653-1654
14
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Sekjen dan
Kepaniteraan MKRI2006) dalam Dyah Hapsari Prananingrum. Telaah Terhadap Esensi Subjek Hukum:
Manusia Dan Badan Hukum. Jurnal Vol. 8, No. 1

15
Berdasarkan uraian diatas, badan hukum dapat dimintai pertanggungjawaban hukum
karena kedudukannya sebagai subyek hukum. Badan hukum dapat dimintai
pertanggungjawaban dari apa yang telah dilakukan oleh agen-agennya, yang dikenal dengan
“actus reus” yang berarti bahwa perbuatan dilakukan harus dalam lingkup kekuasaannya,
yang dengan kata lain dalam menjalankan tugas itu masih dalam cakupan tugas korporasi.
Keberadaan korporasi tidaklah dibentuk tanpa suatu tujuan dan pencapaian tujuan korporasi
tersebut, selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia alamiah. Oleh karena itu, kemampuan
bertanggungjawab oleh orang-orang berbuat untuk dan atas nama korporasi dialihkan
menjadi kemampuan bertanggungjawab korporasi sebagai subyek tindak pidana.

16

Anda mungkin juga menyukai