Anda di halaman 1dari 4

NAMA : FRENDY MONIKA

NIM : 042524911
JURUSAN : ILMU HUKUM
UPBJJ-UT : BANDAR LAMPUNG
MATA KULIAH : HUKUM PIDANA EKONOMI

SOAL

1. Menurut Studi yang dilakukan oleh Burg's mengenai hukum dan pembangunan, terdapat 5
(lima) unsur yang harus dikembangkan agar hukum tidak menghambat ekonomi, sebutkan dan
jelaskan unsur tersebut.
2. Jelaskan secara singkat historis pembentukan UU No. 7 Darurat Tahun 1955 tentang
Pengusutan dan Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
3. Berikan analisa hukum mengenai kendala-kendala dalam penerapan sanksi pidana terhadap
korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi.

JAWABAN
1. Peranan lain dari hukum yang sangat penting dalam kehidupan ekonomi adalah kemampuannya
untuk mempengaruhi tingkat kepastian dalam hubungan antar manusia di dalam masyarakat.
Menurut studi yang dilakukan oleh Burg’s mengenai hukum dan pembangunan, terdapat 5
(lima) unsur yang harus dikembangkan supaya hukum tidak menghambat ekonomi, yaitu
stabilitas (stability), prediksi (predictability), keadilan (fairness), pendidikan (education) dan
pengembangan khusus dari sarjana hukum (the special development abilities of the lawyer).
Selanjutnya Burg‟s mengemukakan bahwa unsur pertama yaitu ”stabilitas” dan kedua yaitu
”prediksi” merupakan persyaratan supaya sistem ekonomi berfungsi. Di sini “stabilitas”
berfungsi untuk mengakomodasi dan menghindari kepentingankepentingan yang saling
bersaing. Sedangkan “prediksi” merupakan kebutuhan untuk bisa memprediksi ketentuan-
ketentuan yang berhubungan dengan ekonomi suatu negara.
Keadilan (fairness), yaitu kesetaraan dengan memperhatikan hak setiap Pemangku Kepentingan
secara adil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pendidikan (education) pada dasarnya memberi pengaruh yang sangat besar terhadap
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dari pengetahuan, keterampilan serta keahlian sebagai
produk pendidikan, seseorang akan memiliki kemampuan yang tinggi dalam mencapai tingkat
produktivitas di masyarakat. Produksi yang tinggi akan meningkatkan pendapatan masyarakat,
dan hal ini merupakan suatu indikator pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Sumber:
Rumbay, Cornella. O. 2014. Kajian Yuridis Jaminan Kepastian Hukum Mengenai Perlakuan Dan
Fasilitas Menurut Undang-Undang No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Lex
Administratum, Vol. 2(3): 174-183.

2. Tindak pidana ekonomi diatur dalam Undang-Undang Darurat No. 7 tahun 1955 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (yang selanjutnya disebut
sebagai UU TPE). Sesuai dengan namanya Undang-Undang Darurat yaitu undang-undang yang
dikeluarkan oleh Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan dalam suatu
keadaan yang mendesak agar segera diberlakukan, karena pada saat itu memang sangat di
perlukan adanya undang-undang ini, kalau kita flash back ke sejarah lahirnya UU Drt No 7 tahun
1955 bahwa pada saat itu Indonesia baru saja merdeka, dan untuk kemajuan perekonomian
bangsa maka Indonesia membuka diri untuk berbagai jenis investasi. Undang-Undang Darurat
No 7 tahun 1955 adalah merupakan saduran dari wet op de Economich Delicten di Nederland,
tetapi telah disesuaikan dengan keadaan di Indonesia walaupun ada beberapa kalimat yang
masih asli dari induknya seperti dalam Pasal 1.
Undang-Undang Darurat No 7 tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan
Tindak Pidana Ekonomi juga merupakan suatu atruran perundangan-undangan yang bersifat
khusus karena mengatur tindak pidana yang tidak diatur dalam KHUP, sehingga biasa di bilang
Tindak Pidana Ekonomi adalah Tindak pidana khusus. Memang betul Tindak Pidana Ekonomi
bisa dianggap sebagai bagian dari Tindak {Pidana Khusus atau Delik-delik khusus tetapi yang
akan dibahas dalam Rindak Pidana Ekonomi adalah khusus tindak pidana dalam bidang ekonomi
yang dapat merugikan negara.
Undang-Undang Daruarat No 7 tahun 1955 tentang Pengusustan, Penuntutan dan Peradilan
Tindak Pidana Ekonomi untuk selanjutnya disebut UU TPE lahir di Indonesia dengan dilatar
belakangi dengan adanya kebutuhan perturan tentang investasi yang sangat mendesak bagi
Negara Indonesia yang baru merdeka, dimana para investor berminat untuk menanamkan
modalnya di Indonesia dengan syarat harus adanya peraturan yang tegas demi tercipttanya
kepastian hukum agar mereka terlindungi ketika melakukan investasi nantinya.
Lingkup kewenangan UU Darurat No 7 tahun 1955 (economic Crime) meliputi delik
penyelundupan (smuggling), kecurangan di bidang kepabeanan, kejahatan perbankan, delik
perniagaan, TPPU, delik pasar modal, delik OJK, delik pemalsuan merk, delik lingkungan hidup.
Tetapi sayangnya delik-delik tersebut sekarang ini telah dikeluarkan peraturan perundang-
undangannya secara khusus seperti delik penyelundupan (Delik Kepabeanan) menggunakan
peraturan UU No 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, selain itu masih banyak lagi perundangundangan
lainnya.
Hal ini menyebabkan banyak para ahli dan praktisi Hukum di bidangnya menyarankan agar UU
Drt No 7 tahun 1955 dinyatakan tidak berlaku lagi karena sudah mati suri dengan lahirnya
banyak undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana ekonomi secara khusus, tetapi
kita juga tidak bisa memungkiri bahwa sekarng ini masih ada kasus-kasus tertentu yang
menggunakan ketentuan dalam UU Drt No 7 tahun 1955 untuk menjerat suatu tindak pidana
ekonomi yang terjadi.

Sumber:
Ramdania, Dini. 2017. Eksistensi Undang-Undang Drt Nomor 7/1955 Dalam Penegakan Hukum
Di Bidang Ekonomi (Economic Crimes). Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum, ISSN-p 1412-
4793, ISSN-e 2684-7434: 1-14.

3. KENDALA DALAM MENERAPKAN PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM


TINDAK PIDANA KORUPSI
a. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam UU Tipikor
Korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi diatur dalam UU Tipikor. UU sebelumnya,
yaitu UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak
mengatur korporasi sebagai subjek tindak pidana, hanya menentukan “manusia alamiah”
sebagai subjek tindak pidana.
UU Tipikor mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Pasal 20. Tindak pidana
korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang,
baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam
lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
Ada berbagai pendapat mengenai jelas tidaknya pengaturan pertanggungjawaban pidana
korporasi dalam UU Tipikor. Menurut Didik, pengaturan pertanggungjawaban pidana
korporasi dalam UU Tipikor termasuk UU yang secara jelas mengatur pertanggungjawaban
pidana korporasi, selain Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme (dalam Pasal 17 dan Pasal 18).
Adapun UU yang pengaturannya tidak jelas mengenai pertanggungjawaban pidana
korporasi antara lain UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam UU tersebut diatur dalam
BAB XV, tentang Ketentuan Pidana, dalam Pasal 97 sampai dengan Pasal 120, mengenai
jenis-jenis tindak pidana dan subjek pelaku tindak pidana lingkungan hidup.
Sedangkan UU Tipikor tidak secara lengkap mengatur mengenai pertanggungjawaban
pidana, dikemukakan oleh Kasubdit Pelanggaran HAM Berat pada Direktorat Penuntutan
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Undang Mugopal. Ia menyebutkan beberapa
persoalan dalam UU Tipikor, di antaranya siapa yang berhak mewakili korporasi dalam
proses hukum perkara tindak pidana korupsi? Untuk dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum dan untuk memudahkan pelaksanaan eksekusi adalah orang yang menjadi pengurus
badan hukum yang ditunjuk dan bukan orang lain yang bertindak sebagai penasihat hukum
dalam proses peradilan pidana. Harus ada batasan sejauh mana ketentuan Pasal 20 ayat (4)
UU Tipikor, dalam hal korporasi dapat diwakili oleh “orang lain”.
Apabila dikaji kembali, UU Tipikor belum mengatur secara jelas pertanggungjawaban
pidana korporasi. Pasal 1 angka 1 menyebutkan, bahwa “Korporasi adalah kumpulan orang
dan/ atau kekayaan terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum.”
Sementara itu, mengenai sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada korporasi, Pasal 20
ayat (7) UU Tipikor menyebutkan, bahwa “Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap
korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu
pertiga).” Dari ketentuan Pasal tersebut, sanksi pidana pokok yang dapat dijatuhkan
terhadap korporasi merupakan sanksi tunggal, tidak ada alternatif lain yang dapat dipilih.
Hal ini menimbulkan masalah dalam implementasinya, yaitu bagaimana jika denda tidak
dibayar oleh korporasi.

b. Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi


Aparat penegak hukum mengalami kesulitan dalam menjerat korporasi. Penyidik yang
melakukan proses awal pemeriksaan perkara mengalami kesulitan dalam menetapkan
korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Hal ini dapat dilihat dari jarangnya kasus yang
ditangani oleh Penyidik dengan melibatkan korporasi sebagai tersangka. Sebagai contoh
penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian.
Proses penyidikan oleh Polri akan mempengaruhi proses selanjutnya, pada tahap
penuntutan dan pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Oleh karena dari tahap
penyidikan Polri tidak menjerat korporasi, maka Jaksa Penuntut Umum tidak mendakwa
korporasi. Padahal, sejak tahun 2014 Kejaksaan telah bertekad untuk menjerat korporasi
sebagai pelaku tindak pidana, dengan mengeluarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-
028/A/ JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum
Korporasi (Perja Tahun 2014).
Salah satu penyebab sedikitnya perhatian aparat penegak hukum terhadap
pertanggungjawaban pidana korporasi dikarenakan persoalan legislasi, khususnya terkait
penempatan korporasi sebagai subjek hukum berikut pertanggungjawaban pidananya.
Dalam KUHP yang berlaku saat ini subjek hukum masih tertuju pada manusia alamiah
(naturlijke persoon). Hal itu tercermin dari penggunaan unsur “barangsiapa” dalam
berbagai rumusan delik dalam KUHP, jadi tertuju pada subjek hukum manusia alamiah atau
orang perseorangan.
Pemidanaan terhadap pengurus korporasi saja dianggap tidak cukup untuk mengadakan
represi terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi, mengingat
dalam kehidupan sosial dan ekonomi ternyata korporasi semakin memainkan peranan yang
penting pula. Hukum pidana harus mempunyai fungsi dalam masyarakat, yaitu melindungi
masyarakat dan menegakkan norma-norma dan ketentuan yang ada dalam masyarakat.
Kalau hukum pidana hanya ditekankan pada segi perorangan, yang hanya berlaku pada
manusia, maka tujuan itu tidak efektif, oleh karena itu tidak ada alasan untuk selalu
menekan dan menentang dapat dipidananya korporasi. Dipidananya korporasi dengan
ancaman pidana ialah salah satu upaya untuk menghindari tindakan pemidanaan terhadap
para pegawai korporasi itu sendiri. Korporasi mendapat keuntungan dari perbuatan atau
tindakan yang dilakukan oleh pengurusnya.

Sumber:
Hikmawati, Puteri. 2017. Kendala Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Negara Hukum: Vol. 8, No. 1): 131-150.

Anda mungkin juga menyukai